Daniel menghentak-hentakkan kakinya di kasur. Ia bergerak seperti cacing kepanasan. Bukan, ia tidak sedang kesal atau melakukan senam yang sering dilakukan Ayana di dapur.
Jadi, saat ia bangun tadi dari tidur tampannya. Senandung kecil dari Ayana yang tengah menghilangkan debu-debu yang menempel di kamarnya membuat ia merasa perempuan itu sedang mengejeknya.
Maksudnya begini, Ayana seringkali mengatakan kepada Daniel bahwa hidup lelaki itu sangat membosankan, hanya rebahan di kasur dan tidak melakukan aktivitas apa-apa.
Perkataan Ayana yang tidak penting itu malah menginvasi pikiran Daniel bahwa hidupnya memang sangat membosankan.
Sekali lagi, ia sedang tidak kesal. Karena apa yang dikatakan Ayana mungkin ada benarnya. Tapi, tetap saja ia merasa Ayana itu sudah sangat tidak sopan men-judge dirinya yang notabenenya adalah seorang CEO tampan dan kaya raya. Harga dirinya seakan dicabik-cabik oleh asistennya itu.
Bagi Ayana, Daniel hanya bisa rebahan sembari bermain tablet saja. Ia tidak tahu saja bahwa dibalik rebahan manjanya. Ada otaknya yang terus bekerja memikirkan ide-ide baru untuk perusahaan gamenya demi menghidupi Ayana.
Memang sangat mudah bagi Ayana mengatakan ini-itu tentang dirinya. Karena level otak perempuan itu tidak sepadan dengan dirinya.
Daripada ia benar-benar bosan karena tidak melakukan sesuatu. Maka lebih baik ia merusuhi Ayana saja.
"Ayana, oh Ayana," panggil Daniel dengan logat mirip film kartun anak kembar yang sering Ayana tonton.
Daniel celingak-celinguk ke arah pintu dapur. Tidak ada tanda-tanda Ayana akan keluar. "Ayana, oh Ayana." Sekali lagi lelaki itu memanggil Ayana.
Beberapa detik ia menunggu kemunculan asistennya itu, tapi yang ditunggu tidak menampakkan hidungnya.
Daniel jadi cemberut karena misi untuk menganggu Ayana sepertinya bakal gagal.
"Ke mana sih perempuan itu?" gumamnya dengan nada kesal.
Diambilnya ponsel pintarnya yang berada di atas nakas. Lalu tangannya berselancar dengan lihai di internet.
Hari ini ia ingin tahu apakah saham yang ditanamkan di sebuah perusahaan multimedia melonjak naik? Ataukah malah merosot turun?
"Shit!" Daniel mengumpat tatkala matanya menangkap kurva sahamnya turun.
Sungguh ia menyesal telah menanam modal pada perusahaan milik temannya itu. Sahamnya turun drastis akibat teman bodohnya itu terlibat skandal dengan artis sensasional Natuna Maradona. Kalau tidak salah, namanya memang seperti itu.
Masa bodohlah, lagian tak apa jika sahamnya turun. Toh, ia adalah orang sugih bergelimpangan harta. Anggap saja, ia sedang bersedekah dengan orang susah seperti Ayana. Eh, temannya maksudnya.
Ngomong-ngomong, keberadaan perempuan itu ada di mana? Kenapa sampai sekarang wajah udiknya itu tidak terlihat oleh mata Daniel.
"Ayana Esmeralda Numero Uno Perfecto!" teriaknya.
Sabar, mungkin saja Ayana sedang tidur manja sambil memimpikan dirinya. Dia paham, pesonanya yang memukau mata para kaum Hawa memang tidak bisa dipungkiri.
"Ayana Laila Maricahehe." Ia masih mencoba memberikan kesempatan kepada perempuan itu agar segera menghadap kepada Sang Ilahi.
Astagfirullah. Maksudnya pada dirinya yang tampan rupawan.
Merasa Ayana tidak akan muncul hanya dengan memanggilnya. Daniel mulai emosi jiwa. Pembokat macam apa yang sangat tidak siaga ketika sang majikan membutuhkannya? Maka dari itu dengan segala usaha keras, ia akhirnya berdiri dari posisi rebahannya.
Baru saja dua langkah kakinya terayun, lelaki itu langsung berhenti. Punggung tangannya menekan-nekan lembut dahinya yang mungkin saja terdapat keringat.
"Astaga, aku rasanya sudah berjalan 50 km," ucapnya.
Tenang, ia harus tetap fokus mencari asistennya yang hilang entah ke mana. Sebelum ia kembali melanjutkan pencariannya. Terlebih dahulu ia menarik napas lalu mengembuskannya sepelan mungkin.
"Semangat Daniel yang tampan!" ucapnya dengan manis.
Ayana yang baru saja keluar dari arah toilet dibuat kaget melihat majikan magernya itu menginjak lantai dengan sempurna.
Ya Tuhan, mimpi apa Ayana semalam hingga bisa melihat keajaiban dunia seperti sekarang.
Terima kasih Tuhan, Ayana sungguh senang dan tidak tahu harus berkata apa. Ia sangat terharu dengan peningkatan dari tuan besarnya itu.
Jika ini mimpi, tolong untuk tidak membangunkan Ayana.
"Tuan Besarku, aku sungguh takjub," ucap Ayana berbinar-binar. Ia mendekati Daniel dengan senyum merekah.
Namun berbeda dengan rasa senang yang dialami oleh Ayana. Melihat perempuan itu sudah muncul, tatapan sinis langsung menghujam Ayana.
"Kau dari mana saja?!" hardik Daniel.
Ayana tidak merasa bersalah sama sekali, ia malah semakin tersenyum lebar. "Hari ini jadwal membersihkan toiletmu, Tuan Besarku. Apa Tuan lupa?"
"Sini kau," surutnya sehingga Ayana mendekat.
"Kau tahu, Ay. Bagaimana perjuanganku untuk sampai di sini? Rasanya benda berat menghantam tubuhku dan membuat remuk tulang-tulangku," curhat Daniel.
"Tolong, Ay. Papah aku ke kasur. Aku sudah tidak sanggup berdiri terlalu lama." Daniel merentangkan tangannya agar perempuan di hadapannya itu segera membawanya ke kasur.
Kumat lagi, kan, gilanya.
Baru saja Ayana dilambungkan tinggi ke atas awan, kenyataan menghempaskan segala ekspektasinya.
"Ay, tunggu apalagi. Cepat bawa aku ke kasur."
"Aku bukan Ay-mu, Tuan Besar!" kesal Ayana lalu memapah Daniel menuju kasur.
***
Ayana sudah terkantuk-kantuk saat suara langkah kaki terdengar di kamar Daniel. Perempuan itu sedang menunggui majikannya yang tengah bermain game.
Meski Ayana sudah memohon agar Daniel segera tidur dan menghentikan permainannya tapi tetap saja lelaki itu sama sekali tidak menggubrisnya.
Hingga saat sebuah tepukan di pundaknya membuat Ayana terbangun. Ia langsung berdiri ketika yang menepuknya adalah Tuan Hamilton atau Ayah Daniel.
"Maaf Tuan, saya ketiduran," sesal Ayana sembari menunduk untuk memberi hormat.
Hamilton tersenyum lembut pada Ayana. "Tidak apa Ayana. Aku tahu kamu pasti sangat lelah mengurusi Putraku."
Kenapa ia bertahan bekerja di keluarga Hamilton? Salah satunya karena ayah dari lelaki itu sangat baik pada Ayana. Jadi di hari ketika mamanya harus dioperasi karena penyakit tumor. Tuhan Maha baik mengirimkan Hamilton dalam hidupnya.
Berbeda dengan Daniel yang mempunyai perusahaan gaming. Sang ayah adalah seorang dokter dan juga pemilik rumah sakit terkenal di kotanya. Dan kebetulan waktu itu, Hamiltonlah yang menangani mamanya.
Ia sudah menangis saat tidak bisa mendapatkan biaya operasi. Sementara waktunya tinggal sejam untuk menyelesaikan administrasi. Ditengah kegalauannya, Hamilton yang kala itu lewat di depannya langsung menghampiri Ayana.
"Kenapa berjongkok di situ?" tanya Hamilton.
Ayana mendongak dan mendapati pria yang meski wajahnya tidak muda lagi, tapi masih tetap terlihat tampan. Ia ingat, pria itulah adalah dokter.
"Ayo berdiri, kita duduk di bangku itu," tunjuk pria itu sembari membantu Ayana berdiri.
Saat mereka sudah duduk di bangku panjang yang ada di koridor rumah sakit. Pria itu bertanya, "Jadi kenapa gadis cantik sepertimu terlihat murung?"
Ayana menghapus sisa air mata yang membasahi pipinya. Mungkin sedikit bercerita tentang masalah yang dihadapinya bisa membuat hatinya sedikit lega.
"Bolehkah aku bercerita, Dok?" tanya Ayana ragu.
"Kau tahu aku Dokter?" yakin Hamilton.
Ayana segera mengangguk. "Dokterlah yang menangani Mamaku."
Hamilton mencoba mengingat, terlalu banyak pasien yang ia tangani sehingga ia tidak tahu yang mana mama dari gadis itu yang menjadi pasiennya.
" Sejam lagi, Dokter akan mengoperasinya," jelasnya.
Lantas saja Hamilton mengingat mama dari gadis itu. "Oh aku sudah ingat, lalu kenapa kau masih berada di sini dengan wajah murung? Seharusnya kau menemani Mamamu."
"Dok, mungkin malam ini operasi Mamaku batal," lirihnya.
"Kenapa?"
"Dok, kami ini orang miskin. Biaya operasi tidaklah sedikit, aku sudah mencoba meminjam uang kesana-kemari. Tapi tak ada satupun yang mau meminjamkannya. Lagi pula mana ada orang yang memercayai uangnya dipinjamkan tanpa jaminan? Seandainya ada yang mau membeli organ dalam tubuhku demi mendapatkan uang untuk operasi Mama. Aku rela menjualnya." Ayana menghela napas berat.
Sebenarnya ia malu harus bercerita masalah perekonomiannya. Namun, kenyataan yang ia hadapi memang seperti itu.
Hamilton tentu saja iba mendengar Ayana. Maka dari itu ia mengelus puncak kepala perempuan itu.
"Maaf, Dok. Aku sudah menganggu waktumu."
Begitulah ingatannya tentang pertemuannya dengan Hamilton. Dan keajaibannya, saat ia kembali ingin menemui mamanya dengan maksud ingin membawa sang mama pulang saja. Seorang suster mendatanginya sebelum masuk ke dalam ruangan di mana mamanya dirawat.
"Puteri Ayana? Anak dari pasien bernama Ibu Larissa?" tanya Sang Suster.
Ayana langsung mengangguk. "Iya, ada apa, Sus?"
Suster itu menyodorkan sebuah kertas. "Silakan tanda tangani di sini."
Ayana terdiam, tidak mengerti maksud dari suster itu. "Administrasi sudah diselesaikan, silakan tanda tangan agar Ibu Larissa bisa segera dioperasi.
***
"Ayana, kau tidak apa-apa?"
Suara berat dari Hamilton membuyarkan lamunan Ayana. Terlihat air mata gadis itu menetes.
"Aku baik-baik saja, Tuan." Ayana menghapus air matanya.
"Tuan, Tuan Daniel—" Ucapan perempuan itu menggantung saat matanya menangkap Daniel sudah tertidur lelap.
"Sepertinya Tuan Daniel kelelahan setelah bermain game."
"Tidak apa, Ayana. Aku akan menemuinya lagi besok sebelum ke Paris."
"Ayana, jangan terlalu memanjakan Daniel. Jangan selalu menurutinya jika dia menyuruhmu." Hamilton tersenyum lembut seraya mengusap puncak kepala Ayana. Lalu ia beranjak keluar dari kamar anaknya itu.
"Aku beruntung bertemu denganmu, Tuan."
"Yang, paku!"Aku mengulurkan tangan ke belakang dengan posisi sedikit menyamping, sementara pandanganku tetap lurus pada dinding. Entah penglihatanku yang miring, atau memang pigura ini yang ingin kupasang sengaja ingin membuat tandukku naik.Astaga, malah lupa aku. Sebenarnya sudah seminggu aku dan Daniel menempati rumah baru kami. Mungkin kalian masih ingat, setahun lalu Daniel memutuskan untuk membangun rumah tidak jauh dari rumah ibuku.Awalnya aku bersikeras menolak, untuk apa coba ia membangun rumah mewah lagi. Sementara ada rumah ayahnya yang kelak akan menjadi miliknya. Bukankah Daniel terlalu membuang-buang uang? Aku menyetujui ia membangun rumah dan pindah ke rumah ibu karena aku kasihan melihatnya memasang tenda di depan rumah demi membujukku. Mungkin jika hanya Daniel yang ada di tenda itu, aku tidak masalah. Biarkan saja suamiku itu merasakan penderitaan. Tapi aku khawatir pada Mark.Dasar memang
Mark benar-benar geram, diturunkannya Ardila yang digendong layaknya karung besar di kursi kayu. Tepatnya di bawah pohon yang ada di depan rumah gadis itu. Matanya menyorot tajam, membuat Ardila yang dihempas seperti barang menjadi ciut nyalinya.Sakit tapi tidak berdarah. "Kenapa? Mas kok ngeliatin aku kayak gitu?" Meski takut, namanya juga Ardila gadis barbar tak berakhlak. Mulutnya tetap akan terus mengoceh tanpa henti.Mark menyunggingkan bibirnya, ia tidak menyangka wajah sepolos bayi, kulit seputih susu dan senyum manis yang bikin diabetes bisa berubah menjadi zombie ganas. Ardila memang bukan gadis remahan biasa. Ia harus waspada, perawakan gadis itu saja yang kalem. Tapi di dalamnya, sungguh terlala kata Bang Haji Rhoma."Kamu tau nggak yang kamu jambakin tadi siapa?"Ardila bingung. "Teteh Ayana!"Lagi, bibir Mark tersungging diikuti matanya yang memutar malas
Waktu cepat sekali berlalu, sudah sebulan lebih ia menjalani hari-harinya tanpa Daniel. Oh iya, apa kabar dengan lelaki itu? Pertemuan terakhirnya hanya saat di rumah sakit itu saja. Setelahnya, sang suami tidak pernah lagi mengunjunginya. Sekedar telpon, atau bahkan mengirim pesan pun tidak ada sama sekali.Apa suaminya itu sudah melupakannya? Atau mungkin kini Daniel telah menemukan penggantinya.Ayana merasa rindu pada Daniel, terlihat jelas air matanya mengenang di pelupuk. Ketika ia sendiri, perasaannya benar-benar kacau. Jujur, Ayana ingin kehidupannya seperti dulu. Setiap pagi terbangun untuk membereskan kamar mewah sang suami. Memasak makanan favorit Daniel, dan mengurus lelaki itu dengan baik.Dulu saat masih menjadi pesuruh Daniel, ia sangat ingin bebas, tidak terikat oleh lelaki itu. Tapi sekarang saat semua sudah ia capai, ia jadi ingin kembali menjadi pesuruh. Manusia memang tidak pernah ada puasnya. Dikasih A, m
"Maaf Pak, Bu Ayana tidak hamil. Ia hanya kelelahan dan masuk angin."Terngiang-ngiang, terbayang-bayang, berputar-putar bagaikan kaset rusak. Perih, hati seakan tersayat-sayat. Bagaimana bisa derita ini menimpa Daniel? Ia sudah mengerahkan segala tenaga, waktu dan pikiran.Terus Dokter seenak jidat mengatakan Ayananya tidak hamil. Dimana hati nurani dokter itu?"Huaa...." Daniel menangis pilu, meraung-raung di lantai kamarnya.Haruskah ia bunuh diri? Loncat dari lantai 15 kantornya? Atau minum racun tikus? Hancur sekali perasaannya. Lesu, kepala Daniel menoleh pelan. Napasnya terasa berat. Kereta bayi, pakaian bayi, buket bunga mawar putih untuk Ayana tertata rapi di meja.Mark, bawahannya tetap setia menemaninya. Tidak sedikitpun lelaki itu beranjak dari samping Daniel yang selonjoran di lantai.Mark pernah membaca sebuah buku, dalam buku itu mengatakan; bahagia b
Kuping Margaret hampir saja pecah jika Daniel tidak menghentikan teriakannya. Bagaimana tidak? Ia baru saja masuk ke kamar tuannya itu dengan niat mengantarkan makanan, namun baru saja selesai meletakkan makanan.Entah kerasukan apa? Tuannya itu loncat kegirangan dengan lengkingan suara seperti tikus kejepit."Tuan!" Terpaksa Margaret bernada tinggi memanggil Daniel. Lagian ada apa dengan lelaki itu yang tersenyum semringah sembari mencium ponselnya bertubi-tubi. Sakit jiwa!"Margaret, Margaretku." Daniel menyimpan ponselnya di meja, lalu menghampiri Margaret. Meraih kedua tangan wanita itu kemudian mengayunkannya ke kiri dan ke kanan.Belum sampai disitu keterkejutan Margaret akan tingkah Daniel yang seperti teletubies. Tubuhnya diputar-putar, mirip film India. Rani Mukherjee mungkin tahan jika diputar seperti itu, tapi Margaret tentu saja tidak. Kepalanya sungguh pusing.Beberapa menit setela
Pagi yang buruk untuk Ayana hari ini. Mual-mual, kepala pusing, tubuh meriang dan pegal-pegal. Ia seperti sangat kelelahan, padahal seingatnya yang ia lakukan hanya pergi ke kampus dan membantu ibunya memasak. Itu saja ia hanya mencuci sayuran.Matanya masih sangat mengantuk, tapi subuh-subuh sudah harus terbangun karena perutnya yang kesakitan. Tenggorokannya sangat kering akibat terlalu banyak memuntahkan isi perut. Ayana benar-benar sakit.Di saat ia sedang meringkuk di kasurnya seperti bayi, Ayana mendengar pintu kamarnya diketuk. Dengan suara berat, perempuan itu menyuruh sang pengetuk masuk."Masuk saja, tidak dikunci."Pintu dibuka, Ario sudah berdiri dengan gagahnya lengkap seragam sekolah—putih abu-abu.Melihat sang kakak yang tak menyambutnya dengan baik, Ario langsung saja menghampiri Ayana."Loh Teteh kenapa?" Ia khawatir dengan kakaknya yang tengah memegangi perutny