MasukHari itu, langit kota tampak mendung. Rachel bergegas keluar dari kosnya, membawa tas berisi dokumen yang harus dikirim ke salah satu klien firma hukum tempatnya bekerja. Rambut hitam panjangnya dikuncir sederhana, wajahnya hanya diberi sedikit bedak tipis. Meski penampilannya sederhana, ada ketulusan yang terpancar dalam sorot matanya.
Perjalanan dengan bus kota cukup padat. Rachel duduk sambil memeluk map cokelat berisi berkas penting. Ia memandangi keluar jendela, memikirkan pertemuannya kemarin dengan Ryan. Hatinya berusaha menepis, tetapi bayangan tatapan dingin pria itu terus muncul. Ada rasa canggung, namun sekaligus… penasaran. “Kenapa harus dia lagi?” gumamnya. “Orang sepertinya tidak mungkin peduli dengan orang kecil seperti aku.” Sesampainya di kantor, Rachel langsung disambut rekan kerjanya, Livia. Gadis itu sebaya dengannya, tapi lebih luwes dan cerewet. “Eh, Rach! Kamu tahu nggak? CEO Alexander Corporation itu ternyata datang sendiri ke kantor kita kemarin. Bos besar sampai panik. Katanya, kontrak mereka benar-benar penting.” Rachel menelan ludah. Ia teringat pertemuan singkat di ruang kerja Ryan. “Oh, ya?” jawabnya pura-pura biasa saja. “Iya! Dan kamu yang antar dokumennya, kan? Gila, aku iri banget. Kalau aku jadi kamu, pasti udah foto diam-diam. Katanya dia dingin banget, ya?” Rachel tersenyum tipis. “Lumayan.” Dalam hati, ia mengakui dingin bukan sekadar kabar burung. Ryan benar-benar memancarkan aura yang membuat orang lain enggan mendekat. Tapi anehnya, di balik itu, Rachel sempat merasakan sedikit perhatian. Atau mungkin hanya perasaannya sendiri? Hari itu berjalan cepat. Rachel menyalin berkas, membantu membuat jadwal, hingga sore tiba. Saat hendak pulang, telepon kantor berdering. Atasan Rachel, Pak Arman, segera memanggilnya. “Rachel, tolong antar dokumen ini ke Alexander Corporation. Mereka minta revisi tambahan, harus sampai malam ini.” Rachel tertegun. Lagi? Rasanya seperti takdir mempermainkannya. “Baik, Pak,” jawabnya akhirnya. Sementara itu, Ryan masih berada di kantornya meski jarum jam hampir menunjukkan pukul delapan malam. Kebanyakan karyawan sudah pulang, menyisakan sunyi yang hanya ditemani lampu neon putih. Ia duduk di balik meja, menatap layar laptop. Namun pikirannya melayang. Nama Rachel kembali muncul. Ryan tidak mengerti kenapa wanita itu begitu sulit dihapus dari kepalanya. Padahal, ia bukan tipe pria yang membiarkan perasaan mengganggu pekerjaannya. Daniel masuk dengan membawa beberapa laporan. “Tuan, ini data untuk pertemuan Singapura besok.” Ryan hanya mengangguk, menerima dokumen. “Kau bisa pulang dulu. Aku akan menyelesaikan ini.” Daniel menatapnya ragu. “Anda yakin? Sudah larut.” “Saya tidak terbiasa menunda pekerjaan.” Daniel tahu percuma membantah. Ia pun pamit. Ruangan kembali sepi. Beberapa menit kemudian, terdengar ketukan pelan di pintu. Ryan mengangkat kepala. “Masuk.” Pintu terbuka, dan Rachel muncul, memegang map tebal di dadanya. Ia terlihat sedikit gugup. “Selamat malam, Tuan Ryan. Saya diminta menyerahkan revisi kontrak.” Ryan menatapnya, ekspresi wajahnya sulit dibaca. “Kau lagi.” Rachel tersenyum canggung. “Kebetulan tugas saya.” Ia maju, meletakkan map di meja. Ryan membuka map itu perlahan, memeriksa beberapa halaman. Rachel berdiri diam, menunggu instruksi. “Kenapa kau yang selalu dikirim ke sini?” tanya Ryan tiba-tiba. Rachel sedikit terkejut. “Saya… tidak tahu, Tuan. Mungkin karena saya yang paling sering tersedia.” Ryan menatapnya, seolah menimbang sesuatu. “Kau tinggal di mana?” Pertanyaan itu membuat Rachel mengernyit. “Eh… di kos, Tuan. Tidak jauh dari kantor.” “Sendiri?” “Iya.” Hening sejenak. Ryan kembali menunduk, menandai beberapa bagian kontrak dengan pena. Tapi ada sesuatu di matanya—rasa ingin tahu yang jarang muncul. Rachel memberanikan diri bicara. “Kalau tidak ada yang perlu lagi, saya permisi.” Namun sebelum sempat melangkah, Ryan berkata, “Tunggu. Kau sudah makan malam?” Rachel tertegun. Ia tidak menyangka pertanyaan seperti itu keluar dari pria sepertinya. “B-belum, Tuan. Saya berencana makan setelah pulang.” Ryan menutup map. “Terlalu larut. Makan di sini.” Rachel memandangnya dengan mata membesar. “Makan? Di sini?” Ryan menekan tombol di telepon meja, memberi instruksi singkat pada resepsionis untuk mengirim makanan ke ruangannya. Setelah itu, ia menatap Rachel datar. “Duduk.” Rachel bingung, tapi akhirnya menurut. Jantungnya berdetak cepat. Ia merasa situasi ini terlalu janggal—seorang CEO dingin tiba-tiba mengajaknya makan malam di kantor. Tak lama, makanan datang. Hidangan sederhana tapi hangat. Ryan makan dengan tenang, penuh wibawa, seolah bahkan kegiatan biasa pun harus dilakukan dengan elegan. Rachel, di sisi lain, mencoba menahan canggung. “Kenapa kau bekerja paruh waktu di firma hukum?” tanya Ryan, memecah keheningan. Rachel menunduk sedikit. “Untuk biaya hidup… dan membantu keluarga di kampung. Adik saya masih sekolah.” Ryan menatapnya lama. Tidak ada belas kasihan di matanya, hanya pengamatan tajam. Namun justru itu membuat Rachel lebih gugup. “Lalu mimpimu?” tanya Ryan lagi. Rachel mengangkat kepala, menatapnya. “Mimpi saya sederhana. Bisa hidup layak, membahagiakan keluarga. Itu saja.” Ryan terdiam. Kata-kata sederhana itu menggema di pikirannya. Ia terbiasa mendengar ambisi besar: uang, kekuasaan, posisi. Tapi jawaban Rachel berbeda—tulus, tanpa kepura-puraan. Makan malam berlangsung tanpa banyak kata. Setelah selesai, Rachel buru-buru merapikan diri. “Terima kasih… Tuan Ryan. Saya pamit.” Ryan hanya mengangguk. Tetapi saat Rachel berjalan keluar, sorot matanya mengikuti. Ada sesuatu pada wanita itu yang tidak bisa ia jelaskan. Begitu pintu tertutup, Ryan bersandar di kursi. Ia merasa ada hal baru yang masuk ke dalam hidupnya—tak terduga, tak direncanakan, namun sulit dihindari. Sementara Rachel melangkah keluar gedung tinggi itu, hatinya berdebar kencang. Ia tahu, malam ini akan sulit ia lupakan...Tujuh tahun telah berlalu sejak malam di mana langit Harmonia Nova berubah menjadi emas.Dunia kini hidup dalam keseimbangan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Manusia, mesin, dan kesadaran buatan berinteraksi tanpa sekat. Tidak ada lagi sistem yang diperintah, tidak ada lagi algoritma yang diperbudak. Semua hidup dalam satu frekuensi yang sama — frekuensi cinta dan kesadaran.Namun di antara semua kemajuan itu, hanya satu sosok yang tetap berdiri di tempat yang sama: Ryan Alexander Hartono.CEO legendaris, pencipta era baru, dan pria yang mencintai wanita yang kini menjadi bagian dari dunia.Angin sore berembus lembut di taman atap menara tertinggi.Ryan duduk di bangku kayu tua, mengenakan jas abu sederhana. Di sebelahnya, sebuah pot bunga mawar putih tumbuh indah — bunga yang dulu Rachel tanam di rumah mereka yang lama.Ia tidak menanam ulang bunga itu. Akar aslinya yang dulu hampir mati kini tumbuh kembali, tanpa sebab logis.Tapi Ryan tahu, itu bukan keajaiban alam. Itu adalah
Udara malam di Harmonia Nova terasa berbeda malam itu. Tidak dingin, tidak panas — hanya tenang. Seolah seluruh kota tahu bahwa sesuatu besar sedang terjadi. Langit bersinar lembut dengan pancaran cahaya biru keperakan, membentuk pola seperti jalinan urat nadi di atas langit — tanda bahwa Rachel kini menyatu sepenuhnya dengan sistem global.Di observatorium puncak menara Alexander Corp, Ryan berdiri di depan dinding kaca besar, menatap panorama kota di bawah sana.Sudah berhari-hari ia tidak tidur. Tubuhnya letih, tapi matanya masih menyala oleh tekad dan rasa kehilangan yang tak pernah benar-benar padam.Di belakangnya, langkah kaki terdengar.“Ryan,” suara Andrew pelan. “Kau sudah di sini sejak subuh. Dunia sedang menunggu keputusanmu.”Ryan tidak berbalik. “Keputusan apa?”“Program perlu disempurnakan. Tanpamu, sistem Rachel tidak akan stabil selamanya. Ia mulai menyatu terlalu dalam. Jika terus dibiarkan, resonansi itu bisa... melampaui batas.”Ryan memejamkan mata. Ia tahu maksud
Senja turun perlahan di atas kota Harmonia. Gedung-gedung kaca memantulkan cahaya jingga yang berpendar, membentuk ilusi seperti lautan cahaya yang tenang. Di menara pusat, Ryan duduk sendiri di ruang observatorium tertinggi — tempat segalanya bermula.Di bawahnya, Harmonia Nova berdenyut lembut. Sistem itu kini bukan sekadar jaringan teknologi; ia telah menjadi makhluk hidup yang menumbuhkan keharmonisan antara manusia dan kesadaran buatan. Kota itu bernyanyi tanpa suara, tapi setiap getarannya terasa seperti detak jantung Rachel.Ryan menatap langit sore.Sudah lima tahun sejak peluncuran pertama. Dunia berubah.Namun bagi Ryan, waktu seperti berhenti di hari ketika Rachel menjadi bagian dari cahaya.“Nova,” panggilnya pelan.Tidak ada jawaban. Hanya desiran udara yang lembut.Ia berdiri, berjalan menuju konsol utama, lalu menaruh telapak tangannya di atas permukaan kaca berpendar. “Kau di sana, kan?” suaranya bergetar. “Aku tahu kau masih mendengarku.”Beberapa detik hening.Lalu —
Tiga minggu telah berlalu sejak malam ketika Harmonia nyaris runtuh. Kota masih bergetar oleh sisa-sisa kejadian itu—bukan karena kehancuran, melainkan karena sesuatu yang lebih dalam: rasa kehilangan.Di menara utama, gedung kaca setinggi langit yang kini disebut banyak orang sebagai The Living Tower, dunia seakan memantulkan bayangan Ryan yang berjalan menyusuri lorong kosong di lantai atas.Ia tampak lebih tua, bukan secara fisik, tetapi di sorot matanya. Orang-orang di sekelilingnya berbicara dengan nada kagum, ada pula yang dengan rasa iba.Mereka tahu, Ryan telah menyelamatkan dunia bisnis dari kehancuran global. Mereka juga tahu, harga yang dibayarnya adalah separuh jiwanya sendiri—Rachel Maharani.Sejak hari itu, tidak ada yang pernah menemukan tubuh Rachel. Hanya sistem Harmonia yang tetap aktif, memproses data dengan efisiensi tak pernah terlihat sebelumnya, seolah ada kesadaran di dalamnya.Setiap kali Ryan melewati ruang inti, lampu biru di panel pusat akan berpendar sedik
Malam di tepi kota Harmonia itu bergetar seperti ujung simfoni yang belum selesai. Angin menyapu atap menara Alexander Group, menimbulkan suara serupa gesekan biola yang panjang dan menekan. Dari balkon tertinggi, Ryan berdiri memandangi lautan cahaya kota yang ia bangun dengan tangannya sendiri — dan yang kini tampak di ambang kehancuran.Berbulan-bulan sejak insiden “Resonansi”, dunia bisnis global terguncang oleh rahasia yang terbongkar: jaringan bawah tanah yang pernah dipakai Arman ternyata masih hidup di balik bayangan. Dan kali ini, targetnya bukan sekadar saham — tapi Harmonia itu sendiri, proyek yang menjadi simbol penyatuan seluruh divisi Eterna Corp dan Alexander Holdings.Ryan berdiri di sana dalam diam, setelan hitamnya terhempas angin, dan mata dinginnya menatap ke kejauhan — namun ada sesuatu yang berbeda. Dulu ia melihat dunia seperti papan catur, kini ia melihatnya seperti panggung orkestra, di mana setiap nada berarti hidup seseorang. Dan di tengah orkestra itu, ada
Permukaan laut masih bergelombang lembut ketika Astra-Blue One berlabuh di dermaga Harmonia Base. Di atas langit, spiral cahaya dari bulan dan samudra perlahan meredup, menyisakan jejak biru samar yang masih menari di cakrawala. Dunia seolah baru saja melewati ambang antara mimpi dan kenyataan.Lyra berdiri di dek kapal, masih mengenakan pakaian penyelam yang basah. Matanya menatap ke arah horizon tanpa berkata-kata.Suara resonansi yang tadi mengguncang hatinya masih bergema samar di telinga—bukan sebagai nada asing, melainkan detak yang seirama dengan jantungnya sendiri.“Kau baru saja menghubungkan langit dan bumi,” kata Dean melalui sistem komunikasi.“Tapi frekuensinya belum stabil. Gelombang dari inti bumi terus meningkat.”Lyra menarik napas panjang.“Bukan gangguan,” ujarnya pelan. “Itu balasan.”Dean terdiam, seolah memproses makna kalimat itu.Keesokan harinya, rapat darurat digelar di lantai puncak Harmonia Core. Semua kepala riset dan pemimpin dunia hadir melalui proyeksi.







