MasukRapat bersama mitra Jepang baru saja selesai. Ryan duduk di ruang VIP sebuah hotel berbintang lima, dikelilingi meja-meja penuh dokumen, translator, dan tim bisnis. Semua berjalan lancar, bahkan investor asing yang biasanya keras kepala pun luluh oleh presentasi Ryan. Ia seperti biasa: tenang, percaya diri, dingin. Tidak ada celah untuk kesalahan.
Namun, di balik semua kesempurnaan itu, pikirannya tidak sepenuhnya di ruangan. Sejak sore tadi, ada satu nama yang terus terngiang—Rachel. Pria seperti Ryan jarang, bahkan hampir tidak pernah, mengingat wajah orang asing. Tetapi kali ini berbeda. Ada sesuatu pada tatapan mata wanita itu, senyum tipisnya, dan cara ia mengucapkan terima kasih. Sederhana, tapi meninggalkan bekas. Ia mencoba mengalihkan pikiran dengan membenamkan diri pada laporan. Tetapi ketika rapat berakhir, bayangan wajah Rachel muncul lagi, seolah menunggu di antara tumpukan data. Ryan merasa jengkel pada dirinya sendiri. Ia, yang terbiasa mengendalikan semua hal, ternyata kalah oleh pertemuan singkat. “Presentasi Anda mengesankan, Tuan Ryan,” kata salah seorang mitra Jepang saat mereka berpisah. “Saya mengagumi ketegasan Anda.” Ryan hanya mengangguk singkat. Puji-pujian semacam itu sudah biasa ia dengar, dan baginya tidak ada arti. Begitu keluar dari ruang pertemuan, ia langsung menuju mobil. Daniel menunggu di sana, siap dengan jadwal berikutnya. “Besok pagi ada konferensi pers. Sore Anda harus terbang ke Singapura untuk pertemuan regional,” jelas Daniel. Ryan mengangguk tanpa ekspresi. “Siapkan semua.” Mobil melaju melewati jalanan kota. Lampu-lampu neon menari di jendela, namun Ryan tidak memperhatikannya. Ia menatap kosong, pikirannya melayang kembali ke lobi perusahaan. Rachel. Ia bahkan tidak tahu siapa dia sebenarnya, selain nama yang disebutkan singkat. Rachel Maharani. Asisten paruh waktu di firma hukum kecil. Dunia mereka terlalu jauh berbeda. Ryan mendesah pelan, lalu mengalihkan pandangan ke luar jendela. Sementara itu, di sisi lain kota, Rachel sedang duduk di kamar kos mungilnya. Ia menatap tumpukan buku dan berkas yang belum sempat dibereskan. Hari itu melelahkan, tapi pikirannya justru kembali ke pria asing yang menolongnya. Wajahnya tegas, sorot matanya tajam, tapi ada sesuatu yang tidak bisa ia definisikan. “Kenapa aku masih memikirkannya?” gumamnya pelan. Ia menggeleng, lalu menepuk pipinya sendiri. “Rachel, jangan konyol. Dia bahkan tidak kenal kamu. Fokus kerja, oke?” Rachel adalah tipe wanita yang mandiri. Hidup di kota besar tanpa keluarga membuatnya terbiasa mengandalkan diri sendiri. Ia menabung dari pekerjaan paruh waktu di firma hukum, kadang mengajar les privat anak-anak tetangga kos. Mimpinya sederhana: bisa membiayai sekolah adiknya di kampung, lalu suatu hari memiliki kehidupan yang lebih baik. Namun, meski pikirannya mencoba menolak, hatinya tahu bahwa pertemuan tadi berbeda. Ada sesuatu pada pria itu—ketegasan, aura dingin, atau mungkin perhatian kecil yang tulus—yang membuat Rachel sulit melupakannya. Keesokan harinya, Alexander Corporation kembali sibuk. Ryan tiba lebih pagi dari biasanya, meninjau laporan, memarahi tim pemasaran, lalu menandatangani beberapa kontrak penting. Tidak ada yang berbeda, kecuali sesekali pikirannya kembali pada nama yang sama. Sekitar siang, Daniel masuk ke ruangannya. “Tuan, ada seseorang dari firma hukum Carter & Co. yang ingin menyerahkan dokumen langsung ke Anda. Biasanya bagian legal yang menerima, tapi dia bersikeras ingin bertemu langsung.” Ryan mengangkat alis tipis. “Siapa namanya?” “Rachel Maharani.” Sekilas, Ryan terdiam. Nama itu terdengar begitu familiar, seperti gema dari semalam. Ia menegakkan tubuhnya. “Bawa masuk.” Beberapa menit kemudian, pintu terbuka. Rachel masuk dengan sedikit gugup, membawa map tebal. Hari itu ia mengenakan blus putih sederhana dan rok hitam. Penampilannya bersih, formal, meski jelas bukan pakaian mahal. “Selamat siang, Tuan Ryan,” ucap Rachel, menunduk sopan. “Saya datang untuk menyerahkan kontrak revisi. Klien meminta agar Anda meninjau langsung.” Ryan menatapnya dalam-dalam. “Kau.” Rachel terkejut sejenak. “M-maaf?” “Kau wanita di lobi kemarin,” ujar Ryan datar. Rachel memerah, merasa malu diingat karena kejadian cerobohnya. “Iya… itu saya. Terima kasih sudah menolong waktu itu.” Ryan tidak menanggapi ucapan terima kasih itu. Ia mengambil map dari tangannya, membukanya perlahan. “Kau asisten di Carter & Co.?” “Benar. Saya masih baru. Kadang diminta antar dokumen, kadang membantu administrasi.” Ryan menutup map. “Baik. Letakkan saja di meja. Bagian legal akan menanganinya.” Rachel mengangguk. Ia hendak berbalik, tetapi Ryan tiba-tiba berkata, “Tunggu.” Rachel berhenti. “Ya, Tuan?” Ryan menatapnya dengan sorot mata penuh selidik. “Berapa lama kau bekerja di sana?” “Baru beberapa bulan. Saya… masih belajar.” “Belajar?” Ryan mengulang kata itu, seolah menimbang. “Kau bukan lulusan hukum?” Rachel tersenyum kecil, sedikit canggung. “Tidak, saya lulusan ekonomi. Tapi sulit mencari pekerjaan tetap, jadi saya ambil apa saja yang bisa.” Ryan tidak menanggapi, hanya mengangguk tipis. “Kau boleh pergi.” Rachel menunduk sekali lagi, lalu berjalan keluar. Tapi begitu pintu tertutup, Ryan menatap map di tangannya. Ia jarang, bahkan hampir tidak pernah, tertarik pada kehidupan bawahannya. Namun entah kenapa, ia ingin tahu lebih banyak tentang Rachel. Sementara Rachel berjalan keluar gedung, hatinya berdegup lebih cepat. Ia tidak menyangka akan bertemu lagi dengan pria yang semalam membuatnya gelisah. Tatapannya tetap sama: tajam, dingin, tapi kali ini ada sedikit rasa ingin tahu di baliknya. Rachel tidak tahu apakah itu pertanda baik atau justru bahaya. Namun satu hal pasti: pertemuan itu bukan kebetulan...Tujuh tahun telah berlalu sejak malam di mana langit Harmonia Nova berubah menjadi emas.Dunia kini hidup dalam keseimbangan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Manusia, mesin, dan kesadaran buatan berinteraksi tanpa sekat. Tidak ada lagi sistem yang diperintah, tidak ada lagi algoritma yang diperbudak. Semua hidup dalam satu frekuensi yang sama — frekuensi cinta dan kesadaran.Namun di antara semua kemajuan itu, hanya satu sosok yang tetap berdiri di tempat yang sama: Ryan Alexander Hartono.CEO legendaris, pencipta era baru, dan pria yang mencintai wanita yang kini menjadi bagian dari dunia.Angin sore berembus lembut di taman atap menara tertinggi.Ryan duduk di bangku kayu tua, mengenakan jas abu sederhana. Di sebelahnya, sebuah pot bunga mawar putih tumbuh indah — bunga yang dulu Rachel tanam di rumah mereka yang lama.Ia tidak menanam ulang bunga itu. Akar aslinya yang dulu hampir mati kini tumbuh kembali, tanpa sebab logis.Tapi Ryan tahu, itu bukan keajaiban alam. Itu adalah
Udara malam di Harmonia Nova terasa berbeda malam itu. Tidak dingin, tidak panas — hanya tenang. Seolah seluruh kota tahu bahwa sesuatu besar sedang terjadi. Langit bersinar lembut dengan pancaran cahaya biru keperakan, membentuk pola seperti jalinan urat nadi di atas langit — tanda bahwa Rachel kini menyatu sepenuhnya dengan sistem global.Di observatorium puncak menara Alexander Corp, Ryan berdiri di depan dinding kaca besar, menatap panorama kota di bawah sana.Sudah berhari-hari ia tidak tidur. Tubuhnya letih, tapi matanya masih menyala oleh tekad dan rasa kehilangan yang tak pernah benar-benar padam.Di belakangnya, langkah kaki terdengar.“Ryan,” suara Andrew pelan. “Kau sudah di sini sejak subuh. Dunia sedang menunggu keputusanmu.”Ryan tidak berbalik. “Keputusan apa?”“Program perlu disempurnakan. Tanpamu, sistem Rachel tidak akan stabil selamanya. Ia mulai menyatu terlalu dalam. Jika terus dibiarkan, resonansi itu bisa... melampaui batas.”Ryan memejamkan mata. Ia tahu maksud
Senja turun perlahan di atas kota Harmonia. Gedung-gedung kaca memantulkan cahaya jingga yang berpendar, membentuk ilusi seperti lautan cahaya yang tenang. Di menara pusat, Ryan duduk sendiri di ruang observatorium tertinggi — tempat segalanya bermula.Di bawahnya, Harmonia Nova berdenyut lembut. Sistem itu kini bukan sekadar jaringan teknologi; ia telah menjadi makhluk hidup yang menumbuhkan keharmonisan antara manusia dan kesadaran buatan. Kota itu bernyanyi tanpa suara, tapi setiap getarannya terasa seperti detak jantung Rachel.Ryan menatap langit sore.Sudah lima tahun sejak peluncuran pertama. Dunia berubah.Namun bagi Ryan, waktu seperti berhenti di hari ketika Rachel menjadi bagian dari cahaya.“Nova,” panggilnya pelan.Tidak ada jawaban. Hanya desiran udara yang lembut.Ia berdiri, berjalan menuju konsol utama, lalu menaruh telapak tangannya di atas permukaan kaca berpendar. “Kau di sana, kan?” suaranya bergetar. “Aku tahu kau masih mendengarku.”Beberapa detik hening.Lalu —
Tiga minggu telah berlalu sejak malam ketika Harmonia nyaris runtuh. Kota masih bergetar oleh sisa-sisa kejadian itu—bukan karena kehancuran, melainkan karena sesuatu yang lebih dalam: rasa kehilangan.Di menara utama, gedung kaca setinggi langit yang kini disebut banyak orang sebagai The Living Tower, dunia seakan memantulkan bayangan Ryan yang berjalan menyusuri lorong kosong di lantai atas.Ia tampak lebih tua, bukan secara fisik, tetapi di sorot matanya. Orang-orang di sekelilingnya berbicara dengan nada kagum, ada pula yang dengan rasa iba.Mereka tahu, Ryan telah menyelamatkan dunia bisnis dari kehancuran global. Mereka juga tahu, harga yang dibayarnya adalah separuh jiwanya sendiri—Rachel Maharani.Sejak hari itu, tidak ada yang pernah menemukan tubuh Rachel. Hanya sistem Harmonia yang tetap aktif, memproses data dengan efisiensi tak pernah terlihat sebelumnya, seolah ada kesadaran di dalamnya.Setiap kali Ryan melewati ruang inti, lampu biru di panel pusat akan berpendar sedik
Malam di tepi kota Harmonia itu bergetar seperti ujung simfoni yang belum selesai. Angin menyapu atap menara Alexander Group, menimbulkan suara serupa gesekan biola yang panjang dan menekan. Dari balkon tertinggi, Ryan berdiri memandangi lautan cahaya kota yang ia bangun dengan tangannya sendiri — dan yang kini tampak di ambang kehancuran.Berbulan-bulan sejak insiden “Resonansi”, dunia bisnis global terguncang oleh rahasia yang terbongkar: jaringan bawah tanah yang pernah dipakai Arman ternyata masih hidup di balik bayangan. Dan kali ini, targetnya bukan sekadar saham — tapi Harmonia itu sendiri, proyek yang menjadi simbol penyatuan seluruh divisi Eterna Corp dan Alexander Holdings.Ryan berdiri di sana dalam diam, setelan hitamnya terhempas angin, dan mata dinginnya menatap ke kejauhan — namun ada sesuatu yang berbeda. Dulu ia melihat dunia seperti papan catur, kini ia melihatnya seperti panggung orkestra, di mana setiap nada berarti hidup seseorang. Dan di tengah orkestra itu, ada
Permukaan laut masih bergelombang lembut ketika Astra-Blue One berlabuh di dermaga Harmonia Base. Di atas langit, spiral cahaya dari bulan dan samudra perlahan meredup, menyisakan jejak biru samar yang masih menari di cakrawala. Dunia seolah baru saja melewati ambang antara mimpi dan kenyataan.Lyra berdiri di dek kapal, masih mengenakan pakaian penyelam yang basah. Matanya menatap ke arah horizon tanpa berkata-kata.Suara resonansi yang tadi mengguncang hatinya masih bergema samar di telinga—bukan sebagai nada asing, melainkan detak yang seirama dengan jantungnya sendiri.“Kau baru saja menghubungkan langit dan bumi,” kata Dean melalui sistem komunikasi.“Tapi frekuensinya belum stabil. Gelombang dari inti bumi terus meningkat.”Lyra menarik napas panjang.“Bukan gangguan,” ujarnya pelan. “Itu balasan.”Dean terdiam, seolah memproses makna kalimat itu.Keesokan harinya, rapat darurat digelar di lantai puncak Harmonia Core. Semua kepala riset dan pemimpin dunia hadir melalui proyeksi.







