Share

4. Uji Coba Tanpa Ayana

Pagi-pagi sekali, Daniel sudah bangun. Hari ini ia akan mencoba untuk hidup tanpa bantuan Ayana. Setelah seharian kemarin merengek pada asistennya itu untuk menikah, pada akhirnya ia menyerah juga.

Lagian Ayana itu songong banget nolak seorang CEO seperti dirinya. Perempuan yang tidak ada syukurnya sama sekali, apa coba kurangnya Daniel? Ganteng? Iya.Tajir? Uh, jangan dibilang. Baik hati? Tentu saja.

Dasar memang Si Ayana pemikirannya dangkal. Tidak bisa membedakan mana berlian, mana perhiasan hadiah kerupuk.

Maka dari itu, dengan tekad yang bulat. Daniel segera bangun untuk menuju kamar mandi. Sekitar lima menit, ia memandangi kakinya secara bergantian dengan sendal kamarnya. Pikirannya berkecamuk, apakah ia sanggup mengayunkan kaki ke kamar mandi yang mungkin jaraknya seperti ia mendaki gunung.

Itu hanya tebakan Daniel saja, jangan, kan, mendaki gunung. Menggerakkan kaki saja ia sungguh mager.

"Daniel, kamu pasti bisa!" Ia meyakinkan dirinya sendiri.

Perlahan kakinya memakai sendal. Lalu tangannya ditumpukan pada kasur agar ia bisa berdiri.

Setelah berhasil berdiri, terdengar helaan napas lega dari bibirnya. Daniel tentu tidak langsung berjalan, terlebih dulu lelaki itu menarik napas kemudian membuangnya. Ia harus mengumpulkan energi sebanyak mungkin. Agar nanti tidak kelelahan ketika perjalanan menuju kamar mandi.

Merasa energi yang sudah dikumpulkan cukup, dengan pelan Daniel mulai melangkahkan tungkainya. Tiga langkah lelaki itu berjalan, ia berhenti sejenak mengambil napas.

"Astaga, kenapa kamar mandinya jauh sekali?!" Ia merasa dongkol.

Sementara Ayana yang baru saja selesai membuat sarapan di dapur dan bermaksud ingin membangunkan majikannya dibuat tersentak.

Kemarin, lelaki itu sibuk mengajaknya menikah sampai rasanya telinga Ayana ingin pecah mendengarnya. Sekarang, Daniel kembali bertingkah aneh. Entah drama apa yang sedang dimainkan majikannya itu?

Merasa khawatir dengan Daniel. Ayana cepat-cepat mendekat dan langsung memegang lengan lelaki itu. "Tuan Besar. Kenapa kau berjalan sendiri?"

Ayana kaget saat melihat wajah Daniel yang pucat pasi. Berbeda dengan sang asisten yang panik. Lelaki itu hanya diam seraya memandangi wajah Ayana.

"Lepas!" Daniel menarik tangannya.

"Tuan, ada apa? Kau marah padaku?" tanya Ayana.

Melihat raut wajah Tuan Besarnya yang tidak bersahabat membuat Ayana sedikit takut. Bagaimana jika Daniel memecatnya? Astaga, mencari pekerjaan sekarang sangat susah.

Tanpa ingin menjawab, Daniel mengabaikan pertanyaan Ayana dan lebih memilih melanjutkan perjalanannya.

"Tuan, aku tidak bermaksud menolakmu. Tapi—"

Daniel tiba-tiba berhenti membuat Ayana juga ikut berhenti. Lelaki itu menatap penuh selidik pada asistennya itu. "Jadi, kau setuju menikah denganku?"

Tentu Ayana langsung menggeleng. "Sudahlah. Kau tidak akan mengerti rasanya ditolak," sedih Daniel.

Akhirnya setelah lelaki itu mengerahkan segala tenaganya, ia pun bisa duduk anteng pada kloset. Dilapnya keringat yang menempel di dahinya seraya matanya mengarah pada Ayana yang masih mengintilinya.

"Tuan, aku akan menyiapkan air hangat untukmu," tawar Ayana

"Tidak perlu, aku tidak butuh bantuanmu," tolak Daniel.

"Tapi, Tuan Besarku... kamu yakin bisa melakukan semuanya sendiri? Menyalakan keran, menyiapkan bunga mawar, dan juga busa-busa?" tanya Ayana.

Daniel sontak meneguk ludahnya. Ya Lord! Apa seribet itu hanya untuk mandi? Lelaki itu mulai berpikir tentang yang dikatakan Ayana. Pasti akan sangat melelahkan jika ia mengerjakannya sendiri. Tapi, meminta bantuan Ayana pun rasanya ia gengsi. Daniel sudah bertekad dan ia harus menyelesaikannya sampai titik darah penghabisan.

"Tuan?" panggil Ayana karena melihat majikannya itu hanya terdiam saja.

"Aku bisa melakukannya, jadi silakan kau keluar sekarang," usir Daniel.

Meski berat hati, Ayana mau tidak mau pun keluar dari kamar mandi.

"Tuan—"

"Aku bisa melakukannya, Ayana!"

***

Ayana mondar-mandir di depan kamar mandi. Tentu saja, rasa khawatirnya semakin bertambah sepuluh kali lipat. Sudah hampir lima jam majikannya di dalam kamar mandi dan tidak ada sama sekali tanda ia akan keluar.

Ia sudah mengetuk pintu, namun tidak ada jawaban dari Daniel. Ia takut lelaki itu malah pingsan di dalam toilet.

"Tuan, Tuan Besarku. Apa kau baik-baik saja?" seru Ayana seraya tangannya mengetuk pintu kamar mandi.

Masih sama, Daniel belum juga menyahut. Karena rasa khawatir Ayana sudah kepalang tanggung, maka dengan kekuatannya ia langsung mendobrak pintu.

Dan sungguh Ayana terkejut saat melihat Daniel masih terduduk di atas kloset dengan pakaian sama, juga wajahnya yang tidak menunjukkan ia sudah selesai mandi.

"Tuan, kau baik-baik saja? Apa kau sudah mandi?" Ayana mendekati Daniel kemudian berjongkok di depan lelaki itu.

"Tuan Besar?"

Dipanggil seperti itu, Daniel yang semula menunduk langsung menengadahkan kepalanya. Bulir air mata langsung  mengenai pipinya.

"Tuan, kenapa kau menangis?" Ayana mengusap air mata yang membasahi pipi majikannya itu.

"Ayana...." Daniel sesenggukan.

"Iya, Tuanku. Ada apa?"

Ayana merasa iba melihat Daniel menangis. Bagaimana pun jengkelnya gadis itu pada Daniel. Ia tidak akan tega jika majikannya itu terlihat sedih seperti sekarang.

"Ay, aku sudah mencoba untuk melakukan semuanya tanpamu, tapi sungguh aku tidak bisa. Maka dari itu, kau harus menikah denganku dan merawatku seperti bayi Malika," jelasnya.

"Menikah itu harus saling mencintai, Tuan. Tidak bisa asal menikah saja. Kau juga tidak tertarik padaku. Bagaimana mungkin kita akan menikah?" Ayana mencoba memberikan pengertian pada Daniel.

Suara tangisan lelaki itu semakin kencang. "Aku akan mencoba tertarik padamu, aku tidak masalah dengan wajah jelekmu itu. Yang penting kita bisa menikah," rengeknya.

Rasa iba Ayana pada Daniel seketika menghilang begitu saja. Dalam kondisi seperti ini, masih saja lelaki itu mengejeknya.

"Tuan, bagaimana kalau aku mencarikanmu seorang perempuan yang cantik? Yang sesuai tipemu?" tawar Ayana.

"Tidak! Aku hanya akan menikahimu. Aku tidak mau perempuan yang lain," kukuh Daniel.

Ayana menghela napas kasar. Majikannya memang benar-benar sudah tidak waras. Lagian kenapa juga tiba-tiba lelaki itu ingin menikah? Lebih baik ia terus menerus memerintah Ayana. Dibanding gadis itu harus mendengar rengekannya untuk menikah

Daripada lelaki itu tidak berhenti merecokinya, mungkin ia sebaiknya menenangkan Daniel terlebih dahulu.

Ayana tersenyum lembut. "Baiklah Tuan. Kita akan menikah," putusnya.

Jangan salah paham, bukan berarti ia berkata seperti itu. Ayana benar-benar akan menikah dengan Daniel. Hanya untuk menenangkan lelaki itu. Seperti seorang anak kecil yang ditenangkan ibunya—dijanjikan akan dibelikan permen.

Tentu saja, mata Daniel berbinar-binar. "Benarkah? Kau akan menikah denganku?" yakinnya.

Ayana mengangguk. "Iya, Tuan. Kita akan menikah. Tapi sebelum itu, kau harus mandi terlebih dahulu lalu memakan sarapanmu."

Daniel tersenyum semringah. Ia mengangguk-angguk patuh pada Ayana. "Aku akan mandi sekarang. Siapkan semuanya, Ay."

"Baik, Tuan." Ayana balas tersenyum.

"Aku akan menelpon Ayah, Ayana sudah setuju menikah denganku."

Ayana mendengus mendengar perkataan Daniel. Siapa juga yang mau menikah dengan Bayi Besar seperti Daniel? Aku tidak yakin dia bisa menghasilkan seorang bayi.

"Ay, cepat-cepat sedikit. Aku harus segera mandi dan menikah denganmu!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status