Share

CEO MESUM itu SUAMIKU
CEO MESUM itu SUAMIKU
Author: Wii

Bab 1 Hamil

"Selamat ya, Bu. Hasil menunjukkan bahwa anda memang sedang hamil."

Gea mematung mendengar hasil pemeriksaan itu. Memang, sudah dua minggu lebih ia merasakan mual dan pusing yang berkepanjangan. Tapi, dia tidak menyangka bahwa kini sebuah janin telah berkembang di rahimnya—hasil perbuatan Ervan sang bos sekaligus CEO tempatnya bekerja.

Hancur sudah harapan Gea. Haruskah ia mengatakan hal ini pada pria brengsek yang melecehkannya?

"Ini hasil tesnya dan ini resep yang harus Anda tebus. Saya sarankan untuk tidak terlalu stres ya, Bu. Usia kehamilan yang masih muda sangat rentan mengalami keguguran. Jadi, tetap harus dijaga, baik itu dari pola makan ataupun pola pikir. Beritahukan juga pada suami ya, Bu," jelas dokter obgyn itu lagi.

Gea sontak tersenyum getir. 

Suami? Bahkan, Gea belum menikah! Apa yang harus ia katakan pada Ibunya? Namun, wanita berusia 27 tahun itu tak mungkin mengatakannya di hadapan sang dokter. 

Dengan nada lemas, Gea pun akhirnya membalas ucapannya, "Baik, Dok. Saya permisi."

Tak lama, wanita malang itu berjalan keluar–meninggalkan ruangan tersebut. 

Gea benar-benar hancur. Ia harus memikul beban berat seperti ini! 

"Dia harus tanggung-jawab," batin Gea.

Gea pun berjalan cepat, hingga menjalankan sepeda motornya menuju ke kantor. 

Bagaimanapun juga, Ervan wajib menikahinya. Peduli setan dengan rumor buruk yang mengitari pria itu, yang jelas anaknya harus sah di mata hukum!

Sepeda motor itu pun melaju cukup kencang. Jalanan yang padat tidak menyurutkan tekad Gea untuk menemui Ervan.

Hingga beberapa saat kemudian, Gea sampai di parkiran kantor. 

Wanita itu bergegas masuk ke dalam dan melewati beberapa orang yang menyapanya. Namun, dia terkejut begitu mendengar suara wanita di depan ruangan Ervan.

"Lo harus tanggung-jawab, Van! Gue hamil anak lo! Kan udah gue suruh lo buat pakai pengaman! Lo sengaja mau buat gue susah sama anak lo ini, hah?!"

Deg!

Wanita mana lagi yang sudah dinodai oleh Ervan?

Gea sontak menahan diri untuk masuk ke dalam. Dia harus memastikan masalah ini lagi.

Kini, Gea dapat mendengar Ervan mendecak malas sebelum kembali berkata, "Sebutin aja nominalnya. Entar gue kasih cek langsung buat lo. Nggak usah ribet jadi manusia. Tinggal lo aborsi kan selesai."

"Biji mata lo itu selesai! Lo pikir aborsi itu nggak sakit, hah?! Sama aja lo siksa gue!"

"Bukannya melahirkan juga sakit ya. Terus, apa bedanya?"

Gea sontak menggelengkan kepala. Segampang itu Ervan mengatakannya? 

Pria itu tidak pernah merasakan menjadi seorang wanita! 

Hamil saja terkadang bisa membuat sakit. Apalagi melahirkan. Dan sekarang, dengan mudahnya Ervan menyuruh wanita itu untuk melakukan aborsi.

"Kurang ajar," gerutu Gea yang tanpa sadar mengepalkan tangan kesal.

"Woy, Ge!"

Suara Sherly–temannya yang baru saja tiba di kantor–mengagetkan Gea.

"Ssstt! Jangan keras-keras ngomongnya," bisik Gea refleks–meminta Sherly untuk memelankan suaranya. 

"Kenapa?"

"Di dalam, ada cewek yang minta tanggung-jawab lagi sama Pak Ervan," jawab Gea.

Sherly membulatkan mata. "Lagi?"

"Iya."

Sherly seketika ikut bergabung bersama Gea untuk mendengarkan percakapan rahasia Ervan dan wanita yang sedang meminta pertanggung-jawaban itu.

“Gue tahu, lo sering ngelakuin aborsi janin lo dari pria lain. Perlu gue kasih lihat video waktu lo aborsi?"

Suara datar Ervan terdengar mendominasi

Wanita cantik itu tiba-tiba terdiam. 

Sedangkan Gea dan Sherly masih menunggu jawaban wanita itu dari balik pintu.

"Oke. Gue minta satu milyar dan gue bakal pergi dari kehidupan lo."

“Ck!” Dengan santai, Ervan lantas menuliskan nominal uang yang disebutkan oleh wanita itu di atas kertas cek miliknya. 

Setelah itu, Ervan memberikan cek tersebut pada wanita yang telah ia hamili.

"Cukup?" tanya Ervan.

"Cukup. Permisi."

Mendengar itu, Gea dan Sherly bergegas mencari posisi yang aman agar tidak ketahuan saat wanita itu keluar dari ruangan Ervan. 

Sherly bahkan menarik Gea ke dalam ruangan mereka untuk membahas masalah itu. Mulut Sherly sudah sangat gatal untuk bergosip tentang Ervan.

Sengaja, dia mengunci pintu ruangan agar Ervan tidak masuk secara tiba-tiba. 

"Kenapa dikunci pintunya, Ly? Entar Pak Ervan perlu sama gue gimana?" tanya Gea–bingung.

"Ck! Tenang aja. Dia nggak bakal ganggu lo," ujar Sherly santai. "Lagian gue bingung sama Pak Ervan deh. Selalu menggampangkan sesuatu. Sementang dia punya banyak uang, terus bisa berbuat sesuka hatinya aja."

Gea menyetujui hal itu. Selama menjadi sekretaris Ervan, tak pernah sedikitpun Gea melihat kebaikan dalam diri Ervan. Entah sudah berapa wanita yang datang ke kantor untuk menemuinya karena hal sensitif.

Apa yang ada dalam pikiran pria itu? Bahkan saat ini, Gea juga sedang hamil anak dari Ervan. Apakah Ervan juga akan bersikap sama pada Gea? Gea mendadak takut.

"Ge!"

Gea tersentak dari lamunannya. "Ya?"

"Ih! Lo ngelamun mulu sih! Dari tadi gue ngomong nggak lo dengar," protes Sherly.

"Oh, maaf, Ly. Gue juga lagi mikirin, kenapa Pak Ervan kayak gitu. Apa dia nggak takut kena karma ya?"

"Orang kayak gitu mah nggak akan takut karma, Ge. Otaknya udah geser. Nggak bisa dibenerin. Kesel gue," ucap Sherly.

Saat mereka berdua mulai terdiam, barulah terdengar suara ketukan pintu yang cukup kuat dari arah luar. 

Gea dan Sherly tampak panik. 

Sherly memberanikan diri untuk membuka pintu, sedangkan Gea hanya berdiri mematung di dekat mejanya sambil berusaha menguatkan mental sebelum disemprot dengan kata-kata pedas dari mulut Ervan. 

"Kenapa pintunya dikunci?!" Ervan seketika membentak Sherly.

Bahkan, pria itu memandang Sherly yang masih berdiri di dekat pintu dengan sangat tajam. 

"Ehm, anu … Pak-"

"Apa anu-anu?! Kalau ngomong itu yang jelas! Jangan berbelit-belit!" teriak Ervan. Memancing beberapa karyawan yang kebetulan lewat di depan ruangan Sherly dan Gea untuk melihat keributan itu. "Aku paling benci lihat karyawan yang suka kunci pintu ruangan! Memangnya ini ruangan nenek moyang kalian, hah?!"

Gea dan Sherly hanya bisa diam sambil menunduk. Mereka tidak tahu harus mengatakan apa. 

Sejak awal Sherly mengunci pintu, Gea sudah merasakan hal buruk akan terjadi dan firasat itu benar. Sekarang, mereka harus berhadapan dengan kemarahan Ervan.

"Saya minta maaf, Pak," ucap Sherly pada akhirnya. Tapi pandangannya masih terus ke bawah karena takut menatap mata tajam Ervan.

"Kamu yang kunci pintunya?!" tanya Ervan pada Sherly dengan nada yang tinggi.

Sherly mengangguk pelan. "I-Iya, Pak."

"Mulai hari ini sampai lima hari ke depan, kamu di-skors," putus Ervan sebelum pria itu menatap Gea dengan tajam, “Dan Gea, kamu ikut saya segera!” 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status