"Nanta!" pekik Johan, agak terkejut putrinya memilih jalan itu.
Alma menghela napas panjang dan berkata dengan datar, "Silakan angkat kaki dari rumah ini. Mulai detik ini, kamu bukan bagian dari keluarga ini lagi. Dan jangan sekali pun kamu berani menggunakan nama 'Wiriyo' di belakang nama kamu. Ngerti kamu?"
Sakit. Sangat sakit.
Itulah yang Ananta rasakan saat ini tapi Ananta berusaha tegar. Dia tahu keputusan neneknya sudah bulat.
"Baik, Nek. Nanta tidak akan pernah kembali lagi ke rumah ini dan meninggalkan nama belakang keluarga 'Wiriyo'."
Alma mengangguk puas. Setidaknya salah satu pembawa masalah dalam keluarganya akan segera meninggalkan rumah itu.
Setelah cucunya itu pergi, dia tinggal menghapus jejak sang cucu sehingga tak ada lagi yang bisa menjatuhkan nama besar keluarganya lagi.
Dengan air mata yang mulai jatuh membasahi pipinya, Ananta berbalik dan bergerak menuju kamarnya. Dia bergegas membawa beberapa barang yang dia anggap penting lalu kemudian dia menuruni tangga begitu dia selesai berkemas dan berganti baju.
Sangat berat meninggalkan keluarga besarnya itu, tetapi dia tak memiliki pilihan lain.
Keluarganya ternyata masih menunggu di ruang tamu, membuat dirinya seakan memang sedang diawasi. Dengan hati yang terluka ia berkata, "Nanta pamit dulu. Papa, Mama, Nenek. Vin."
Tak ada yang membalas ucapannya itu tapi Vina, adik kandungnya itu langsung menghambur ke pelukan sang kakak, memeluknya erat dan menangis meski hanyalah tangisan palsu.
Tentu saja ini memang hal yang ia inginkan sejak lama karena dengan begini ia akan lebih leluasa mendekati Alan Samudera, laki-laki yang telah mencuri hatinya sejak bertahun-tahun yang lalu yang juga saat ini telah menjadi mantan tunangan kakaknya.
Belinda sendiri sudah meneteskan air matanya tapi berkali-kali ia hapus. Sedangkan Johan memilih untuk mengeraskan hatinya sendiri dan berpikir jika memang putrinya tersebut pantas mendapatkan hukuman ini.
"Mbak pergi dulu ya Vin," pamit Ananta.
Gadis muda itu pun mulai menyeret kopernya tapi saat ia baru saja melangkah, ia tiba-tiba mendengar sang nenek berkata, "Berhenti!"
Refleks Ananta menghentikan langkah kakinya, menoleh ke arah sang nenek dan menatap penuh harap.
"Ya, Nek?" Ananta berkata dengan napas tertahan.
Mungkinkah neneknya telah membatalkan niatnya?
Apa dirinya akan diberi kesempatan lagi?
Harapan Ananta mulai timbul.
"Iya, Nek?"
Dengan dingin Alma berujar, "Keluarkan semua kartu debit beserta kartu kredit kamu. Kunci mobil dan semua fasilitas yang kamu dapat dari Nenek."
Mata Ananta hampir keluar dari tempatnya saat mendengar hal itu, "Nek, tapi Nanta ...."
"Ma, bagaimana Nanta bisa bertahan kalau dia tak memiliki apapun?" ujar Belinda syok, begitu terkejut. Wanita itu sama sekali tidak pernah menyangka bila Alma akan setega itu pada cucunya sendiri.
Ia lalu menambahkan, "Ma, tolong biarkan Nanta membawa itu semua."
"Tidak. Ayo keluarkan semua fasilitas yang Nenek berikan padamu, Nanta!" titah Alma, tak ingin dibantah.
Dengan mata yang sudah sembab penuh air mata, Ananta mengambil dompet dan mengeluarkan semua kartu yang ia miliki beserta kunci mobil itu. Ia menghapus air matanya dan berlalu dari ruang tamu.
Sebelum ia sampai di pintu, ia mendengar sang nenek masih menggerutu, "Dipikirnya hidup di luar itu mudah apa? Biar saja dia ngerti gimana susahnya kerasnya hidup di luar."
Ananta memejamkan matanya sesaat, menahan segala rasa sakit yang menghujam jantungnya dan kemudian melangkah cepat meninggalkan rumah itu.
Dia menghentikan sebuah taksi. "Pak, bisa tolong kopernya diangkat?"
"Oh, iya Mbak, bentar."
Vina mengawasi kepergian sang kakak dari balik jendela.
Setelah taksi itu meninggalkan halaman depan rumah keluarga besar Wiriyo, Vina menyeringai, "Maaf ya Mbak. Tapi kalau nggak kaya gini, aku nggak bisa dapatin Alan. Selamat hidup miskin di luar sana."
***
Mikael baru saja mendapatkan pelepasannya setelah ia bercinta dengan model papan atas yang ia jumpai di salah satu klub malam terkenal di Inggris. Dengan napas terengah-engah ia menjauh dari tubuh sang wanita.
"Kau mau ke mana, Baby?" tanya sang wanita dengan suara patah-patah.
"Kamar mandi," jawab Mikael singkat.
Setelah ia masuk ke dalam kamar mandi, ia segera menguncinya dari dalam. Ia pun mengguyur tubuhnya hingga seluruh tubuhnya basah.
Namun, ia merasa kesal dengan dirinya sendiri yang aneh.
Ia bahkan meninju dinding beberapa kali.
"Sialan! Apa yang salah denganku?"
"Kenapa wajah wanita itu tak mau pergi dari ingatanku?"
Ia mengusap wajahnya, frustrasi.
"Dan kenapa aku tak pernah bisa puas dengan wanita lain? Ada apa dengan diriku sebenarnya?"
"SIALAN!"
Mikael menggelengkan kepala kuat-kuat, sungguh tidak mengerti atas apa yang terjadi kepada dirinya.
"Ingat, Mikael. Ingat, dia hanya seorang wanita penghibur. Tak pantas dipikirkan."
Namun, percuma saja. Ia tetap tak bisa mengenyahkan pikiran tentang wanita itu di dalam kepalanya. Justru, semakin ia mencoba melupakan, ia semakin ia teringat akan segala pesona wanita itu.
"Oh, ini tidak mungkin terjadi kepadaku!" ucapnya begitu sangat kesal.
Ia mematikan keran itu dan langsung keluar setelah memakai handuk.
"Baby, apa kau mau lagi?" tanya Sofia dengan senyum sensual.
Wanita itu bahkan menyingkap selimut putih yang menutupi tubuhnya, seakan memang mengudang Mikael untuk melakukan sesuatu dengannya.
Mikael hanya tersenyum kaku, "Tidak. Kau bisa pergi sekarang Sofia. Aku ada urusan mendadak."
Mata wanita bertubuh molek itu melebar, "Apa? Kau menyuruhku pergi sekarang? Ta-tapi biasanya kau tidak hanya melakukan itu sekali denganku, Mikael. Apakah aku tidak bisa membuatmu puas tadi?"
"Apa kau ingin aku melakukan sesuatu untukmu, Mikael? Kau bisa mengatakannya padaku," ucap Sofia terlihat tidak ingin begitu saja pergi.
"Tidak."
"Mikael, kau-"
"Andrew akan mengurus bayaranmu," potong Mikael cepat.
Sofia pun mengerti bila Mikael memang tidak menginginkan dirinya sehingga dengan begitu kecewa sang wanita pun pergi dari hotel mewah itu.
Seperti yang telah dikatakan oleh Mikael, Andrew dengan cepat melakukan perintah sang Tuan Muda.
"Andrew, hubungi Laura untuk menjadwal ulang semua kegiatanku besok. Dan minta dia untuk segera mengosongkan jadwalku selama satu minggu," titah Mikael.
"Ya, Sir?" ujar Andrew kaget.
"Siapkan dirimu karena kita akan pergi ke Indonesia dan kau harus bisa menemukan wanita itu untukku entah bagaimanapun caranya," ujar Mikael datar.
Andrew terbelalak kaget, "Wanita itu? Maksud Anda ...."
"Wanita malam itu. Aku harus bertemu dengannya," ucap Mikael dengan serius.
"Wanita itu? Apa maksud Anda itu ...." "Ya, wanita penghibur yang berdansa denganku dan menghabiskan malam denganku saat itu," jawab Mikael, semakin membuat Andrew terkesiap. Ia cukup kaget. Pasalnya ini pertama kalinya tuan mudanya mencari-cari seorang wanita. Apa yang membuat wanita begitu spesial? pikir Andrew bingung. Saat sudah sampai di Indonesia, Mikael terheran-heran dengan apa yang ia sedang lakukan. "Aku pikir aku memang sudah gila." Ia menggelengkan kepalanya dan bergumam sendirian sambil berkacak pinggang, "Mikael, kamu memang benar-benar sudah tidak waras." Pria bermata biru terang itu pun melangkahkan kakinya ke dalam klub malam yang mempertemukan dirinya dengan wanita yang tidak bisa lupakan sampai detik ini. Seperti biasa, begitu ia masuk, ia langsung menjadi pusat perhatian. Dengan begitu mudahnya ia membuat beberapa wanita melihatnya dengan tatapan tertarik. Siapa yang tak terpesona dan jatuh hati pada seorang Mikael Alexander yang memiliki garis waj
Lima tahun kemudian, "Sean, baik-baik ya di sini! Nanti Tante Haruka yang jemput Sean," ucap Ananta sambil berjongkok, menatap sang putra. "Okay, Ma. Sean kan memang anak baik," sahut bocah berusia lima tahun itu. Ananta memeluk putranya lalu mencium pipinya sebelum menyerahkan Sean pada petugas day care. Setelah memastikan Sean sudah berbaur dengan teman-temannya yang juga merupakan anak-anak yang dititipkan di tempat itu, Ananta segera mengambil motornya dan mengemudikannya menuju ke tempat kerja. Sesungguhnya, Ananta sudah mampu membeli sebuah mobil, tapi prioritasnya saat ini adalah memberikan rumah yang lebih nyaman untuk sang putra, sehingga dia menabung uang hasil kerjanya untuk itu. The Himalaya Resort. Sebuah resort yang menjadi tempat bekerja Ananta sejak tiga tahun lalu. Tempat itu berhektar-hektar luasnya dan menjadi salah satu yang paling terkenal di kota itu. Tamunya pun tidak hanya berasal dari dalam negeri, tapi juga luar negeri. Tidak heran, dulu Ananta m
Tergagap, Ananta membiarkan pria asing itu mengambil buket bunga itu tapi dia sendiri masih terbengong-bengong. Tidak, Ananta. Dia tidak mungkin ingat kepadamu. Itu sudah bertahun-tahun berlalu. Laki-laki di depanmu ini seorang Don Juan. Mana mungkin dia ingat akan salah satu mangsanya? Kau hanya terlalu banyak berpikir, Ananta. Wanita itu menggelengkan kepala, mencoba meyakinkan dirinya bila pria asing itu benar-benar sudah melupakannya. Mikael berdeham agak keras hingga Ananta tersadar dan segera berkata, "Sir, mari ikut kami!" Mikael tidak membalas dan hanya menatap Ananta dengan datar, tapi anehnya Ananta tahu pria itu sedang menunggu dirinya untuk menunjukkan jalan. Dengan hati yang sedang bercampur aduk, Ananta berjalan di depan Mikael, diikuti oleh rombongan. Mereka diarahkan ke sebuah ruangan yang telah dipersiapkan sebelumnya. "Silakan menikmati penyambutan kami, Sir, Maam." Ananta berujar dengan sopan, mencoba menenangkan diri meskipun gagal. Namun, melihat sika
Melihat tatapan sepasang mata sebiru lautan milik anak kecil itu, Mikael merasakan sesuatu yang aneh tengah menyergapnya. Suatu perasaan asing yang tak dikenalnya. Rasa iba dan tak tega. Tiba-tiba saja hanya dengan sebuah tatapan itu, Mikael mendadak menjadi luluh seketika, "Baiklah, baiklah. Paman akan menyelamatkannya untukmu." Si anak kecil itu langsung tersenyum lebar, memamerkan deretan gigi putihnya yang rapi. Bergegas Mikael memanjat pohon itu dengan begitu mudahnya, lalu membebaskan anak kucing yang terjerat tali itu dan membawanya turun ke bawah. Dia menyerahkannya pada anak itu. Anak kecil itu berteriak dengan gembira saat si binatang berbulu itu telah berada di dalam dekapannya. Matanya terlihat berbinar-binar. Tanpa sadar Mikael tersenyum. Mikael memperhatikan dia mengelus-elus kucing itu dengan penuh kelembutan sampai-sampai Mikael rasanya tak bisa melepaskan pandangannya dari anak kecil itu. "Kucing imut, kamu udah aman. Bermainlah dengan riang ya!" Anak kecil
"Oh, iya, baik. Mohon ditunggu. Saya akan segera ke sana, Sir," ucap Ananta. Begitu Ananta menutup panggilan itu, beberapa staf terlihat menunggu reaksi Ananta. Tapi, Handi yang jelas tidak memiliki kesabaran yang setebal kamus bahasa Indonesia itu pun bertanya, "Gimana, Bu? Siapa yang dari Cleveland memanggil, Bu?" Panggilan yang ditujukan pada nomor saluran Ananta adalah panggilan yang jelas hanya berasal dari gedung Cleveland. Sementara yang lain biasanya akan bertujuan ke saluran lain. "Kamar nomor 2." Handi melebarkan mata, "Si pria bule ganteng itu?" Ananta mendengus, "Semua pria di kamar Cleveland itu bule dan ganteng." Ananta tidak menampik fakta itu. "Ah, Bu Nanta. Maksud saya si pria pirang yang Ibu beri buket bunga tadi itu lho. Si kaya," jelas Handi. Ananta mengeryit heran, "Si kaya? Julukan apa lagi itu?" Staf lain berkomentar, "Bu Nanta gimana sih? Masa Ibu nggak tahu? Itu, Bu. Pak Mikael Alexander yang menyewa Cleveland kan memang kaya banget, Bu. Tadi, kami su
Ananta menatap ke arah sahabatnya itu dengan tatapan bingung, "Apa yang harus aku lakukan sekarang?" Haruka buru-buru meletakkan cokelat panasnya di atas meja dan berkata, "Bentar, Nan. Kamu ... yakin itu dia? Si bule itu?" Haruka bahkan terlihat lebih gugup daripada Ananta. "Ya. Itu benar-benar dia. Memang dia, Haruka." Ananta menghela napas panjang. Bayangan laki-laki itu secara tiba-tiba terlihat di depannya dan di sampingnya ada seorang anak kecil, yakni putranya sendiri sebagai perbandingan. Mendadak, Ananta langsung menelan ludah dengan gugup, "Rambut pirang, mata biru. Dia sangat mirip dengan Sean. Oh, tidak. Maksudku Sean sangat mirip dengannya." "Ya Tuhan. Mereka sangat-sangat mirip, Haruka." Ananta sudah terlihat begitu lemas kala menjelaskan hal itu. Dia kini sudah tidak bisa berpikir jernih lagi. "Nan, ingat-ingat lagi deh. Mungkin kamu salah orang, Nan." Ananta menggeleng, tentu tidak mungkin salah mengenalinya. Untuk soal fisik memang Sean dan Mikael memang mirip
"Jangan ngaco! Mana ada orang yang suka sama seseorang hanya karena bertemu satu kali? Bahkan, kami tidak mengobrol apapun, Haruka," bantah Ananta. Haruka menyeringai, "Nggak mengobrol? Yakin?" "Iyalah, aku mabuk. Gimana bisa ngobrol?" balas Ananta, masuk akal. "Gimana pas di ranjang? Masa kamu atau dia nggak mengeluarkan suara?" tanya Haruka. Ananta menaikkan sebelah alis, "Apa maksudmu?" Haruka berkata sambil menahan senyum, "Oh, Baby. Ini sangat luar biasa." Gadis itu bahkan juga membuat suara desahan yang membuat daun telinga Ananta seketika berubah menjadi merah muda. "Iya, iya di sana. Aku menyukaimu, aku-" Haruka tak sempat melanjutkan perkataannya lantaran Ananta telah melemparinya dengan sebuah bantal. Gadis itu malah cengengesan. "Hih, kamu tuh. Kebanyakan nonton blue film ya, sampai omonganmu jadi ngawur!" ucap Ananta sedikit kesal. Bukannya mengoreksi ucapannya, Haruka malah berujar lagi, "Serius, Nan. Aku yakin kalian berdua pasti mengatakan hal-hal yangs semacam
Sean, si bocah lima tahun itu langsung mendongak ke arah Mikael, "Paman."Dengan senyum yang masih tersungging di bibir, Mikael pun berjalan mendekat dan melihat bocah itu terlihat sedang memegang beberapa lembar kertas. Sean duduk bersila di tanah yang penuh dengan rumput hijau yang terawat dan bersih. "Kamu sedang main apa?" Mikael bertanya dengan nada penuh dengan rasa ingin tahu. "Mau buat pesawat terbang, Paman."Mikael tertarik, "Pesawat terbang? Kamu bisa?""Bisa.""Oh ya? Boleh Paman melihatnya?" Mikael pun semakin antusias.Sean mengangguk pelan tapi anak kecil itu mengernyitkan dahi, seakan agak ragu.Laki-laki itu pun ikut duduk di tanah, tepat di hadapan bocah itu. Dia menatap sang bocah yang sudah mulai melipat-lipat kertas itu. Perhatiannya tak pernah teralih dari tangan mungil itu. Semakin diamati, bagi Mikael Sean sangatlah lucu. Dan ini pertama kalinya, dia berpikir bila seorang anak kecil itu lucu.Namun, setelah Mikael menunggu selama beberapa menit lamanya, a