Share

#03

“Ini rumah kamu?”

            Pertanyaan itu membuat Mentari menaikkan satu alisnya dan mengangguk. Dia melepaskan sabuk pengamannya dan menghembuskan napas lega secara samar. Akhirnya, perjalanan yang harus ditempuh selama kurang lebih sepuluh menit dan terasa seperti di kuburan itu berakhir juga. Bagaimana tidak seperti di kuburan, kalau suasananya sangat mencekam? Tidak ada satu pun di antara Senja dan Mentari yang saling berbicara dan aura Senja terasa menyesakkan dada bagi Mentari. Terlebih, hujan juga masih turun dengan derasnya.

            “Kenapa gitu, Pak?” Mentari balas bertanya. Hujan saat ini sudah berkurang intensitasnya, sehingga Mentari merasa tidak masalah jika harus menerobos dari tempatnya saat ini menuju ke dalam rumah. Sesampainya di rumah nanti, dia akan berendam air panas untuk merilekskan otot-otot tubuhnya dan menjernihkan pikirannya. “Ya, mungkin dibandingin sama rumah Bapak, rumah saya emang nggak ada apa-apanya.”

            “Saya nggak bilang kalau rumah kamu kecil, Mentari,” sahut Senja dengan nada bete. Dia tetap menatap ke arah rumah sederhana Mentari. Jemarinya mengetuk kemudi mobil dengan berirama. “Sebaliknya, menurut saya, rumah kamu terlihat sangat nyaman dan memiliki halaman yang asri. Saya tidak tau kalau kamu menyukai motor besar seperti itu.”

            Mentari mengerjap dan mengikuti arah pandang Senja. Lalu, dia mendesah secara berlebihan, menarik perhatian Senja. “Bapak yang benar aja, dong. Masa cewek semungil saya begini naik motor segede gitu? Mana sampai kaki saya nyentuh aspal. Itu motor sahabat saya. Dia pasti lagi main ke rumah buat ketemu sama kakak saya.”

            “Sahabat kamu berarti cowok? Pacaran sama kakak kamu?”

            “Kakak saya cowok, Pak. Dan ya, sahabat saya itu cowok.” Mentari menyipitkan mata. “Bapak kenapa kepo banget deh dari tadi? Emangnya boleh, ya, seorang bos nanya-nanya masalah pribadi sekretarisnya?”

            “Ngapain juga saya buang-buang waktu untuk kepoin kamu, Mentari?”

            Dih? Tadi kan dia nanya-nanya terus sama gue. Berarti kan dia kepo. Emang bunglon ini orang. Heran. Kesehatan mentalnya perlu diperiksa kayaknya. Mentari membatin, tapi tidak berkata apa-apa lagi. Soalnya, semakin dia meladeni ucapan bosnya itu, semakin dia akan menderita penyakit hipertensi akibat tekanan darahnya yang meningkat drastis.

            “Kalau gitu, saya masuk ya, Pak. Makasih karena udah berbaik hati memaksa saya untuk naik ke mobil ini dan memaksa untuk mengantarkan saya pulang.” Mentari berkata seraya mengangguk, kemudian buru-buru membuka pintu mobil. Namun, tiba-tiba saja cewek itu merasa lengannya dicekal, membuatnya menoleh dan mengerutkan kening saat menyadari Senja lah yang melakukan hal tersebut.

            Ya iyalah pasti si bos rese ini yang megang tangan gue, masa hantu? Mentari membatin.

            “Di luar masih hujan, Mentari,” kata Senja kemudian. “Kamu nggak bisa telepon orang di dalam rumah kamu, kakakmu atau sahabatmu mungkin, buat minta tolong antarkan payung ke sini?”

            “Dan berpotensi ngeliat Bapak, gitu?” Mentari menggeleng dan menarik pelan namun tegas tangannya dari cekalan Senja. “Makasih deh, Pak. Mendingan saya turun dan mandi hujan sekalian.”

            Sikap Mentari dan kalimatnya barusan membuat ego Senja sedikit tersenggol. Cowok itu bersedekap dan memiringkan kepala. Matanya menatap tajam ke arah Mentari yang kini terlihat mulai gugup di tempatnya. Sepertinya Mentari baru menyadari betapa salahnya kalimatnya barusan.

            “Maksud kamu ngomong kayak barusan apa, Mentari?” tanya Senja dengan alis terangkat satu. Kalau tatapan bisa membunuh, Mentari yakin dirinya sudah tewas detik ini juga. Ya Tuhan. Boleh tidak sih dia mencolok mata menyeramkan itu dengan jari telunjuknya? Nggak akan sampai membuat bola mata bosnya ini keluar dari rongganya kan, ya? Mungkin tidak, tapi potensi dirinya dipenjarakan oleh si bos keluaran neraka sepertinya akan besar sekali. “Kamu nggak suka kalau ada orang lain yang melihat kamu sedang bersama dengan saya? Kenapa? Sahabatmu itu sebenarnya pacar kamu?”

            “Enak aja! Samudra itu sahabat saya dari kecil, bukan pacar saya! Dan lagi, saya bukannya nggak mau dipergoki sama orang-orang kalau lagi sama Bapak. Kakak saya itu orang yang cukup galak dan kelewatan protektifnya. Salah-salah, Bapak bisa dituduh pedofil sama kakak saya dan berakhir mengenaskan.”

            Kening Senja mengerut. Rasa kesal itu mulai memenuhi dadanya. Benar-benar si Mentari ini. Semua yang keluar dari mulutnya tidak ada yang pernah disaring dan tidak ada yang beres sama sekali. Mungkin itu hasil sinkronisasi dengan otaknya. Menahan sabar, Senja menarik napas panjang dan memijat pangkal hidungnya.

            “Mentari, pedofil itu kalau saya menyukai anak-anak kecil atau anak-anak di bawah usia tujuh belas tahun,” jelas Senja dengan sabar, seperti sedang menjelaskan kepada seorang anak TK bahwa satu ditambah satu sama dengan dua. “Kamu ini udah dua puluh lima tahun, kan? Kalau saya suka sama kamu, itu nggak bisa disebut pedofil karena kamu sudah dewasa dan matang.”

            “Tetap aja, Pak. Saya kan sepuluh tahun lebih muda dari Bapak. Bapak udah tua, tau! Bentar lagi kepala empat!”

            “Sejak saya lahir, kepala saya hanya satu.”

            Mentari ingin sekali berteriak dan melempar sandalnya ke wajah tampan namun menyebalkan milik Senja Abimana ini. Sayangnya, sekali lagi, hal itu akan berakhir di meja interogasi kantor polisi karena pasti Senja akan melaporkannya.

            “Terserah Bapak deh, ah, saya pusing.”

            Senja menyeringai tipis. Merasa sedikit terhibur karena berdebat dengan sekretarisnya itu dan berhasil membuatnya darah tinggi. Cowok itu kemudian mengambil sesuatu dari kursi belakang dan menyerahkannya ke pangkuan Mentari. Tentu saja Mentari mengerjap ketika melihat benda kepunyaan milik Senja itu sudah bertengger manis di pangkuannya. Sebuah jaket berwarna hitam.

            “Ini apa, Pak?” tanya Mentari dengan nada polos, sepolos tatapan matanya saat ini.

            “Saya benar-benar nggak menyangka kalau kamu nggak pernah melihat jaket sebelumnya,” geleng Senja. Gelengan yang bersifat mengejek, membuat darah Mentari kembali didihkan di atas kompor.

            Arrrgh! Emang dasar bos sialan!

            “Saya tau kalau ini jaket, Pak!” gerutu Mentari. “Maksud saya, kenapa Bapak kasih jaket ini ke saya. Bapak serius mau kasih jaket mahal ini untuk saya?”

            “Saya meminjamkan, bukan memberi.” Senja menunjuk kepala Mentari. “Pakai jaket ini untuk menutupi kepala kamu, supaya kamu nggak sakit nantinya. Saya butuh kamu di kantor saya hari Senin lusa. Kalau kamu sampai sakit karena hujan ini, pekerjaan saya nantinya akan keteter dan saya nggak sudi kalau sampai hal itu terjadi. Kamu juga tentunya nggak mau, kan, kalau gaji kamu sampai harus saya potong karena menelantarkan pekerjaan?”

            Mentari ingin sekali menyuarakan protes, kalau orang yang sedang sakit itu bukan menelantarkan pekerjaan namanya, tapi dia ogah mengorbankan kewarasannya lebih lanjut. Alhasil, Mentari hanya mengangguk dan langsung menutupi kepalanya dengan menggunakan jaket tersebut.

            “Sekali lagi, makasih ya Pak udah menculik saya dari supermarket dan mengembalikan saya ke rumah orang tua saya,” Mentari mengangguk. Dia membuka pintu mobil dan buru-buru berlari ke arah rumahnya. Lalu, seseorang membukakan pintu dan terlihat sangat cemas ketika melihat keadaan Mentari yang baru saja berlari di bawah hujan.

            Membuat Senja menaikkan satu alisnya dari dalam mobil dan jemarinya kembali mengetuk kemudi mobil.

            “Hm... jadi anak ingusan kayak gitu yang berstatus sebagai sahabatnya Mentari?” gumam Senja. Dia mengedikan bahu dan menatap ke depan. “Sama-sama jenis manusia yang menyebalkan.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status