“Dan bapak pikir saya nggak bakal terganggu kalau inspirasinya terlalu Bapak?”
Akash memiringkan kepalanya. “Kalau tidak ada yang mau dibicarakan lagi saya permisi, Pak.” lanjut Gista balik badan cepat, tak memedulikan Akash yang notabene punya status lebih tinggi darinya. “Dokumen agreement kerja sama masih butuh tanda tanganku, Gista.” Wanita itu sontak berhenti melangkah, kembali balik badan, dan berjalan mendekati Akash. Namun, dia tak mau berdiri dekat-dekat CEO Salim Publishing. Gista memilih berada di samping sofa. “Mau dokumen Megalitera aku tanda tangani?” Akash memiringkan kepala seraya bersandar santai di pinggiran meja. Gista menghela napas. Dia maju satu langkah. Akash menaikkan alis. Gista kembali maju satu langkah, dua langkah, dan …. … Akash menariknya mendekat. Badan mereka bertabrakan. Pria itu memeluknya agar tidak sampai jatuh. Gista mendongak menatap Akash. Telapak tangannya kaku saat mendorong dada pria itu menjauh. “Bapak selalu begini ya, ke semua orang?” Akash mengangkat alis. “Bagaimana jika aku bilang, hanya sama kamu?” “Siapa yang percaya?” Gista mendorong sedikit keras. Kini dia terbebas dari pelukan pria itu. “Mengancam orang lain untuk mengikuti kehendak adalah tindakan tercela, Pak Akash.” “Kamu sedang bicara moral denganku?” Gista berkedip cepat. “Oh,” ujarnya singkat, teringat pada tindakannya sendiri. “Ya. Oh.” Akash mengangguk. Jarinya mengetuk meja. Gista paham. Alih-alih duduk di depan meja kerja Akash, dia berjalan ke sofa. Tak ada gaya elegan di cara duduk Gista. Dia hanya ingin secepatnya keluar dari kantor ini. Akash memilih tempat di depan Gista dan menyodorkan kontrak. Alis Gista perlahan-lahan berkerut setelah membaca bagian awal kontrak. “Ini … kontrak mentorship creative yang bapak bilang atau lebih tepatnya kontrak bercinta, Pak?” Gista bertanya tanpa melihat Akash. “Apa pemahamanmu, itu pemahamanku.” Gista melirik ke Akash tanpa kata, lalu kembali membaca baris demi baris klausul kontrak. Dia memastikan dirinya tak salah paham. Poin pertama: Pihak pertama (Gista) harus kooperatif dan terbuka atas saran dan ajakan pihak kedua (Akash). Poin kedua: Pihak pertama tidak dapat menuntut atas hal-hal yang terjadi selama program berlangsung. Gista menggeleng-geleng. Terdengar kemersak kertas dibuka saat dia mulai membaca halaman kedua. Wanita itu menghela napas panjang. Dia mendongak dan bertemu pandang dengan Akash. Pria itu masih duduk dengan tenang, tak terintimidasi ekspresi datar Gista, tetapi sorot matanya sudah setajam pisau. Dia merenungi klausul-klausul kontrak. Isinya lebih seperti mentor sex appeal daripada mentorship menulis. “Aku hanya ingin berbagi seluruh pengalaman yang kumiliki untuk menunjang perkembangan menulismu.” Gista menggaruk pelipis yang tidak gatal. Kepalanya menoleh ke arah mini bar di sudut ruang kerja Akash. Seperti paham isi pikiran wanita itu, Akash berdiri. Punggungnya membelakangi Gista. “Teh, kopi, wine?” Gista berkedip. Apa dia tak salah dengar? Wine di tengah jam kerja? Cepat-cepat Gista memasukkan ide itu ke dalam note ponselnya. Akash yang tak mendapat jawaban dari Gista menoleh. Alisnya terangkat tinggi saat dia mendapati wanita cantik itu sedang menunduk di atas ponselnya. Perlahan Akash berjalan tanpa suara menghampiri Gista. Dari belakang sofa, Akash membaca apa yang ditulis oleh wanita itu di note. Referensi adegan dimana tokoh Gio-nya menawarkan Sarsha wine selepas rapat besar. “Dengan apa yang kamu lakukan sekarang, lucu jika kamu menolak tawaran mentoringku.” Gista mendongak cepat. Bola matanya membesar seketika demi melihat Akash yang sudah berdiri di atasnya. Pria itu merunduk. Kepalanya kini sejajar dengan Gista. Suara Akash berat, sedikit parau, dengan tatapan yang terkunci ke arah bibir Gista. “Kita sudah sekamar bersama. Kita sudah berciuman. Apa kamu masih merasa aku jauh?” Gista mengerjap. Nada suaranya datar seperti biasa, tanpa ada tekanan emosi. “Kita tetap orang asing, Pak Akash. Hanya saja, sekarang kita tahu terlalu banyak.” Akash tersenyum tipis. Pandangannya kini naik ke sepasang mata Gista. “Kalau kita sudah tahu terlalu banyak, logisnya kita saling memiliki, kan?” Gista sedikit bergeser menjauhi Akash. Akash mengaburkan tawa gelinya dengan dengkusan pelan. Dia juga ikut bergeser mendekati Gista. Jarak mereka benar-benar dekat, sampai Akash bisa merasakan panas napas Gista dan aroma lembut parfum wanita itu. Akash menjulurkan tangan ke arah belakang telinga Gista. Dengan refleks yang mengagumkan, wanita itu memejamkan mata. Akash tertawa dalam hati. “Minumanmu,” bisiknya penuh kemenangan di telinga Gista, kemudian berdiri dan berjalan kembali ke sisi sofa tempatnya duduk. Gista menelan ludah, berdeham-deham singkat, baru kembali fokus kepada lembaran kontrak di hadapannya. “Apa ini nggak terlalu berlebihan, Pak?” Akash bersandar santai ke sofa. “Bukankah kamu sendiri yang bilang riset itu harus nyata? Aku hanya memastikan semua sesuai prinsipmu.” Gista menatap Akash cukup lama, mempertimbangkan apa yang harus dikatakan. Helaan napasnya panjang. Dia mengeluarkan pulpen dari tas dan mengambil lembaran kontrak. “Baik, kalau itu yang Bapak mau.” Tanpa menunggu respons pria di hadapannya, Gista langsung merevisi beberapa klausul di bawah kontrak. Setiap goresan tintanya mencerminkan luapan perasaan Gista. Dia tidak marah. Hanya saja, ini masih terlalu baru untuknya yang belum punya pengalaman intim sama sekali. [Pihak kedua dilarang tidur dengan pihak manapun selama periode mentorship berlangsung, dan harus bersikap kooperatif dan tidak menggunakan kuasa secara sepihak.] Namun, saat Gista berusaha mencoret poin yang ambigu tentang "ajakan fisik", Akash menahan tangannya. “Nggak bisa. Justru itu intinya.” Akash membajak pulpen Gista. Ada sentuhan terjadi di antara mereka, hanya beberapa detik, hanya beberapa inci kulit saja. Namun, efeknya pada Akash seperti hantaman feromon yang membangkitkan hasratnya. Dia melirik sekilas ke arah Gista. Otaknya malah berkelana menuju tempat di mana dia bisa memuaskan wanita itu dan membuatnya menjerit kencang. Akash mempertimbangkan untuk menambah lapisan kedap suara di kantor. Berjaga-jaga jika suatu hari nanti, sang Representatif cantik ini bisa dia rayu di sofa besar itu. Seringai Akash pelan. Dia kembali menatap lembaran kontrak, lalu menambahkan sendiri pasal-pasal lanjutan di bawah kontrak. Step 1: kiss/ciuman dengan koneksi emosional; step 2: prolonged touch/sentuhan berkepanjangan pada titik-titik peka; step 3: foreplay, termasuk tetapi tidak terbatas pada fingering atau oral stimulation; step 4: penetrasi penuh bersifat opsional atas kesepakatan bersama. “Silakan.” Akash mengembalikan kertas kontrak kepada Gista. Wanita itu membaca tanpa menaikkan alis. Dia merobek bagian bawah kertas, meletakkannya di depan Akash. Pandangannya melekat pada Akash seraya mengetukkan telunjuk di atas kertas itu. “Pasal empat. Pastikan bahasanya jelas. Aku tidak mau ada tafsir bebas.” Akash mencoret dan menulis tambahan. Pasal 4: Penetrasi bersifat opsional dan akan berkelanjutan. Notes: Hanya berlaku jika buku yang diterbitkan tidak mencapai seribu pembaca.“Kamu bisa miliki semuanya, Akash Salim. Kecuali harga diri.”Senyum Akash sontak hilang. Sorot matanya berubah dingin menusuk. Perlahan dia berdiri dan menghadap Arvin dengan gestur tegak. Tinggi tubuhnya yang menjulang seolah mengintimidasi Arvin.Sayangnya, Arvin tak takut. Dia justru mencemooh sinis. “Katamu melindungi wanitamu seperti gentleman. Tapi gentleman macam mana yang ngebiarin wanitanya bertarung sendirian di luar sana?”Akash mengernyitkan dahi. Aura mencekam menguar kuat dari Akash.“Kalau memang nggak bisa melindungi dengan baik, jangan sok berakting jadi pelindung, Tuan Akash Salim.”Dalam sekejap, suasana kafe berubah mencekam. Layaknya panggung pertunjukan, Gista menyadari baik Akash maupun Arvin, keduanya pandai memainkan peran. Arvin dengan topeng simpatinya. Dan Akash dengan sikap dinginnya yang mematikan.Kasak-kusuk mulai terdengar dari sekeliling. Gista menghela napas, jengah dengan mejanya yang tiba-tiba menjadi pusat perhatian."Ada hubungan apa kalian berd
“Kenapa harus gagal orgasme, sih?”Gista mengetukkan jari di atas kibor kuat-kuat. Emosinya tumpah di sana. Matanya terpaku ke layar laptop, tetapi pikirannya berkelan kepada Akash Salim.“Cowok brengsek,” gerutunya lirih. “Bisa-bisanya dia main berhenti di tengah jalan.”Helaan napas berat akhirnya keluar. Gista memejamkan mata. Pada akhirnya, tarian jarinya di atas tombol-tombol kibor terhenti sejenak.“Malu banget kemarin.” Tangannya menutupi muka. Detik berikutnya, dia langsung bersikap normal setelah teringat di mana dirinya sekarang.Gista memandang sejenak ke arah trotoar persis di samping tempatnya duduk sekarang. Hanya bersekat dinding kaca tebal, dengan Gista duduk di bagian dalam kafe kecil dan hangat itu, pemandangan orang-orang berjalan cepat menembus gerimis terpampang jelas di depan mata.Malam ini dia sengaja keluar dari rumah. Kepalanya sumpek, efek dua hari penuh memikirkan orgasme yang gagal. Dia memilih menghabiskan malam Minggu di kafe tak jauh dari rumahnya, menc
“Kamu mempermainkan dua pria, tapi aku nggak akan biarkan kamu bisa memilih, Gista.”“Apa maksudmu aku nggak bisa milih?” tanya Gista datar.Akash menoleh. “Karena pilihanmu hanya satu. Hanya aku, Gista.” Perkataan itu terlontar dari mulut Akash setelah mereka berada di dalam mobil. Wajah Akash datar, tetapi hatinya bergejolak oleh kemarahan. Gista dan Arvin saling bersentuhan, berjanji minum bersama, dan tertawa bersama. Bayangan itu membuat darahnya mendidih.Dia mengunci pintu mobil, tetapi tak menyalakan mesin. Parkir bawah tanah sepi karena sudah lewat jam pulang kantor. Akash duduk mematung di belakang kemudi. Dan Gista duduk kaku di sampingnya.“Akash, antar aku pulang dulu.”Namun, Akash bergeming. Tatapannya lurus ke depan. Suaranya dingin, kontras dengan ekspresinya yang tampak malas-malasan.“Bagaimana tokohmu menghukum pasangannya yang berbuat salah?”Kali ini Gista menoleh. “Gio? Dia menghukum Sharna? Untuk apa?”“Karena telah menggoda pria lain.”Mata Gista membelalak,
“Jadi, dia sudah menjadi orang ketiga dalam kontrak kita?”Gista langsung mencengkeram sabuk pengaman. Matanya lurus ke depan, tak melihat ke arah Akash yang menyetir di tengah hujan deras. “Udah kubilang, Kak Arvin cuma rekan kerja biasa.”“Rekan kerja, tapi rela hujan-hujanan datang hanya untuk temani kamu lembur dan antar pulang?”Gista menghela napas panjang. “Cuma dia yang masih baik sama aku, selain Mbak Lola.”“Teman kantor yang lain?”Gista hanya diam. Akash berkedip. Tangannya memutar roda kemudi. “Apartemenku?” tanyanya mengubah topik pembicaraan.“Rumahku,” jawab Gista datar.Akash mengangguk. Begitu tiba di depan rumah wanitanya, Akash berniat memayungi Gista turun. Sayangnya Akash kalah cepat. Gista sudah keluar mobil dan berlari masuk rumah.“Tabletmu ketinggalan lagi.” Akash mendesah pelan saat melihat pintu berdebam menutup. Ponselnya berdering pelan. Gista menelepon.“Nggak usah mampir, Pak Akash. Capek.”“Tab–” Akash tak sempat menyelesaikan ucapan. Telepon di ujun
"Ah!" Satu desahan keras lolos dari mulutnya. Gista langsung membekap mulut dan membelalakkan mata. Dengan wajah merah padam, dia menoleh kanan kiri.“Untung nggak ada orang.” Gista memukul pelan mulutnya sendiri. “Lagian ngapain sih, kaki pakai kejedot meja segala? Yang nggak tahu bisa ngira aku lagi nggak-nggak, nih.”Di luar suara hujan yang turun deras membuat nyali Gista sedikit ciut. Dia menyalakan senter ponsel. Resiko lembur di tengah hujan badai seperti sekarang memang harus siap bila sewaktu-waktu mati lampu.Awalnya Gista memeriksa MCB yang ternyata baik-baik saja. Pas kembali ke meja, dia malah tersandung kaki meja.Pandangan Gista tertuju ke laptop, tetapi bukan tulisan yang dilihatnya, melainkan wajah Akash yang bergairah saat berada di atasnya semalam.“Aku hampir gila mikirin kamu.” Gista meletakkan kepala di meja. “Padahal udah aku cuekin, kenapa masih juga aku mikirin kamu terus?”“Memikirkan apa?”Gista langsung duduk tegak. Jeritan ketakutannya membahana di kantor
[Kenapa ada cowok di sebelahku?] Gista membuka mata dan syok berat. Biasanya dia bangun sendirian. Kini ada seorang …. “AKASH?” Gista langsung menutup mulut. Dia berbalik pelan, berusaha tidak menimbulkan suara, dan kejutan kedua datang. Selimutnya melorot setengah dada. Mata Gista melotot saat menyadari dadanya menyembul keluar. Tak ada pakaian. Hanya selimut yang menutup tubuh. Dan saat itulah, matanya menangkap baju-baju berserakan di lantai. Jantung Gista berdentum kencang. “Sudah bangun?” Tangan Akash melingkari pinggangnya. Gista membeku. “Andai ini Minggu.” Akash menarik Gista merapat padanya. Wajah Gista merah padam saat merasakan ketelanjangan Akash, juga bagian milik pria itu yang terasa keras menekan bagian belakang tubuh Gista. “Aku bisa seharian bersamamu di tempat tidur.” Akash mencium bahu telanjang Gista. “Kamu nggak apa-apa?” Setelah mendengar pertanyaan itu, otak Gista mulai merespons. Memori tubuhnya terbuka, menampilkan ingatan semalam, dan ak