Share

Bab 6 Memberi Tahu Orang Tua


Ervan baru tiba di kediamannya dengan raut wajah lelah dan pusing. Bagaimana tidak pusing? Dalam waktu dekat, Ervan harus menikah dengan karyawannya sendiri. Tak pernah terbayangkan dalam benak Ervan, dirinya akan menikah dengan paksaan seperti ini. Semuanya terasa rumit bagi Ervan. Padahal Ervan belum siap dengan komitmen.




Pria berusia 30 tahun itu menghempaskan tubuhnya di atas sofa sambil menghela napas lelah.




Bagus Pramudji, sang ayah, menghampiri Ervan yang sedang menutup mata di sofa.




"Ervan," panggil pria berusia 60 tahun itu.




Namun, Ervan  hanya membuka matanya sekilas, kemudian menutupnya lagi. Setelah itu, ia bertanya, "Apa?"




"Kalau dipanggil orang tua itu yang bagus jawabnya. Duduk. Jangan tiduran kayak gitu," celoteh Bagus kesal.




Ervan mendecak kesal dan terpaksa membuka mata sambil duduk tegak. Ia menatap Bagus yang sudah duduk di sofa satunya lagi. "Ada apa, Pa?"




"Papa mau tanya soal kemajuan perusahaan. Ada laporan nggak enak yang Papa dapat dari pihak keuangan. Katanya ada pengeluaran yang tidak jelas kemana arahnya. Kamu pakai buat apa uang itu?" tanya Bagus to the point.




"Mampus gue," batin Ervan.




Bagus masih diam, menatap Ervan. Sekaligus menunggu jawaban dari putranya. Sedangkan Ervan mendadak gelisah karena memang ia baru menggunakan uang perusahaan untuk membayar seorang wanita sebagai uang tutup mulut. Tidak menyangka sama sekali kalau laporan itu telah sampai ke telinga Bagus.




Karena tak mendapat jawaban, Bagus berdehem untuk mendapatkan perhatian dari Ervan yang sedang melamun.




Ervan yang gugup langsung menatap Bagus sambil cengengesan. "Anu, Pa, uangnya buat bayar apartemen. Maaf ya, Pa."




"Hhh!" Bagus menghela napas berat. Kelakuan putranya memang tidak berubah sejak dulu. Selalu menghabiskan uang untuk hal yang tidak penting. "Buat apa kamu beli apartemen? Toh Papa lihat kamu sering pulang ke sini."




"Ya, buat nanti aku nikah, Pa," jawab Ervan sekenanya.




"Hah?! Nikah?!"




Ervan sedikit terkejut mendengar nada tinggi Bagus. Bahkan tangannya sampai mengusap dada karena jantungnya hampir saja berhenti berdetak. "Yaelah, Pa. Biasa aja kenapa sih."




"Kamu beneran mau nikah? Sama siapa? Mana calonnya? Kenapa nggak dikenalin ke Papa sama Mama dulu? Latar belakang keluarganya gimana? Anaknya baik nggak? Solehah nggak? Awas aja kalau kamu pilih cewek yang pakai baju kurang bahan ya. Nggak bakal Papa restui," cerocos Bagus.




Ervan mendengus kesal. Hal seperti inilah yang selalu Ervan hindarkan. Bagus sangat over ketika tahu dirinya memiliki pasangan.




"Ck! Anaknya baik, Pa. Solehah. Dia karyawan di kantor kita. Papa pasti tahu orangnya. Nggak perlu juga aku kenalin."




Bagus mengernyit. "Karyawan di kantor? Siapa?"




"Hhh! Gea, Pa. Gea Shanindya."




"Ooh!" Bagus ber-oh ria dengan wajah sumringah. "Gea yang pakai hijab itu, kan? Yang anaknya kalem itu, kan? Ya ampun. Akhirnya kamu nggak salah pilih, Nak. Papa memang suka banget lihat Gea. Anaknya beneran baik. Beruntung deh kamu bisa nikah sama dia," lanjutnya.


"Tapi, kok dia mau sama kamu?"



Ervan kesal dengan ucapan ayahnya yang terakhir. Namun, entah mengapa dirinya hanya tersenyum sekilas karena tak punya tenaga. Entah apa yang bisa dibanggakan dari Gea, sampai ayahnya begitu bahagia mendengar kabar ini?




"Kapan kita ketemu orang tuanya? Kalau bisa besok. Biar kamu cepat nikah," desak Bagus.




"Pa, buru-buru banget sih."




"Loh, harus dong. Kamu tuh udah berumur. Kapan lagi kamu kasih Papa sama Mama cucu? Anaknya teman Papa udah pada nikah semua. Masa kamu mau sendirian terus?"




Ervan menghela napas lelah. Seperti biasa, pembahasan ini akan selalu Bagus lontarkan untuknya. "Ya orang kan beda-beda, Pa. Jangan disamakan mulu kenapa sih. Hobi banget bandingin anak sendiri sama anak orang lain. Heran."




"Bukan gitu maksud Papa. Cuma Papa heran aja sama kamu. Kamu pacaran itu nggak pernah serius. Selalu gonta ganti. Terus pacar kamu semua nggak ada yang beres. Baru kali ini kamu pilih pasangan yang bagus dan sesuai sama keinginan Papa," ujar Bagus. "Nikah itu enak loh, Van. Mau pergi kerja, ada yang urusin. Mau tidur, ada yang temenin. Mau anu, ada yang layani. Tinggal bilang aja, udah dikasih. Nggak perlu jajan di luar. Cukup main sama istri aja."




"Enak apanya? Habis nikah malah nggak bakal dapet jatah. Tetap harus jajan juga di luar. Huh!" omel Ervan dalam hati.




Tak berselang lama, masuk seorang wanita paruh baya yang tak lain adalah istrinya Bagus, Nurmala Sari. Wanita cantik berkerudung itu masuk dengan mengucapkan salam.




"Assalamualaikum."




"Waalaikumsalam," jawab Bagus dan Ervan bersamaan.




Bagus menatap sang istri. "Kamu habis dari mana, Ma?"




"Habis nganter baju pesanan Bu Yani, Pa. Nggak enak kalau nggak dianter. Soalnya dia udah nunggu seminggu lebih karena stoknya baru ready kemarin," ucap Nurma sambil duduk di samping kanan Bagus. "Lagi pada ngomongin apa sih? Kok serius banget."




Bagus ingin memulai ceritanya. Tapi Ervan langsung berkata, "Ervan mau nikah, Ma."




Tentu saja hal itu membuat Nurma sedikit syok karena info dadakan ini. Sedangkan Bagus hanya mendengus kesal. Padahal ia sudah sangat antusias untuk menceritakan berita bahagia itu pada istrinya.




"Ya Allah, Nak. Kenapa dadakan gini sih? Siapa calonnya? Harusnya kamu kenalin dulu, baru ambil keputusan!" 


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status