Share

Zahwa Seorang Janda?

Ini sudah beberapa tahun setelah kejadian nahas itu. Rara telah menjelma menjadi wanita dewasa dan berbeda. Dia bersembunyi di balik kaca mata tebal, rambut keriting panjang, baju kedododoran, gigi berkawat warna hijau dan wajah tanpa make-up.

Isu kedatangan CEO yang baru. Seperti biasa, hal itu tidak ada pengaruhnya bagi Zahwa Almira. Dia tidak berhubungan dengan CEO secara langsung. Wanita dengan kaca mata tebal dan baju longgar itu tetap pada aktivitasnya. Melakukan pekerjaannya, pulang bertemu putra kesayangannya. Tidak ada yang berubah setiap harinya, kecuali ahir minggu.

Hiruk pikuk para karyawan biasa terjadi kecuali hari libur atau saat akhir minggu. Di Dawson International Corp selalu sibuk dengan berbagai aktivitas. Seperti pagi ini, Zahwa sudah berkutat dengan desain yang harus dikerjakannya. Akhir bulan, akan lounching produk baru. Jadi bagian periklanan dan pemasaran akan sangat sibuk.

“Za, lo dah tahu belum kalau CEO kita akan diganti?” tanya Ingrid sahabatnya. Zahwa hanya tersenyum saja, sambil sesekali membetulkan kaca matanya. Dia menggeleng tanda tidak tahu entah tidak peduli.

“Za, lo itu kalau udah kerja nggak tengok kanan-kiri. Sesekali perhatiin lingkungan napa?” Lagi-lagi Zahwa hanya tersenyum saja.

“Emang susah, ya ngomong sama lo. Bener saja Pak Arsan dan Pak Angkasa sangat suka sama Lo. Worka holic banget.” Zahwa hanya mengembuskan napas halus.

“Bukan begitu, In, gue harus tanggung jawab betulin banyak desain. Nggak bisa konsen kalau sembari ngobrol.” Ingrid akhirnya menyerah. Mereka kembali kepada kesibukan masing-masing. Zahwa masih berkutat dengan seluruh pekerjaannya hingga istirahat tiba. Arsan sang CEO yang nantinya akan digantikan dengan CEO baru sudah ada di depan pintu. Lalaki itu memang naksir berat dengan Zahwa. Dia yang menolong Zahwa waktu dalam kesulitan. Ada kejadian memilukan saat itu. untung saja Arsan segera datang. Di sanalah mereka kenal, di sebuah jembatan besar saat hujan lebat. Jauh sebelum Zahwa kerja di perusahaan itu. Arsan pula yang merekomendasikan Zahwa kerja ditempat itu. Jujur awalnya Zahwa takut karena perusahaan itu milik keluarga Dawson. Tapi Arsan berhasil meyakinkannya.

“Berhenti, Za. Dia tidak akan menangis kalau kamu tinggal. Waktunya makan siang.” Zahwa meluruskan pandang ke arah lelaki yang bersuara itu.

Last minute ago.” Zahwa   meminta sedikit waktu lagi. Sedangkan kawan-kawannya sudah bubar ke arah kantin termasuk Ingrid karena sudah ada Arsan yang menunggu. Jika tidak ada, biasanya mereka akan pergi makan siang bersama, dengan Inggrid yang menunggunya.

Done!” Zahwa menutup laptopnya, kemudian melenggang bersama Arsan ke kantin. Lelaki dewasa yang mapan itu tidak sungkan makan di kantin karyawan. Dia berjalan beriringan dengan Zahwa yang ada di sampingnya. Sesekali mengobrol tentang banyak hal. Akhirnya mereka sampai ke kantin. Walau jenjang karir mereka sangat jauh, kedekatan mereka tidak menjadi bahan perbincangan karena keduanya sudah akrab sebelumnya. Arsan bahkan bisa membaur dengan para karyawan. Lelaki satu itu memang menjadi idaman. Walau sukses tapi tidak sombong. Demikian stempel yang diberikan karyawan padanya.

“Mas, katanya akan ada perpindahan CEO yang baru, benarkah?” Zahwa bangkit dan mengambil air mineral yang ada di kulkas pojok.

“Kau sudah mendengarnya?” Arsan membalas tanya Zahwa setelah wanita itu kembali. Zahwa mengangguk, kemudian membuka segel air mineral itu dan menenggaknya.

“Mas yakin dengan keputusan ini? Lima tahun bukan waktu yang singkat dan kamu sudah bisa menstabilkan harga saham Dawson bahkan grafiknya naik. Itu tidak adil, kamu tidak protes?” Arsan tertawa renyah. Hal itu yang selalu dirindukan Arsan dari wanita itu. Dia sebenarnya pendiam. Namun jika ada yang menggenggu pikirannya langsung saja meledak dan nerocos mirip mercon renteng.

“Mau bagaimana lagi? Mereka menggajiku untuk memajukan perusahaan. Lagi pula, sahamku hanya sepuluh persen. Yang bicara adalah pemilik perusahaan dengan saham terbesar. Rapat pemegang saham juga menyetujuinya. Aku tinggal mengamini saja.” Pembicaraan mereka mengalir bagai sungai dari hulu ke hilir. Sesekali Zahwa menegang karena marah. Dia membetulkan kaca mata tebalnya, yang sebenarnya hanya kaca mata baca saja.

“Sebenarnya mereka hanya memindahkanku, Za. Cuma memang perusahaan anak cabang yang baru dirilis.” Zahwa menghentikan suapannya. Apalagi dipindahkan ke anak cabang yang masih culun. Berarti lelaki itu hanya diperalat. Demikian pemikiran Zahra.

“Kok mereka jahat banget, sih? Kamu harus berjuang dari nol lagi begitu?” Arsan mengangguk.

“Ah, itu namanya mereka membuangmu, Mas. Kamu hanya diperalat. Kenapa tidak cari orang baru untuk melakukannya. Bukankah kau berprestasi?” tanya Zahwa sambil mencocol daging dengan saus.

“Bukan membuang, Za. Kau ini bahasamu sarkas banget. Memang keahlianku ‘kan itu. Ya itung-itung pengalaman baru. Siapa tahu kamu jadi rindu kalau tidak jumpa denganku agak lama.” Zahwa tersedak. Dia memang selalu menghindar jika Arsan sduah mulai berbicara ke arah yang serius. Arsan mengambilkan air untuk Zahwa. Wanita itu menenggaknya kemudian menepuk dadanya.

Zahwa sudah selesai makan siangnya, kemudian kembali ke ruang kerjanya. Arsan tidak ikut kembali karena dia ada rapat di luar kantor. Zahwa bersama teman-teman lain berarak menuju ke lift untuk kembali ke ruang masing-masing.

“Za, gimana ya nanti CEO yang baru. Sebaik Pak Arsan tidak ya?” tanya Inggrid sambil turut berjalan dan masuk ke lift. Terlihat agak berjejal di sana karena memang karyawan barengan saat istirahat.

“Pak Arsan baik karena kita sudah mengenalnya. Kalau belum juga mungkin sama saja. Kita di gaji ‘kan untuk bekerja. Bukan untuk dekat dengan CEO.” Zahwa memang jenis spesies langka. Dia tidak pernah histeris mau seberapa ganteng atasan atau pria mana pun di kantor. Jika yang lain menggunakan trik untuk dekat dengan Arsan, dia malah sebaliknya. Merasa tidak spesial dekat dengan lelaki yang sebentar lagi dipindahkan ke anak cabang itu.

“Aku lupa kalau elo adalah jenis genus dari tanaman langka. Bahkan ketika Joe Taslim di depanmu pun, kamu akan tetap beku tidak bereaksi.” Zahwa tertawa. Dia mengibaskan rambut keriting panjangnya ke belakang. Poninya yang mulai tidak teratur, dibereskan dengan jari-jarinya. Ya, demikian penampilan Zahwa.

Zahwa menyembunyikan wajah anggun dan cantiknya untuk motif tertentu. Wajah datar jarang senyum. Rambut keriting panjang dengan poni di kening. Kaca mata tebal, jangan lupa deretan giginya yang dipasang kawat gigi membuat penampilannya dalam kategori “culun”. Bajunya yang kebesaran dari ukuran seharusnya. Jangan lupa, stoking warna hitam dan tas besar yang tidak pernah diganti. Tanpa make-up, tanpa aksesoris yang melekat dalam diri selayaknya seorang wanita. Hanya Arsan yang tahu alasannya dan hanya dia pula yang tahu betapa cantiknya Zahwa. Tentu selain putranya Keano.

Zahwa memang bukan lagi sendiri walau dia lajang. Ada Keano seorang anak kelas lima yang menajadi penyemangatnya. Keano pula alasan dia betah menyendiri. Keano adalah kesalahan fatal masa lalunya. Kendatipun demikian, kesalahan itu dia nikmati karena Keano tumbuh menjadi anak laki-laki yang kuat dan tidak neko-neko. Dia anak lelaki yang penegrtian sesuai tupoksi usianya. Bahkan karena terbiasa hidup dalam berbagai macam tekanan dan kekurangan, anak laki-laki itu berpikir lebih rasional dibanding anak-anak lain seusianya.

Zahwa seorang janda? Tidak! Dia belum pernah menikah. Dia memiliki anak karena sebuah insiden hubungan semalam dengan salah seorang. Hingga akhirnya berbuah Keano yang kini menjadi pusat hidupnya. Zahwa kembali berkutat dengan seluruh pekerjaannya. Dia kembali mengibaskan rambutnya yang turut serta turun ketika tubuhnya condong ke bawah.

“Za, aku keluar dulu. Mau minta tanda tangan.” Ingrid melenggang. Zahwa hanya mengangguk tanpa menoleh ke sumber suara.

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Senopati
tp..kok waktu 3 THN berlalu tp anaknya udah kelas 5 yaa...AQ jd bingung...
goodnovel comment avatar
Tarhim
bagus ceritanya
goodnovel comment avatar
Ratna0789
wanita tangguh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status