Share

1. Kesabaran Ayana

Daniel menyukai hidupnya; rebahan sembari mengemil pizza dan beberapa botol coca-cola yang melegakan tenggorokannya memang sangat pas menemani waktunya untuk mengontrol perusahaan gamenya melalui tablet berlogo apel kegigit. Sekali-kali tangannya berpindah ke stik playstation untuk memainkan game perang yang dibuat oleh tim di perusahaannya.

Tentu saja, timnya hanya menjalankan ide game yang terbit dari otak Einsteinnya itu. Siapa yang mampu mengalahkan kecerdasaan seorang Daniel Hamilton? Ayana? Ckckck, yang benar saja, Bung? Ayana tidak sehebat itu. IQ jongkok!

"Tuan Besar," panggil Ayana saat keluar dari pantri yang ada di kamar mewah milik majikannya.

Bayangkan saja? Tapi jika tak sanggup, Ayana tidak menyarankan itu. Di kamar Daniel yang berukuran seperti lapangan futsal itu memiliki dapur ala orang sugih yang dihalangi sebuah tembok di mana jika ingin masuk ke dalamnya harus menggunakan sidik jari. Kemudian, didekat toilet di mana dindingnya dicat dengan warna emas mempunyai sebuah lift untuk bisa diakses ke ruang bawah tanah.

Di ruang bawah tanah tersebut segala permainan yang biasa Ayana lihat di mall berada dalam ruangan itu. Lalu ada juga, perpustakaan kecil, mini bar, dan terakhir dibalik lemari yang terisi dengan penghargaan milik Daniel. Disitulah, lelaki itu membuatkan Ayana sebuah ruangan. Tidak terlalu besar tapi cukup untuk Ayana rebahan manja dan melakukan aktivitas pribadinya.

Tidak lupa juga, sang CEO itu membuatkan Ayana ruangan khusus untuk mencuci, menjemur dan menyetrika pakaiannya.

Sungguh Ayana sudah lelah bekerja pada Daniel. Ia ingin resign saja, namun saat tangannya sudah ingin mengetik surat pengunduran dirinya pada macbook yang dipungut di tempat sampah di kamar Daniel. Bayangan ancaman lelaki itu dulu ketika ia ingin berhenti bekerja muncul begitu saja dan menguasai alam bawah sadarnya.

"Heh, coba saja kau berhenti bekerja. Maka akan kupastikan tak ada perusahaan bahkan toko kecil yang akan menerimamu!"

Sungguh Daniel memang sosok yang sangat kejam. Seperti sekarang, seharusnya perkataan Daniel yang mengatakan tidak akan memberikannya gaji bulan ini hanya karena ia menyerang lelaki itu secara membabi buta bisa menjadi alasan untuk ia berhenti bekerja.

Benar, salah satu kalimat yang ia baca di tante google mengatakan; uang memang bukan segalanya. Tapi tak ada uang rasanya ingin mati saja.

Begitulah yang dirasakan Ayana. Gadis dengan rambut pendek itu rela jadi pesuruh Daniel agar dapat menghasilkan uang dan hidup makmur. Hah? Abaikan kata 'makmur', yang penting Ayana bisa mengirim uang untuk biaya sekolah adik-adiknya.

"Tuan Besarku," ulang Ayana saat lelaki itu sama sekali tidak menoleh padanya.

Sabar Ayana!

Ayana mengelus dadanya, seandainya ia tidak ingin memohon agar Daniel mencabut perkataannya tentang tidak memberikan gajinya bulanan ini. Mungkin saja, gadis itu sudah mengambil cobekan di dapur dan mengulek lelaki itu bersama cabe-cabean.

Tenang Ayana, masa depan cerah menunggumu.

Ayana menarik napas lalu mengembuskannya pelan. "Tuan Besarku yang tampan rupawan." Ia menarik sudut bibirnya membentuk senyuman.

"Iya, Ay." Akhirnya Daniel menoleh. Lelaki itu meletakkan stik playstation-nya.

"Tolong ambilkan remote, Ay," suruh lelaki itu.

Padahal benda persegi itu ada di dekatnya. Tapi dasarnya saja Daniel tidak ingin tangannya kelelahan hanya karena mengambil remote yang beratnya tidak seberapa.

"Ini Tuanku." Ayana menahan kekesalannya dan tetap tersenyum.

"Kau saja yang matikan, Ay. Aku lelah dan ingin tidur sekarang." Daniel membaringkan tubuhnya. "Ay, tolong selimuti aku," ujarnya dengan mata terpejam.

Ya Tuhan, dosa apa Ayana di masa lalu sehingga ia harus berhadapan dengan lelaki yang selalu membuat jiwa ingin memutilasinya muncul.

Meski hatinya sudah meronta-ronta untuk tidak melakukan apa yang disuruh Daniel. Tapi tubuhnya akan tetap melaksanakan perintah bosnya itu.

"Tuan, bisakah?-"

"Aku tidak ingin diajak mengobrol sekarang, Ay. Kau tidak lihat, tubuhku sudah sangat lelah," interupsi Daniel tanpa membuka matanya.

Lelaki itu memperbaiki selimutnya yang sudah menutupi tubuhnya. Ia memeluk gulingnya erat dan mengabaikan Ayana yang mematung di tempatnya dengan perasaan dongkol.

Lelah dia bilang? Hanya bermain tablet, game, menyantap pizza dan meminum coca-cola membuat ia lelah? Siapa yang sebenarnya tidak waras di sini? Ayana menghela napas kasar.

"Ayana, suara napasmu menganggu telingaku," tegur Daniel.

Ya Lord! Tabahkan hati Ayana setabah-tabahnya. "Maaf Tuan," ucapnya lembut selembut pantat bayi.

Ia sudah sangat jengah dengan segala tingkah lelaki itu. Cepat-cepat gadis itu melangkahkan kakinya ke dapur. Saat ini Ayana butuh sesuatu yang dingin. Otaknya sudah mendidih karena majikannya yang aneh itu. Jangan sampai ia khilaf dan melakukan tindakan kriminal seperti mencekik leher lelaki itu.

***

"Ayana!"

Teriakan Daniel saat ia mengangkat telpon membuat telinga gadis itu serasa ingin pecah.

"Tuan, bisakah tidak berteriak di telpon. Telingaku ini tidak tuli, Tuan Besar!"

"Aku tidak peduli, sekarang cepat kau ke sini."

Ayana mendengus kesal. "Tapi Tuan, aku sedang mencuci-"

"Cepat Ayana!"

Mendengar titah dari sang majikan, Ayana langsung berlari tergopoh-gopoh menuju lift.

Tidak butuh waktu lama, gadis itu sudah berada di kamar Daniel.

Napasnya tersengal-sengal saat menghampiri lelaki itu yang masih bergelut di kasur super mahalnya.

"Tuan, apa yang terjadi?" Wajah Ayana sudah panik setengah mati.

Ekspresi Daniel yang semula datar berubah menjadi sedih. "Tuan ada apa sebenarnya?"

Pikiran Ayana mulai berkecamuk. Lantas gadis itu berpikir yang tidak-tidak, seperti, mungkin saja Daniel bangkrut? Atau lelaki itu baru saja ditelpon dokter pribadinya bahwa hidupnya tidak akan lama lagi? Dalam hatinya, ia merasa senang kalau begitu. Akhirnya setelah sekian purnama, ia akan bebas dari kekejaman Daniel Hamilton.

Astagfirullah, tidak boleh begitu Ayana.

Malaikat baik di sebelah kanannya mengingatkan dirinya.

"Tuan?"

Tiba-tiba lelaki itu menatap Ayana dengan sorot mata tajam. "Kau pasti sedang mengutukku?"

Ayana kelabakan. Astaga, apakah sekarang Daniel berubah jadi cenayang? Bagaimana mungkin ia tahu jika Ayana memang sedang mengutuknya? Tidak, ia harus berpura-pura tetap prihatin.

"Tuan, sesungguhnya fitnah itu lebih kejam daripada tidak memfitnah," kata Ayana sok bijak.

Tuk

Tangan besar nan lembut sang majikan mendarat mulus di jidat Ayana. Gadis itu meringis kesakitan. "Tuan, ini jidat bukan gendang yang bisa ditabuh."

"Aku tidak peduli, bagiku sama saja," balas lelaki itu dengan nada sombong.

Sabar Ayana, jangan mencekiknya atau kau akan masuk penjara.

"Jadi kenapa Tuan memanggilku?" Ayana terpaksa tersenyum manis.

"Hiks, dahiku berkeringat, Ay. Dan aku tidak bisa mengambil tisu untuk melapnya. Tubuhku akan sangat letih jika harus beranjak dari kasur ini," jelasnya.

Karung mana karung? Ampuni dosa Ayana. "Tuan, kau memanggilku hanya untuk menyuruhku mengambil tisu dan melap keringatmu?" Gigi Ayana bergemeletuk.

Daniel memasang wajah puppy eyes-nya. "Kau tahu, aku lemah tanpamu, Ay."

Tidak ingin membalas perkataan sang majikan yang penuh drama. Ayana mengambil tisu, lalu melap keringat lelaki itu dengan kasar.

"Pelan-pelan, Ay. Dahiku ini diasuransikan dengan nominal milyaran," tegur Daniel.

Ayana menampilkan gigi-gigi putihnya. "Baik Tuan Besarku!"

Pekerjaan Ayana melap keringat di dahi Daniel selesai. "Tuan, tugasku selesai. Aku akan kembali ke bawah untuk melanjutkan pekerjaan mencuciku yang sempat tertunda."

Karena permintaanmu yang tidak penting itu!

Ayana berusaha tetap kalem dan menampilkan senyuman manisnya.

"Ya sudah, sana selesaikan cepat. Lalu tolong pesankan aku steak yang harga satu juta ke atas."

Dasar songong!

"Baik Tuan Besarku." Ayana teringat sesuatu. "Tuan, sebenarnya aku-"

"Aku tidak akan memotong gajimu bulan ini, aku sudah mentransfernya. Dua kali lipat," beritahu Daniel.

Ayana langsung merogoh sakunya. Pesan dari sebuah bank menampilkan saldo rekeningnya bertambah. Benar, dua kali lipat. Rasanya Ayana terharu dengan sikap Daniel kali ini.

"Tuan, kau...."

"Tidak perlu berterima kasih dan memujiku. Uang itu tidak seberapa bagiku."

Siapa bilang aku ingin berterima kasih? Aku hanya ingin menanyainya mau dipesankan steak sekarang atau setelah aku mencuci.

"Baik Tuan, kalau begitu aku permisi." Ayana membungkuk hormat lalu meninggalkan lelaki itu yang sibuk dengan ponselnya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Cahyati Moms Adelio
Padahal aku mau klaw jd Ayana... Meski punya boss galak tp kaya'nya hidupnya bagai di istana yg sangat mewah...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status