“Ini rumah kamu?”
Pertanyaan itu membuat Mentari menaikkan satu alisnya dan mengangguk. Dia melepaskan sabuk pengamannya dan menghembuskan napas lega secara samar. Akhirnya, perjalanan yang harus ditempuh selama kurang lebih sepuluh menit dan terasa seperti di kuburan itu berakhir juga. Bagaimana tidak seperti di kuburan, kalau suasananya sangat mencekam? Tidak ada satu pun di antara Senja dan Mentari yang saling berbicara dan aura Senja terasa menyesakkan dada bagi Mentari. Terlebih, hujan juga masih turun dengan derasnya.
“Kenapa gitu, Pak?” Mentari balas bertanya. Hujan saat ini sudah berkurang intensitasnya, sehingga Mentari merasa tidak masalah jika harus menerobos dari tempatnya saat ini menuju ke dalam rumah. Sesampainya di rumah nanti, dia akan berendam air panas untuk merilekskan otot-otot tubuhnya dan menjernihkan pikirannya. “Ya, mungkin dibandingin sama rumah Bapak, rumah saya emang nggak ada apa-apanya.”
“Saya nggak bilang kalau rumah kamu kecil, Mentari,” sahut Senja dengan nada bete. Dia tetap menatap ke arah rumah sederhana Mentari. Jemarinya mengetuk kemudi mobil dengan berirama. “Sebaliknya, menurut saya, rumah kamu terlihat sangat nyaman dan memiliki halaman yang asri. Saya tidak tau kalau kamu menyukai motor besar seperti itu.”
Mentari mengerjap dan mengikuti arah pandang Senja. Lalu, dia mendesah secara berlebihan, menarik perhatian Senja. “Bapak yang benar aja, dong. Masa cewek semungil saya begini naik motor segede gitu? Mana sampai kaki saya nyentuh aspal. Itu motor sahabat saya. Dia pasti lagi main ke rumah buat ketemu sama kakak saya.”
“Sahabat kamu berarti cowok? Pacaran sama kakak kamu?”
“Kakak saya cowok, Pak. Dan ya, sahabat saya itu cowok.” Mentari menyipitkan mata. “Bapak kenapa kepo banget deh dari tadi? Emangnya boleh, ya, seorang bos nanya-nanya masalah pribadi sekretarisnya?”
“Ngapain juga saya buang-buang waktu untuk kepoin kamu, Mentari?”
Dih? Tadi kan dia nanya-nanya terus sama gue. Berarti kan dia kepo. Emang bunglon ini orang. Heran. Kesehatan mentalnya perlu diperiksa kayaknya. Mentari membatin, tapi tidak berkata apa-apa lagi. Soalnya, semakin dia meladeni ucapan bosnya itu, semakin dia akan menderita penyakit hipertensi akibat tekanan darahnya yang meningkat drastis.
“Kalau gitu, saya masuk ya, Pak. Makasih karena udah berbaik hati memaksa saya untuk naik ke mobil ini dan memaksa untuk mengantarkan saya pulang.” Mentari berkata seraya mengangguk, kemudian buru-buru membuka pintu mobil. Namun, tiba-tiba saja cewek itu merasa lengannya dicekal, membuatnya menoleh dan mengerutkan kening saat menyadari Senja lah yang melakukan hal tersebut.
Ya iyalah pasti si bos rese ini yang megang tangan gue, masa hantu? Mentari membatin.
“Di luar masih hujan, Mentari,” kata Senja kemudian. “Kamu nggak bisa telepon orang di dalam rumah kamu, kakakmu atau sahabatmu mungkin, buat minta tolong antarkan payung ke sini?”
“Dan berpotensi ngeliat Bapak, gitu?” Mentari menggeleng dan menarik pelan namun tegas tangannya dari cekalan Senja. “Makasih deh, Pak. Mendingan saya turun dan mandi hujan sekalian.”
Sikap Mentari dan kalimatnya barusan membuat ego Senja sedikit tersenggol. Cowok itu bersedekap dan memiringkan kepala. Matanya menatap tajam ke arah Mentari yang kini terlihat mulai gugup di tempatnya. Sepertinya Mentari baru menyadari betapa salahnya kalimatnya barusan.
“Maksud kamu ngomong kayak barusan apa, Mentari?” tanya Senja dengan alis terangkat satu. Kalau tatapan bisa membunuh, Mentari yakin dirinya sudah tewas detik ini juga. Ya Tuhan. Boleh tidak sih dia mencolok mata menyeramkan itu dengan jari telunjuknya? Nggak akan sampai membuat bola mata bosnya ini keluar dari rongganya kan, ya? Mungkin tidak, tapi potensi dirinya dipenjarakan oleh si bos keluaran neraka sepertinya akan besar sekali. “Kamu nggak suka kalau ada orang lain yang melihat kamu sedang bersama dengan saya? Kenapa? Sahabatmu itu sebenarnya pacar kamu?”
“Enak aja! Samudra itu sahabat saya dari kecil, bukan pacar saya! Dan lagi, saya bukannya nggak mau dipergoki sama orang-orang kalau lagi sama Bapak. Kakak saya itu orang yang cukup galak dan kelewatan protektifnya. Salah-salah, Bapak bisa dituduh pedofil sama kakak saya dan berakhir mengenaskan.”
Kening Senja mengerut. Rasa kesal itu mulai memenuhi dadanya. Benar-benar si Mentari ini. Semua yang keluar dari mulutnya tidak ada yang pernah disaring dan tidak ada yang beres sama sekali. Mungkin itu hasil sinkronisasi dengan otaknya. Menahan sabar, Senja menarik napas panjang dan memijat pangkal hidungnya.
“Mentari, pedofil itu kalau saya menyukai anak-anak kecil atau anak-anak di bawah usia tujuh belas tahun,” jelas Senja dengan sabar, seperti sedang menjelaskan kepada seorang anak TK bahwa satu ditambah satu sama dengan dua. “Kamu ini udah dua puluh lima tahun, kan? Kalau saya suka sama kamu, itu nggak bisa disebut pedofil karena kamu sudah dewasa dan matang.”
“Tetap aja, Pak. Saya kan sepuluh tahun lebih muda dari Bapak. Bapak udah tua, tau! Bentar lagi kepala empat!”
“Sejak saya lahir, kepala saya hanya satu.”
Mentari ingin sekali berteriak dan melempar sandalnya ke wajah tampan namun menyebalkan milik Senja Abimana ini. Sayangnya, sekali lagi, hal itu akan berakhir di meja interogasi kantor polisi karena pasti Senja akan melaporkannya.
“Terserah Bapak deh, ah, saya pusing.”
Senja menyeringai tipis. Merasa sedikit terhibur karena berdebat dengan sekretarisnya itu dan berhasil membuatnya darah tinggi. Cowok itu kemudian mengambil sesuatu dari kursi belakang dan menyerahkannya ke pangkuan Mentari. Tentu saja Mentari mengerjap ketika melihat benda kepunyaan milik Senja itu sudah bertengger manis di pangkuannya. Sebuah jaket berwarna hitam.
“Ini apa, Pak?” tanya Mentari dengan nada polos, sepolos tatapan matanya saat ini.
“Saya benar-benar nggak menyangka kalau kamu nggak pernah melihat jaket sebelumnya,” geleng Senja. Gelengan yang bersifat mengejek, membuat darah Mentari kembali didihkan di atas kompor.
Arrrgh! Emang dasar bos sialan!
“Saya tau kalau ini jaket, Pak!” gerutu Mentari. “Maksud saya, kenapa Bapak kasih jaket ini ke saya. Bapak serius mau kasih jaket mahal ini untuk saya?”
“Saya meminjamkan, bukan memberi.” Senja menunjuk kepala Mentari. “Pakai jaket ini untuk menutupi kepala kamu, supaya kamu nggak sakit nantinya. Saya butuh kamu di kantor saya hari Senin lusa. Kalau kamu sampai sakit karena hujan ini, pekerjaan saya nantinya akan keteter dan saya nggak sudi kalau sampai hal itu terjadi. Kamu juga tentunya nggak mau, kan, kalau gaji kamu sampai harus saya potong karena menelantarkan pekerjaan?”
Mentari ingin sekali menyuarakan protes, kalau orang yang sedang sakit itu bukan menelantarkan pekerjaan namanya, tapi dia ogah mengorbankan kewarasannya lebih lanjut. Alhasil, Mentari hanya mengangguk dan langsung menutupi kepalanya dengan menggunakan jaket tersebut.
“Sekali lagi, makasih ya Pak udah menculik saya dari supermarket dan mengembalikan saya ke rumah orang tua saya,” Mentari mengangguk. Dia membuka pintu mobil dan buru-buru berlari ke arah rumahnya. Lalu, seseorang membukakan pintu dan terlihat sangat cemas ketika melihat keadaan Mentari yang baru saja berlari di bawah hujan.
Membuat Senja menaikkan satu alisnya dari dalam mobil dan jemarinya kembali mengetuk kemudi mobil.
“Hm... jadi anak ingusan kayak gitu yang berstatus sebagai sahabatnya Mentari?” gumam Senja. Dia mengedikan bahu dan menatap ke depan. “Sama-sama jenis manusia yang menyebalkan.”
Ketika pintu rumahnya dibuka dari dalam, Mentari sempat terlonjak, kemudian bersikap normal kembali. Cewek itu bahkan tidak menyadari bahwa mobil bosnya masih berada di tempatnya, di depan pagar rumahnya. Dia menurunkan jaket milik bosnya itu dari atas kepala, kemudian mengeringkan tubuh dan pakaiannya dengan menggunakan tangannya. “Kenapa nggak minta dijemput sih, Tar?” tanya Samudra Pratama dengan nada heran. Dia mengambil alih kantung belanjaan yang dipegang oleh sahabatnya sejak SD itu, kemudian menatap jaket yang sedang dipegang oleh Mentari. “Terus, itu jaket siapa? Itu jaket cowok, kan? Gue juga tadi ngeliat dari jendela lo turun dari mobil sedan.” “Gue kan nggak tau kalau lo lagi main ke rumah. Masa iya gue nelepon dan nyuruh lo untuk jemput gue di supermarket, di saat lo mungkin lagi santai-santai di rumah atau lagi nge-date sama cewek?” Mentari kemudian memperlihatkan jaket di tangannya. “Ini jaketnya bos gue di kantor. Tadi gue nggak seng
Suara kasak-kusuk di sekitarnya membuat Mentari mati kutu. Cewek itu memasukkan ponselnya ke saku celana olahraga dan buru-buru menyeka air mata yang berjatuhan di kedua pipi gembil si anak. Dia meringis dan menggeleng ke arah orang-orang di sekitarnya, yang seolah menuduhnya sudah membuat si anak menangis. Mentari memberitahu mereka secara tersirat kalau dirinya tidak tahu apa-apa mengenai anak yang menangis ini. “Hei, sst,” bujuk Mentari. Dia tersenyum dan menangkup wajah si anak. “Ada apa, hm? Kenapa kamu nangis? Kamu kepisah sama mama kamu? Ingat nggak terakhir kali kamu sama orang tua kamu ada di mana?” tanya Mentari bertubi-tubi. Setelahnya dia sadar, dia sudah menanyakan berbagai macam pertanyaan kepada anak berusia sekitar empat sampai lima tahun yang sedang menangis, yang pastinya tidak bisa anak itu mengerti. “Mama... hiks....” “Iya, Sayang. Aku tau. Tapi, mama kamu di—“ Belum selesai Mentari berbicara, suara benda
Reaksi dan raut wajah Mentari Chrysalis saat ini membuat Senja Abimana mengulum senyum. Memangnya ada yang salah dengan dirinya yang seorang duda dan sudah memiliki satu anak? Atau, Mentari menganggap dirinya belum menikah karena wajahnya ini? Lantas, semua orang yang memiliki wajah tampan seperti dirinya itu sudah pasti belum menikah, begitu? Lucu sekali pemikiran Mentari ini. “Duda?!” teriak Mentari kemudian dengan mata terbelalak. Senja berdecak dan mendekati Mentari. Dia menarik tangan Mentari, membawa tubuh Mentari mendekat ke arahnya hingga Senja bisa menghirup aroma parfum Mentari yang begitu manis dan memabukkan. Untuk sesaat, pikirannya mendadak konslet karena tahu-tahu saja, dia berpikir seperti apa rasanya jika dia mendaratkan hidungnya pada leher jenjang dan putih yang mengeluarkan aroma manis itu.&n
Teriakan Mentari itu membuat Senja mematung. Posisinya masih sangat dekat dengan Mentari. Mereka bisa dibilang berbagi hela napas bersama. Jarak bibir keduanya mungkin hanya satu hingga dua senti saja. Kekesalan Senja seketika terbit. Sebagai cowok dewasa yang sangat percaya diri pada penampilan dan wajahnya, Senja tidak terima karena kalimat Mentari barusan. Jika Senja mau, dia bisa menjentikkan jari dan semua cewek pasti akan berkumpul untuk mencium bibirnya. Tapi, Mentari? Cewek tengil itu seolah-olah memiliki alergi terhadapnya. Karena kekesalannya itulah, Senja langsung mencium pipi Mentari. Mengenai sudut bibirnya. Memang niat awalnya hanyalah mencium pipi Mentari, bukan bibir. Tapi, Mentari sudah salah mengambil kesimpulan dan seenaknya saja berteriak. Ciuma
“Nggak bisa, Sen! Lo harus tau kalau Pak Surya itu orang yang peka. Dia juga benci sama pembohong. Hanya dalam satu kali lirikan, dia bakalan langsung tau kalau lo sama sekretaris mungil lo ini bukanlah sepasang suami-istri.” Awan Bagaskara, sahabat dekat Senja sejak keduanya masih duduk di bangku SMA sekaligus pemilik perusahaan keluarga besarnya yang sudah lama menjalin kerjasama dengan perusahaan Senja, berkomentar. Dia sedang berkunjung ke kantor Senja untuk mengajaknya makan siang, kemudian tidak sengaja mendengar percakapan di antara Senja dan Mentari sang sekretaris. Dari situ, Awan tahu bahwa Surya Sanjaya, pria berusia enam puluh lima tahun, seorang pengusaha sukses yang selalu muncul di majalah bisnis, televisi dan sebagainya, mendapatkan banyak penghargaan dari pencapaian-pencapaiannya, ingin bertemu dengan Senja untuk membicarakan pekerjaan. Ada kemungkinan, Surya Sanjaya juga ingin melakukan kerjasama dengan Senja. Sialnya, pria itu tahu bahwa Senja sudah memi
Suasana canggung dan tegang itu tercipta, membuat Mentari panas-dingin di tempatnya. Dia menyesal karena sudah menyuarakan isi pikirannya, walaupun Mentari sendiri tidak sadar sudah melakukannya. Cewek itu berdiri dari duduknya, lantas menunduk. Tidak berani menatap Senja yang terlihat sangat marah kepadanya. Awan yang juga menyadari kemarahan Senja, langsung ikut berdiri dan buru-buru mengambil alih situasi. Dia mendekati sahabatnya, kemudian menepuk pundaknya beberapa kali. Senyumnya muncul ke permukaan. “Sen, udah. Dia pasti nggak sengaja ngomong kayak tadi dan gue yakin, dia nggak punya maksud buruk.” Senja menepis tangan Awan dari pundaknya dan tidak menggubris ucapan sahabatnya itu. Dia masih saja memberikan tatapan tajam dan dinginnya untuk Mentari yang semakin menciut di tempatnya. Mentari yang sadar bahwa dia belum meminta maaf, buru-buru melakukan hal tersebut. “Mm, maaf Pak Senja. Saya benar-benar nggak bermaksud ngomong kayak
Mentari terkesiap, ketika dia menyadari apa yang baru saja dia ucapkan di hadapan bos galaknya itu. Cewek itu meringis dan berdeham. Dia jadi salah tingkah. Mentari bingung harus bersikap bagaimana, hingga yang dilakukannya hanyalah mengajak Angelica mengobrol dan sesekali melirik ke arah Senja yang sejak tadi hanya diam saja. Menatapnya bak hewan buruan. Bak seorang kelinci. Di tempatnya, Senja mendesah berat dan berkacak pinggang. Cowok itu menunduk dan nampak berpikir. Mungkin benar kata Awan, dia sudah bersikap sangat keterlaluan kepada Mentari, hingga sekretarisnya itu sangat terkejut akan permintaan maafnya barusan. Senja juga menyadari kedua mata Mentari yang memerah, yang menandakan bahwasannya, mungkin saja, Mentari sempat menangis akibat ucapannya sebelum ini.&
“Honeymoon?!” seru Mentari, ketika kekagetannya sudah mereda. Sungguh, mereka hanya akan menjadi pasangan suami-istri pura-pura di hadapan Surya Sanjaya. Lantas, kenapa bos galaknya ini justru membicarakan masalah bulan madu segala? Apa... apa sebenarnya Senja Abimana ingin memiliki tubuhnya? Menggerayanginya? Benar-benar ingin menaruh janin di dalam rahimnya?! Serius?! Bos galaknya itu punya hasrat seksual terpendam untuknya?! Sadar jika pikiran di dalam kepala mungil Mentari itu sudah melantur ke mana-mana, ditambah pula dengan tatapan bak pisau yang dilemparkan oleh cowok bernama Samudra yang mengaku sahabat dari Mentari, Senja buru-buru berdeham. Dia juga tahu, dia sudah salah mengucapkan kalimat, hingga membuat Mentari salah paham. Tapi, Senja juga tidak ingin memperbaiki ucapannya atau menjelaskan maksud perkat