"Selamat ya, Bu. Hasil menunjukkan bahwa anda memang sedang hamil."
Gea mematung mendengar hasil pemeriksaan itu. Memang, sudah dua minggu lebih ia merasakan mual dan pusing yang berkepanjangan. Tapi, dia tidak menyangka bahwa kini sebuah janin telah berkembang di rahimnya—hasil perbuatan Ervan sang bos sekaligus CEO tempatnya bekerja.
Hancur sudah harapan Gea. Haruskah ia mengatakan hal ini pada pria brengsek yang melecehkannya?
"Ini hasil tesnya dan ini resep yang harus Anda tebus. Saya sarankan untuk tidak terlalu stres ya, Bu. Usia kehamilan yang masih muda sangat rentan mengalami keguguran. Jadi, tetap harus dijaga, baik itu dari pola makan ataupun pola pikir. Beritahukan juga pada suami ya, Bu," jelas dokter obgyn itu lagi.
Gea sontak tersenyum getir.
Suami? Bahkan, Gea belum menikah! Apa yang harus ia katakan pada Ibunya? Namun, wanita berusia 27 tahun itu tak mungkin mengatakannya di hadapan sang dokter.
Dengan nada lemas, Gea pun akhirnya membalas ucapannya, "Baik, Dok. Saya permisi."
Tak lama, wanita malang itu berjalan keluar–meninggalkan ruangan tersebut.
Gea benar-benar hancur. Ia harus memikul beban berat seperti ini!
"Dia harus tanggung-jawab," batin Gea.
Gea pun berjalan cepat, hingga menjalankan sepeda motornya menuju ke kantor.
Bagaimanapun juga, Ervan wajib menikahinya. Peduli setan dengan rumor buruk yang mengitari pria itu, yang jelas anaknya harus sah di mata hukum!
Sepeda motor itu pun melaju cukup kencang. Jalanan yang padat tidak menyurutkan tekad Gea untuk menemui Ervan.
Hingga beberapa saat kemudian, Gea sampai di parkiran kantor.
Wanita itu bergegas masuk ke dalam dan melewati beberapa orang yang menyapanya. Namun, dia terkejut begitu mendengar suara wanita di depan ruangan Ervan.
"Lo harus tanggung-jawab, Van! Gue hamil anak lo! Kan udah gue suruh lo buat pakai pengaman! Lo sengaja mau buat gue susah sama anak lo ini, hah?!"
Deg!
Wanita mana lagi yang sudah dinodai oleh Ervan?
Gea sontak menahan diri untuk masuk ke dalam. Dia harus memastikan masalah ini lagi.
Kini, Gea dapat mendengar Ervan mendecak malas sebelum kembali berkata, "Sebutin aja nominalnya. Entar gue kasih cek langsung buat lo. Nggak usah ribet jadi manusia. Tinggal lo aborsi kan selesai."
"Biji mata lo itu selesai! Lo pikir aborsi itu nggak sakit, hah?! Sama aja lo siksa gue!"
"Bukannya melahirkan juga sakit ya. Terus, apa bedanya?"
Gea sontak menggelengkan kepala. Segampang itu Ervan mengatakannya?
Pria itu tidak pernah merasakan menjadi seorang wanita!
Hamil saja terkadang bisa membuat sakit. Apalagi melahirkan. Dan sekarang, dengan mudahnya Ervan menyuruh wanita itu untuk melakukan aborsi.
"Kurang ajar," gerutu Gea yang tanpa sadar mengepalkan tangan kesal.
"Woy, Ge!"
Suara Sherly–temannya yang baru saja tiba di kantor–mengagetkan Gea.
"Ssstt! Jangan keras-keras ngomongnya," bisik Gea refleks–meminta Sherly untuk memelankan suaranya.
"Kenapa?"
"Di dalam, ada cewek yang minta tanggung-jawab lagi sama Pak Ervan," jawab Gea.
Sherly membulatkan mata. "Lagi?"
"Iya."
Sherly seketika ikut bergabung bersama Gea untuk mendengarkan percakapan rahasia Ervan dan wanita yang sedang meminta pertanggung-jawaban itu.
“Gue tahu, lo sering ngelakuin aborsi janin lo dari pria lain. Perlu gue kasih lihat video waktu lo aborsi?"
Suara datar Ervan terdengar mendominasi
Wanita cantik itu tiba-tiba terdiam.
Sedangkan Gea dan Sherly masih menunggu jawaban wanita itu dari balik pintu.
"Oke. Gue minta satu milyar dan gue bakal pergi dari kehidupan lo."
“Ck!” Dengan santai, Ervan lantas menuliskan nominal uang yang disebutkan oleh wanita itu di atas kertas cek miliknya.
Setelah itu, Ervan memberikan cek tersebut pada wanita yang telah ia hamili.
"Cukup?" tanya Ervan.
"Cukup. Permisi."
Mendengar itu, Gea dan Sherly bergegas mencari posisi yang aman agar tidak ketahuan saat wanita itu keluar dari ruangan Ervan.
Sherly bahkan menarik Gea ke dalam ruangan mereka untuk membahas masalah itu. Mulut Sherly sudah sangat gatal untuk bergosip tentang Ervan.
Sengaja, dia mengunci pintu ruangan agar Ervan tidak masuk secara tiba-tiba.
"Kenapa dikunci pintunya, Ly? Entar Pak Ervan perlu sama gue gimana?" tanya Gea–bingung.
"Ck! Tenang aja. Dia nggak bakal ganggu lo," ujar Sherly santai. "Lagian gue bingung sama Pak Ervan deh. Selalu menggampangkan sesuatu. Sementang dia punya banyak uang, terus bisa berbuat sesuka hatinya aja."
Gea menyetujui hal itu. Selama menjadi sekretaris Ervan, tak pernah sedikitpun Gea melihat kebaikan dalam diri Ervan. Entah sudah berapa wanita yang datang ke kantor untuk menemuinya karena hal sensitif.
Apa yang ada dalam pikiran pria itu? Bahkan saat ini, Gea juga sedang hamil anak dari Ervan. Apakah Ervan juga akan bersikap sama pada Gea? Gea mendadak takut.
"Ge!"
Gea tersentak dari lamunannya. "Ya?"
"Ih! Lo ngelamun mulu sih! Dari tadi gue ngomong nggak lo dengar," protes Sherly.
"Oh, maaf, Ly. Gue juga lagi mikirin, kenapa Pak Ervan kayak gitu. Apa dia nggak takut kena karma ya?"
"Orang kayak gitu mah nggak akan takut karma, Ge. Otaknya udah geser. Nggak bisa dibenerin. Kesel gue," ucap Sherly.
Saat mereka berdua mulai terdiam, barulah terdengar suara ketukan pintu yang cukup kuat dari arah luar.
Gea dan Sherly tampak panik.
Sherly memberanikan diri untuk membuka pintu, sedangkan Gea hanya berdiri mematung di dekat mejanya sambil berusaha menguatkan mental sebelum disemprot dengan kata-kata pedas dari mulut Ervan.
"Kenapa pintunya dikunci?!" Ervan seketika membentak Sherly.
Bahkan, pria itu memandang Sherly yang masih berdiri di dekat pintu dengan sangat tajam.
"Ehm, anu … Pak-"
"Apa anu-anu?! Kalau ngomong itu yang jelas! Jangan berbelit-belit!" teriak Ervan. Memancing beberapa karyawan yang kebetulan lewat di depan ruangan Sherly dan Gea untuk melihat keributan itu. "Aku paling benci lihat karyawan yang suka kunci pintu ruangan! Memangnya ini ruangan nenek moyang kalian, hah?!"
Gea dan Sherly hanya bisa diam sambil menunduk. Mereka tidak tahu harus mengatakan apa.
Sejak awal Sherly mengunci pintu, Gea sudah merasakan hal buruk akan terjadi dan firasat itu benar. Sekarang, mereka harus berhadapan dengan kemarahan Ervan.
"Saya minta maaf, Pak," ucap Sherly pada akhirnya. Tapi pandangannya masih terus ke bawah karena takut menatap mata tajam Ervan.
"Kamu yang kunci pintunya?!" tanya Ervan pada Sherly dengan nada yang tinggi.
Sherly mengangguk pelan. "I-Iya, Pak."
"Mulai hari ini sampai lima hari ke depan, kamu di-skors," putus Ervan sebelum pria itu menatap Gea dengan tajam, “Dan Gea, kamu ikut saya segera!”
"Apa ini?" tanya Ervan sambil menunjukkan surat yang ia temukan barusan. "Apa benar kamu hamil?"Seketika Gea terkejut melihat surat itu ada di tangan Ervan. Bagaimana bisa? Batin Gea."I-Iya, Pak," jawab Gea sambil menunduk dan berusaha mengingat dimana terakhir kali ia meletakkan surat itu. Ceroboh sekali!Ervan menatap mata Gea dengan penuh selidik. Tadi, tidak sengaja Ervan mendapatkan surat itu di depan ruangan saat hendak ke toilet. Ervan membaca surat itu dan merasa terkejut. Itu sebabnya dia memanggil Gea untuk ke ruangannya."Kenapa kamu bisa hamil?" tanya Ervan.Gea langsung menegakkan kepalanya. Dengan emosi, dia menatap Ervan dengan tajam lalu berkata, "Bapak tanya kenapa? Harusnya saya yang tanya. Kenapa Bapak nodai saya waktu itu? Anak yang ada dalam kandungan saya itu anak Bapak!""Hah?" Ervan terkejut beberapa saat, lalu menggelengkan kepala. "Nggak! Itu nggak mungkin!""Apanya yang nggak mungkin, Pak? Cuma Bapak yang berani sentuh saya sampai sejauh ini. Masih mau meng
"Assalamualaikum."Gea menjawab panggilan telepon dari Sherly saat tengah sibuk mengerjakan pekerjaannya. Ia merindukan Sherly yang hari ini terpaksa pulang karena di-skors. Terlebih, baru saja dia kembali bertengkar dengan atasan tak tahu dirinya itu."Waalaikumsalam," jawab Sherly cepat dari ujung telepon. "Gimana hari ini?""Apanya yang gimana?" tanya Gea tak mengerti. 'Apa Sherly tahu...?'Belum sempat mengatakan apapun, Sherly kembali berbicara panjang lebar, "Ya kerjaannya dong. Kan hari ini lo kerja sendirian. Gimana perasaan anda, Nona Gea Shanindya."Gea sontak tertawa mendengar Sherly menyebut nama panjangnya. Jika sedang kesal, Sherly akan melakukan hal itu. Jadi, bagi Gea, itu sudah biasa."Tuhkan, kebiasaan nih anak. Pasti lagi bengong kan?" terka Sherly semakin kesal.Gea tertawa lagi dan menjawab, "Iya, maaf ya. Jangan ngambek dong.""Udah ah. Males. Mau ngambek aja. Bete."Gea pun menyandarkan tubuhnya di kursi. Punggungnya terasa pegal karena terus menelungkup sejak
"Hu-Hukuman? Hukuman apa, Pak?" panik Gea.Namun, Ervan tidak menjawab dan hanya menyeringai. Tiba-tiba, pria itu menarik tangan Gea hingga jarak mereka cukup dekat. Tanpa memikirkan perasaannya, Ervan mencium bibir ranum wanita itu. Melumatnya dengan kasar."Hentikan, Pak!" teriak Gea sambil terus memberontak.Tapi sayang, Ervan mengabaikan teriakan Gea."Hentikan!" Gea kembali berteriak dan mendorong tubuh Ervan hingga menyentuh pintu.Gea mengusap bibirnya yang ternodai dengan kasar. Air mata sudah mengalir deras. "Apa yang udah Bapak lakuin ke saya, hah?! Bapak mau nodai saya lagi?! Apa belum cukup Bapak buat saya menderita?!""Nggak usah sok merasa paling menderita deh. Kamu tuh bukan siapa-siapa di sini," ucap Ervan tanpa rasa bersalah, "Kalau masih mau kerja sama aku, turuti aja apa yang aku mau. Nggak usah berontak.""Nggak! Saya nggak mau!" tolak Gea merasa terhina. Dia memang berusaha bersikap biasa saja sejak insiden waktu itu. Tapi, Ervan sudah melewati batas! Sejak awal
Mendengar ancaman Gea, nyali Ervan tiba-tiba menciut. Ada rasa kesal. Tapi, Ervan tidak mungkin melanjutkan hasratnya. Bisa heboh satu perusahaan jika Gea benar-benar menyebarkan berita itu. Reputasi Ervan dan keluarganya bisa tercoreng...."Ck! Oke, oke ... aku bakal keluar," ucap Ervan. "Tapi, urusan kita belum selesai. Ingat itu!"Ervan melenggang pergi dengan kesal dan membanting pintu saat keluar. Setelah kepergian Ervan, tubuh Gea lemas sampai terduduk di lantai sambil menangis.Sedangkan Ervan menggeram kesal di ruangannya sendiri karena merasa ditolak oleh wanita itu. Baru kali ini Ervan mendapat penolakan. Apalagi Ervan juga ditampar oleh Gea."Sialan tuh cewek! Berani banget dia nampar pipi gue!" gerutu Ervan. "Nggak terima gue!"Ervan duduk di kursi dengan kasar. "Awas lo, Gea. Gue bakal kasih perhitungan buat lo." ****Gea menatap jam dinding. Waktu jam kerja sudah habis. Pekerjaannya juga sudah selesai. Kini, Gea bersiap untuk pulang ke rumah. Setelah kejadian pukul 10.
Ervan baru tiba di kediamannya dengan raut wajah lelah dan pusing. Bagaimana tidak pusing? Dalam waktu dekat, Ervan harus menikah dengan karyawannya sendiri. Tak pernah terbayangkan dalam benak Ervan, dirinya akan menikah dengan paksaan seperti ini. Semuanya terasa rumit bagi Ervan. Padahal Ervan belum siap dengan komitmen.Pria berusia 30 tahun itu menghempaskan tubuhnya di atas sofa sambil menghela napas lelah.Bagus Pramudji, sang ayah, menghampiri Ervan yang sedang menutup mata di sofa."Ervan," panggil pria berusia 60 tahun itu.Namun, Ervan hanya membuka matanya sekilas, kemudian menutupnya lagi. Setelah itu, ia bertanya, "Apa?""Kalau dipanggil orang tua itu yang bagus jawabnya. Duduk. Jangan tiduran kayak gitu," celoteh Bagus kesal.Ervan mendecak kesal dan terpaksa membuka mata sambil duduk tegak. Ia menatap Bagus yang sudah duduk di sofa satunya lagi. "Ada apa, Pa?""Papa mau tanya soal kemajuan perusahaan. Ada laporan nggak enak yang Papa dapat dari pihak keuangan. Katanya
"Kayaknya udah kebelet deh, Ma," celetuk Bagus. "Maklum, dia kan bolak balik ganti pasangan. Tapi nggak ada yang langgeng."Suasana tegang tiba-tiba berakhir setelah celetukan dari Bagus. Ervan hanya bisa bersungut menatap sang ayah yang tidak bisa mengendalikan ucapannya. "Nggak gitu juga kali, Pa. Aku nikah kan karena desakan kalian juga. Memangnya mau aku jomblo terus?""Ya nggak dong," ujar Nurma."Yaudah. Besok biar aku bawa dia ke sini. Sekalian kenalan sama Mama. Kalau Papa udah tahu orangnya. Aku mau mandi dulu. Gerah," pamit Ervan dan langsung beranjak pergi ke kamar sambil memungut dasi dan jas yang terjatuh di lantai.Sedangkan Bagus dan Nurma tampak tersenyum bahagia. Walaupun dadakan, mereka tetap senang karena Ervan akhirnya akan melepas masa lajang dalam waktu dekat."Punya mantu kita, Ma!"****Di tempat lain, Gea juga menceritakan rencana pernikahannya dengan Ervan pada sang Ibu. Hal tersebut tentunya membuat sang Ibu yang bernama Lastri Haryani hampir pingsan mende
Untungnya, Gea dapat mengendalikan ekspresinya dengan cepat. Dia tidak mau diejek oleh pria di hadapannya ini."Ooh," ucap Gea singkat."Gitu aja responnya?"Ervan menatap Gea penuh selidik. "Hhm?" Gea menatap bingung. "Terus, saya harus gimana dong?""Ya, setidaknya seneng gitu. Happy. Bukannya cewek-cewek bakalan happy ya kalau dikenalin ke calon mertuanya? Kamu kok enggak?"Gea menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia juga bingung harus bereaksi apa. Dia memang terkejut karena belum pernah mengalami hal ini sebelumnya. Tapi, apa harus senang menemui orang tua dari pria yang telah menodainya?"Ehm, ya mungkin karena kita nggak saling cinta kali," ujar Gea asal. "Makanya saya biasa aja. Bapak, eh Mas Ervan juga nggak cinta kan sama saya?"Deg!Kini, gantian jantung Ervan berdetak kencang. Entah apa yang terjadi, yang jelas, dirinya hanya bisa mendengus kesal. Ia tidak menduga respon Gea akan seperti itu. Memang mereka menikah tanpa cinta. Tapi, setidaknya berikan respon yang bisa mem
"Ups!" Gea menutup mulutnya karena sudah salah panggil. "Iya, maaf. Kok nomornya beda?" tanyanya kemudian."Bedalah. Ini nomor khusus. Yang biasanya nomor untuk kantor sama yang lain-lain. Ini khusus buat nelpon kamu sama orang tuaku aja."Gea mengatupkan bibirnya. Merasa dispesialkan oleh pria sangar nan menyebalkan itu. "Nggak usah mikir yang aneh-aneh dan nggak usah kepedean," celetuk Ervan tiba-tiba."Ish!" desis Gea kesal."Yaudah jangan lupa disimpan."Bip!Belum sempat Gea menjawab, panggilan sudah diakhiri oleh Ervan. Gea yang geram dan kesal hampir saja melempar ponselnya."Huft!"Emosi Gea terus terkuras hari ini hanya karena berhadapan dengan makhluk kurang ajar itu. Gea pun memutuskan untuk tidur.Mulai detik ini dan seterusnya, Gea harus terbiasa dengan sikap Ervan yang labil seperti anak ABG, meskipun usianya sudah 30 tahun!*****Gea tiba di kantor pukul 07.30 pagi, seperti biasanya. Meski dia sebentar lagi akan menjadi istri dari pria itu, Gea tidak bermegah diri. Dia