Share

Bab 7 Pertemuan


"Kayaknya udah kebelet deh, Ma," celetuk Bagus. "Maklum, dia kan bolak balik ganti pasangan. Tapi nggak ada yang langgeng."





Suasana tegang tiba-tiba berakhir setelah celetukan dari Bagus. Ervan hanya bisa bersungut menatap sang ayah yang tidak bisa mengendalikan ucapannya.

"Nggak gitu juga kali, Pa. Aku nikah kan karena desakan kalian juga. Memangnya mau aku jomblo terus?"






"Ya nggak dong," ujar Nurma.





"Yaudah. Besok biar aku bawa dia ke sini. Sekalian kenalan sama Mama. Kalau Papa udah tahu orangnya. Aku mau mandi dulu. Gerah," pamit Ervan dan langsung beranjak pergi ke kamar sambil memungut dasi dan jas yang terjatuh di lantai.




Sedangkan Bagus dan Nurma tampak tersenyum bahagia. Walaupun dadakan, mereka tetap senang karena Ervan akhirnya akan melepas masa lajang dalam waktu dekat.


"Punya mantu kita, Ma!"

****

Di tempat lain, Gea juga menceritakan rencana pernikahannya dengan Ervan pada sang Ibu. Hal tersebut tentunya membuat sang Ibu yang bernama Lastri Haryani hampir pingsan mendengar kabar tersebut. Tidak bisa disebut kabar baik juga karena bersifat dadakan. Lastri bahkan sempat berpikir negatif pada putrinya.

"Kamu hamil ya, Nak?" tanya Lastri mendadak.

Pertanyaan itu  jelas membuat Gea sedikit gemetar.

Firasat seorang Ibu memang tidak diragukan lagi. Memang benar, pernikahan ini terjadi karena Gea tengah mengandung anak Ervan. Tapi hal itu tidak mungkin Gea sampaikan pada Lastri. Bisa mati berdiri Lastri jika Gea mengakui semuanya. Gea tidak mau itu terjadi. Ia belum siap kehilangan Lastri!

"Gea, jawab pertanyaan Mama. Kamu hamil?" Lastri mengulang pertanyaannya saat Gea sibuk melamun.

Gea langsung menggeleng. "Nggak loh, Ma."

"Ya terus, kenapa tiba-tiba mau nikah? Sama atasan kamu lagi," ujar Lastri heran. "Kan nggak mungkin tiba-tiba boss kamu nyamperin terus ngajakin nikah. Pasti ada sebabnya, kan?"

Gea mengulum bibirnya sambil memilin jari jemarinya. Ia takut rahasianya akan terbongkar. Tapi ia juga bingung harus membuat alasan apa lagi.

Dengan sedikit keraguan, Gea pun berkata, "Ehm, Pak Ervan memang ngajakin nikah, Ma. Karena dia udah didesak keluarga. Usianya udah matang, karirnya bagus. Jadi, dia didesak terus buat nikah. Nah, sesuai dari permintaan orang tuanya, cewek yang bakal dijadikan calon istri harus pakai pakaian yang sopan dan nggak asal comot aja. Sementara mantan pacarnya Pak Ervan rata-rata cewek milenial, Ma. Orang tuanya juga nggak setuju. Makanya dia pilih Gea untuk jadi calon istrinya."

"Memangnya kamu udah ketemu sama orang tuanya?" tanya Lastri penasaran.

"Kalau sama Mamanya Pak Ervan belum. Tapi kalau sama Papanya udah, Ma. Papanya baik banget sama Gea. Waktu itu, Pak Bagus sempat bilang ke Gea, andai si Ervan punya pacar kayak Gea. Pasti dia bakalan setuju dan langsung dinikahin. Gitu katanya, Ma."

Lastri tampak manggut-manggut. Mempercayai semua ucapan Gea.

"Yaudah kalau kamu memang mau nikah sama Pak Ervan. Mama cuma bisa doain yang terbaik buat kamu, Nak," ucap Lastri sambil mengusap kepala Gea dengan lembut. "Jadi, kapan dia bawa kamu ke keluarganya?"

"Mungkin dalam minggu ini, Ma. Soalnya Pak Ervan belum ada bilang sih," jawab Gea jujur.

"Oh gitu. Ya mungkin dia juga lagi ngobrol sama orang tuanya kali ya. Secara ini kan momen sakral. Kalian bakal nikah. Otomatis dia minta restu dulu yakan."

Gea mengangguk setuju. "Iya, Ma."

"Yaudah, nanti kabari Mama kalau dia mau ketemu sama Mama ya. Kamu makan sana. Mama udah masakin makanan kesukaan kamu," ujar Lastri.

"Iya, Ma."

"Mama mau nyiram bunga-bunga dulu ya di depan," pamit Lastri.

Gea hanya mengangguk sambil melihat Lastri pergi keluar dari kamarnya. Sepeninggal Lastri, Gea kembali merenungkan kebohongannya. Entah apa yang terjadi nanti, Gea tidak tahu. Yang penting, dia menikah dulu dengan Ervan. Selebihnya, biarkan semuanya berjalan sesuai takdir saja. Gea tidak ingin berharap banyak. Takut harapan itu tidak akan terwujud.

Saat Gea masih sibuk dengan lamunannya, tiba-tiba Lastri berteriak dari arah luar untuk memanggil Gea. Gea yang sedikit terkejut langsung berlari keluar untuk menemui Ibunya.

Dengan wajah panik, Gea bertanya, "Kenapa, Ma?"

Lastri justru tersenyum tidak jelas. Hingga membuat Gea bingung setengah mati. "Kenapa sih, Ma? Kok senyum-senyum gitu," ujar Gea kesal.

"Ada yang cariin kamu."

Gea mengernyit lalu menoleh ke belakang. Seketika Gea terkejut sambil mengelus dada. Ervan. Pria itu sudah ada di belakangnya entah sejak kapan.

Saat ini, Gea sedang tidak memakai hijab. Ia membiarkan rambut panjangnya terurai sempurna dan hanya memakai setelan daster berwarna biru langit bermotif bunga mawar, yang panjangnya hanya selutut.

Ervan tertegun sejenak melihat kecantikan natural yang terpancar dari raut wajah Gea. "Seksi banget nih cewek," batin Ervan bergejolak.

"Pak Ervan kok tiba-tiba ke sini?" tanya Gea setelah mengendalikan rasa terkejutnya untuk beberapa saat.

"Oh, itu … Mama mau ketemu sama kamu besok," jawab Ervan sedikit canggung.

"Ooh." Gea ber-oh ria sambil manggut-manggut. "Yaudah, besok saya bakal siap-siap. Oh iya, ini Mama saya, Pak," ujarnya lalu memperkenalkan Ervan pada Lastri.

Ervan mencium punggung tangan Lastri dengan sopan. "Hallo, Tante. Saya Ervan."

"Iya, Nak. Tante udah tahu. Barusan aja si Gea cerita soal rencana baik kalian," ujar Lastri ramah. "Ayo, duduk dulu. Biar dibuatkan teh atau kopi sama Gea."

Ervan hanya mengangguk sopan dan mengikuti langkah Lastri menuju teras rumah. Sedangkan Gea hanya diam mematung di tempatnya. Merasa aneh dengan sikap Ervan yang berbeda 180 derajat saat berada di luar jam kantor.

"Gea, buatkan teh untuk Ervan," perintah Lastri yang berhasil membuyarkan lamunan Gea.

"Oh, iya, Ma."

Dengan cepat Gea melangkah masuk ke dalam dan meninggalkan Ervan bersama Lastri di teras rumah. Sambil membuat teh, Gea kembali melamun. Memikirkan nasibnya setelah menikah nanti. Apakah Ervan akan perhatian padanya? Secara Gea tengah hamil anak Ervan. Tidak mungkin kan Ervan abai begitu saja?

"Heh!"

Gea tersentak saat seseorang menepuk bahu kanannya. Hampir saja Gea menjatuhkan sendok yang sedang dipegang olehnya.

"Ya Allah, Ma. Bikin jantungan aja," celetuk Gea sambil mengelus dada.

"Lagian dipanggil nggak dengar. Ya mama kagetin sekalian aja. Ngelamunin apa sih?" tanya Lastri.

Gea menggeleng. "Nggak ngelamunin apa-apa, Ma."

"Hhh! Yaudah, buruan anter tuh minuman. Mama mau bab dulu," pamit Lastri dan langsung ngacir ke kamar mandi.

Gea hanya mengangguk dan berjalan keluar sambil membawa nampan berisi segelas teh dan beberapa makanan ringan untuk Ervan. Gea meletakkan nampan itu di atas meja sambil mempersilahkan Ervan.

"Silahkan diminum, Pak."

"Iya, makasih."

Mendengar ucapan terima kasih itu, Gea kembali dibuat syok. Tidak pernah Ervan berucap terima kasih dengan tulus seperti itu. Ada apa ini? Mungkinkah Ervan itu memiliki kepribadian ganda?

"Oh iya, kalau di luar jangan panggil Pak. Panggil nama aja," ucap Ervan yang lagi-lagi membuat Gea sulit bernapas. "Kesannya formal banget. Aku juga belum tua. Kayak nggak pantes aja dipanggil Pak."

Gea berdehem sejenak untuk mengkondisikan rasa syoknya. "Oh iya, Pak, eh Mas. Aduh, saya bingung mau panggil apa. Kalau nama, umur kita beda jauh. Nggak sopan."

"Terserah mau panggil apa, asalkan jangan Pak atau Om. Aku nggak bakal jawab kalau kamu panggil Pak atau Om," ujar Ervan.

Gea tersenyum canggung sambil menyelipkan anak rambut di telinganya. Suasana begitu awkward saat ini. "Ehm, Bapak, eh Mas Ervan udah bilang ke orang tua Mas soal ini?" tanya Gea.

"Udah. Mereka setuju kita nikah. Karena Mama belum pernah ketemu sama kamu, besok dia minta kamu datang ke rumah. Jadi, pulang kerja kita langsung ke rumah aku."

Deg!

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Fitriamalia Usba
bagus ceritanya
goodnovel comment avatar
Ayu Istiningsih
best bgt ceritax
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status