Share

Jaga Batasmu

Penulis: Kai Chang
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-05 10:28:04

Malam telah larut ketika Callista terbangun dari tidur singkatnya karena Kayla yang menangis lapar. Ini sudah ketiga kalinya malam ini ia terbangun. Mata yang bengkak dan punggung yang pegal tidak menghentikannya untuk bangkit dan membuatkan susu untuk Kayla dengan penuh kasih.

Saat ia duduk di kursi goyang sambil menggendong Kayla, suara langkah kaki berat terdengar dari koridor yang menuju ke kamar Zafran. Pria itu baru pulang setelah hampir 14 jam menghilang tanpa jejak. Bau alkohol dan parfum wanita lain tercium samar menguar dari arah kamarnya.

*BRAK!*

Suara pintu yang dibanting keras membuat Callista bergidik dan Kayla hampir terbangun dari tidurnya. Bahkan di minggu kedua pernikahan mereka, Zafran tidak pernah sekalipun menanyakan kabar Callista atau keponakan yang kini menjadi tanggung jawabnya sendiri.

"Papa tidak pernah mau tahu tentang kita, sayang," bisik Callista pada Kayla yang sudah kenyang namun masih rewel. "Tapi tidak apa-apa. Mama akan memberikan cinta yang berlipat ganda untukmu."

Callista mengelus lembut pipi chubby Kayla sambil bergumam lagu nina bobo. Bayi yang kini sudah berusia 8 bulan itu masih sulit tidur. Sering terbangun tengah malam, menolak makan, dan menangis ketika Callista meninggalkannya sebentar saja. 

Keesokan paginya, Callista bangun pada pukul 5 subuh setelah hanya tidur 3 jam dengan tidak nyenyak. Lingkaran hitam di bawah matanya semakin terlihat jelas. Ia mandi cepat dan berpakaian sederhana dengan blouse putih dan celana kain hitam yang sopan. Setelah memandikan dan mengganti popok Kayla yang meronta karena masih mengantuk, Ia turun ke ruang makan dengan baby carrier di dadanya.

Di meja makan mahogani yang bisa menampung 12 orang, hanya ada Thalia yang sedang menikmati sarapan pagi sambil membaca majalah Vogue edisi terbaru. Wanita berusia 48 tahun itu mengenakan kimono sutra bermotif bunga sakura dengan harga yang setara dengan gaji bulanan Callista dulu ketika kerja part time ditengah kesibukannya kuliah bisnis. Rambut coklat keemasan yang di highlight di salon mewah disisir rapi ke belakang. Mata hijaunya melirik sekilas pada Callista dengan ekspresi jijik yang tidak disembunyikan.

"Oh, kau sudah bangun," ujar Thalia tanpa mengangkat kepalanya dari majalah, nada suaranya datar dan merendahkan. "Aku kira kau akan tidur sampai siang seperti orang-orang malas yang hidup menumpang pada umumnya."

Callista menarik napas dalam-dalam, menahan amarah. Ia duduk di ujung meja yang jauh dari Thalia, menarik kursi bayi kayu yang telah disediakan Marni untuk Kayla.

"Marni," panggil Thalia pada pembantu yang sedang menyiapkan kopi dengan nada memerintah. "Buat aturan baru mulai hari ini. Wanita itu," ia menunjuk Callista tanpa menatapnya, seolah Callista adalah objek mati, "dan bayinya makan di pantry atau dapur. Aku tidak mau selera makanku terganggu dengan kehadiran mereka yang... tidak sepantasnya."

Marni terdiam canggung, tangannya masih memegang pot kopi. Wanita paruh baya itu melirik Callista dengan tatapan meminta maaf. Ia sudah bekerja di rumah ini selama 15 tahun dan tahu betul sifat kejam Thalia, tapi tidak pernah sejahat ini.

Callista merasakan pipinya memanas, namun suaranya tetap tenang ketika berkata, "Tidak masalah." Ia bangkit dari kursinya dengan gerakan perlahan, menggendong Kayla yang mulai rewel karena lapar. "Saya memang lebih suka makan di tempat yang... lebih nyaman."

Thalia akhirnya mengangkat wajahnya, bibir yang di sulam itu melengkung membentuk senyum kemenangan yang menyebalkan. "Bagus. Setidaknya kau tahu tempatmu dan tidak perlu ku ajarkan tata krama dasar lagi."

Callista berhenti melangkah. Detik itu juga, sesuatu berubah dalam dirinya. Ia berbalik perlahan, tulang punggungnya menegak, dan untuk pertama kalinya tatapannya bertemu langsung dengan mata Thalia. Api yang selama ini ia pendam dengan susah payah kini terpancar dari iris coklatnya.

"Nyonya Thalia," ujar Callista dengan suara yang lembut namun mengandung ketegasan yang mengejutkan. Setiap kata diucapkan dengan jelas dan terkontrol. "Saya tidak pernah mengharapkan sambutan hangat atau perlakuan istimewa dari Anda. Tapi saya juga tidak akan membiarkan diri saya dan putri saya diperlakukan seperti hewan peliharaan yang tidak diinginkan di rumah ini."

Thalia terkejut. Selama ini, ia terbiasa dengan Novita yang mudah menangis dan langsung mundur ketika dibentak. Wanita di hadapannya ini berbeda, ada aura yang tidak bisa diremehkan.

"Berani sekali kau bicara seperti itu pada..."

"Saya belum selesai bicara," potong Callista dengan nada yang masih sopan namun mengandung ancaman tersembunyi yang membuat bulu kuduk Thalia merinding. "Saya sudah berjanji pada kedua orang tua saya, bahwa saya akan menjaga nama baik keluarga Aryasatya dengan hormat. Tapi ingat baik-baik, Nyonya, menjaga nama baik itu berlaku dua arah."

Callista melangkah mendekati Thalia, langkahnya lambat tapi penuh perhitungan. Suaranya menurun menjadi bisikan yang dingin namun setiap kata terdengar jelas. "Jangan pernah meremehkan wanita yang sudah tidak punya apa-apa untuk dipertaruhkan lagi, Nyonya Thalia. Karena kami adalah yang paling berbahaya ketika terpojok."

Mata Callista menyipit, dan untuk sesaat Thalia melihat kilatan kecerdasan yang tajam di baliknya. "Saya mungkin miskin, tapi saya tidak bodoh. Saya tahu persis bagaimana cara kerja media sosial, wartawan, dan gosip di kalangan elite Jakarta. Satu kata dari saya, satu foto, satu video, dan reputasi keluarga Aryasatya yang dibangun puluhan tahun bisa runtuh dalam semalam."

Thalia menelan ludah dengan susah payah.

"Jadi," lanjut Callista sambil mundur selangkah, senyum tipis namun tidak ramah terpasang di bibirnya, "saya sarankan kita berdua mencari cara untuk hidup berdampingan dengan... damai. Demi kebaikan bersama."

Dengan itu, Callista berbalik dan keluar dari ruang makan dengan langkah yang tegap, meninggalkan Thalia yang terpaku dengan wajah pucat dan tangan yang bergetar memegang cangkir kopi. Marni yang menyaksikan seluruh adegan itu hanya bisa menelan ludah, tidak menyangka bahwa istri baru Tuan Zafran ternyata memiliki nyali dan kecerdasan sebesar itu.

Di pantry, Callista duduk sendirian sambil menyuapi Kayla bubur bayi dengan tangan yang sedikit bergetar bukan karena takut, tapi karena keberanian yang masih mengalir kencang. Hatinya berdebar keras, namun terasa lebih lega. Ia sudah menunjukkan bahwa dirinya bukan target empuk yang bisa diperlakukan sembarangan.

"Mama tidak akan membiarkan siapapun merendahkan kita, sayang," bisiknya pada Kayla yang tersenyum melihat wajah ibu angkatnya sambil menggumam "ma-ma-ma" dengan tidak jelas. "Kita akan bertahan di rumah ini dengan cara kita sendiri."

Callista mencium puncak kepala Kayla yang wangi baby oil. Di tengah kekacauan hidup barunya, bayi ini adalah satu-satunya yang memberinya kekuatan untuk terus berdiri tegak selama 8 bulan di rumah itu. 

Tanpa Callista sadari, Zafran berdiri di ambang pintu pantry sejak lima menit yang lalu, mengamatinya dalam diam. Pria berusia 30 tahun itu sudah mendengar seluruh percakapan dengan ibunya tadi dari koridor. Untuk pertama kalinya, ia melihat sosok Callista yang sesungguhnya bukan wanita lemah yang butuh dikasihani seperti yang selama ini ia kira, melainkan singa betina yang cerdas dan tidak ragu melindungi anaknya.

Sesuatu menggelitik di dadanya, emosi asing yang sudah lama ia kubur dalam-dalam. Dengan cepat ia menggelengkan kepala dan berbalik pergi dengan langkah cepat, meninggalkan Callista yang masih belum menyadari kehadirannya. Tapi satu hal yang pasti pandangannya terhadap istri barunya mulai berubah, meski ia sendiri belum siap mengakuinya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • CEO Turun Ranjang   Tatapan yang Tak Disadari

    Zafran meletakkan cangkir kopinya dengan pelan, matanya secara refleks melirik ke arah ruang makan melalui kaca jendela ruang kerjanya di rumah. Callista sedang duduk sendirian di meja makan yang panjang, mengaduk-aduk sereal dalam mangkuknya dengan gerakan yang tampak lesu. Rambutnya yang panjang tergerai menutupi sebagian wajahnya, namun Zafran masih bisa melihat ekspresi kosong di mata gadis itu. Berbeda sekali dengan Novita.Mantan istrinya dulu selalu sempurna di setiap kesempatan duduk dengan postur tegak, makan dengan tata krama yang tak terbantahkan, bahkan saat sarapan sekalipun. Novita tak pernah menunjukkan kemalasan atau ketidakpedulian seperti yang terlihat pada Callista saat ini.Zafran menggelengkan kepala, berusaha mengusir perbandingan itu dari pikirannya. Ia kembali fokus pada laptop di hadapannya, namun matanya kembali melayang. Callista bangkit dari kursinya, bergerak dengan langkah gontai menuju dapur. Gadis itu mengenakan kaos oversize berwarna abu-abu dan celana

  • CEO Turun Ranjang   Jaga Batasmu

    Malam telah larut ketika Callista terbangun dari tidur singkatnya karena Kayla yang menangis lapar. Ini sudah ketiga kalinya malam ini ia terbangun. Mata yang bengkak dan punggung yang pegal tidak menghentikannya untuk bangkit dan membuatkan susu untuk Kayla dengan penuh kasih.Saat ia duduk di kursi goyang sambil menggendong Kayla, suara langkah kaki berat terdengar dari koridor yang menuju ke kamar Zafran. Pria itu baru pulang setelah hampir 14 jam menghilang tanpa jejak. Bau alkohol dan parfum wanita lain tercium samar menguar dari arah kamarnya.*BRAK!*Suara pintu yang dibanting keras membuat Callista bergidik dan Kayla hampir terbangun dari tidurnya. Bahkan di minggu kedua pernikahan mereka, Zafran tidak pernah sekalipun menanyakan kabar Callista atau keponakan yang kini menjadi tanggung jawabnya sendiri."Papa tidak pernah mau tahu tentang kita, sayang," bisik Callista pada Kayla yang sudah kenyang namun masih rewel. "Tapi tidak apa-apa. Mama akan memberikan cinta yang berlipat

  • CEO Turun Ranjang   Hari Pertama di Jakarta

    Pernikahan diselenggarakan keesokan harinya. Tak ada pesta, bunga bahkan senyum yang terpancar dari Callista ataupun Zafran. Hanya akad nikah sederhana yang berlangsung di ruang tamu keluarga Callista, disaksikan kerabat dekat dan notaris. Suasana begitu hening, hanya tangis Kayla digendongan Bi Sari, neneknya yang mencoba untuk menenangkannya. Callista mengenakan kebaya putih sederhana, bukan gaun pengantin impiannya. Zafran mengenakan setelan abu-abu gelap, berdiri kaku di sampingnya seperti patung marmer yang dingin. Mata pria itu tak sekalipun menatap calon istrinya, hanya terfokus pada dokumen pernikahan yang akan segera ditandatangani, kontrak yang mengikat keduanya.Ketika ijab kabul selesai dan cincin telah tersemat di jarinya, Zafran akhirnya menoleh. Mata coklat terangnya menatap Callista dengan sorot yang lebih dingin dari es di kutub utara."Jangan pernah berharap lebih," Zafran berbisik tajam, mencengkeram pergelangan tangan Callista hingga menyakitkan, memastikan hanya

  • CEO Turun Ranjang   Pernikahan Tanpa Cinta

    Wajah Zafran tetap dingin seperti es ketika berdiri di hadapan ruang NICU. Sorot matanya tajam mengawasi sosok mungil di balik kaca inkubator, tapi tak sedikitpun kehangatan terpancar dari sepasang mata kelabunya. Baginya, bayi itu hanyalah tanggung jawab dan warisan terakhir dari pernikahan yang gagal.Di sisi lain kota, Callista berlutut di bawah rintik hujan, menggenggam payung hitam yang nyaris tak berguna karena air matanya lebih deras dari hujan yang turun. Ia menangis di depan pusara kakaknya, merasakan kehilangan yang meremukkan jiwanya hingga ke serpihan terkecil."Kenapa harus secepat ini, Kak? Kenapa harus meninggalkanku?" bisiknya parau, jemarinya yang bergetar menelusuri nama Novita yang terukir pada batu nisan. "Bahkan kau belum sempat menimang Kayla." Callista mengusap air mata yang bercampur dengan tetesan hujan di pipinya. Mata sembabnya menatap lekat pusara itu seolah bisa menembus tanah dan melihat wajah kakaknya sekali lagi."Kak, aku berjanji dengan seluruh hidup

  • CEO Turun Ranjang   PERMINTAAN TERAKHIR

    Langit Surabaya berubah kelabu sore itu, seakan mengetahui ketakutan mendalam Callista dan ibunya. Di ruang tunggu Rumah Sakit Graha Husada, Callista berjalan mondar-mandir, setiap langkahnya sarat kecemasan. Jantungnya berdegup kencang, tangannya gemetar tak karuan. Sudah hampir tiga jam sejak kakaknya, Novita, dibawa masuk ke ruang operasi. Kontraksi yang datang terlalu cepat telah mengejutkan semua orang."Masih belum ada kabar?" tanya ibunya yang baru kembali dari toilet, wajahnya pucat pasi, mata sembab seolah telah menangis diam-diam.Callista menggeleng lemah. "Belum, Bu. Dokter bilang kondisinya kritis. Bayinya harus segera dikeluarkan."Callista menelan ludah, mencoba menenangkan diri meski tubuhnya serasa dingin. Dalam pikirannya berlarian berbagai kemungkinan buruk yang menghantui seperti bayangan hitam tak berbentuk. Tidak seharusnya kehamilan berakhir seperti ini. Sebulan sudah Novita tinggal di rumah orang tua mereka di Surabaya, sendirian, tanpa ditemani suaminya Zafran

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status