Suara kasak-kusuk di sekitarnya membuat Mentari mati kutu.
Cewek itu memasukkan ponselnya ke saku celana olahraga dan buru-buru menyeka air mata yang berjatuhan di kedua pipi gembil si anak. Dia meringis dan menggeleng ke arah orang-orang di sekitarnya, yang seolah menuduhnya sudah membuat si anak menangis. Mentari memberitahu mereka secara tersirat kalau dirinya tidak tahu apa-apa mengenai anak yang menangis ini.
“Hei, sst,” bujuk Mentari. Dia tersenyum dan menangkup wajah si anak. “Ada apa, hm? Kenapa kamu nangis? Kamu kepisah sama mama kamu? Ingat nggak terakhir kali kamu sama orang tua kamu ada di mana?” tanya Mentari bertubi-tubi. Setelahnya dia sadar, dia sudah menanyakan berbagai macam pertanyaan kepada anak berusia sekitar empat sampai lima tahun yang sedang menangis, yang pastinya tidak bisa anak itu mengerti.
“Mama... hiks....”
“Iya, Sayang. Aku tau. Tapi, mama kamu di—“
Belum selesai Mentari berbicara, suara benda terjatuh di dekatnya membuat perhatian Mentari teralihkan. Dia mendongak dan mengerjap begitu melihat raut wajah melongo sang kakak. Cowok tampan yang lebih tua sepuluh tahun darinya itu menganga di tempatnya, sambil menunjuk ke arah Mentari dan si anak yang menangis.
“Ma... Mama... kamu... dia... anak....” Gerhana bahkan sampai kesulitan merangkai kata-kata ketika dia berbicara dengan adiknya tersebut. Jari telunjuknya yang gemetar karena terkejut itu menunjuk keduanya secara bergantian. “Kamu... punya anak yang disembunyiin dari ayah, bunda dan aku...?”
“Hush! Sembarangan! Aku jewer mulutnya ya, Kak!” seru Mentari galak sambil melotot ke arah Gerhana.
“Terus, penjelasan apa lagi yang mau kamu kasih ke aku? Jelas-jelas anak itu nangis dan dia pegangan sama kamu seolah-olah kamu adalah tempat bergantungnya. Dan yang paling penting, dia manggil kamu dengan sebutan mama!” Gerhana tidak mau kalah. Kalau sampai terbukti anak ini adalah keponakannya yang disembunyikan dan adiknya ternyata sudah dihamili oleh orang lain, apalagi sampai menikah tanpa izin keluarga, Gerhana bersumpah akan menyunat aset berharga si cowok mesum sialan yang sudah berani menaruh benihnya di rahim sang adik!
“Ya Tuhan! Ini anak ilang, Kak! Dia nyariin mamanya! Aku belum punya anak dan belum pengin punya juga dalam waktu dekat! Mau punya anak gimana kalau pacar aja nggak punya!” seru Mentari. Masa bodoh deh kalau orang-orang bisa mendengar kalimatnya barusan. Orang nama baiknya juga sudah tercemar saat kakaknya memarahinya dan menuduhnya secara sepihak barusan, kok. Mentari hanya berharap hal ini tidak akan menjadi viral nantinya, mengingat zaman sekarang banyak sekali orang-orang yang seenaknya saja mengambil video orang lain lalu menyebarkannya.
“Dia anak saya.”
Suara yang terdengar serak dan seksi di telinga orang lain, tetapi luar biasa terdengar menyebalkan di kedua telinga Mentari itu sudah tak asing lagi baginya. Dia menoleh dan berdiri dari bangku taman. Si anak masih setia memeluk kakinya sambil menangis, menolak untuk melepaskan. Matanya melotot ke arah Senja Abimana yang berdiri tak jauh darinya, berdekatan dengan sang kakak yang juga menatap ke arahnya. Dengan jari telunjuknya, Mentari menunjuk Senja yang kini tersenyum ke arah si anak.
“Anak... Bapak?” tanya Mentari dengan nada tidak percaya. “Bapak... punya anak?”
Senja tidak menggubris pertanyaan Mentari dan berjongkok. Dia merentangkan kedua tangannya, meminta secara tersirat kepada si anak agar memeluknya.
“Angelica, ayo sini, Sayang. Maaf, Papa nggak sadar kalau kamu pergi untuk melihat-lihat bunga di sekitar. Kamu pasti ketakutan karena terpisah dari Papa, kan? Papa minta maaf.”
Anak bernama Angelica itu kembali meraung-raung dan langsung berlari ke arah Senja. Dia memeluk Senja, membiarkan Senja mengusap kepala dan punggungnya, lalu menggendong Angelica sambil berdiri. Senja menatap Mentari dengan tatapan datarnya seperti biasa, membuat Mentari mendengus dan tersadar dari keterkejutannya.
“Dilarang memang kalau saya punya anak?” tanya Senja dengan nada malas.
“Tapi saya nggak tau kalau Bapak punya anak,” sahut Mentari. Tidak ingin kalah berdebat dari Senja.
“Saya ini laki-laki, sudah dewasa, sudah tiga puluh lima tahun. Sudah sewajarnya saya memiliki seorang anak. Lagi pula, saya merasa tidak ada keharusan untuk memberitahu kamu mengenai kehidupan pribadi saya. Tugas kamu di kantor adalah jadi sekretaris saya. Oh, atau jangan-jangan, kamu juga punya niat untuk jadi sekretaris di malam hari bersama saya?”
Mentari menganga. Tidak menyangka kalimatnya akan diputarbalikkan seperti ini. Baru saja dia mau membalas, dia sudah didahului oleh Gerhana.
“Hei, jaga mulut Anda, ya,” kata Gerhana seraya menunjuk wajah Senja yang kini menatap ke arahnya. Di gendongannya, anak bernama Angelica itu masih menangis, tapi tidak sehebat sebelumnya. “Jadi Anda, bos adik saya? Mungkin Anda berkuasa ketika di kantor, tapi tidak saat Anda berada di luar seperti ini. Siapa saja yang mengganggu adik saya, saya akan pastikan dia mendapatkan pelajaran yang setimpal.”
Baru saja Mentari merasa senang dan terharu karena Gerhana membelanya, kini cewek itu mengerjap tatkala sang kakak menatap ke arahnya dengan tatapan seram. Jarinya masih menunjuk Senja. “Dan kamu, Mentari. Udah aku bilang, jangan dekat-dekat sama om-om ini, meskipun dia bos kamu! Sekarang kamu liat sendiri, kan? Dia udah menikah dan punya anak! Dia cuma mau main-main sama perasaan kamu, terlebih tubuh kamu!”
Mentari sampai tidak sanggup berkata-kata akibat ucapan kakaknya itu. Dia hanya bisa mendesah keras dan mendongak untuk menatap langit sambil berkacak pinggang. Rasanya kepalanya ingin meledak saja.
“Mentari, apa maksud ucapan kakak kamu ini?” tanya Senja sambil menaikkan satu alisnya. “Kamu suka sama saya, begitu maksudnya?”
“Pak, ini di luar jam kerja, kan?”
Senja mengangguk.
“Berarti, apa pun yang saya ucapkan dan lakukan, nggak akan bikin saya terkena masalah, kan?”
Lagi, Senja mengangguk. “Memangnya kena—“
“Bapak sinting atau sakit jiwa?!” seru Mentari, memotong kalimat Senja barusan hingga yang bersangkutan terkejut. Dia buru-buru mengusap punggung Angelica yang sepertinya juga terkejut akibat teriakan Mentari barusan. “Itu mulut bisa dijaga nggak sih, Pak? Saya nggak suka sama Bapak! Cukup saya terikat kontrak kerja sama Bapak, jangan sampai saya juga harus menjalin hubungan sama Bapak secara romantis! Amit-amit, Pak!”
Senja tertegun di tempatnya. Bukannya marah, cowok itu justru kini tertawa kencang. Tawa geli. Tawa yang sampai membuat Angelica ikut terguncang di dalam gendongannya. Lalu, sadar jika dirinya sudah bersikap sangat jauh dari karakter yang seharusnya, bahkan sampai membuat Mentari mematung di tempatnya, Senja berdeham dan kembali memasang wajah datar dan dinginnya.
“Udah puas ngatain saya?”
“Puas pakai banget, Pak.” Mentari mengangguk. Dia tersenyum lebar dan menghela napas lega. “Makasih loh ya, Pak, udah izinin saya buat ngatain Bapak. Nah, sekarang, mendingan Bapak bawa anak Bapak ke istri Bapak. Dia keliatan banget lagi nyari mamanya sampai nangis gitu.”
“Saya nggak punya istri.”
Bukan hanya Mentari, bahkan Gerhana pun mengerjap dan melongo di tempat masing-masing.
“Hah?”
“Saya seorang duda, Mentari.”
Reaksi dan raut wajah Mentari Chrysalis saat ini membuat Senja Abimana mengulum senyum. Memangnya ada yang salah dengan dirinya yang seorang duda dan sudah memiliki satu anak? Atau, Mentari menganggap dirinya belum menikah karena wajahnya ini? Lantas, semua orang yang memiliki wajah tampan seperti dirinya itu sudah pasti belum menikah, begitu? Lucu sekali pemikiran Mentari ini. “Duda?!” teriak Mentari kemudian dengan mata terbelalak. Senja berdecak dan mendekati Mentari. Dia menarik tangan Mentari, membawa tubuh Mentari mendekat ke arahnya hingga Senja bisa menghirup aroma parfum Mentari yang begitu manis dan memabukkan. Untuk sesaat, pikirannya mendadak konslet karena tahu-tahu saja, dia berpikir seperti apa rasanya jika dia mendaratkan hidungnya pada leher jenjang dan putih yang mengeluarkan aroma manis itu.&n
Teriakan Mentari itu membuat Senja mematung. Posisinya masih sangat dekat dengan Mentari. Mereka bisa dibilang berbagi hela napas bersama. Jarak bibir keduanya mungkin hanya satu hingga dua senti saja. Kekesalan Senja seketika terbit. Sebagai cowok dewasa yang sangat percaya diri pada penampilan dan wajahnya, Senja tidak terima karena kalimat Mentari barusan. Jika Senja mau, dia bisa menjentikkan jari dan semua cewek pasti akan berkumpul untuk mencium bibirnya. Tapi, Mentari? Cewek tengil itu seolah-olah memiliki alergi terhadapnya. Karena kekesalannya itulah, Senja langsung mencium pipi Mentari. Mengenai sudut bibirnya. Memang niat awalnya hanyalah mencium pipi Mentari, bukan bibir. Tapi, Mentari sudah salah mengambil kesimpulan dan seenaknya saja berteriak. Ciuma
“Nggak bisa, Sen! Lo harus tau kalau Pak Surya itu orang yang peka. Dia juga benci sama pembohong. Hanya dalam satu kali lirikan, dia bakalan langsung tau kalau lo sama sekretaris mungil lo ini bukanlah sepasang suami-istri.” Awan Bagaskara, sahabat dekat Senja sejak keduanya masih duduk di bangku SMA sekaligus pemilik perusahaan keluarga besarnya yang sudah lama menjalin kerjasama dengan perusahaan Senja, berkomentar. Dia sedang berkunjung ke kantor Senja untuk mengajaknya makan siang, kemudian tidak sengaja mendengar percakapan di antara Senja dan Mentari sang sekretaris. Dari situ, Awan tahu bahwa Surya Sanjaya, pria berusia enam puluh lima tahun, seorang pengusaha sukses yang selalu muncul di majalah bisnis, televisi dan sebagainya, mendapatkan banyak penghargaan dari pencapaian-pencapaiannya, ingin bertemu dengan Senja untuk membicarakan pekerjaan. Ada kemungkinan, Surya Sanjaya juga ingin melakukan kerjasama dengan Senja. Sialnya, pria itu tahu bahwa Senja sudah memi
Suasana canggung dan tegang itu tercipta, membuat Mentari panas-dingin di tempatnya. Dia menyesal karena sudah menyuarakan isi pikirannya, walaupun Mentari sendiri tidak sadar sudah melakukannya. Cewek itu berdiri dari duduknya, lantas menunduk. Tidak berani menatap Senja yang terlihat sangat marah kepadanya. Awan yang juga menyadari kemarahan Senja, langsung ikut berdiri dan buru-buru mengambil alih situasi. Dia mendekati sahabatnya, kemudian menepuk pundaknya beberapa kali. Senyumnya muncul ke permukaan. “Sen, udah. Dia pasti nggak sengaja ngomong kayak tadi dan gue yakin, dia nggak punya maksud buruk.” Senja menepis tangan Awan dari pundaknya dan tidak menggubris ucapan sahabatnya itu. Dia masih saja memberikan tatapan tajam dan dinginnya untuk Mentari yang semakin menciut di tempatnya. Mentari yang sadar bahwa dia belum meminta maaf, buru-buru melakukan hal tersebut. “Mm, maaf Pak Senja. Saya benar-benar nggak bermaksud ngomong kayak
Mentari terkesiap, ketika dia menyadari apa yang baru saja dia ucapkan di hadapan bos galaknya itu. Cewek itu meringis dan berdeham. Dia jadi salah tingkah. Mentari bingung harus bersikap bagaimana, hingga yang dilakukannya hanyalah mengajak Angelica mengobrol dan sesekali melirik ke arah Senja yang sejak tadi hanya diam saja. Menatapnya bak hewan buruan. Bak seorang kelinci. Di tempatnya, Senja mendesah berat dan berkacak pinggang. Cowok itu menunduk dan nampak berpikir. Mungkin benar kata Awan, dia sudah bersikap sangat keterlaluan kepada Mentari, hingga sekretarisnya itu sangat terkejut akan permintaan maafnya barusan. Senja juga menyadari kedua mata Mentari yang memerah, yang menandakan bahwasannya, mungkin saja, Mentari sempat menangis akibat ucapannya sebelum ini.&
“Honeymoon?!” seru Mentari, ketika kekagetannya sudah mereda. Sungguh, mereka hanya akan menjadi pasangan suami-istri pura-pura di hadapan Surya Sanjaya. Lantas, kenapa bos galaknya ini justru membicarakan masalah bulan madu segala? Apa... apa sebenarnya Senja Abimana ingin memiliki tubuhnya? Menggerayanginya? Benar-benar ingin menaruh janin di dalam rahimnya?! Serius?! Bos galaknya itu punya hasrat seksual terpendam untuknya?! Sadar jika pikiran di dalam kepala mungil Mentari itu sudah melantur ke mana-mana, ditambah pula dengan tatapan bak pisau yang dilemparkan oleh cowok bernama Samudra yang mengaku sahabat dari Mentari, Senja buru-buru berdeham. Dia juga tahu, dia sudah salah mengucapkan kalimat, hingga membuat Mentari salah paham. Tapi, Senja juga tidak ingin memperbaiki ucapannya atau menjelaskan maksud perkat
“Gini-gini, Pak, saya juga tau soal teknik-teknik bikin anak dari novel-novel romansa dewasa yang saya baca!” Alis Samudra terangkat satu ketika dia mendengar hal tersebut. Kemudian, Mentari sadar jika dia sudah mengucapkan rahasia gelapnya. Bahwa dia senang membaca novel romansa dewasa. Wajahnya memanas dengan cepat dan rona merah itu mulai menguasai wajah cantiknya. “Hm....” Senja bergumam. Wajahnya menunjukkan betapa dia sangat serius memikirkan kalimat Mentari barusan. Cowok itu mengusap dagunya dan memberikan tatapan ingin tahu kepada sekretarisnya tersebut. “Berarti, kalau saya mau bikin anak sama kamu dan minta dengan teknik—“ “Don’t you dare, Sir,” geram Mentari, memotong ucapan Senja yang
Demi Dewa Kronos! Mentari ingin sekali waktu berhenti detik ini juga, membekukan semua orang, sehingga dirinya bisa kabur dari tempat ini. Dia sedang mencium bibir bos galak garis miring tampannya itu. Kekenyalan bibir Senja Abimana membuat Mentari terlena, tapi dia buru-buru mengembalikan kewarasannya lagi. Dengan satu gerakan cepat, Mentari menjauhkan tubuhnya dan berdiri tegak. Panas menjalar di wajahnya dan jantungnya kemungkinan besar sebentar lagi akan meledak saking kencangnya dia berdetak. Sementara itu, Senja berdeham. Dia bangkit dan membersihkan tepung terigu yang ada di pakaiannya. Cowok itu melirik Mentari yang sudah berubah menjadi boneka rusak di tempatnya, sibuk mengalihkan pandangannya ke arah lain. Senyum simpul itu muncul di bibir Senja, kemudian dia menarik napas panjang dengan berlebihan. Tentu saja hal itu menarik p