Tawar menawar kemudian terjadi di antara mereka. Negosiasi yang saling menguntungkan bagi keduanya. Zaphira tak menyangka, harta yang dimiliki Rashya Afkar Alfarezer tak cuma hanya perusahaan di dalam negeri, namun investasi di luar negeri. Ayahnya, Tuan Imran Nadhirrizki belum cukup banyak mengetahui dari prilaku putra sulung dibalik sikapnya yang urakan dan angkuh, ternyata bisnisnya telah jauh melanglang buana lebih besar dari perusahaan milik keluarga. "Apakah ini sungguh-sungguh keputusan yang baik bagimu, Mas?" Zaphira bertanya penuh keraguan, dan kecemasannya begitu besar daripada manusia lumpuh yang terbaring di sampingnya. Dengan berat hati dia jadi terpaksa mengiyakan permintaan yang menjerat ke dalam masalah yang lebih pelik. "Tenang saja, Ra, rahasia ini akan aman selamanya. Pernikahan kontrak yang kita lakukan nanti dijelaskan kembali oleh pengacaraku. Kau mendapat bagian dari property mewah milikku di Jakarta, termasuk setengah aset perusahaan jika aku sudah pulih
Zaphira mencuci tangan bersih-bersih sebelum siap menyuap makan malam untuk CEO Rashya. Dia masih mengacuhkan pertanyaan tadi, menganggap pria itu cuma sedang bercanda atau berkhayal karena rasa kesepian di jiwa, setelah ditinggalkan keluarganya sebulan lalu. Sampai saat ini, tak satupun datang menjenguknya lagi seakan dicoret dari bagian anggota keluarga. Meskipun dulu Rashya pernah melarang mereka agar rela atas kepergiannya ke Bali, tapi bukan berarti tidak ditengok sama sekali. "Mas, ayo kamu makan dulu!" bujuknya pelan. Sang CEO tetap tidak mau membuka mulut sama sekali. Berpaling muka melirik ke arah lain, bukan ke gadis yang baru saja dilamarnya, yang tak mau menjawab, iya atau tidak. "Kamu kok masih ngambek, Mas? Jangan gitu dong, nanti kalau sakit lagi aku juga yang repot!" Zaphira pun mengeluh, meletakkan piring ke meja nakas di samping ranjang. "Dokter Darsono pasti mengomel padaku kalau kesehatanmu semakin menurun karena banyak pikiran." "Mengapa kalian tidak b
Minyak zaitun dikucurkan ke telapak tangan Zaphira, diusapkan ke lengan dan tungkai kaki Rashya berharap otot dan sendinya segera pulih. Sayangnya, pria angkuh itu tidak merasakan apa-apa. Tubuh lumpuhnya seperti mati, kecuali kedua lengan yang masih lemah, namun masih bisa digerakkan. "Mas Rashya, kamu baik-baik saja?" tanyanya khawatir. Belakangan ini putra Tuan Imran lebih banyak diam. Sebulan tinggal di villa Bali seakan pria itu kehilangan sesuatu yang besar dalam hidupnya melebihi masalah kelumpuhan. Pandangannya kosong membuat Zaphira khawatir luar biasa. "Mas, bicara dong! Memang aku patung dicuekin begini, apa ada sesuatu dipikirkan tolong ceritakan saja ke diriku biar kamu 'ga punya beban?" desaknya begitu penasaran. "Hmm-- apa kau menyukai adikku, 'Ra?" Rashya melirik ke perawat pribadinya, "Tubuhku memang lumpuh, tetapi mataku mampu melihat bagaimana sikap Arzu sangat tertarik padamu beberapa waktu lalu!" "Arzu? Mas pasti lagi bercanda kan?!" Zaphira melongo me
Di sebuah pesta undangan kolega, Nizar Utomo fokus menatap putri Adi Tuan Hadiningrat dari kejauhan. Gadis cantik yang seringkali membatalkan pertemuan mereka, dan tak menemuinya di kantor lagi. Hingga akhirnya berjumpa di sini, namun Marcella tak datang sendirian. Arzu sedang menggandeng begitu mesra kekasihnya! Sungguh tak dapat dipercaya, adik Rashya mengambil posisi dirinya begitu cepat. Pandangan tajam Nizar yang penuh kecemburuan tak bisa disembunyikan lagi. Saat Arzu sedang sibuk bertemu kolega yang lain, dia melihat ada kesempatan berbicara dengannya, berjalan cepat menghampiri. "Hai Cella, apa kabarmu, sayang?" sapanya pelan. Marcella menoleh saat mengambil prasmanan mewah disajikan di atas meja. Tangan lentik berhenti sejenak, lalu mengacuhkan kehadiran pria yang mengejarnya tanpa henti, dan membuat keadaan tidak nyaman bagi mereka berdua. Nizar melakukan hal sama, mengambil piring mengisi beberapa kue, sambil berbisik pelan, "Aku dengar kau ke Bali bersama keluarga
Debur ombak laut pelan menuju pesisir pantai tempat Zaphira duduk melamun seorang diri. Hatinya sedikit tenang, pasien ditinggalkan bersama keluarga di villa, sementara dia sedang menikmati suasana pulau Bali yang menakjubkan untuk pertama kali bekerja sekaligus beribur di dalam hidupnya. "Hai 'Ra, boleh aku temani kau duduk di sini?" Tiba-tiba, suara Arzu mengusik dan mendekati diam-diam gadis itu lagi. Sikapnya pantang menyerah dengan segala cara ditempuh untuk mendapatkannya. Zaphira mendongak terasa dirinya keberatan, tapi pria brengsek itu selalu memaksa. "Sebaiknya kau jangan berlama-lama di sini, Marcella pasti tidak senang jika tahu berdekatan lagi denganku!" cegahnya, tak mau mendapat masalah berurusan lagi dengan putri Tuan Adi Hadiningrat yang angkuh dan sombong. Adik Rahsya mengulum senyum menganggap mudah semua persoalan keluarganya. "Santai aja 'Ra, dia 'kan tunangan Rashya, mana mungkin aku begitu berani merebutnya," tukasnya berkelit, lalu memilih duduk di sampi
Tuan Imran Nadhirrizki mengamati seksama metode pelayanan perawat pribadi ke Rashya. Terlihat Zaphira begitu terampil dalam membangun kenyamanan dan ketenangan yang diperlukan putranya bagai harmoni telah lama menyatu. Kadang kala terdengar seruan perdebatan kecil seperti adik dan kakak di saat pasien banyak maunya. Persis saat Arzu dan Rasyha kecil dulu, namun kini setelah dewasa terpecah belah sulit membuat mereka rukun kembali. Dua hari keluarganya berlibur di pulau Bali menikmati debur ombak laut dan menyusuri pantai. Villa mereka begitu luas, memiliki banyak kamar dengan sentuhan etnik klasik Bali dan Eropa, serta teras taman belakang dengan pemandangan laut yang indah. Dokter Darsono mengontak rekan seprofesi memeriksa keadaan Rashya secara berkala, memberi terapi khusus melatih sendi dan ototnya. Semua sudah sesuai dengan rencana yang diminta pasien. Nyonya Sisca belum sepenuhnya percaya, bersikeras menentang Zaphira yang begitu dekat ke putranya, melebihi dari calon