Daniel menyukai hidupnya; rebahan sembari mengemil pizza dan beberapa botol coca-cola yang melegakan tenggorokannya memang sangat pas menemani waktunya untuk mengontrol perusahaan gamenya melalui tablet berlogo apel kegigit. Sekali-kali tangannya berpindah ke stik playstation untuk memainkan game perang yang dibuat oleh tim di perusahaannya.
Tentu saja, timnya hanya menjalankan ide game yang terbit dari otak Einsteinnya itu. Siapa yang mampu mengalahkan kecerdasaan seorang Daniel Hamilton? Ayana? Ckckck, yang benar saja, Bung? Ayana tidak sehebat itu. IQ jongkok!
"Tuan Besar," panggil Ayana saat keluar dari pantri yang ada di kamar mewah milik majikannya.
Bayangkan saja? Tapi jika tak sanggup, Ayana tidak menyarankan itu. Di kamar Daniel yang berukuran seperti lapangan futsal itu memiliki dapur ala orang sugih yang dihalangi sebuah tembok di mana jika ingin masuk ke dalamnya harus menggunakan sidik jari. Kemudian, didekat toilet di mana dindingnya dicat dengan warna emas mempunyai sebuah lift untuk bisa diakses ke ruang bawah tanah.
Di ruang bawah tanah tersebut segala permainan yang biasa Ayana lihat di mall berada dalam ruangan itu. Lalu ada juga, perpustakaan kecil, mini bar, dan terakhir dibalik lemari yang terisi dengan penghargaan milik Daniel. Disitulah, lelaki itu membuatkan Ayana sebuah ruangan. Tidak terlalu besar tapi cukup untuk Ayana rebahan manja dan melakukan aktivitas pribadinya.
Tidak lupa juga, sang CEO itu membuatkan Ayana ruangan khusus untuk mencuci, menjemur dan menyetrika pakaiannya.
Sungguh Ayana sudah lelah bekerja pada Daniel. Ia ingin resign saja, namun saat tangannya sudah ingin mengetik surat pengunduran dirinya pada macbook yang dipungut di tempat sampah di kamar Daniel. Bayangan ancaman lelaki itu dulu ketika ia ingin berhenti bekerja muncul begitu saja dan menguasai alam bawah sadarnya.
"Heh, coba saja kau berhenti bekerja. Maka akan kupastikan tak ada perusahaan bahkan toko kecil yang akan menerimamu!"
Sungguh Daniel memang sosok yang sangat kejam. Seperti sekarang, seharusnya perkataan Daniel yang mengatakan tidak akan memberikannya gaji bulan ini hanya karena ia menyerang lelaki itu secara membabi buta bisa menjadi alasan untuk ia berhenti bekerja.
Benar, salah satu kalimat yang ia baca di tante google mengatakan; uang memang bukan segalanya. Tapi tak ada uang rasanya ingin mati saja.
Begitulah yang dirasakan Ayana. Gadis dengan rambut pendek itu rela jadi pesuruh Daniel agar dapat menghasilkan uang dan hidup makmur. Hah? Abaikan kata 'makmur', yang penting Ayana bisa mengirim uang untuk biaya sekolah adik-adiknya.
"Tuan Besarku," ulang Ayana saat lelaki itu sama sekali tidak menoleh padanya.
Sabar Ayana!
Ayana mengelus dadanya, seandainya ia tidak ingin memohon agar Daniel mencabut perkataannya tentang tidak memberikan gajinya bulanan ini. Mungkin saja, gadis itu sudah mengambil cobekan di dapur dan mengulek lelaki itu bersama cabe-cabean.
Tenang Ayana, masa depan cerah menunggumu.
Ayana menarik napas lalu mengembuskannya pelan. "Tuan Besarku yang tampan rupawan." Ia menarik sudut bibirnya membentuk senyuman.
"Iya, Ay." Akhirnya Daniel menoleh. Lelaki itu meletakkan stik playstation-nya.
"Tolong ambilkan remote, Ay," suruh lelaki itu.
Padahal benda persegi itu ada di dekatnya. Tapi dasarnya saja Daniel tidak ingin tangannya kelelahan hanya karena mengambil remote yang beratnya tidak seberapa.
"Ini Tuanku." Ayana menahan kekesalannya dan tetap tersenyum.
"Kau saja yang matikan, Ay. Aku lelah dan ingin tidur sekarang." Daniel membaringkan tubuhnya. "Ay, tolong selimuti aku," ujarnya dengan mata terpejam.
Ya Tuhan, dosa apa Ayana di masa lalu sehingga ia harus berhadapan dengan lelaki yang selalu membuat jiwa ingin memutilasinya muncul.
Meski hatinya sudah meronta-ronta untuk tidak melakukan apa yang disuruh Daniel. Tapi tubuhnya akan tetap melaksanakan perintah bosnya itu.
"Tuan, bisakah?-"
"Aku tidak ingin diajak mengobrol sekarang, Ay. Kau tidak lihat, tubuhku sudah sangat lelah," interupsi Daniel tanpa membuka matanya.
Lelaki itu memperbaiki selimutnya yang sudah menutupi tubuhnya. Ia memeluk gulingnya erat dan mengabaikan Ayana yang mematung di tempatnya dengan perasaan dongkol.
Lelah dia bilang? Hanya bermain tablet, game, menyantap pizza dan meminum coca-cola membuat ia lelah? Siapa yang sebenarnya tidak waras di sini? Ayana menghela napas kasar.
"Ayana, suara napasmu menganggu telingaku," tegur Daniel.
Ya Lord! Tabahkan hati Ayana setabah-tabahnya. "Maaf Tuan," ucapnya lembut selembut pantat bayi.
Ia sudah sangat jengah dengan segala tingkah lelaki itu. Cepat-cepat gadis itu melangkahkan kakinya ke dapur. Saat ini Ayana butuh sesuatu yang dingin. Otaknya sudah mendidih karena majikannya yang aneh itu. Jangan sampai ia khilaf dan melakukan tindakan kriminal seperti mencekik leher lelaki itu.
***
"Ayana!"
Teriakan Daniel saat ia mengangkat telpon membuat telinga gadis itu serasa ingin pecah.
"Tuan, bisakah tidak berteriak di telpon. Telingaku ini tidak tuli, Tuan Besar!"
"Aku tidak peduli, sekarang cepat kau ke sini."
Ayana mendengus kesal. "Tapi Tuan, aku sedang mencuci-"
"Cepat Ayana!"
Mendengar titah dari sang majikan, Ayana langsung berlari tergopoh-gopoh menuju lift.
Tidak butuh waktu lama, gadis itu sudah berada di kamar Daniel.Napasnya tersengal-sengal saat menghampiri lelaki itu yang masih bergelut di kasur super mahalnya.
"Tuan, apa yang terjadi?" Wajah Ayana sudah panik setengah mati.
Ekspresi Daniel yang semula datar berubah menjadi sedih. "Tuan ada apa sebenarnya?"
Pikiran Ayana mulai berkecamuk. Lantas gadis itu berpikir yang tidak-tidak, seperti, mungkin saja Daniel bangkrut? Atau lelaki itu baru saja ditelpon dokter pribadinya bahwa hidupnya tidak akan lama lagi? Dalam hatinya, ia merasa senang kalau begitu. Akhirnya setelah sekian purnama, ia akan bebas dari kekejaman Daniel Hamilton.
Astagfirullah, tidak boleh begitu Ayana.
Malaikat baik di sebelah kanannya mengingatkan dirinya.
"Tuan?"
Tiba-tiba lelaki itu menatap Ayana dengan sorot mata tajam. "Kau pasti sedang mengutukku?"
Ayana kelabakan. Astaga, apakah sekarang Daniel berubah jadi cenayang? Bagaimana mungkin ia tahu jika Ayana memang sedang mengutuknya? Tidak, ia harus berpura-pura tetap prihatin.
"Tuan, sesungguhnya fitnah itu lebih kejam daripada tidak memfitnah," kata Ayana sok bijak.
Tuk
Tangan besar nan lembut sang majikan mendarat mulus di jidat Ayana. Gadis itu meringis kesakitan. "Tuan, ini jidat bukan gendang yang bisa ditabuh."
"Aku tidak peduli, bagiku sama saja," balas lelaki itu dengan nada sombong.
Sabar Ayana, jangan mencekiknya atau kau akan masuk penjara.
"Jadi kenapa Tuan memanggilku?" Ayana terpaksa tersenyum manis.
"Hiks, dahiku berkeringat, Ay. Dan aku tidak bisa mengambil tisu untuk melapnya. Tubuhku akan sangat letih jika harus beranjak dari kasur ini," jelasnya.
Karung mana karung? Ampuni dosa Ayana. "Tuan, kau memanggilku hanya untuk menyuruhku mengambil tisu dan melap keringatmu?" Gigi Ayana bergemeletuk.
Daniel memasang wajah puppy eyes-nya. "Kau tahu, aku lemah tanpamu, Ay."
Tidak ingin membalas perkataan sang majikan yang penuh drama. Ayana mengambil tisu, lalu melap keringat lelaki itu dengan kasar.
"Pelan-pelan, Ay. Dahiku ini diasuransikan dengan nominal milyaran," tegur Daniel.
Ayana menampilkan gigi-gigi putihnya. "Baik Tuan Besarku!"
Pekerjaan Ayana melap keringat di dahi Daniel selesai. "Tuan, tugasku selesai. Aku akan kembali ke bawah untuk melanjutkan pekerjaan mencuciku yang sempat tertunda."
Karena permintaanmu yang tidak penting itu!
Ayana berusaha tetap kalem dan menampilkan senyuman manisnya.
"Ya sudah, sana selesaikan cepat. Lalu tolong pesankan aku steak yang harga satu juta ke atas."
Dasar songong!
"Baik Tuan Besarku." Ayana teringat sesuatu. "Tuan, sebenarnya aku-"
"Aku tidak akan memotong gajimu bulan ini, aku sudah mentransfernya. Dua kali lipat," beritahu Daniel.
Ayana langsung merogoh sakunya. Pesan dari sebuah bank menampilkan saldo rekeningnya bertambah. Benar, dua kali lipat. Rasanya Ayana terharu dengan sikap Daniel kali ini.
"Tuan, kau...."
"Tidak perlu berterima kasih dan memujiku. Uang itu tidak seberapa bagiku."
Siapa bilang aku ingin berterima kasih? Aku hanya ingin menanyainya mau dipesankan steak sekarang atau setelah aku mencuci.
"Baik Tuan, kalau begitu aku permisi." Ayana membungkuk hormat lalu meninggalkan lelaki itu yang sibuk dengan ponselnya.
"Yang, paku!"Aku mengulurkan tangan ke belakang dengan posisi sedikit menyamping, sementara pandanganku tetap lurus pada dinding. Entah penglihatanku yang miring, atau memang pigura ini yang ingin kupasang sengaja ingin membuat tandukku naik.Astaga, malah lupa aku. Sebenarnya sudah seminggu aku dan Daniel menempati rumah baru kami. Mungkin kalian masih ingat, setahun lalu Daniel memutuskan untuk membangun rumah tidak jauh dari rumah ibuku.Awalnya aku bersikeras menolak, untuk apa coba ia membangun rumah mewah lagi. Sementara ada rumah ayahnya yang kelak akan menjadi miliknya. Bukankah Daniel terlalu membuang-buang uang? Aku menyetujui ia membangun rumah dan pindah ke rumah ibu karena aku kasihan melihatnya memasang tenda di depan rumah demi membujukku. Mungkin jika hanya Daniel yang ada di tenda itu, aku tidak masalah. Biarkan saja suamiku itu merasakan penderitaan. Tapi aku khawatir pada Mark.Dasar memang
Mark benar-benar geram, diturunkannya Ardila yang digendong layaknya karung besar di kursi kayu. Tepatnya di bawah pohon yang ada di depan rumah gadis itu. Matanya menyorot tajam, membuat Ardila yang dihempas seperti barang menjadi ciut nyalinya.Sakit tapi tidak berdarah. "Kenapa? Mas kok ngeliatin aku kayak gitu?" Meski takut, namanya juga Ardila gadis barbar tak berakhlak. Mulutnya tetap akan terus mengoceh tanpa henti.Mark menyunggingkan bibirnya, ia tidak menyangka wajah sepolos bayi, kulit seputih susu dan senyum manis yang bikin diabetes bisa berubah menjadi zombie ganas. Ardila memang bukan gadis remahan biasa. Ia harus waspada, perawakan gadis itu saja yang kalem. Tapi di dalamnya, sungguh terlala kata Bang Haji Rhoma."Kamu tau nggak yang kamu jambakin tadi siapa?"Ardila bingung. "Teteh Ayana!"Lagi, bibir Mark tersungging diikuti matanya yang memutar malas
Waktu cepat sekali berlalu, sudah sebulan lebih ia menjalani hari-harinya tanpa Daniel. Oh iya, apa kabar dengan lelaki itu? Pertemuan terakhirnya hanya saat di rumah sakit itu saja. Setelahnya, sang suami tidak pernah lagi mengunjunginya. Sekedar telpon, atau bahkan mengirim pesan pun tidak ada sama sekali.Apa suaminya itu sudah melupakannya? Atau mungkin kini Daniel telah menemukan penggantinya.Ayana merasa rindu pada Daniel, terlihat jelas air matanya mengenang di pelupuk. Ketika ia sendiri, perasaannya benar-benar kacau. Jujur, Ayana ingin kehidupannya seperti dulu. Setiap pagi terbangun untuk membereskan kamar mewah sang suami. Memasak makanan favorit Daniel, dan mengurus lelaki itu dengan baik.Dulu saat masih menjadi pesuruh Daniel, ia sangat ingin bebas, tidak terikat oleh lelaki itu. Tapi sekarang saat semua sudah ia capai, ia jadi ingin kembali menjadi pesuruh. Manusia memang tidak pernah ada puasnya. Dikasih A, m
"Maaf Pak, Bu Ayana tidak hamil. Ia hanya kelelahan dan masuk angin."Terngiang-ngiang, terbayang-bayang, berputar-putar bagaikan kaset rusak. Perih, hati seakan tersayat-sayat. Bagaimana bisa derita ini menimpa Daniel? Ia sudah mengerahkan segala tenaga, waktu dan pikiran.Terus Dokter seenak jidat mengatakan Ayananya tidak hamil. Dimana hati nurani dokter itu?"Huaa...." Daniel menangis pilu, meraung-raung di lantai kamarnya.Haruskah ia bunuh diri? Loncat dari lantai 15 kantornya? Atau minum racun tikus? Hancur sekali perasaannya. Lesu, kepala Daniel menoleh pelan. Napasnya terasa berat. Kereta bayi, pakaian bayi, buket bunga mawar putih untuk Ayana tertata rapi di meja.Mark, bawahannya tetap setia menemaninya. Tidak sedikitpun lelaki itu beranjak dari samping Daniel yang selonjoran di lantai.Mark pernah membaca sebuah buku, dalam buku itu mengatakan; bahagia b
Kuping Margaret hampir saja pecah jika Daniel tidak menghentikan teriakannya. Bagaimana tidak? Ia baru saja masuk ke kamar tuannya itu dengan niat mengantarkan makanan, namun baru saja selesai meletakkan makanan.Entah kerasukan apa? Tuannya itu loncat kegirangan dengan lengkingan suara seperti tikus kejepit."Tuan!" Terpaksa Margaret bernada tinggi memanggil Daniel. Lagian ada apa dengan lelaki itu yang tersenyum semringah sembari mencium ponselnya bertubi-tubi. Sakit jiwa!"Margaret, Margaretku." Daniel menyimpan ponselnya di meja, lalu menghampiri Margaret. Meraih kedua tangan wanita itu kemudian mengayunkannya ke kiri dan ke kanan.Belum sampai disitu keterkejutan Margaret akan tingkah Daniel yang seperti teletubies. Tubuhnya diputar-putar, mirip film India. Rani Mukherjee mungkin tahan jika diputar seperti itu, tapi Margaret tentu saja tidak. Kepalanya sungguh pusing.Beberapa menit setela
Pagi yang buruk untuk Ayana hari ini. Mual-mual, kepala pusing, tubuh meriang dan pegal-pegal. Ia seperti sangat kelelahan, padahal seingatnya yang ia lakukan hanya pergi ke kampus dan membantu ibunya memasak. Itu saja ia hanya mencuci sayuran.Matanya masih sangat mengantuk, tapi subuh-subuh sudah harus terbangun karena perutnya yang kesakitan. Tenggorokannya sangat kering akibat terlalu banyak memuntahkan isi perut. Ayana benar-benar sakit.Di saat ia sedang meringkuk di kasurnya seperti bayi, Ayana mendengar pintu kamarnya diketuk. Dengan suara berat, perempuan itu menyuruh sang pengetuk masuk."Masuk saja, tidak dikunci."Pintu dibuka, Ario sudah berdiri dengan gagahnya lengkap seragam sekolah—putih abu-abu.Melihat sang kakak yang tak menyambutnya dengan baik, Ario langsung saja menghampiri Ayana."Loh Teteh kenapa?" Ia khawatir dengan kakaknya yang tengah memegangi perutny