"Anda baik-baik saja, Pak Reynaldi!”
Reynaldi tidak menjawab pertanyaan rekan kerjanya. Dia masih saja menatap Lina, seakan sedang berusaha meyakinkan dirinya kalau itu bukan ilusinya saja. Suara alarm pintu lift berbunyi, dengan langkah cepat Lina keluar dari dalam lift, diikuti oleh Reynaldi dibelakangnya. Hentakan sepatu heals Lina terdengar menggema di sepanjang koridor, ia memasuki kantor dengan penuh percaya diri, mengabaikan langkah kaki di belakangnya yang terdengar mengikuti. Meskipun sebenarnya jantung Lina berdegup dengan kencang. Ini adalah awal baru baginya, suatu kesempatan yang sudah ditunggu bertahun-tahun. Lina tidak menyangka kehidupannya bisa sampai di posisi ini. Bahkan sampai bertemu dengan orang di masa lalunya, yang sudah menghancurkan hidupnya. Namun Lina yang sekarang bukanlah Lina yang dulu yang terlalu naif. Yang bisa dipermainkan seenaknya. Lina berusaha merapihkan setelan blazernya, ketika langkah kakinya berhenti di depan ruangan. Ruangan yang terlihat serba mewah. Dengan kaca di sekelilingnya. Ia ketuk pintu kantor tersebut. Hatinya berdegup kencang, ini pertama kalinya dia akan bertemu dengan CEO perusahaan itu. Lina mendorong pintu perlahan, saat pintu terbuka Lina merasa ada suasana yang berbeda, tegang. “Silahkan duduk! Sebentar Bapak pimpinan perusahaan ini belum datang!” ujar seorang wanita yang juga berpenampilan menarik dan elegan. Tidak lama kemudian pintu didorong, terlihat jelas sosok yang Lina temui tadi di lif masuk dengan angkuhnya “Pagi Pak!” sapa sekretarisnya Waktu seakan berhenti saat tatapan mereka bertemu. Suasana menjadi sangat hening dan mencekik keduanya. Sorot mata pria itu penuh dengan tatapan terkejut. Seolah, tidak percaya dengan apa yang ada di hadapannya. Sementara Lina menatapnya dengan datar, berusaha menyembunyikan segala emosi dan rasa yang bergejolak di hatinya. “Silahkan duduk!” suara sekertaris, memecah keheningan. Tanpa ekspresi, Lina menarik kursi, sikapnya sangat tenang. Meskipun dia bisa merasakan tatapan tajam Reynaldi menikam jantungnya. Pertemuan itu berjalan formal dan seperlunya. Lina tetap fokus, berusaha menjawab semua pertanyaan dengan profesional. Namun, hatinya bergejolak, ia terus mendapati tatapan Reynaldi yang terus terarah tajam menatapnya. Seolah ingin memastikan, apakah wanita yang di hadapannya benar- benar Lina yang dulu, wanita yang sudah diusirnya bertahun-tahun dulu. Akhirnya interview itu pun selesai, Lina bangkit dari duduknya. “Terima kasih, atas waktunya, Pak.” Suara Lina yang lembut terdengar datar dan seadanya. Saat tubuhnya berbalik untuk keluar ruangan. “Lina, tunggu sebentar!” Suara itu menghentikannya. ” Iya Pak Reynaldi, ada apa?” Lina menoleh tetap bersikap tenang, walau tampak Reynaldi tidak setenang dirinya. Lina bahkan dapat tersenyum tipis saat menunggu. Tapi, tidak ada satu kata pun yang keluar dari bibir pria itu. “Baiklah, kalau tidak ada lagi yang akan ditanyakan. Saya permisi, Pak!” Lina melangkah kan kakinya keluar ruangan. Meninggalkan Reynaldi yang diam terpaku di tempatnya.Sekretaris Reynaldi diam, kebingungan, akan apa yang sedang terjadi. Reynaldi tidak bisa berhenti memikirkan Lina. Ia termangu, memikirkan apa yang baru saja terjadi. Wanita itu, bagaimana mungkin sekarang ada dihadapannya, setelah bertahun-tahun menghilang, bahkan sekarang bekerja di perusahaannya. Satu lagi yang mengganggu pikirannya, Lina yang sekarang berbeda dengan Lina yang dulu, dia lebih berani, lebih cantik dan percaya diri. Perasaan Reynaldi kacau, dia tidak bisa berdiam diri saja. Dia harus tahu ke mana selama ini Lina, bagaimana kehidupannya. Dan satu yang paling tidak Reynaldi mengerti, kenapa hatinya terasa sakit, bila menatap mata Lina. Seperti ada rasa bersalah yang teramat besar. Sedang tatapan Lina, seperti tidak memiliki emosi apapun. Tidak ada lagi tatapan yang menunjukkan betapa Lina sangat menghargainya. Semuanya terlalu datar dan itu sangat menganggunya. “Cari tahu tentang kehidupan Lina, enam tahun belakangan!” perintah Reynaldi pada anak buahnya. “Informasi seperti apa ya, Pak!” “Semuanya!” Dan beberapa hari kemudian, laporan yang dia terima membuat dunia seakan berguncang hebat. Lina mempunyai seorang anak, Lina mengandung anaknya. Lina melahirkan seorang anak laki-laki. Membesarkan anaknya seorang diri selama ini. Reynaldi tidak membuang waktu lagi. Begitu dia mendapat informasi lengkap. Dimana rumah dan alamat yang tepat dimana istri dan anaknya tinggal, dia segera pergi kesana. “Berhenti di depan, Pak!” perintah Reynaldi pada supirnya. Renaldi turun dari mobilnya, kakinya melangkah masuk ke dalam halaman rumah sederhana. Dan dia melihat seorang anak laki-laki berumur sekitar lima tahun. Dia sedang bermain bola sendirian. Bocah itu memiliki postur badan yang tegap dan gagah lebih dari anak seumurannya, rambutnya hitam pekat, matanya tajam, mengingatkan Reynaldi pada seseorang, dirinya sendiri. Tiba-tiba dadanya terasa sesak, kepala pusing. Bocah laki-laki itu adalah anaknya. Tanpa sadar kakinya melangkah mendekat, saat itu juga pintu rumah terbuka. Lina keluar dari rumah itu. “Apa yang anda lakukan disini?” sergah Lina geram. Reynaldi tidak menjawab, tatapannya masih pada bocah laki-laki yang sangat tampan yang ada di hadapannya. Bocah laki-laki itu masih diam bingung dengan keadaan yang sedang terjadi di hadapannya. “Lina … dia anakku?” suaranya serak dan terlihat bingung Lina mengangkat wajah dan dagunya, tatapannya penuh kemarahan, seperti luka lama yang tersiram air asam, perih. “Iya dia anak kita! Anak yang kau tinggalkan! Anak yang harus aku besarkan seorang diri, setelah kau mengusirku seperti sampah!” suara Lina bergetar menahan marah. Reynaldi terdiam, seolah perkataan itu menggugurkan segala sifat angkuhnya selama ini. Reynaldi mendekat dan menatap bocah laki-laki itu lagi, kali ini dia tersenyum.” Siapa namamu, anak ganteng?” tanyanya lembut. Bocah laki-laki itu menatap ibunya. Lina tampak mengangguk pelan. “ Bima, Tuan.” “Bima?” “Jangan panggil aku tuan, Nak,” sambungnya dengan suara serak, menghadapi kenyataan anaknya tidak mengenalnya. “Maafkan papa, Bima. Panggil aku, papa, Nak! Aku papamu!” lirihya lagi sambil memeluk bocah laki- laki itu. Reynaldi merasakan sesuatu yang tidak pernah dia rasakan. Hangat, terharu tapi menyakitkan. Menghadapi kenyataan bahwa dia sudah melewati lima tahun kehidupan anaknya. Dan untuk pertama kali dalam hidupnya seorang Reynaldi merasa sangat menyesal. Bima menatap pria asing di hadapannya dengan matanya yang besar dan hitam, alis dan keningnya mengernyit. Lalu berbisik pelan pada Lina. “ Mama, tuan itu siapa?” Lina menggenggam kedua tangan anaknya. “ Bukan siapa-siapa, itu tidak penting. Ayo kita masuk, Nak!” Wajah Reynaldi seakan ditampar berkali- kali, mendengar perkataan Luna, kalau dirinya bukan siapa- siapa, dan bukan sesuatu yang penting. Bibirnya ingin membantah, tapi tidak bisa berbuat apa- apa, kenyataannya, memang dia tidak ada selama ini dalam kehidupan anaknya. Tapi Reynaldi masih berusaha, dia berjongkok dan mensejajarkan tingginya dengan bocah itu. “ Kamu suka main bola? Mau main bola sama aku? Aku bisa mengajarkan strategi bermain bola yang jitu sama kamu.” Bima bingung, wajahnya kembali menatap mamanya. Diikuti tatapan Reynaldi ke arah Lina. Dengan tegas Lina langsung menggandeng tangan anaknya. “Cukup, Pak!”Usai menyalami Lina dan Reynaldi, Noah berjalan menghampiri Nasha, dan Nayara yang tersenyum tapi tetap kaku dan datar.“Ini Mama Nasha, kasih salam sama Mama Nasha…”ujar Bima sambil membimbing Noah “Aku Noah Mama Nasha..aku janji nggak akan nakal, aku juga janji nggak akan buat Mama susah.” bocah polos itu bicara dengan lancar dan sopan.Nasha yang tadinya hanya melihat Noah dengan tatapan datar, tiba-tiba bibir nya tersenyum dan matanya berkaca-kaca.” panggil aku Mama Nasha ya, Mama percaya kamu anak pintar, Kamu anak baik.” katanya sambil menarik badan Noah dan membawanya dalam pelukan.Noah mencium tangan Nasha dan tersenyum dalam pelukan Nasha.“Eh kenalin, ini Nayara! Kalian baik-baik, ya. Kalian ini saudara. Main sama-sama, belajar sama-sama, ya. Papa sayang sama kalian semua.” Bima memeluk kedua anaknya dengan haru.Akhirnya menjelang sore, setelah makan bersama, berbincang, tertawa dan bercanda bersama, Bima dan Nasha memutuskan untuk pulang ke rumah mereka. Di Dalam mobil
“Aku Bukan kecewa karena kamu punya masa lalu, Bim. Tapi aku kecewa karena kamu sendiri bahkan tidak tahu kalau kamu mempunyai anak dari masa lalumu, pria macam apa kamu ini?!Apa aku, Nayara dan bayi kita bisa percayakan hidupnya kepada laki-laki macam kamu?” Nasha terus saja bicara, pelan tapi penuh penekanan. Saat Bima datang mengunjungi mereka di rumah orang tuanya sendiri.Nasha memang tidak marah, bahkan berteriak ataupun menangis, Dia hanya bicara pelan. Tatapannya kosong. Terlihat jelas, kalau ada luka yang mendalam dihatinya.Bima hanya bisa menatap istrinya. Berkali-kali meminta maaf, walaupun itu tak bisa mengobati luka nya.Bahkan dia sendiri tidak tahu, kalau akhirnya masa lalunya hadir dalam wujud seorang anak laki-laki yang memanggilnya, Papa.” “Nasha maafkan aku, bahkan aku tidak tahu semuanya jadi begini,tapi sekarang Noah ada. Dan dia anakku, aku harus bagaimana, aku bahkan tidak bisa menghindar apalagi lari dari semuanya”“Aku tau,Dan aku juga bukan perempuan yang
Flashback - Australia 12 tahun lalu Saat itu Bima baru saja masuk semester tiga Universitas ternama di Australia. Dia melarikan diri dari rasa kecewanya karena cinta, waktu di Indonesia. Diantara jadwal padatnya untuk kuliah, juga magang dari kampus, Bima tidak punya waktu untuk bersosialisasi dengan orang lain. Hingga dia akhirnya bertemu dengan Alivia, gadis pintar dan cantik. Yang bekerja paruh waktu sebagai barista kopi di cafe sebelah apartemen Bima. “Nama kamu siapa?” “Namaku Alivia morgan, tapi teman-temanku memanggil ku Alivia. Kamu?” “Bima. Bima Reynaldi.” “Nama kamu ciri khas Indonesia. Kamu asli Indonesia, ya?” “Ya, aku asli Indonesia, Kamu sendiri?” “Ibuku asli Jawa, dan Papaku asli Australia.” “Cantik!” Percakapan itu terus berulang setiap hari, Alivia selalu ada saat Bima datang untuk minum kopi. Dan yang lebih unik lagi, ternyata mereka satu tempat kuliah. Hanya Alivia mengambil jurusan yang berbeda dari Bima. Percakapan mereka semakin hari s
Hari itu langit Jakarta mendung. Bima baru saja pulang dari rapat panjang dengan Reynaldi Group selama sehari penuh.Nasha menyambutnya dengan senyum lelah.Dengan sopan Nasha mencium takzim tangan suaminya. Bima pun mengecup kening Nasha lembut.“Kemana anak-anak sayang?” tanya Bima sambil berjalan masuk kedalam ruangan.“Mereka ada di dalam kamar bayi. Mereka semuanya sudah tertidur bersama pengasuhnya. Kenapa sayang? Apa kamu mau bertemu sama anak-anak?” tanya Nasha sambil mengambil jas dan tas milik suaminya. “Sudah biar, anak-anak biar istirahat, aku juga sangat lelah.” Bima melangkah masuk menuju kamarnya, menyusuri ruangan demi ruangan yang sangat luas, Nasha mengikutinya dari belakang.Belum sampai mereka memasuki kamar mereka tiba-tiba seorang asisten rumah tangga berlari kecil menghampiri mereka.Asisten rumah tangga di itumengatakan bahwa ada seorang wanita bernama olivia dan anak laki -laki ,yang berumur sekitar 7 tahun.Mereka berdua saling bertatap-tatapan. Nasha menged
Khabar tentang pembukaan butik besar “ K Z “ dan peluncuran majalah ternama, tentang biografi desain merk KZ . Sampai juga ke telinga Elsa dan Rakha. Dan malam itu juga Elsa mendatangi butik Kezia dengan perasaan geram. Dan Tak habis pikir. Berkali-kali dia bicara sendiri didalam mobil. “Bodoh! Sangat bodoh ! Apa maksudmu membuat buku tentang kisah hidupmu, kalau sudah begini pasti aku dan Rakha akan terseret- seret namanya.”Elsa mulai cemas, dia takut hidup nya terganggu. Mobil terus berjalan cepat, sampai akhirnya sampai di sebuah butik yang sangat besar dan megah. Elsa tidak parkir di depan butik itu, tapi mobilnya parkir di depan rumah mungil dan rapi di sebelah butik.Tanpa banyak kata dia langsung turun begitu selesai memarkirkan mobilnya dengan rapi.“Kamu…ada apa, Elsa? Ayo masuk. Bagaimana bisa tahu aku tinggal dirumah ini sekarang.” “Dasar aneh! Bagaimana bisa kamu berpikir aku tidak tahu hal sekecil itu tentang kamu? Kamu sadar nggak, bahkan hal yang lebih besar dari
Rumah mungil di sebelah butik, Kezia duduk sendiri, menjahit. Saat malam turun dia mendengar suara ketukan pelan didepan pintu. Kezia melangkah pelan. Dia mengira satpam atau pegawai butik yang belum pulang, dan mampir kerumahnyaSaat pintu dibuka, berdiri didepan pintu kedua orangtuanya. Lina dan Reynaldi.“Mama…Papa!” “Bagaimana kalian bisa tahu, aku tinggal disini?” katanya terbata-bata“Kami orang tuamu Kezia. Ikatan batin kita pasti menunjukkan dimana kamu berada.”Lina meraih tubuh putri kesayangannya, dalam pelukannya.Begitu juga Reynaldi,”Kamu tetap anak Papa, apapun yang terjadi, dan Papa bangga padamu sekarang. “ Mereka masuk kedalam rumah mungil itu, dan mereka hampir tidak percaya dengan apa yang ada di hadapannya. Mesin jahit, meja desain. Dan beberapa kertas yang sudah tercoret-coret hasil karya tangannya sendiri.Mereka benar-benar melihat perubahan yang sangat drastis pada diri Kezia. Bukan lagi Kezia putri kecil mereka yang manja, bukan Kezia putri mereka yang mem