Share

#05

Suara kasak-kusuk di sekitarnya membuat Mentari mati kutu.

            Cewek itu memasukkan ponselnya ke saku celana olahraga dan buru-buru menyeka air mata yang berjatuhan di kedua pipi gembil si anak. Dia meringis dan menggeleng ke arah orang-orang di sekitarnya, yang seolah menuduhnya sudah membuat si anak menangis. Mentari memberitahu mereka secara tersirat kalau dirinya tidak tahu apa-apa mengenai anak yang menangis ini.

            “Hei, sst,” bujuk Mentari. Dia tersenyum dan menangkup wajah si anak. “Ada apa, hm? Kenapa kamu nangis? Kamu kepisah sama mama kamu? Ingat nggak terakhir kali kamu sama orang tua kamu ada di mana?” tanya Mentari bertubi-tubi. Setelahnya dia sadar, dia sudah menanyakan berbagai macam pertanyaan kepada anak berusia sekitar empat sampai lima tahun yang sedang menangis, yang pastinya tidak bisa anak itu mengerti.

            “Mama... hiks....”

            “Iya, Sayang. Aku tau. Tapi, mama kamu di—“

            Belum selesai Mentari berbicara, suara benda terjatuh di dekatnya membuat perhatian Mentari teralihkan. Dia mendongak dan mengerjap begitu melihat raut wajah melongo sang kakak. Cowok tampan yang lebih tua sepuluh tahun darinya itu menganga di tempatnya, sambil menunjuk ke arah Mentari dan si anak yang menangis.

            “Ma... Mama... kamu... dia... anak....” Gerhana bahkan sampai kesulitan merangkai kata-kata ketika dia berbicara dengan adiknya tersebut. Jari telunjuknya yang gemetar karena terkejut itu menunjuk keduanya secara bergantian. “Kamu... punya anak yang disembunyiin dari ayah, bunda dan aku...?”

            “Hush! Sembarangan! Aku jewer mulutnya ya, Kak!” seru Mentari galak sambil melotot ke arah Gerhana.

            “Terus, penjelasan apa lagi yang mau kamu kasih ke aku? Jelas-jelas anak itu nangis dan dia pegangan sama kamu seolah-olah kamu adalah tempat bergantungnya. Dan yang paling penting, dia manggil kamu dengan sebutan mama!” Gerhana tidak mau kalah. Kalau sampai terbukti anak ini adalah keponakannya yang disembunyikan dan adiknya ternyata sudah dihamili oleh orang lain, apalagi sampai menikah tanpa izin keluarga, Gerhana bersumpah akan menyunat aset berharga si cowok mesum sialan yang sudah berani menaruh benihnya di rahim sang adik!

            “Ya Tuhan! Ini anak ilang, Kak! Dia nyariin mamanya! Aku belum punya anak dan belum pengin punya juga dalam waktu dekat! Mau punya anak gimana kalau pacar aja nggak punya!” seru Mentari. Masa bodoh deh kalau orang-orang bisa mendengar kalimatnya barusan. Orang nama baiknya juga sudah tercemar saat kakaknya memarahinya dan menuduhnya secara sepihak barusan, kok. Mentari hanya berharap hal ini tidak akan menjadi viral nantinya, mengingat zaman sekarang banyak sekali orang-orang yang seenaknya saja mengambil video orang lain lalu menyebarkannya.

            “Dia anak saya.”

            Suara yang terdengar serak dan seksi di telinga orang lain, tetapi luar biasa terdengar menyebalkan di kedua telinga Mentari itu sudah tak asing lagi baginya. Dia menoleh dan berdiri dari bangku taman. Si anak masih setia memeluk kakinya sambil menangis, menolak untuk melepaskan. Matanya melotot ke arah Senja Abimana yang berdiri tak jauh darinya, berdekatan dengan sang kakak yang juga menatap ke arahnya. Dengan jari telunjuknya, Mentari menunjuk Senja yang kini tersenyum ke arah si anak.

            “Anak... Bapak?” tanya Mentari dengan nada tidak percaya. “Bapak... punya anak?”

            Senja tidak menggubris pertanyaan Mentari dan berjongkok. Dia merentangkan kedua tangannya, meminta secara tersirat kepada si anak agar memeluknya.

            “Angelica, ayo sini, Sayang. Maaf, Papa nggak sadar kalau kamu pergi untuk melihat-lihat bunga di sekitar. Kamu pasti ketakutan karena terpisah dari Papa, kan? Papa minta maaf.”

            Anak bernama Angelica itu kembali meraung-raung dan langsung berlari ke arah Senja. Dia memeluk Senja, membiarkan Senja mengusap kepala dan punggungnya, lalu menggendong Angelica sambil berdiri. Senja menatap Mentari dengan tatapan datarnya seperti biasa, membuat Mentari mendengus dan tersadar dari keterkejutannya.

            “Dilarang memang kalau saya punya anak?” tanya Senja dengan nada malas.

            “Tapi saya nggak tau kalau Bapak punya anak,” sahut Mentari. Tidak ingin kalah berdebat dari Senja.

            “Saya ini laki-laki, sudah dewasa, sudah tiga puluh lima tahun. Sudah sewajarnya saya memiliki seorang anak. Lagi pula, saya merasa tidak ada keharusan untuk memberitahu kamu mengenai kehidupan pribadi saya. Tugas kamu di kantor adalah jadi sekretaris saya. Oh, atau jangan-jangan, kamu juga punya niat untuk jadi sekretaris di malam hari bersama saya?”

            Mentari menganga. Tidak menyangka kalimatnya akan diputarbalikkan seperti ini. Baru saja dia mau membalas, dia sudah didahului oleh Gerhana.

            “Hei, jaga mulut Anda, ya,” kata Gerhana seraya menunjuk wajah Senja yang kini menatap ke arahnya. Di gendongannya, anak bernama Angelica itu masih menangis, tapi tidak sehebat sebelumnya. “Jadi Anda, bos adik saya? Mungkin Anda berkuasa ketika di kantor, tapi tidak saat Anda berada di luar seperti ini. Siapa saja yang mengganggu adik saya, saya akan pastikan dia mendapatkan pelajaran yang setimpal.”

            Baru saja Mentari merasa senang dan terharu karena Gerhana membelanya, kini cewek itu mengerjap tatkala sang kakak menatap ke arahnya dengan tatapan seram. Jarinya masih menunjuk Senja. “Dan kamu, Mentari. Udah aku bilang, jangan dekat-dekat sama om-om ini, meskipun dia bos kamu! Sekarang kamu liat sendiri, kan? Dia udah menikah dan punya anak! Dia cuma mau main-main sama perasaan kamu, terlebih tubuh kamu!”

            Mentari sampai tidak sanggup berkata-kata akibat ucapan kakaknya itu. Dia hanya bisa mendesah keras dan mendongak untuk menatap langit sambil berkacak pinggang. Rasanya kepalanya ingin meledak saja.

            “Mentari, apa maksud ucapan kakak kamu ini?” tanya Senja sambil menaikkan satu alisnya. “Kamu suka sama saya, begitu maksudnya?”

            “Pak, ini di luar jam kerja, kan?”

            Senja mengangguk.

            “Berarti, apa pun yang saya ucapkan dan lakukan, nggak akan bikin saya terkena masalah, kan?”

            Lagi, Senja mengangguk. “Memangnya kena—“

            “Bapak sinting atau sakit jiwa?!” seru Mentari, memotong kalimat Senja barusan hingga yang bersangkutan terkejut. Dia buru-buru mengusap punggung Angelica yang sepertinya juga terkejut akibat teriakan Mentari barusan. “Itu mulut bisa dijaga nggak sih, Pak? Saya nggak suka sama Bapak! Cukup saya terikat kontrak kerja sama Bapak, jangan sampai saya juga harus menjalin hubungan sama Bapak secara romantis! Amit-amit, Pak!”

            Senja tertegun di tempatnya. Bukannya marah, cowok itu justru kini tertawa kencang. Tawa geli. Tawa yang sampai membuat Angelica ikut terguncang di dalam gendongannya. Lalu, sadar jika dirinya sudah bersikap sangat jauh dari karakter yang seharusnya, bahkan sampai membuat Mentari mematung di tempatnya, Senja berdeham dan kembali memasang wajah datar dan dinginnya.

            “Udah puas ngatain saya?”

            “Puas pakai banget, Pak.” Mentari mengangguk. Dia tersenyum lebar dan menghela napas lega. “Makasih loh ya, Pak, udah izinin saya buat ngatain Bapak. Nah, sekarang, mendingan Bapak bawa anak Bapak ke istri Bapak. Dia keliatan banget lagi nyari mamanya sampai nangis gitu.”

            “Saya nggak punya istri.”      

            Bukan hanya Mentari, bahkan Gerhana pun mengerjap dan melongo di tempat masing-masing.

            “Hah?”

            “Saya seorang duda, Mentari.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status