[Meeting reschedule ya. Lo terusin novel. Sore ini kirim progress ke gue.]
Gista mengerjap dan berhenti di tengah jalan. Lola–editornya membatalkan meeting yang dicanangkan sejak beberapa hari lalu. Membahas kemajuan progress Gista di depan fellow writer lainnya. Gista hanya merutuk kecil. Padahal jika waktunya dimaksimalkan ia bisa melakukan riset. Riset. Mendengar kata itu, Gista berpikir keras. Untuk yang tadi– bisa dijadikan bukunya kan? Dimana tokoh female lead bukunya bernama Sarsha terjebak di ruangan kecil dengan male lead bernama Gio. Setelahnya mereka bercumbu hebat. kemudian— “Gis, hape lo bunyi.” Gista gelagapan. Dia mengangguk pada teman kerjanya yang sudah kembali ke kubikelnya sendiri. Sementara Gista menatap layar ponsel dengan heran. Gista enggan mengangkat telepon dari yang tak dikenalnya. Sekali lagi dia menekan tombol merah, menolak panggilan telepon. Gista tak berminat memeriksa histori ponselnya dan langsung berkutat dengan draf novel di mejanya sendiri. Lalu badai itu datang. Gista tengah asyik menulis bagian saat di gudang tadi– dan Lola mengetuk bagian atas kubikelnya dengan keras. Ekspresi editornya terlihat sangat serius dan sedikit panik. “Gis, sekarang ke ruang meeting. Urgent.” Gista melongok. “Loh, Mbak, bukannya dibatalin tadi rapatnya?” “Urgent. Ayo!” Gista malah bergerak slow motion. Lola berdiri tak sabar di depan kubikelnya. “Cepetan, Gis. Nyawa gue bisa ilang kalo lo lelet.” “Aku gak perlu ditungguin, Mbak.” Lola menggeleng. “Kalo gak ditungguin, lo makin lelet. Cepet, ah!” “Ada apa, Mbak? Draftku kurang lagi ya?” “Lo liat aja sendiri entar.” Lola tak sabar. Dia menarik tangan Gista yang baru berdiri dari kursi, sampai membuat wanita itu hampir terjungkal ke depan. Dan badai itu benar-benar menghantam Gista. Ruang rapat terasa lebih dingin dari biasanya. Selain Lola, ada dua editor senior lain di sana. Juga ada Pak Direktur. Perut Gista langsung mulas melihat ekspresi serius mereka. “Langsung aja, Gista. Kami mau kamu jadi Representatif Megalitera untuk kerja sama dengan Salim Publishing.” Pak Direktur tak berbasa-basi. Gista melongo. Telinganya tak bisa mendengar perkataan Direktur tentang Salim Publishing yang menghubungi Megalitera untuk investasi, karena masih terhantam syok berat. “Gis,” colek Lola ke siku penulisnya. Gista mengerjapkan mata. “Kenapa saya ya, pak?” “Sejak kamu memberikan tur Megalitera. Ia ingin invest ke kita. Kamu tau kan, Pak Akash rumornya seperti apa.” Suaranya datar. “Maaf, Pak. Saya rasa saya tidak bisa. Itu bukan job desc saya.” “Berdasarkan kontrak saya sebagai penulis di Megalitera, saya rasa ini bukan tugas saya.” Direktur itu hanya terdiam, saling bertukar tatap dengan Lola. “Tugas Representatif butuh usaha lebih banyak daripada buku saya.” Gista menolak. Dia harus menolak. Khususnya setelah insiden di gudang kemarin yang masih membuatnya tak nyaman hingga sekarang. “Tapi cuma lo yang bisa handle dia kemarin. Please-lah, Gis. Invest ini penting buat penerbit kecil kayak kita.” Gista masih bergeming. Dia bersiap menolak, tetapi tawaran Lola datang seperti oase di tengah gurun pasir. “Kalo lo mau, gue pribadi bakal dorong visibilitas novel lo. Ranking buku lo gue bantuin naik,” bisik Lola. Gista masih menimbang. “Ads? Gue janji bantuin setelah buku lo kemajuan di dua puluh bab awal.” Kata-kata itu seperti umpan yang berkilau di depan mata. Gista menghela napas. “Dua minggu. Kalau tidak ada progres, aku mundur.” Lola tersenyum lebar. “Deal! ~~~ Permintaan Direktur seperti buah simalakama. Gista ingin menghindar, tetapi tawaran dari Lola juga sangat menggiurkan. Alhasil selama keluar dari ruang rapat dan melangkah di koridor, dia tak melihat jalan. “Hati-hati!” Gista menabrak tangan yang hangat dan besar. Dia mendongakkan pandangan, mencelus seketika melihat tiang berdiri tepat di hadapannya. Untungnya seseorang berbaik hati melindungi kepalanya. “Kak Arvin?” Gista berseru kaget melihat siapa penolongnya. Lelaki jangkung berpakaian kasual itu tersenyum lebar. “Hai apa kabar?” “Hai?” Gista tak mampu menyembunyikan rasa senangnya. Arvin memang salah satu editor baik hati yang menjadi favorit semua orang di Megalitera. Senior editor favorit Megalitera yang seringkali bepergian ke luar negeri untuk koneksi penulis luar. Arvin menjejeri langkah Gista. Aroma parfum maskulin menyergap saat dia mendekat. “Hectic banget kayanya. Ada apa?” Gista tahu tak etis curhat pada rekan sekantor. Namun, ini Arvin. Orang yang selalu baik padanya. Jadi, Gista santai mengeluarkan uneg-unegnya. “Oh. Nggak.” kata Gista terhenti. “Aku ditunjuk Pak Direktur jadi Representatif Megalitera. Kerja sama dengan Salim Publishing.” Senyum di wajah Arvin menghilang. Dia mencondongkan badan ke depan, setengah berbisik pada Gista. “CEO-nya masih Akash Salim?” Gista mengangguk. Arvin menatapnya lama, terlihat ragu untuk bicara, tetapi akhirnya bersuara. “Ah nggak. Kalau bisa sih– kamu better jaga jarak aja sih, Gis. Dulu juga dia sempet pernah mencoba ngajak tidur penulis Singapura.” Gista tertegun. “Lagian Direktur aneh banget. Kita punya PR (Public Relation). Kenapa malah nyuruh penulis biasa buat jadi Representatif?” Gista tertunduk. Pertanyaan yang sama juga muncul di kepalanya. Kenapa harus dia? “Gis, aku boleh minta nomor kamu?” katanya di sela pembicaraan mereka, tetapi pikirannya jauh melampaui ke sosok laki-laki yang dibahas ini. Dia mengangguk dan memberikan nomornya kepada Arvin. Laki-laki itu lalu melangkah pergi ke ruangan Direktur. Saat Gista kembali ke mejanya, ponselnya kembali bergetar. Nomor yang sama. Tanpa identitas. Nomor yang tidak dikenal Gista, tetapi terasa familier. Entah mengapa jantungnya berdegup kencang. Gista memandangi layar ponsel yang masih berkedip-kedip. lalu telunjuknya melayang pelan di atas layar. Hi Gis? Aku Arvin? Aku mau nagih janji kamu untuk makan bareng?[Meeting reschedule ya. Lo terusin novel. Sore ini kirim progress ke gue.]Gista mengerjap dan berhenti di tengah jalan. Lola–editornya membatalkan meeting yang dicanangkan sejak beberapa hari lalu. Membahas kemajuan progress Gista di depan fellow writer lainnya.Gista hanya merutuk kecil. Padahal jika waktunya dimaksimalkan ia bisa melakukan riset.Riset.Mendengar kata itu, Gista berpikir keras. Untuk yang tadi– bisa dijadikan bukunya kan? Dimana tokoh female lead bukunya bernama Sarsha terjebak di ruangan kecil dengan male lead bernama Gio. Setelahnya mereka bercumbu hebat. kemudian—“Gis, hape lo bunyi.”Gista gelagapan. Dia mengangguk pada teman kerjanya yang sudah kembali ke kubikelnya sendiri. Sementara Gista menatap layar ponsel dengan heran.Gista enggan mengangkat telepon dari yang tak dikenalnya. Sekali lagi dia menekan tombol merah, menolak panggilan telepon. Gista tak berminat memeriksa histori ponselnya dan langsung berkutat dengan draf novel di mejanya sendiri.Lalu bad
Ada yang berbeda dengan Akash sejak kembali dari Megalitera. Dia berjalan tanpa menoleh sama sekali. Sesampainya dalam ruang kantornya yang sejuk, Akash berdiri kaku. Pintu ruangannya nyaris pecah kena hantaman tangannya. Akash menarik kasar dasi yang sedari pagi melingkar asal di lehernya dan melemparnya asal-asalan ke sofa.Langkah kaki Akash lebar-lebar. Napasnya berat, nyaris menggedor lantai. Wajahnya menggelap. Dan sepasang mata tajam Akash menyimpan bara ….… bara yang sejak pagi tak kunjung padam. Kepalanya masih dipenuhi bayangan Gista. Tatapan dingin perempuan itu, bahkan lebih dingin daripada AC kantornya. Cara Gista meninggalkan kamar tanpa ragu, hanya meninggalkan selembar catatan dan dua lembar uang ratusan ribu di atas meja, bahkan sampai hari ini Ia membalikkan keadaan– meninggalkan Akash jadi pelajaran.“Sialan.” Akash memaki pelan. Leo mengangkat alis. Ia berdiri di pojokan ruang Akash. Ia tak menyangka kehadirannya tak disambut baik dengan pemilik ruangan.“So… Gi
"Apa yang kamu harapkan barusan? Kenapa kamu tutup mata?" Gista membuka mata perlahan. Antara percaya dan tidak, dia akhirnya membelalak. Tangannya sangat susah digerakkan, tetapi harus bergerak. Jadi, dia mengusap dada seraya memalingkan muka. Napas Gista memburu kencang. Dia berusaha menenangkan degup jantung yang liar setelah terlalu lama memejamkan mata di hadapan Akash. Sementara di hadapannya mata Akash menyala oleh gairah. Namun, secepat datangnya, secepat itu juga Akash memadamkan apinya. Tetap saja, dia masih memandangi Gista dengan sorot mata tajam. Seolah pandangannya mampu menelanjangi wanita itu. Gista mengerang dalam hati. Bisa-bisanya dia bersikap begitu konyol dan memalukan seperti itu. Ia pikir ini akan seperti momen dalam novel yang pernah ia baca. Dimana ruangan gelap akan menjadi orang ketiga si tokoh utama. Tapi kenapa ia tak juga menciumnya? Perlahan Gista memegang bibirnya yang mulai mengering. Gista berdeham-deham. Dia bergeser menjauhi Akash. Sembari
Pujian tak pernah membuat Gista besar kepala. Namun, pagi itu, saat Lola memanggilnya ke ruang editor, pujian justru terasa seperti jebakan.“Good job! Nah, gini dong, Gis. Lo kalo mau usaha, pasti bisa nulis adult romance.”Lola memberi isyarat agar Gista mendekat. Suara kursi putar digeser terdengar di ruang rapat kecil Megalitera. Gista kini berhadapan dengan laptop Lola yang menampilkan draf bab pertama naskahnya.“Premis lo udah oke. Chapter pertama juga udah lumayan bagus, lebih bagus dibanding yang kemarin. Ini udah ada jiwanya, meski masih tipis banget. Mature vibes-nya udah keliatan, Gis. Tapi masih belum nendang, belum bikin basah kuyup pembaca. Gue butuh yang nuansanya hot banget, lebih heavy lagi biar pembaca sampe blingsatan.”Kritikan Lola membuat kepala Gista pening. Namun, wanita itu tak menunjukkannya. Dia hanya menatap kosong ke layar laptop.“Kalo yang kemarin kurang spicy, ini kurang basah. Tambahin lagi, Gis. Lo harus bisa bikin cerita yang panas ngebakar. Pokok
Akash bukan orang yang terbiasa melakukan hal bodoh. Seluruh tindakannya cermat dan terencana. Namun, malam ini pengecualian. Melihat wanita itu berdekatan dengan John, Akash tiba-tiba tergoda untuk menariknya pergi.Menolongnya? Entah. Akash merasa belum sedekat itu untuk menolong seseorang yang asing. Dia tak mengenal Gista. Hanya berbekal selembar kartu nama dan ocehan omong kosong dari mulut wanita itu, harusnya tak serta-merta membuat Akash bergerak dari kursinya.Namun, ada sesuatu dalam diri Gista yang membuatnya mengesampingkan sebentar rasionalitas. Menyelamatkan Gista dari John bisa jadi adalah sesuatu yang berguna di masa depan.Sayangnya, konsekuensi atas tindakannya harus diterima Akash di muka. Open room bersama wanita cantik di kamar hotel yang luas, kedap suara, dan berfasilitas penuh ternyata mulai menguji batas pertahanan Akash.“Kamu yakin?” Akash bersandar di pintu kamar mandi. Perhatiannya malah teralihkan pada gestur Gista yang sangat menarik.Ya, menarik. Karena
Gista menoleh kanan kiri. Dia sudah menghabiskan dua gelas lemonade miliknya, yang ngomong-ngomong rasanya makin pahit. Sekarang dia sedang menunggu gelas ketiga sambil mencari-cari target berikutnya.Sayangnya ternyata sulit bagi Gista untuk menemukan orang yang cocok. Helaan nafasnya berat. Setelah ditolak Akash Salim, level malas Gista malah naik tinggi.Deadline dari Lola adalah problem tersendiri yang memaksa Gista harus mengalahkan rasa malas. Dua puluh empat jam sudah berkurang banyak. Kalau ingin membuat naskah super spicy seperti permintaan editornya, Gista harus tahu tentang hasrat, gairah, dan bercinta.Dia bisa menulis hal lain dengan mudah. Namun, tiga hal itu adalah topik berat yang susah diurai oleh Gista. Ada alasan khusus yang membuatnya kesusahan dan akhirnya terdampar di bar mencari-cari subyek yang tepat untuk riset.“Mr. John, long time no see. Gimana kabarnya? Insiden kemarin oke-oke aja, eh?”Gista menoleh sekilas. Seorang pria bule berjas abu-abu, berumur sekit