Melihat kliennya tiba, Akash langsung bangkit dari duduknya. Ia menyambut kedatangan Uti yang masuk ke dalam restoran seorang diri. Kening Akash mengernyit, heran mengapa hanya sang sekretaris yang datang. Kalau begini, untuk apa aku yang harus repot datang? Seharusnya aku bisa meminta divisi marketing saja, pikirnya.
“Selamat siang, Pak Akash. Saya Uti, sekretaris Pak Ahmed,” ucap gadis berhijab itu sambil memberi salam, mengatupkan kedua tangan di depan dada.
Akash menyambutnya dengan sedikit kikuk, mengikuti cara Uti memberi salam. Ia juga mengatupkan kedua tangannya, meski terbiasa berjabat tangan saat bertemu siapa pun.
Laudia yang menyaksikan itu hanya mengulum senyum melihat atasannya bersikap kikuk.
“Sendiri?” tanya Akash, sembari mengisyaratkan Uti untuk duduk.
Dengan senyum manis, Uti menggeleng. “Pak Ahmed masih di dalam mobil karena ada sedikit urusan pribadi. Saya diminta untuk menemui Bapak terlebih dahulu.”
Akash mengangguk paham. Melalui kaca besar restoran, ia melihat Ahmed keluar dari mobilnya bersama seorang gadis yang pernah dilihatnya di masjid tempo hari. Mata Akash membelalak saat melihat gadis berpakaian syar’i itu memeluk Ahmed hangat dan mencium punggung tangannya dengan takzim.
Pikiran Akash langsung melayang entah ke mana. Ia mengira gadis itu adalah istri muda kliennya. Seketika hatinya mencelos melihat pemandangan di area parkir restoran.
Tak lama kemudian, Ahmed melangkah masuk ke restoran setelah mobilnya pergi meninggalkan area parkir.
“Selamat siang, Pak Akash. Maaf saya terlambat,” sapa Ahmed sambil mengulurkan tangan.
“Selamat siang juga, Pak Ahmed. Tidak apa-apa, saya juga baru tiba,” jawab Akash sambil menyambut uluran tangannya.
Laudia juga memberi salam, menirukan cara yang dilakukan Uti sebelumnya.
Sebelum rapat dimulai, Ahmed memesan beberapa menu makan siang untuk dirinya dan rekan-rekannya. Sudah terbiasa dengan cita rasa khas Timur Tengah, ia langsung memesan berbagai hidangan spesial yang menjadi andalan restoran tersebut.
"Apa Anda mau menambah lagi, Pak Akash?" tanya Ahmed sambil tersenyum ramah.
"Tidak, Pak Ahmed. Terima kasih atas tawarannya, ini saja sudah cukup membuat perut saya kenyang," jawab Akash dengan sopan.
"Alhamdulillah kalau begitu, berarti makanan ini tidak mubazir. Ayo, dihabiskan. Setelah ini kita bisa mulai rapatnya," ucap Ahmed menyemangati.
Akash mengangguk pelan lalu kembali menikmati makanannya. Tanpa sisa, ia menghabiskan semua yang ada di piringnya. Ini adalah kali pertama baginya mencicipi hidangan khas Timur Tengah yang kaya akan rempah. Biasanya, saat menjamu klien, Akash lebih memilih restoran yang menyajikan masakan Eropa. Namun hari ini terasa berbeda, penuh rasa dan pengalaman baru.
***
Setelah selesai makan siang, para pelayan segera merapikan piring-piring bekas dan membersihkan meja dengan cekatan, memastikan semuanya kembali tertata rapi.
Ahmed langsung membuka pembicaraan begitu suasana terasa lebih tenang.
"Jadi begini, Pak Akash. Saya memiliki lahan cukup luas di sebuah daerah perkampungan. Rencananya, lahan itu akan saya manfaatkan untuk membangun sebuah pesantren. Saya ingin ada pondok khusus santri, tentunya dengan pemisahan antara santriwan dan santriwati," ujar Ahmed, to the point tanpa banyak basa-basi.
"Apakah ada desain khusus yang Anda inginkan?" tanya Akash menanggapi dengan tenang.
"Oh, tentu. Saya ingin bangunannya memiliki nuansa islami yang kuat. Tapi, saya serahkan sepenuhnya pada Anda untuk membuat desainnya. Saya tahu Anda pakarnya dalam bidang ini. Saya sudah banyak melihat karya Anda di internet, dan semuanya luar biasa," puji Ahmed tulus.
Ahmed lalu mulai menjelaskan satu per satu ide yang ia miliki. Laudia dengan sigap mencatat semua permintaan klien mereka itu. Sementara itu, Akash mendengarkan dengan saksama, menyerap setiap detail yang disampaikan. Sebagai seorang arsitek, hal pertama yang harus ia lakukan adalah memahami keinginan klien sebelum menggambar satu pun garis di atas kertas.
Rapat kali ini lebih banyak membahas konsep bangunan yang diinginkan Ahmed. Tidak seperti kebanyakan klien lainnya yang langsung menyoal anggaran, Ahmed justru lebih fokus pada visi dan nilai dari bangunan yang akan ia dirikan. Dari percakapan itu, Akash bisa menyimpulkan bahwa Ahmed bukan tipe klien yang mempermasalahkan harga. Sejauh ini, pria itu tampak siap membayar berapa pun nominal yang akan tercantum dalam kontrak kerja sama mereka nanti.
"Baiklah kalau begitu, saya akan segera siapkan draft kontrak kerja samanya. Tapi, saya perlu survei lokasi terlebih dahulu, Pak," ucap Akash memastikan langkah selanjutnya.
"Oh, tentu. Silakan, Pak Akash. Nanti sekretaris saya akan menghubungi Anda dan mengirimkan alamat lengkapnya. Jika saya tidak ada halangan, saya akan menyusul ke lokasi dan kita bisa bertemu langsung di sana," jawab Ahmed dengan ramah.
"Baik, Pak Ahmed. Jadi kita sepakat, ya?" tanya Akash lagi, ingin memastikan segalanya jelas dan tertutup rapat.
"Sepakat," jawab Ahmed sambil mengulurkan tangan.
Keduanya berjabat tangan erat di hadapan sekretaris masing-masing, menjadi saksi terbentuknya kerja sama antara dua tokoh penting dalam dunia properti dan arsitektur.
Ahmed lebih dulu undur diri karena mobil dan sopir pribadinya telah tiba setelah mengantar putrinya yang Akash kira istri muda Ahmed.
Akash dan Ahmed berpisah di depan pintu utama restoran. Mata Akash menelisik ke dalam mobil Ahmed, berharap gadis yang dia incar masih ada di sana, tapi dewi fortuna belum memihaknya karena gadis salihah itu sudah tidak ada di dalam mobil.
Akash dan Laudia kembali ke kantor.
"Hubungi semua tim operasional, rapat sekarang," titah Akash saat di dalam mobil. Dia ingin langsung membahas proyek baru yang baru saja didapatkan dari Ahmed.
"Baik, Pak," jawab Laudia.
Laudia langsung mengangguk dan memberi kabar lewat pesan grup pada ponselnya. Sambil mengulum senyum saat berbalas pesan dengan rekan kerjanya di grup chat kantor.
"Sudah?" tanya Akash karena dia melihat sekretarisnya sibuk sendiri dengan ponsel sambil tersenyum sendiri.
"Sudah, Pak," jawab Laudia singkat, lalu dia memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas.
Setibanya di kantor,
Akash langsung melangkah cepat memasuki gedung perusahaannya. Dengan lift khusus, dia dan Laudia menuju ruang rapat tanpa membuang waktu.
Wajahnya tetap datar, tak menunjukkan ekspresi apa pun, tetapi dalam hatinya ada kepuasan tersendiri saat melihat semua anggota tim yang dia harapkan hadir, sudah duduk rapi menunggunya di sana.
Seperti biasa, setiap kali mendapat proyek baru, Akash selalu mengadakan rapat dengan tim internal. Bagi pria itu, rapat bukan hanya formalitas, tapi forum terbuka untuk membahas arah proyek, alokasi tanggung jawab, serta menyusun perhitungan yang matang—sesuatu yang sangat dia tekankan pada seluruh divisinya.
"Besok pagi laporan itu harus sudah ada di meja saya. Divisi legal langsung buat kontrak kerjasamanya setelah saya tanda tangan rincian biaya yang akan diserahkan oleh tim operasional besok. Paham semuanya, ya?" ucap Akash lantang, suaranya menggema di seluruh ruangan rapat.
"Paham, Pak," jawab semua anggota tim serempak.
Akash menarik napas panjang, sedikit lega karena telah membagi tugas dengan jelas. Sekarang dia bisa fokus pada perannya: merancang desain bangunan pesantren yang sesuai dengan visi klien, setelah survei lokasi dilakukan.
"Oke kalau begitu, kalian bisa kembali bekerja," tutup Akash sambil berdiri dari kursinya.
Ia meninggalkan ruang rapat dengan langkah mantap, diikuti oleh Laudia yang berjalan satu langkah di belakangnya.
Sudah masukan cerita ini ke pustaka? Terima kasih kalau sudah, kalau belum tolong ya masukan dulu ke pustaka dan beri peringkat bintang gitu ke cerita aku ini. Support aku ya, terima kasih banyak.
“Ganti baju dulu ya, Mas. Aku mandi sebentar,” bisik Innara dengan senyum malu-malu.Akash mengangguk. “Aku tunggu di sini. Tapi jangan terlalu lama. Aku sudah sangat menanti kamu …”***Innara keluar dari kamar mandi sekitar lima belas menit kemudian. Rambutnya kini terurai lembut, hanya disisir jari. Ia mengenakan lingerie tipis satin warna putih tulang, panjang hingga paha, dengan renda halus di bagian dada. Gaun tidur itu membentuk lekuk tubuhnya dengan indah, memperlihatkan kulit seputih susu dan bahu jenjangnya yang kini tanpa penutup.Akash menatap tanpa suara. Dada pria itu naik turun perlahan, mencoba mengatur napas yang mulai tak beraturan.“Ya Allah … kamu benar-benar bidadari,” gumamnya.“Aku nervous, Mas .…”Akash bangkit, berjalan mendekat, lalu mengusap lengan Innara dengan lembut.“Gak perlu nervous. Aku gak akan menyentuh kamu dengan kasar. Aku akan menyentuh kamu dengan cinta .…”Innara memejamkan mata sejenak saat jari Akash menyusuri garis rahangnya, turun ke leher,
Innara tersentak pelan saat tiba-tiba Akash menarik pinggangnya dan menepis jarak di antara mereka. Tubuh mereka kini nyaris tanpa sela.“Mas ... masih banyak orang di luar sana,” ucap Innara dengan nada lirih, wajahnya langsung merona. Ia mencoba mendorong dada Akash, tapi pelukan pria itu justru mengencang.“Ssst ... biarkan aku menatap istriku dulu. Sebentar saja,” balas Akash, matanya menatap lembut, namun dalam.Mata mereka saling bertaut. Tatapan yang mengunci napas dan menyulut debar jantung.“Selama seminggu ini ... apa saja yang kamu lakukan?” tanya Akash tiba-tiba, nadanya ambigu dan menggoda.Kening Innara mengernyit pelan. “Maksudnya?”Akash tersenyum miring. “Aku rasa, kamu nggak butuh waktu selama itu hanya untuk tampil secantik ini.”Innara terkekeh, lalu membalas dengan nada tak mau kalah, “Aku harus tampil cantik maksimal, Mas. Karena hari ini hari istimewa untukku.”“Benarkah?” Akash menggoda. “Seberapa istimewa?”“Sangat ... sangat istimewa. Karena hari ini aku menj
Tatapan Innara langsung tertuju pada ayahnya. Napasnya tercekat ketika menyadari betapa pucat wajah sang ayah. Panik kecil mulai merayap di hatinya."Ya Allah ... Pa, kita ke kamar, yuk," ucap Innara segera, dengan sigap memapah Ahmed dari sisi kanan sementara Akash menopang dari kiri.Langkah mereka perlahan namun pasti menuju kamar utama di lantai bawah. Para tamu yang masih tersisa di ruang tamu otomatis memperhatikan mereka dengan tatapan khawatir.“Ada apa ya?”“Pak Ahmed kenapa?”Beberapa bisik-bisik mulai terdengar. Namun Ayden, yang menyadari kepanikan mulai menyebar, langsung melangkah ke tengah ruangan dan menenangkan semua yang hadir."Tenang saja, semua. Pak Ahmed hanya kelelahan. Dari pagi belum sempat istirahat. Kita doakan saja beliau sehat selalu," ucap Ayden meyakinkan.Ucapan Ayden seolah menurunkan ketegangan. Para tamu pun mengangguk, dan beberapa dari mereka mulai berpamitan pulang dengan sopan.Di dalam kamar, Innara segera membantu ayahnya berbaring di tempat ti
"Siapa sih yang pertama kali bikin aturan itu?" tanya Akash dengan wajah masam saat mereka berdua sedang duduk santai di balkon lantai dua rumah Ahmed. Sinar matahari sore menyinari wajahnya, membuat raut kesalnya semakin terlihat jelas."Aturan apa?" tanya Innara sambil menyuapkan sesendok puding cokelat ke mulutnya. Matanya menyipit menahan silau, tapi wajahnya tetap kalem. Ia tidak langsung paham arah pertanyaan sang calon suami."Ya itu, peraturan pingitan!" sahut Akash sambil melipat tangan di dada. Ekspresi wajahnya seperti anak kecil yang tidak mendapatkan jatah mainan.Mendengar jawaban itu, Innara langsung terkikik geli. Ia sudah menduga cepat atau lambat Akash akan meluapkan unek-uneknya soal tradisi satu ini."Kan kamu sudah setuju kalau kita pakai adat dari Mama. Ya, pingitan ini bagian dari rangkaian adat pernikahan Jawa," jelas Innara, masih dengan senyum geli yang belum hilang dari wajahnya.Tradisi pingitan—sebuah kebiasaan dalam adat Jawa di mana calon pengantin wanit
Suara bedug dan takbir menggema sejak malam terakhir Ramadan hingga pagi menjelang. Anak-anak berlarian di gang kecil sambil membawa bedug kecil dan petasan mainan, sementara orang dewasa bersiap menuju masjid untuk melaksanakan salat Ied. Suasana penuh suka cita memenuhi udara, menggetarkan hati siapa pun yang menyaksikan kebersamaan dan semangat kemenangan ini.Hari Raya Idul Fitri adalah momen kemenangan besar bagi seluruh umat Muslim. Setelah sebulan penuh menahan lapar, haus, amarah, dan berbagai bentuk hawa nafsu, tibalah saatnya untuk menyambut hari yang fitri. Hari yang bukan hanya tentang baju baru dan hidangan khas lebaran, tetapi juga tentang hati yang kembali bersih dan jernih, serta saling memaafkan dalam kehangatan keluarga.Pagi-pagi sekali, keluarga Akash sudah mendatangi rumah Ahmed untuk kembali bersama-sama melaksanakan salat Ied di masjid yang sama seperti malam sebelumnya. Semua tampil rapi dan menawan. Innara terpana melihat penampilan Akash yang mengenakan baju
Setelah dari makam, Akash mengantar Innara kembali ke rumah. Beruntung, jalanan ibu kota sedang sangat lengang. Aura Lebaran memang sudah terasa. Kebanyakan warga sudah mudik ke kampung halaman, membuat jalanan yang biasanya padat kini terasa lapang dan sunyi.Mobil Akash melaju mulus, dan mereka tiba di rumah tepat sebelum waktu berbuka.Sore itu, suasana rumah Ahmed terlihat lebih hidup. Beliau memang sengaja mengundang Anya dan Ayden—orang tua Akash—untuk berbuka puasa dan melaksanakan salat tarawih bersama. Sebagai hari terakhir di bulan suci, Ahmed ingin menciptakan kenangan yang hangat dan penuh kebersamaan.Akash sedikit terkejut saat melihat kedua orang tuanya sudah duduk santai di ruang tamu, tampak akrab berbincang dengan Ahmed sambil menunggu azan berkumandang.“Assalamualaikum,” sapa Akash sopan sambil membungkuk hormat.“Waalaikumsalam,” jawab mereka serempak, senyuman menghiasi wajah masing-masing.Innara turut memberi salam, lalu berpamitan sebentar untuk berganti pakai