Share

Bab 2 Ketahuan

"Apa ini?" tanya Ervan sambil menunjukkan surat yang ia temukan barusan. "Apa benar kamu hamil?"



Seketika Gea terkejut melihat surat itu ada di tangan Ervan. Bagaimana bisa? Batin Gea.



"I-Iya, Pak," jawab Gea sambil menunduk dan berusaha mengingat dimana terakhir kali ia meletakkan surat itu. Ceroboh sekali!



Ervan menatap mata Gea dengan penuh selidik. Tadi, tidak sengaja Ervan mendapatkan surat itu di depan ruangan saat hendak ke toilet. Ervan membaca surat itu dan merasa terkejut. Itu sebabnya dia memanggil Gea untuk ke ruangannya.



"Kenapa kamu bisa hamil?" tanya Ervan.



Gea langsung menegakkan kepalanya. Dengan emosi, dia menatap Ervan dengan tajam lalu berkata, "Bapak tanya kenapa? Harusnya saya yang tanya. Kenapa Bapak nodai saya waktu itu? Anak yang ada dalam kandungan saya itu anak Bapak!"



"Hah?" Ervan terkejut beberapa saat, lalu menggelengkan kepala. "Nggak! Itu nggak mungkin!"



"Apanya yang nggak mungkin, Pak? Cuma Bapak yang berani sentuh saya sampai sejauh ini. Masih mau mengelak juga?"



Ervan mengacak rambutnya frustrasi. Sedangkan Gea memberi tatapan kebencian pada Ervan.



"Kalau aja Bapak nggak bersikap bodoh, mungkin kehamilan ini nggak akan terjadi. Bapak udah hancurin masa depan saya. Tapi saya masih diam dan menunggu itikad baik Bapak untuk tanggung jawab," ungkap Gea.



"Oh, jadi kamu nuntut tanggung jawab?"



"Iya. Saya mau Bapak tanggung jawab atas kehamilan ini. Saya nggak mau menanggung malu sendirian karena kesalahan yang Bapak perbuat," jawab Gea.



Ervan menyeringai setelah mendengar jawaban Gea. Tangan kanannya membuka salah satu laci dan mengambil lembaran cek.



"Ini ada cek yang bisa kamu cairkan. Tulis aja berapa nominalnya. Asalkan kamu gugurkan anak itu dan jangan bilang ke siapapun. Toh anak itu belum tentu anakku. Bisa aja kan kamu udah pernah tidur sama yang lain dan manfaatin situasi," ujar Ervan.



Gea geleng-geleng kepala melihat respon Ervan. Semudah itu Ervan menyelesaikan masalah yang ada. Padahal ini menyangkut harga diri seseorang. Gea merasa hina dimata pria itu.



"Maaf, Pak. Saya bukan cewek murahan. Cowok yang pertama kali bersikap kurang ajar sama saya itu cuma Bapak! Dan ini …" Tangan kanan Gea meraih lembaran cek itu, lalu membelahnya menjadi beberapa bagian. "Saya nggak butuh ini! Yang saya mau, Bapak harus nikahi saya sebelum perut ini membesar!" lanjutnya.



Ervan yang tidak suka dengan perlakuan Gea pun mendelik tajam. "Kenapa kamu sobek?!"



"Karena saya bukan cewek lain yang pernah Bapak bayar untuk gugurin kandungan!" balas Gea dengan sorot mata tak kalah tajam.



Ervan mendekati Gea. Menarik paksa wanita itu sampai berdiri. Tanpa perasaan, Ervan menekan rahang Gea. "Berani banget kamu bentak aku ya. Kamu pikir, dengan kamu bersikap kayak gitu, aku bakal luluh terus nikahin kamu, hah?! Jangan mimpi!"



"Saya nggak pernah mimpi untuk dinikahi cowok kayak Bapak! Saya ngelakuin ini karena terpaksa! Bapak yang memaksa saya buat ngelakuin dosa besar! Dan sekarang, dengan mudahnya Bapak menolak untuk nikahin saya!"



"Kurang ajar kamu!"



Ervan melepas tekanan di rahang Gea dengan kasar. Napasnya sudah memburu karena emosi. Tatapannya masih menusuk ke arah Gea. Dan tatapan itu pun berbalas. Gea juga memandangnya dengan tajam sambil mengeluarkan air mata.



"Dengar baik-baik, Gea. Aku nggak akan nikahin kamu. Cewek kayak kamu nggak cocok buat jadi pendampingku." Ervan menatap Gea dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Lihat penampilanmu. Kampungan sekali. Kamu nggak sebanding sama cewek yang pernah dekat sama aku. Jadi, nggak usah berharap banyak untuk jadi istriku," pungkasnya.



"Apapun yang Bapak bilang, saya nggak peduli. Saya bakal terus tuntut Bapak untuk tanggung jawab. Selesaikan masalah ini dengan baik, kalau Bapak masih mau menghirup udara bebas."



Gea berjalan ke arah pintu dan membukanya. Tapi sebelum pintu itu ditutup, Gea kembali menoleh ke belakang dan berkata, "Saya tunggu itikad baik Bapak. Permisi."



"Sialan!" Ervan mengumpat kesal sambil meninju udara.


Gea menutup pintu ruangannya dan berusaha menahan gejolak emosi yang membara di hatinya. Bisa-bisanya pria itu menolak untuk bertanggung jawab.



Gea duduk di kursi sambil mengingat bagaimana surat itu bisa sampai ke tangan Ervan. Setelah beberapa saat, barulah Gea teringat.



"Ya ampun!" Gea menepuk keningnya. "Ceroboh banget gue. Tadi gue buru-buru ke toilet karena mual sambil bawa tuh surat. Mungkin jatuh terus Pak Ervan yang nemuin."



Beberapa saat Gea terdiam. Kemudian tersenyum. "Bagus deh. Biar dia nyadar apa kesalahannya. Gue nggak perlu capek-capek nyusun kata buat ngomong ke dia."



Dengan santai Gea melanjutkan tugasnya. Amarah yang sempat mengguncang hati dan pikiran lenyap dalam sekejap. Gea harus profesional dalam bekerja. Tak boleh larut dalam kesedihan!



'Yang jelas, Ervan harus bertanggungjawab! Anakku tidak boleh diperlakukan seperti itu!' 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status