Share

#06

Reaksi dan raut wajah Mentari Chrysalis saat ini membuat Senja Abimana mengulum senyum.

            Memangnya ada yang salah dengan dirinya yang seorang duda dan sudah memiliki satu anak? Atau, Mentari menganggap dirinya belum menikah karena wajahnya ini? Lantas, semua orang yang memiliki wajah tampan seperti dirinya itu sudah pasti belum menikah, begitu? Lucu sekali pemikiran Mentari ini.

            “Duda?!” teriak Mentari kemudian dengan mata terbelalak. Senja berdecak dan mendekati Mentari. Dia menarik tangan Mentari, membawa tubuh Mentari mendekat ke arahnya hingga Senja bisa menghirup aroma parfum Mentari yang begitu manis dan memabukkan. Untuk sesaat, pikirannya mendadak konslet karena tahu-tahu saja, dia berpikir seperti apa rasanya jika dia mendaratkan hidungnya pada leher jenjang dan putih yang mengeluarkan aroma manis itu.

            “Hei, apa kamu harus mengumumkan ke semua orang yang ada di taman ini kalau saya seorang duda?” bisik Senja. Meskipun Mentari adalah sekretarisnya yang sangat tengil dan menyebalkan, tapi dia tetaplah seorang cowok dewasa yang bisa merasa tergoda karena aroma parfum milik lawan jenis.

            Mentari yang tidak menduga dia akan berada sedekat ini dengan Senja, atasannya, hingga bisa merasakan hela napas hangat milik bosnya tersebut, mematung. Debaran jantungnya mulai sedikit tidak terkontrol, namun dia bisa mengendalikannya lagi hanya dalam waktu beberapa detik. Dia hanya perlu mengingat hal-hal menyebalkan yang sudah dilakukan oleh Senja kepadanya selama ini.

            “Saya kan kaget, Pak,” sahut Mentari polos. “Masa kalau orang kaget suaranya kecil? Itu nggak mungkin, Pak. Orang kaget itu jelas-jelas bakalan berteriak. Oh, atau Bapak mau saya ngomong lebih kencang lagi?”

            Senja menarik napas panjang. Cowok itu melepaskan lengan Mentari, kemudian mendekati Gerhana yang sejak tadi hanya diam. Namun, Senja tahu kalau kedua mata Gerhana itu tidak pernah berhenti untuk menatapnya dengan tajam dan dingin. Kemudian, Senja berkata, “Kamu kakaknya Mentari, kan?”

            “So?” tantang Gerhana. Dia mengerutkan kening. Makin ke sini, cowok itu makin tidak menyukai Senja yang katanya seumuran dengannya itu.

            Senja langsung menyerahkan Angelica yang berada dalam gendongannya ke dalam gendongan Gerhana. Meskipun tidak siap, tapi Gerhana refleks membuka kedua tangannya dan mengambil alih tubuh mungil anak dari Senja tersebut. Dengan wajah dan tatapan bingung, dia bertanya melalui tatapan matanya apa maksud dari sikap Senja saat ini.

            Setelah memberikan Angelica pada Gerhana, Senja tersenyum lembut ke arah anaknya dan membungkuk sedikit agar wajahnya bisa sejajar dengan wajah Angelica. Malaikat kecilnya yang cantik itu sudah berhenti menangis dan kini terlihat anteng di dalam gendongan Gerhana. Senja bersyukur karena Angelica bukanlah anak yang gampang merengek dan tidak takut dengan orang lain. Meskipun begitu, Senja juga harus berhati-hati dan mengajari Angelica untuk tidak sembarangan mengikuti orang asing.

            “Angel, Papa mau ke sana dulu,” tunjuknya ke arah bangku taman yang tidak terlalu jauh dari tempatnya mereka saat ini. “Sama tante ini. Ini namanya tante Mentari—“

            “Bapak! Saya masih dua puluh lima tahun dan saya nggak mau dipanggil tante! Panggil saya kakak!” rengek Mentari. Tapi, Senja tidak menggubrisnya.

            “Papa mau ngomong sebentar sama tante Mentari. Ada urusan. Angel nggak apa-apa kan sama om ini dulu? Om ini orangnya baik, kok. Namanya....” Senja menaikkan satu alis, kemudian mendongak untuk menatap Gerhana. Dari sorot matanya, Gerhana tahu apa yang sedang Senja lakukan, karenanya dia menyebutkan namanya dengan ogah-ogahan. “Namanya om Gerhana. Nanti, om Gerhana bakalan beliin Angel es krim. Angel harus jadi anak yang penurut dan jangan bikin om Gerhana susah, oke?”

            Angelica tersenyum lebar ketika mendengar kata es krim dan mengangguk. Lalu, dia langsung mengalungkan kedua tangan mungilnya ke leher Gerhana, menyembunyikan wajahnya dengan riang di leher cowok tersebut.

            “Saya titip anak saya sebentar,” kata Senja dengan nada tegas sambil menegakkan punggung. “Saya mau bahas masalah pekerjaan sama adik kamu.”

            “Tapi—“

            Senja tidak memedulikannya. Cowok itu langsung meraih pergelangan tangan Mentari, lalu menariknya menjauh dari Gerhana dan Angelica. Mentari yang tidak mengerti apa yang sedang terjadi, hanya bisa pasrah dibawa pergi oleh bos galaknya itu. Ketika hanya ada mereka berdua dan jauh dari kerumunan taman, barulah Senja berhenti melangkah dan melepaskan tangan Mentari.

            “Bapak... nggak mau berbuat mesum sama saya di sini, kan?” tanya Mentari ragu dan takut.

            “Kamu pikir saya ini sebejat apa?” gerutu Senja. Dia menyentil kening Mentari, hingga cewek itu mengaduh keras dan mengusap keningnya yang terasa perih itu. “Saya mau kamu rahasiakan masalah ini dari orang-orang di kantor. Nggak ada yang tau kalau saya udah pernah menikah dan sekarang memiliki satu orang anak. Hanya beberapa orang kepercayaan saya di kantor yang tau mengenai hal ini, termasuk kamu yang nggak sengaja tau barusan.”

            Mendengar itu, senyuman jahil langsung muncul di bibir Mentari. Dia merasa di atas angin, memiliki kartu AS mengenai bosnya tersebut. Kartu AS ini nanti pasti bisa berguna untuk Mentari, jika Senja berani macam-macam dan membuatnya marah. Cewek itu pun memiringkan kepala sambil bersedekap, membuat Senja bersikap waspada.

            Pasti ada hal-hal aneh yang muncul di kepalanya saat ini, batin Senja.

            “Heh. Jadi, saya memegang kartu AS Bapak, nih, sekarang?” Cewek itu tertawa pelan, kemudian mendekati Senja. Mentari terpaksa mendongak agar bisa menatap mata Senja. “Kalau saya nggak mau rahasiain ini dari orang-orang kantor, Bapak bakalan ngapain saya? Hm?”

            Senja diam. Cewek di hadapannya ini benar-benar selalu bisa menguji kesabarannya. Apa dia harus memecatnya? Tidak, itu bukan opsi. Kinerja Mentari di kantor sangatlah bagus. Jika dia memecat Mentari, maka pekerjaannya akan keteteran. Belum tentu dia mendapatkan sekretaris baru yang sebagus Mentari. Karena itulah, Senja mengambil cara lain. Cowok itu menyeringai, membuat Mentari yang tadinya merasa menang, kini menelan ludah dan mulai melangkah mundur.

            Sayangnya, gerak tubuhnya itu kalah cepat dibandingkan dengan Senja. Begitu melihat Mentari yang sudah mengambil ancang-ancang untuk menciptakan jarak, Senja langsung mengulurkan sebelah tangan dan melingkarinya di pinggang Mentari. Lalu, Senja membawa tubuh Mentari ke dalam dekapannya.

            Sementara di tempatnya Gerhana terbelalak ketika melihat hal itu, Mentari pun demikian. Dia menyentak napas dan refleks menahan napasnya di detik berikutnya. Mata bulatnya semakin membulat dan anehnya terlihat lucu di kedua mata Senja. Mentari meronta, mencoba untuk melepaskan diri dari dekapan erat Senja. Cewek itu sudah seperti ulat yang menggeliat. Seperti kupu-kupu yang tersangkut di jaring laba-laba. Dia memundurkan kepalanya sebisanya, tapi percuma saja karena Senja semakin menarik tubuh Mentari ke dalam pelukannya.

            “Ba—Bapak! Bapak mau ngapain?!” seru Mentari tertahan. Dia melirik ke sekitarnya dan untungnya saja, selain kakaknya, tidak ada yang memerhatikan mereka berdua.

            Kemudian, Senja mendekatkan wajahnya ke telinga Mentari dan berbisik, “Kalau kamu sampai berani membocorkan masalah ini di kantor, saya tidak akan segan-segan membuat anak kedua. Bedanya, kali ini saya akan membuatnya dengan kamu, Mentari Chrysalis.”

            Mentari terkesiap. Dia sudah siap untuk memaki Senja, ketika Senja mendekatkan bibir mereka berdua. Langsung saja Mentari memejamkan kedua matanya erat-erat dan berteriak.

            “Arrrgh! Saya nggak mau dicium sama Pak Senja!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status