Jika biasanya Daniel berpikir keras tentang mengembangkan ide-ide game untuk perusahaannya. Namun yang dipikirkan sekarang bukan itu, karena ia sedang mencoba menelaah nasehat yang diberikan ayahnya tadi pagi. Sebelum pria paruh baya itu berangkat menuju bandara, ia menghampiri Daniel terlebih dahulu meski anaknya itu masih dalam kondisi mengantuk berat.
"Daniel, Ayah pagi ini akan berangkat ke Paris," ucap Hamilton.
Daniel hanya mengangguk sebagai tanda iya. Sebab kesadarannya belum sepenuhnya pulih, ini masih jam 5 belum waktunya ia terbangun dari tidur tampannya. Apalagi saat Ayana membangunkannya, sangat kasar dan tidak berperikeayanaan.
"Daniel Anakku. Anak Ayah yang paling Ayah sayangi. Kau tidak bisa terus menerus mengandalkan Ayana. Kau harus belajar untuk mandiri mulai sekarang. Bagaimana pun juga, jika Ayana menemukan seseorang yang akan menikahinya. Ia pasti akan berhenti bekerja dan ikut pada suaminya," jelas Hamilton sembari tangannya mengusap lembut tangan Daniel.
Mata yang semula terpejam seketika membelalak. Daniel mengucek matanya beberapa kali hingga penglihatannya terasa jelas.
Lelaki itu memasang tampang tidak suka. "Maksud Ayah apa? Ayana ingin menikah? Apa dia memberitahumu?"
"Bukan begitu, Daniel. Ayana tidak mengatakan akan menikah. Hanya saja, Ayah ingin kau bisa mempersiapkan diri sebelum ia menemukan pendamping hidupnya," ucap Hamilton
"Tidak! Aku tidak ingin Ayana menikah, ia tidak boleh ke mana-mana. Ayana harus tetap mengurusku," tekan Daniel.
Hamilton menggeleng lemah, ia ikut merasa bersalah anaknya bersikap egois. Karena dirinyalah yang membawa Ayana ke dalam kehidupan putra satu-satunya itu. Semenjak ada Ayana, lelaki itu sudah enggan keluar dari rumah. Bahkan dari kamarnya sekalipun, ia menjalankan semua perusahaannya tanpa ingin bertatap muka pada bawahannya.
"Kau tidak boleh egois, Nak. Masa depan Ayana masih panjang. Kau tidak bisa terus menerus mengekangnya," nasehat Hamilton.
"Aku tidak egois Ayah, aku memberikan segalanya untuk Ayana. Aku tidak mau Ayana menikah dengan siapapun." Daniel tetap mempertahankan egonya.
Hamilton semakin mendekat, lalu ia tersenyum lembut pada anaknya itu. "Aku paham, Anakku. Tapi, Ayana itu perempuan yang perlu kasih sayang dan dilindungi oleh seorang lelaki. Ia tidak bisa terus bekerja hanya untuk menghidupi dirinya dan keluarganya. Suatu saat ia pasti ingin ada yang menafkahinya."
Raut wajah Daniel seketika berubah murung. Ia tidak suka ayahnya mengatakan seperti itu. Ayana miliknya, tidak ada yang boleh memiliki gadis itu selain dia.
"Tidak Ayah! Jika hanya seperti itu yang diinginkan Ayana. Aku yang akan menikahinya, aku yang akan menghidupinya," putus Daniel.
Hamilton terkejut, lalu terkekeh kecil. Kenapa anaknya ini masih saja berpikiran seperti anak kecil? Ia paham jika selama ini waktunya tidak banyak untuk Daniel. Ditambah lagi Daniel sama sekali tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari seorang ibu. Namun, karena ada Ayana. Ia merasa Daniel telah mendapatkan kasih sayang dari seorang perempuan hingga sulit melepaskannya.
"Pernikahan terjadi bukan hanya karena kau ingin menafkahi sang perempuan, Anakku. Di dalam pernikahan itu harus ada cinta. Apa kau mencintai Ayana?" tanya Hamilton.
Daniel berpikir. Cinta? Ayana tidak semenarik itu untuk dicintai. Aku bahkan tidak tertarik melihatnya.
"Bisakah aku menikahi Ayana saja tanpa mencintainya? Ayana itu jelek Ayah. Dia bukan tipeku. Tapi jika dia mau jadi istriku, aku akan membuatnya menjadi cantik. Seperti Upik Abu yang menjadi seorang Putri cantik. Bagaimana?" tawar Daniel.
Lagi, Hamilton terkekeh sehingga membuat Daniel memasang tampang cemberut.
"Tanyakan saja pada Ayana, sungguh Ayah tidak bisa mengerti tentang pikiranmu itu. Ayah harus berangkat sekarang. Jaga kesehatanmu dan jangan terlalu membuat Ayana kelelahan." Hamilton mencium kening Daniel lalu pergi dari kamar anaknya itu.
***
"Tuan Besarku!"
Daniel tersentak dari lamunannya. Lelaki itu melotot tajam karena Ayana berteriak sangat keras di dekat telinganya.
Dasar Pesuruh Gila!
"Ayana Marimar! Kau ini apa-apaan. Apa Majikanmu tidak pernah mengajarimu sopan santun?" kesalnya.
Ayana menggeleng. "Majikanku memang tidak pernah mengajariku sopan santun, Tuan Besarku!"
Daniel yang mendengar balasan perkataan dari Ayana langsung berpikir. Astaga, Bukankah ia adalah majikan Ayana? Bodoh!
"Maksudku bukan begitu. Apa kau tidak membaca buku tentang tata krama? Sangat tidak berperikesopanan kau Ayana!" judes Daniel.
Ayana yang dikatai seperti itu hanya bersikap acuh. "Tuan Besar, saatnya mandi. Aku sudah menyiapkan air hangat di bak, bunga mawar dan busa-busa melimpah ruah," beritahunya.
Daniel cemberut, helaan napasnya terdengar sangat berat. Ia menatap nanar ke arah Ayana. "Bisakah hari ini aku libur mandi saja? Hatiku sedang tidak terlalu baik hari ini Ayana."
Ayana menatap curiga pada Daniel. Kenapa lagi dia? Apa sahamnya turun lagi?
"Tidak bisa, Tuan Besarku. Kau harus mandi. Jika tidak kuman akan menempel di tubuhmu dan menggerogoti kulit mulusmu." Ayana menakut-nakuti Daniel.
Namun berbeda dari sebelumnya jika Ayana menakuti Daniel. Lelaki itu pasti sudah berteriak dan meminta Ayana segera memandikannya. Tapi sekarang, lelaki itu malah terlihat tidak bereaksi dan hanya memandang Ayana sedih.
"Tuan, kau baik-baik saja?" Ayana khawatir.
"Kau tidak mendengarnya tadi, aku sudah bilang hatiku tidak dalam kondisi yang baik Ayana," ucapnya dengan suara lemah.
Ayana yang kepo langsung mendekati majikannya itu. "Apa sahammu turun lagi? Atau seseorang menolakmu? Mmm... yang kedua tidak mungkin. Jadi?"
"Aku orang yang kaya Ayana. Sahamku turun tidak akan membuatku jatuh miskin." Jiwa kesombongan Daniel mulai keluar. Ayana yang mendengarnya seketika mendengus.
Dasar orang sugih songong!
"Wajahku ini tampan Ayana, tidak akan ada gadis yang mampu menolakku. Kau saja tidak akan sanggup," lanjut Daniel.
Sungguh, rasanya Ayana ingin mencekik leher Daniel saat ini juga. Tidak tahukah Daniel jika berkata seperti itu membuat jiwa kemiskinan Ayana meronta-ronta? Sabar Ayana, sebentar lagi kau akan dilamar oleh orang sugih.
"Tuan Besarku, jika semua itu tidak menjadi alasan tentang ketidakbaikan hatimu hari ini. Lalu alasannya apa? Tolong, jelaskan pada rumput yang bergoyang," jengah Ayana.
Daniel memperbaiki posisinya, digenggamnya kedua tangan Ayana seraya menatapnya lekat. "Ayana, bisakah kita menikah sekarang?" pinta Daniel.
Ayana yang dicecar pertanyaan seperti itu seketika memundurkan kepalanya. Kegilaan apa lagi ini?
"Ayana, kau harus menikah denganku. Ayana, kau tahu, aku tanpamu hanyalah butiran emas," paksa Daniel.
Ayana menarik tangannya, namun Daniel tidak ingin melepasnya. "Tuan, kau harus mandi sekarang. Kepalamu harus disiram. Kau sudah tidak waras?"
"Tidak Ayana. Kumohon, aku ingin menikahimu. Aku tidak bisa seperti ini. Aku harus menikahimu!" Daniel bersikukuh.
Merasa posisi Ayana tidak aman lagi, gadis itu kembali menarik keras tangannya hingga terlepas.
Ayana harus menjauh dari majikan gilanya itu sekarang. Jika tidak, ia pasti akan ikut gila.
"Ayana, jangan pergi Ayana. Kita harus menikah!" Daniel berteriak seakan kerasukan.
Ayana tidak peduli, ia cepat-cepat meninggalkan Daniel. "Daniel sudah gila! Dia benar-benar harus dibawa ke Psikiater." Ia bergidik ngeri.
"Ayah, aku ingin menikah dengan Ayana." Daniel menghentak-hentakkan kakinya seperti anak kecil yang sedang merengek meminta permen.
"Ayana, Ayana. Menikahlah denganku!" Daniel tidak berhenti berteriak.
"Daniel Sontoloyo. Bisakah kau diam saja?!"
"Yang, paku!"Aku mengulurkan tangan ke belakang dengan posisi sedikit menyamping, sementara pandanganku tetap lurus pada dinding. Entah penglihatanku yang miring, atau memang pigura ini yang ingin kupasang sengaja ingin membuat tandukku naik.Astaga, malah lupa aku. Sebenarnya sudah seminggu aku dan Daniel menempati rumah baru kami. Mungkin kalian masih ingat, setahun lalu Daniel memutuskan untuk membangun rumah tidak jauh dari rumah ibuku.Awalnya aku bersikeras menolak, untuk apa coba ia membangun rumah mewah lagi. Sementara ada rumah ayahnya yang kelak akan menjadi miliknya. Bukankah Daniel terlalu membuang-buang uang? Aku menyetujui ia membangun rumah dan pindah ke rumah ibu karena aku kasihan melihatnya memasang tenda di depan rumah demi membujukku. Mungkin jika hanya Daniel yang ada di tenda itu, aku tidak masalah. Biarkan saja suamiku itu merasakan penderitaan. Tapi aku khawatir pada Mark.Dasar memang
Mark benar-benar geram, diturunkannya Ardila yang digendong layaknya karung besar di kursi kayu. Tepatnya di bawah pohon yang ada di depan rumah gadis itu. Matanya menyorot tajam, membuat Ardila yang dihempas seperti barang menjadi ciut nyalinya.Sakit tapi tidak berdarah. "Kenapa? Mas kok ngeliatin aku kayak gitu?" Meski takut, namanya juga Ardila gadis barbar tak berakhlak. Mulutnya tetap akan terus mengoceh tanpa henti.Mark menyunggingkan bibirnya, ia tidak menyangka wajah sepolos bayi, kulit seputih susu dan senyum manis yang bikin diabetes bisa berubah menjadi zombie ganas. Ardila memang bukan gadis remahan biasa. Ia harus waspada, perawakan gadis itu saja yang kalem. Tapi di dalamnya, sungguh terlala kata Bang Haji Rhoma."Kamu tau nggak yang kamu jambakin tadi siapa?"Ardila bingung. "Teteh Ayana!"Lagi, bibir Mark tersungging diikuti matanya yang memutar malas
Waktu cepat sekali berlalu, sudah sebulan lebih ia menjalani hari-harinya tanpa Daniel. Oh iya, apa kabar dengan lelaki itu? Pertemuan terakhirnya hanya saat di rumah sakit itu saja. Setelahnya, sang suami tidak pernah lagi mengunjunginya. Sekedar telpon, atau bahkan mengirim pesan pun tidak ada sama sekali.Apa suaminya itu sudah melupakannya? Atau mungkin kini Daniel telah menemukan penggantinya.Ayana merasa rindu pada Daniel, terlihat jelas air matanya mengenang di pelupuk. Ketika ia sendiri, perasaannya benar-benar kacau. Jujur, Ayana ingin kehidupannya seperti dulu. Setiap pagi terbangun untuk membereskan kamar mewah sang suami. Memasak makanan favorit Daniel, dan mengurus lelaki itu dengan baik.Dulu saat masih menjadi pesuruh Daniel, ia sangat ingin bebas, tidak terikat oleh lelaki itu. Tapi sekarang saat semua sudah ia capai, ia jadi ingin kembali menjadi pesuruh. Manusia memang tidak pernah ada puasnya. Dikasih A, m
"Maaf Pak, Bu Ayana tidak hamil. Ia hanya kelelahan dan masuk angin."Terngiang-ngiang, terbayang-bayang, berputar-putar bagaikan kaset rusak. Perih, hati seakan tersayat-sayat. Bagaimana bisa derita ini menimpa Daniel? Ia sudah mengerahkan segala tenaga, waktu dan pikiran.Terus Dokter seenak jidat mengatakan Ayananya tidak hamil. Dimana hati nurani dokter itu?"Huaa...." Daniel menangis pilu, meraung-raung di lantai kamarnya.Haruskah ia bunuh diri? Loncat dari lantai 15 kantornya? Atau minum racun tikus? Hancur sekali perasaannya. Lesu, kepala Daniel menoleh pelan. Napasnya terasa berat. Kereta bayi, pakaian bayi, buket bunga mawar putih untuk Ayana tertata rapi di meja.Mark, bawahannya tetap setia menemaninya. Tidak sedikitpun lelaki itu beranjak dari samping Daniel yang selonjoran di lantai.Mark pernah membaca sebuah buku, dalam buku itu mengatakan; bahagia b
Kuping Margaret hampir saja pecah jika Daniel tidak menghentikan teriakannya. Bagaimana tidak? Ia baru saja masuk ke kamar tuannya itu dengan niat mengantarkan makanan, namun baru saja selesai meletakkan makanan.Entah kerasukan apa? Tuannya itu loncat kegirangan dengan lengkingan suara seperti tikus kejepit."Tuan!" Terpaksa Margaret bernada tinggi memanggil Daniel. Lagian ada apa dengan lelaki itu yang tersenyum semringah sembari mencium ponselnya bertubi-tubi. Sakit jiwa!"Margaret, Margaretku." Daniel menyimpan ponselnya di meja, lalu menghampiri Margaret. Meraih kedua tangan wanita itu kemudian mengayunkannya ke kiri dan ke kanan.Belum sampai disitu keterkejutan Margaret akan tingkah Daniel yang seperti teletubies. Tubuhnya diputar-putar, mirip film India. Rani Mukherjee mungkin tahan jika diputar seperti itu, tapi Margaret tentu saja tidak. Kepalanya sungguh pusing.Beberapa menit setela
Pagi yang buruk untuk Ayana hari ini. Mual-mual, kepala pusing, tubuh meriang dan pegal-pegal. Ia seperti sangat kelelahan, padahal seingatnya yang ia lakukan hanya pergi ke kampus dan membantu ibunya memasak. Itu saja ia hanya mencuci sayuran.Matanya masih sangat mengantuk, tapi subuh-subuh sudah harus terbangun karena perutnya yang kesakitan. Tenggorokannya sangat kering akibat terlalu banyak memuntahkan isi perut. Ayana benar-benar sakit.Di saat ia sedang meringkuk di kasurnya seperti bayi, Ayana mendengar pintu kamarnya diketuk. Dengan suara berat, perempuan itu menyuruh sang pengetuk masuk."Masuk saja, tidak dikunci."Pintu dibuka, Ario sudah berdiri dengan gagahnya lengkap seragam sekolah—putih abu-abu.Melihat sang kakak yang tak menyambutnya dengan baik, Ario langsung saja menghampiri Ayana."Loh Teteh kenapa?" Ia khawatir dengan kakaknya yang tengah memegangi perutny