Cheryl melangkah keluar dari lift dengan kepala tegak, meski hatinya masih bergemuruh dengan emosi yang baru saja menyerbunya. Lobi gedung perkantoran elite itu dipenuhi oleh orang-orang berpakaian rapi, lalu lalang dengan langkah cepat, seakan dunia mereka begitu terencana dan terstruktur.Ketukan sepatunya menggema ringan di atas lantai marmer yang mengilap. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengusir kepahitan yang masih tersisa di dadanya. Tidak ada gunanya lagi memikirkan apa yang terjadi di dalam lift tadi. Ia harus melangkah maju.Namun, sebuah suara menghentikan langkahnya."Cheryl?"Ia menoleh.Seorang pemuda berdiri tak jauh darinya, mengenakan kemeja putih yang lengannya sedikit tergulung hingga siku, dipadukan dengan celana bahan gelap yang memberi kesan profesional tetapi tetap santai. Rambutnya yang sedikit berantakan memberi kontras dengan penampilannya yang rapi, seakan kebiasaannya di masa sekolah dulu masih melekat."Axel?" Cheryl sedikit terkejut.Lelaki muda d
“Aku juga tahu, kamu bisa nge-dance. Aku pernah melihat videomu sedang latihan nge-dance K-Pop di hape Chika. Itu juga bisa jadi penampilan yang menarik.”Mulut Cheryl ternganga sedikit, tapi kemudian ia cepat-cepat mengatupkan mulutnya. Ia tidak mengira Axel mengetahui beberapa hal tentang dirinya yang jarang diketahui oleh orang lain.Ia cepat-cepat menggeleng. “Ah, itu cuma iseng, bukan latihan yang serius.” “Tapi bagus kok. Kalau diseriusin latihannya pasti bakal keren.”“Nggak.” Cheryl bersikeras menggeleng. “Tampil di depan orang-orang… itu bukan bagianku. Kalau semua orang maunya tampil, siapa yang jadi penontonnya?”“Kan tampilnya ganti-gantian?” “Ah, pokoknya nggak.”Axel tersenyum, ada sesuatu dalam cara Cheryl menolak yang membuatnya tiba-tiba gemas dan penasaran sekaligus. Di balik segala pencapaiannya selama SMA sebagai ketua OSIS, kala itu ada sisi dirinya yang benar-benar ingin memberikan ruang bagi orang lain untuk berkembang, terutama Cheryl yang sebenarnya memiliki
Di ruang rapat utama yang terletak di lantai 17, para direksi telah berkumpul. Cahaya matahari dari jendela besar menyoroti ekspresi tegang di wajah mereka. Di ujung meja panjang, Bara duduk di kursi eksekutif berbahan kulit yang empuk dengan postur tegap, matanya menyapu seluruh ruangan, membaca ekspresi satu per satu. Rapat dimulai."Kita semua tahu, laporan kuartal ini menunjukkan peningkatan pengguna sebesar 15%, tapi ada juga lonjakan biaya operasional yang cukup signifikan. Saya ingin mendengar solusi dari masing-masing divisi. Pak Aditya, bagaimana dari sisi keuangan?" Suaranya tenang, tetapi membawa beban keputusan besar.Aditya, CFO perusahaan, membuka berkasnya dengan hati-hati. "Kami telah menganalisis pengeluaran terbesar, dan kami menemukan bahwa biaya akuisisi pelanggan naik 20% dibanding kuartal sebelumnya. Kami bisa menekan angka ini dengan mengoptimalkan strategi pemasaran digital, mengurangi ketergantungan pada iklan berbayar, dan lebih fokus pada retensi pelanggan."
"Nina."Bara menyebut nama sekretarisnya dengan nada rendah, nyaris tanpa intonasi. Nina segera mengangkat wajahnya dari tablet yang sejak tadi digunakannya untuk mencatat jadwal, lalu menatap Bara dengan penuh perhatian."Rapat berikutnya… dengan perwakilan perusahaan klien, Pak, di kantor mereka. Mobil sudah siap di lobi," ujar Nina cepat, seolah sudah mengantisipasi pertanyaan Bara.Bara menutup laptopnya dengan satu gerakan tegas, lalu berdiri. "Oke."Seperti biasa, Nina sigap berjalan di sampingnya, mengikuti setiap langkah sang CEO dengan profesionalisme tanpa cela. Bara berjalan dengan langkah tegap, posturnya memancarkan dominasi alami yang membuat orang-orang di sekitarnya refleks menyingkir memberi jalan. Para karyawan yang kebetulan berpapasan dengannya menundukkan kepala hormat, beberapa mencuri pandang dengan penuh kekaguman.Saat ia memasuki lobi, matanya tiba-tiba menangkap sesuatu yang membuat langkahnya sedikit melambat.Cheryl.Di dalam coffee shop sana, wanita itu
Matahari mulai condong ke barat, menciptakan cahaya keemasan yang jatuh di antara gedung-gedung tinggi. Udara terasa hangat dengan angin sepoi-sepoi yang sesekali berembus. Cheryl melangkah di samping Axel, menyadari bahwa ini adalah pertemuan pertama mereka setelah beberapa tahun tak bertemu sejak kelulusan SMA. Ada kehangatan dalam percakapan mereka, sesuatu yang akrab namun juga terasa sedikit asing.Axel memasukkan tangannya ke dalam saku celana, berjalan santai di samping Cheryl. "Aku masih tak percaya kita bertemu lagi setelah sekian lama," katanya sambil melirik ke arahnya.Cheryl tersenyum kecil. "Aku juga. Rasanya seperti kebetulan yang aneh."Axel terkekeh. "Atau mungkin semesta memang bekerja dengan caranya sendiri?"Cheryl menoleh padanya, mengangkat alis. "Kamu jadi percaya takdir sekarang?"Axel mengangkat bahu, matanya masih menatapnya dengan sorot iseng yang khas. "Mungkin. Terutama jika itu berarti aku bisa bertemu teman lama yang dulu selalu membuatku penasaran."Ch
Cheryl melangkah lesu ke dalam rumah megah milik Bara. Aroma khas kayu cendana dan sedikit jejak wangi kopi yang tersisa di udara tidak cukup untuk mengangkat semangatnya. Langkahnya terasa berat saat melewati koridor menuju dapur, tempat Mimi biasanya mengawasi pekerjaan para staf.Saat Cheryl tiba di ambang pintu dapur, Mimi yang tengah merapikan meja langsung menoleh. Raut wajahnya yang lembut segera menangkap perubahan suasana hati Cheryl. Dengan cepat, wanita setengah baya itu menghampiri Cheryl dan menyentuh lengannya dengan penuh perhatian."Nona Cheryl. Ada apa?" tanya Mimi dengan nada keibuan.Cheryl menunduk, menggigit bibirnya sebelum menjawab dengan suara lemah. "Bara sudah mencoba masakan yang aku buat… tapi dia hanya mencicipi sedikit dan membuang sisanya."Mimi menghela napas pelan, lalu menuntun Cheryl ke kursi di sudut dapur. Ia mengambil teko berisi teh hangat dan menuangkannya ke dalam cangkir, mendorongnya ke hadapan Cheryl. "Minum dulu, Nona. Kamu sudah berusaha s
Udara malam menyelimuti bagian sisi halaman rumah Bara yang luas dengan keheningan, yang hanya sesekali dipecah oleh gemericik air dari pancuran kecil di kolam. Cheryl duduk di tepi kolam dengan punggung sedikit membungkuk, kedua lengannya melingkari lutut, menatap pantulan wajahnya di permukaan air yang jernih. Cahaya bulan jatuh samar ke permukaan, menciptakan ilusi gerakan setiap kali angin berembus pelan. Di dalam kepalanya, pikiran berputar tentang Axel. Tentang janji yang ia ucapkan dengan nada penuh keyakinan—akan membantunya mendapatkan pekerjaan di Bintang Hospital. Harapan Cheryl bertumpu pada janji itu. Bukan sekadar untuk mengisi waktu atau mencari kesibukan, tapi untuk sesuatu yang lebih dalam. Harga diri. Keinginannya untuk tidak sekadar menjadi penghuni pasif di rumah Bara, seorang istri dalam nama tanpa fungsi nyata. Ia butuh pijakan, sesuatu yang bisa membuktikan bahwa dirinya lebih dari sekadar aksesori dalam kehidupan Bara.Dering nyaring tiba-tiba memecah kehe
Bara memasuki halaman rumahnya dengan langkah tegap. Malam telah jatuh sempurna, memandikan setiap sudut bangunan megah itu dalam cahaya lampu-lampu kristal yang menggantung dari langit-langit tinggi. Pilar-pilar kokoh menopang balkon di lantai dua, memberikan kesan aristokratik yang angkuh. Dinding-dindingnya dipenuhi kaca besar yang memantulkan kilauan lampu taman, sementara lantai marmer yang mengilap menjadi alas yang menyerap langkah-langkahnya yang tenang namun penuh ketegasan.Di dalam, aula luas menyambut dengan kemewahan yang hampir berlebihan. Langit-langit tinggi dihiasi ukiran detail berwarna emas, memberikan sentuhan klasik yang elegan. Sofa berbahan kulit asli tertata sempurna di ruang tamu, menghadap perapian yang hanya sesekali dinyalakan untuk menambah atmosfer. Aroma mawar dari vas kristal di atas meja panjang tercium samar, menciptakan perpaduan sempurna antara kemegahan dan kehangatan.Niat Bara untuk segera mencari Cheryl terhenti ketika matanya menangkap sosok
Milena terpana di atas kursi rodanya. Ia duduk tegak, punggung lurus seolah tak ingin memberi celah sedikit pun bagi rasa lemah untuk terlihat. Jari-jarinya yang terletak di pangkuan sempat mengepal, namun segera ia renggangkan kembali dengan tenang, menjaga penampilannya tetap anggun.“Dari mana kamu mendapat cincin dan kalung itu, Cheryl?” ucapnya lirih.Nada suaranya tak meninggi, tapi mengandung ketegasan yang dingin dan menusuk. Tidak perlu berteriak. Kalimat itu meluncur ringan, namun cukup nyaring terdengar.Hening mendadak menyelimuti udara, bersama semua mata yang kini memandang ke arah Cheryl.Sorot mata Milena tajam, dingin, dan menyala dengan kekecewaan yang berusaha ia redam. Tubuhnya mungkin tak mampu melangkah mendekat, tapi keangkuhan dan harga dirinya tetap tegak berdiri. Kepalanya sedikit dimiringkan, seolah tengah menilai seseorang yang telah melewati batas.“Itu… milikku,” lanjutnya dengan suara yang sedikit lebih berat. “Bara membelikannya untukku di Paris. Kamu m
Di dapur, Cheryl tersentak. Suara Bara terdengar jelas, bulat, dan tanpa ragu. Kalimat itu, “Dia sangat berharga untukku,” menghempas dirinya seperti angin kencang yang datang tanpa aba-aba.Tubuhnya membeku, seolah waktu berhenti tepat saat kalimat itu mengalun dari bibir pria yang diam-diam telah menjadi pusat dari segala yang ia jaga. Dadanya bergetar hebat, seolah jantungnya menabrak dinding rusuk berulang kali. Sebuah rasa hangat meledak dari dalam dadanya, menyebar cepat hingga membuat jemarinya gemetar dan kakinya nyaris tak berpijak. Ia tak pernah berani membayangkan akan mendengar pengakuan itu secara terbuka. Dan ketika itu terjadi… rasanya terlalu indah untuk menjadi nyata.Namun kebahagiaan itu tak datang sendirian.Secepat gelombang hangat itu menyapu tubuhnya, datang pula dingin yang menggigit, mencengkeram tengkuknya dengan kuku-kuku tajam bernama ketakutan. Ditambah, suara berat Tuan Sigit yang menyusul kemudian, menyayat udara seperti belati.“Cheryl berharga? Seber
Di ruang makan, semua mata kini tertuju pada Bara. Sorot terkejut tergambar jelas di wajah Tuan Sigit. Bahkan, Nyonya Dania yang semula tertawa ringan, kini mematung dalam diam. Tapi yang paling mencolok adalah Milena, tangannya yang semula santai menggenggam pegangan kursi rodanya kini menegang. Jari-jarinya mencengkeram plastik pelapis kursi seperti mencoba mencari pegangan atas realita yang tiba-tiba berubah dingin.Bara menatap ke depan, tak bergerak. Biarpun dalam dadanya berdegup kencang, namun wajahnya tetap tenang, seperti topeng yang sudah lama ia pelajari untuk dikenakan. Ia tahu apa yang baru saja ia ucapkan bisa menimbulkan riak yang lebih dari sekadar kemarahan orangtua Milena dan kakeknya. Tapi prioritasnya saat ini adalah mempertahankan Cheryl. Masih lekat dalam ingatannya ketegaran yang ia lihat di mata wanita itu ketika berpaling, adalah sesuatu yang tak bisa lagi ia abaikan. Tidak. Bara tak ingin kehilangan Cheryl, tidak sekarang atau besok. Jika ia harus melawan
Air hangat yang menyapu kulitnya seperti selimut lembut dari langit, membuat Cheryl perlahan merasa tenang. Uap tipis memenuhi kamar mandi, membungkus tubuhnya dalam kehangatan, cukup menenangkan badai yang bergemuruh dalam pikirannya. Ia menutup mata, membiarkan air itu jatuh dari bahunya, meresap hingga ke pori-pori, seakan bisa membilas luka yang tinggal karena pernikahan sirinya dengan Bara kini berada di ujung jurang.Cheryl lelah. Letih yang tak lagi bisa ditawar. Dan kali ini, ia memilih menyerah. Karena apa gunanya mempertahankan sebuah ikatan yang bahkan hukum pun tidak mengakuinya? Terlebih, Bara telah resmi bertunangan dengan Milena. Di depan keluarga besar mereka, di hadapan dunia. Cheryl kalah. Dan kekalahan itu terasa begitu nyata, seperti pecahan kaca yang menusuk setiap inci hatinya.Selesai mandi, Cheryl melangkah pelan ke arah lemari. Jemarinya menyentuh gaun-gaun indah, pakaian serba mahal yang dibelikan Bara, yang pernah membuatnya merasa dicintai, membuatnya sep
Bara menggertakkan rahang. Rasanya, ia ingin sekali membanting pintu dapur, berteriak, bahkan mengusir semua orang dari rumah ini. Tapi ia tahu, semua itu hanya bisa ia lakukan dalam khayalannya saja. Ia menunduk sejenak, mengatur napas. Menelan bulat-bulat kekecewaan yang belum sempat ia sembuhkan pagi ini. Kemudian, ia meletakkan kembali nampan ke atas meja. Matanya masih menatap makanan yang ingin ia sajikan untuk Cheryl itu beberapa detik, penuh rasa berat yang tak terkatakan, sebelum akhirnya ia berbalik dan berjalan menuju ruang tamu. Setiap langkahnya bergema dalam kesunyian rumah, dan setiap detik terasa seperti pengkhianatan terhadap niat awalnya hari ini, yang ingin mempersembahkan waktunya penuh untuk Cheryl. Tapi kini ia harus menghadapi sesuatu yang tak ia undang. Begitu sampai di ambang ruang tamu, Bara menarik napas dalam-dalam. Ia menegakkan tubuh, mengatur raut wajah, dan melangkah masuk. Tuan Sigit berdiri dengan angkuh, seperti biasa. Di sebelahnya, Milen
Cahaya pagi yang samar menyusup melalui sela tirai, mengguratkan warna keemasan di dinding kamar. Cheryl mengerjapkan mata pelan, merasakan sisa perih di sudut-sudutnya. Tubuhnya masih berat, pikirannya buram. Tapi saat pandangannya mulai fokus, jantungnya terhenti sejenak ketika menyadari bahwa Bara adalah sosok yang pertama kali ia lihat hari ini.Lelaki itu duduk di sisi tempat tidur, diam, menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan, antara penyesalan dan kelegaan.Cheryl tersentak bangun, napasnya tercekat. Untuk sesaat, begitu saja, ia hampir merentangkan tangan, ingin menarik lelaki itu dalam pelukannya, mencari hangat yang dulu selalu menenangkan. Tapi kesadaran datang seperti tamparan keras.Lelaki ini... lelaki inilah yang membuatnya lelah menangis semalaman."Kenapa kamu di sini?" suaranya serak, hampir berbisik, lebih kepada dirinya sendiri daripada untuk didengar Bara.“Aku… nggak mau jauh dari kamu. Aku mau kamu tetap sama aku, Cheryl. Apapun yang terjadi. Demi kamu,
Cheryl tak langsung menyalakan lampu saat memasuki kamarnya. Ia berdiri dalam gelap, membiarkan sepi menyambutnya seperti pelukan dingin dari dunia yang telah kehilangan warna.Napasnya membeku di udara, berat dan tersendat, seolah paru-parunya pun enggan menerima kenyataan. Yang paling menyakitkan bukanlah ditinggalkan, melainkan kenyataan bahwa ia sendirilah yang memilih pergi dari pria yang masih ia cintai, tapi tak sanggup lagi ia percaya.Ia teringat pada hari pertama ia mengizinkan dirinya mencintai Bara. Pada senyum lembut pria itu. Pada pelukan hangatnya yang dulu terasa seperti rumah. Tapi kini semua kenangan itu terasa seperti belati, menyayat tanpa ampun.Cheryl perlahan merosot ke lantai, membiarkan tubuhnya ambruk dalam keheningan yang memekakkan. Tangannya terulur ke arah ranjang… tempat di mana ia pernah menyerahkan seluruh dirinya, bukan hanya tubuh, tapi juga cinta, keyakinan, dan kehormatan.Masih terngiang bagaimana malam pertama mereka terjadi hari itu…"Bara. Kita
“Bertunangan dengan Milena bukan keputusan hatiku. Itu keputusan keluarga. Mereka menyatukan dua perusahaan besar melalui pertunangan itu, dan aku… aku terlalu lemah untuk menolaknya. Tapi aku bersumpah, Cheryl, tidak sedetik pun aku mencintai Milena. Hanya kamu, Sayang. Cuma kamu yang kucintai.”Ucapan itu menghantam Cheryl seperti badai yang tak bisa dihindari. Meski suara Bara bergetar, penuh penyesalan, hatinya tetap menolak untuk luluh. Pria itu berdiri di hadapannya, memohon dimengerti. Namun yang Cheryl rasakan hanya sesak. Seolah seluruh dadanya dihantam palu kebenaran yang selama ini coba ia tolak.Tubuhnya mulai gemetar. Bukan hanya karena marah atau kecewa, tapi karena sesuatu dalam dirinya mulai goyah. Dinding-dinding yang selama ini ia bangun rapat untuk menjaga hatinya tetap aman, kini retak perlahan.“Jika aku terang-terangan melawan Opa, Apex bisa hancur sebentar lagi… sebab untuk saat ini, aku masih membutuhkan Opa untuk membuat Apex tetap berdiri. Opa akan membantuku
Begitu Bara melangkah masuk ke dalam kamar mereka, ia menutup pintu perlahan dengan kakinya, membiarkan sunyi mengalir mengisi ruangan.Lampu di langit-langit memancarkan cahaya hangat, membungkus ruangan dalam bayangan keemasan. Namun, di balik kehangatan yang tampak, ada hawa dingin yang perlahan menggerogoti perasaan Cheryl. Dulu, ruangan ini terasa hidup oleh kebersamaan mereka, penuh dengan canda, tawa, dan detak cinta yang nyata. Tapi kini ruangan ini tak lebih seperti kurungan bagi Cheryl.Kamar ini memang pernah menjadi tempat perlindungan teraman bagi Cheryl. Tempat di mana tawa dan bisikan penuh cinta pernah mengisi setiap sudutnya. Tempat di mana ia bisa merasa dimiliki, dicintai, dan dicari. Tempat yang selama beberapa hari ini ia rindukan.Namun kini, setelah kembali ke kamar ini lagi… hatinya justru teriris pedih. Fakta tentang pertunangan Bara dan Milena kembali terasa menghujam jantungnya. Sebentar lagi, kamar ini mungkin tak lagi menjadi milik mereka berdua. Akan a