Share

Bab IV Persahabatan yang Rapuh

Agnes tak berniat lagi mencicipi makanan penutup yang disajikan oleh pelayan di restoran itu. Dia berdiri dari kursi lalu berjalan sangat cepat menuju tempat parkir. Ketika Agnes pergi Oryza hanya bisa menganga menatap Altair dan Agnes secara bergantian.

 “K--kau … apa kau sudah gila? kenapa mengatakan hal sekejam itu?”  tanya Oryza sembari menunjuk Altair.

“Apa yang kau harapkan? memberi dia kebohongan manis. Aku bukanlah orang yang seperti itu.”

Muka Oryza menjadi merah padam. Gadis itu mengambil teko kaca yang berisi air, menghampiri lalu menyiram Altair dengan air di dalam teko. Oryza cepat-cepat mengambil ponsel yang dia letakkan di meja lalu keluar dari restoran. Gadis itu menelisik ke sekitar dan  mengelus dada ketika mendapati Agnes sedang duduk menangis di kursi kemudi mobilnya.

“Nes, syukurlah aku belum terlambat.” Oryza berniat mengelus kepala Agnes, tetapi sahabatnya itu langsung menepis lengan Oryza.

“Nes, kenapa?” tanya Oryza lirih.

“Kau masih bertanya?” Agnes menatap Oryza dengan penuh kebencian.

Untuk pertama kalinya Oryza mendapati air mata turun di pipi Agnes. Oryza selalu mengenal Agnes sebagai gadis ceria, kuat, dan tenang dalam menghadapi masalah. Karena itu Oryza gemetar melihat sisi yang tak pernah ditunjukkan sahabatnya itu.

“Maafkan aku Nes aku tak bermaksud--”

“Tak bermaksud katamu!”

Agnes keluar dari mobil dan mendorong tubuh Oryza hingga gadis itu hampir terjungkal ke belakang.

“Apa yang dilihat Tuan Altair dari gadis jelek dan tukang makan sepertimu?” Agnes mencengkram bagian atas pintu mobil dengan kuat.

“Nes, bukankah itu terlalu kasar. Aku ini sahabatmu.”

“Persetan, kau sudah merebut apa yang harusnya menjadi milikku dan kau masih bicara soal persahabatan? jika bukan karena kemampuan editingmu, aku pasti takkan sudi bersahabat dengan gadis sepertimu.”

“Nes, tenang dulu.”

Oryza mencoba menenangkan Agnes dengan memegangi tubuh Agnes. Namun, Agnes berontak dan membuat ponsel pintar milik Oryza melayang lalu jatuh ke tanah. Tak berhenti sampai situ, seolah tak puas Agnes mendorong tubuh Oryza hingga dia jatuh ke tanah.

“Brengsek kau Za. Kau kira kau cantik. Lihat saja aku akan merebut semua darimu.”

Agnes membanting pintu mobil dan pergi meninggalkan Oryza sendirian. Tubuh Oryza mulai bergetar, jantung berdetak tak karuan dan hanya soal waktu air mata akan turun membasahi pipinya.

“Woah, dia kasar sekali ‘ya.”

Oryza terkejut dan segera menyeret tubuhnya menjauh dari Altair yang sudah berjongkok di sampingnya sedang mengusap baju yang basah dengan sapu tangan.

“Kau kira semua salah siapa pria sialan. Kenapa kau bicara sekasar itu? paling tidak kau bisa menolaknya dengan lebih halus.” Ujar Oryza ketus.

“Kasar sekali ucapanmu,” Altair membuat ekspresi jahil di wajah. “Aku ini orang yang akan menjadi bosmu lho.”

“Bass boss bass boss menyebalkan sekali.”

Oryza mengambil ponsel pintar yang sudah retak di beberapa bagian lalu mencoba menyalakan ponsel itu. Ponsel Oryza tidak menyala bahkan setelah ditekan berkali-kali. Oryza menoleh ke kanan dan kiri dan mendapati tidak ada angkutan umum yang lewat di tempat itu.

“Sepertinya ponselmu mati. Aku tak keberatan mengantarmu. Tapi … kalau kau menandatangani kontrak tentunya.” Altair tersenyum sembari menaikkan turunkan alis.

Oryza menatap Altair lalu membuang muka dengan cepat. Tanpa menjawab pertanyaan Altair, Oryza mulai berjalan menjauhi restoran. Altair mengekor dari belakang dengan santai sehingga membuat Oryza mempercepat langkah. Namun, Oryza jatuh terengah-engah setelah melangkah beberapa kali saja.

“Sepertinya kau membutuhkan olahraga.” Altair berjongkok di depan Oryza.

Rasa kesal di hati, memberikan energi pada Oryza. Gadis itu kembali berjalan lagi meski angin malam mulai menusuk tubuh. Beberapa kali Oryza mencoba menghentikan mobil. Namun, Altair selalu mengganggu ketika Oryza hampir berhasil mendapat tumpangan.

“Bisakah kau meninggalkanku sendiri!?” Tanya Oryza dengan nada tinggi.

“Aku sih inginnya begitu. Tapi … meninggalkan talentku di tempat sepi seperti ini … aku rasa tidak.”  Altair tersenyum jahat.

Altair mengedipkan mata dan membuat tubuh Oryza merinding. Oryza kembali berjalan sembari terus berdoa supaya ada seseorang yang menolongnya dari situasi ini. Tiba-tiba saja Altair mulai bergumam ceria sehingga membuat rasa kesal Oryza memuncak. Oryza akhirnya berhenti berjalan dan mencoba menyalakan smartphonenya sekali lagi.

“Sepertinya sudah rusak. Temanmu cukup kejam juga.” Altair mengangguk beberapa kali.

Oryza mencengkram smartphonenya dengan lebih keras sehingga menyebabkan beberapa urat di tangan terlihat.

“Kau pikir ini salah siapa!”

Oryza melempar smartphonenya pada Altair, tetapi pria itu menghindar dengan sigap.

“Dasar kau pria brengsek!”

Oryza melepaskan sepatunya dan melemparkan ke arah Altair. Namun, lagi-lagi Altair menghindari lemparan Oryza dengan gerakan santai.

“Jika saja kau tak berkata kasar Agnes pasti takkan menjadi sekesal itu,” Ujar Oryza.

“Kenapa kau menyalahkanku. Jika memang sebuah hubungan dapat hancur semudah itu, maka dari awal itu bukanlah hubungan. Itu hanya saling memanfaatkan.” Altair menaikkan bahu.

“Kau bicara soal hubungan. Tau apa kau tentang persahabatanku dengan Agnes? orang kaya yang hanya memiliki orang-orang penjilat di sekitarnya tak pantas berkata seperti itu.” Oryza terengah-engah..

Karena semua lemparan baik smartphone, sepatu sampai beberapa kerikil dapat dihindari Oryza menubruk tubuh Altair dan memukul-mukul dada pria itu berkali-kali untuk melampiaskan kekesalan.

“Tau apa … tau apa memang kau!”

Oryza mulai terisak dan tak dapat menahan lagi tangisannya.

“Bagaimana jika Agnes tak mau lagi bicara padaku? aku sangat menyayanginya. Dia adalah sahabatku satu-satunya. Kau brengsek … brengsek!”

Oryza merosot ke bawah dan meneruskan tangisannya. Sementara itu Altair duduk di samping Oryza tanpa mengucapkan sepatah kata.

Setelah beberapa menit menangis dua buah mobil tiba-tiba berhenti di depan Oryza dan Altair. Pintu terbuka, dan muncul seorang pria berambut ikal dan mata yang hitam. Pria itu melemparkan kunci pada Altair. Tatapan begitu dingin dan tak acuh. Oryza menatap pria yang dia rasa juga tampan dan mulai membandingkannya dengan Altair.

“Terimakasih mobilnya.”

Pria itu tak menjawab dan langsung pergi. Namun, Altair berlari menghampiri lalu merangkul pria itu.

“Kau masih begitu dingin denganku Reon.”

 “Aku tak punya waktu bermain-main denganmu,” Pria itu melepas lengan Altair dari lehernya. “Jangan menelponku dan meminta hal mendadak seperti itu. Lalu … cepatlah kembali ke pulau. Tak seharusnya pimpinan dari STAR-S bermain-main di tempat ini.”

Reon menatap Oryza sejenak lalu kembali menatap Altair dengan dingin. Oryza langsung membandingkan kedua pria tampan yang berada di hadapannya. Menurut Oryza kedua pria tampan itu seperti iblis yang mudah sekali menggoda para gadis dengan tampang, tatapan, maupun kepribadian mereka.

Perbedaanya adalah Reon adalah sosok iblis dingin tanpa ampun yang bisa membuat perempuan penasaran sementara Altair adalah iblis jahat usil yang mempesona dengan tingkahnya.

“Sial, apa yang kulakukan?”

Oryza menepuk pipinya berkali-kali karena memikirkan sesuatu yang bodoh. Tiba-tiba saja Altair menarik Reon ke arah Oryza. Kesan Reon yang dingin membuat Oryza meluruskan tubuh tanpa dia sadari.

“Kau lihat, dia adalah talentku.”

“Selamat malam.” Oryza sedikit membungkukkan badan.

“T--tunggu kenapa aku membungkuk dan mengucapkan selamat malam?” tanya Oryza kesal.

“Reon dalam dua atau tiga tahun lagi dia pasti bisa memerankan tokoh itu.” Altair tersenyum lebar.

“Kau masih memiliki mimpi konyol itu,” Reon memicingkan mata. “Sebaiknya kau cepat-cepat move on sebelum kau hancur berantakan sepertiku.”

“Ah, soal gadis itu ya?

“Bicara lagi dan aku akan membunuhmu.” tatap Reon taja,

“Jangan begitu, aku kan cuma bercanda. Lagi pula aku mendirikan STAR-S juga untuk mewujudkan hal itu.”

“Terserah, aku mau kembali. Masih banyak hal yang harus kulakukan.”

Reon masuk ke dalam mobil lalu menuju ke arah restoran. Altair sendiri menaikkan pintu mobil kemudian duduk di kursi kemudi mobil lambo berwarna merah yang dibawa Reon.

“Mau masuk, atau kutinggal di tempat ini?”

Oryza yang tak lagi mempunyai pilihan akhirnya duduk di dalam mobil. Altair menghidupkan mesin lalu menggeser tubuh hingga wajahnya begitu dekat dengan Oryza. Oryza dapat melihat bola mata berwarna abu-abu dan mencium wangi parfum yang luar biasa dari tubuh Altair.

“Ap-apa yang kau lakukan? aku bukanlah gadis yang seperti itu. Jika kau mendekat lebih dari ini aku akan ….”

Oryza menutup mata, jantungnya berdetak dengan kencang. Tiba-tiba terdengar bunyi klik dan ketika membuka mata, Oryza melihat sabuk pengaman sudah melilit tubuhnya.

“Kau kira aku akan melakukan apa?”

Altair mendekatkan bibir ke telinga Oryza.

“Dasar mesum.”

Oryza merasa kesal, tetapi memilih untuk diam karena sebagian kata-kata Altair mengandung kebenaran. Suasana mobil menjadi canggung dan Oryza terus mengusap-usap sabuk pengaman dengan gelisah.

“Bagaimana kalau kau bergabung--”

“Tidak, jangan ajak aku bicara. Fokuslah ke arah depan Tuan Altair yang terhormat.”

“Sepertinya aku memang harus sedikit memaksa.”

Mobil tiba-tiba berakselerasi dengan cepat sehingga membuat tubuh Oryza tertarik ke belakang.

  “Bisakah kita lebih pelan.”

“Ha … apa … apa kau mau lebih cepat? siap nona Oryza.”

Altair menekan pedal gas dengan lebih kuat dan mengganti gigi menjadi lebih tinggi. Jalanan berlalu cepat di mata Oryza dan membuat gadis itu gemetar ketakutan.

“Kumohon pelankan mobil ini.” Oryza mencengkram sabuk pengaman.

“Tentu, jika kau menandatangani kontrak.”

“Tidak akan!”

Sekelebat gambaran mulai berputar di pikiran Oryza. Tak ada alasan baginya untuk hidup, dia tak pernah bahagia, ibunya tak menyayanginya dan percintaannya juga sangat buruk. Karena itulah Oryza mulai pasrah dan menyebut doa-doa agar dosanya diampuni ketika meninggal.

“Ah, tidak seru.”

Altair menekan pedal rem sehingga membuat Oryza terjerembab ke depan. Altair akhirnya diam membisu, sampai mereka tiba di depan gang kecil tempat rumah Oryza berada.

“Kalau begitu aku pulang dahulu.”

Oryza melangkah menuju gang terapi berhenti karena sosok pria yang membawa botol minuman. Dia berjalan sempoyongan menuju ke arah Oryza.

“Oryza anak kesayanganku. Kau seperti lonte saja pulang jam sebelas seperti ini.”

Oryza hanya diam, tetapi tubuhnya bergetar dengan hebat.

“Apa yang kau lakukan? ayo masuk ke dalam rumah.”

Pria itu menyentuh pundak Oryza dan membuat gadis itu menutup mata. Saat itu tiba-tiba Altair datang dan memegangi lengan pria yang membawa botol. Oryza membuka mata dan dalam sepersekian detik dia melihat Altair membogem kepala pria itu hingga jatuh.

“Apa yang kau lakukan, dia ini ayahku.”

Oryza nampak membuat gerakan ragu antara ingin menolong atau membiarkan ayah tirinya terkapar di jalan.

“Ayah, lalu kenapa kau ketakutan seperti itu.”

“Itu ….”

Altair menggandeng paksa lengan Oryza lalu mengantarkan Oryza di depan pintu.

“Aku yang akan bertanggung jawab. Jadi jangan khawatir. Selama kau menjadi talentku aku akan melindungimu dengan nyawaku.” Altair mengedipkan mata sembari membuat senyum nakal.

Oryza dengan cepat membuka pintu dan buru-buru masuk ke dalam kamar. Oryza menutup pintu kamar dan langsung jatuh karena kakinya terasa lemas.

“Sungguh pria itu sangat aneh. Kalau begini terus aku bisa masuk ke dalam STAR-S karena terpeso--”

Oryza menepuk wajah dengan kedua tangan berkali-kali.

“Tidak-tidak, pria itu cuma ini mengambil keuntungan dariku. Aku tak boleh jatuh cinta. Lagi pula mana mungkin pria sehebat dia jatuh cinta dengan itik gendut tukang makan dan buruk rupa sepertiku.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status