Callista menatap layar ponselnya yang berkedip-kedip. Nama "Zafran" tertera di sana. Jantungnya berdegup kencang. Sudah tiga hari sejak dia meninggalkan rumah besar itu dengan membawa Kayla, dan suaminya tidak pernah menelepon atau mencari tahu keberadaan mereka.
Panggilan pertama terlewatkan karena tangannya gemetar. Ketika ponsel berdering lagi, Callista menarik napas dalam-dalam sebelum mengangkatnya.
"Halo?" suaranya hampir berbisik.
"Ada apa?" Zafran langsung to the point, suaranya datar dan dingin seperti biasa.
Callista menggenggam ponselnya lebih erat. "Kayla demam tinggi sejak tiga hari lalu." Dia berhenti sejenak, mencoba mengatur napasnya. "Sekarang kami di rumah sakit. Dokter bilang harus dirawat inap karena..."
"Berapa biayanya?" Zafran memotong dengan nada yang terdengar terburu-buru.
Air mata mulai mengumpul di sudut mata Callista. *Kenapa sela
Callista menatap layar ponselnya yang berkedip-kedip. Nama "Zafran" tertera di sana. Jantungnya berdegup kencang. Sudah tiga hari sejak dia meninggalkan rumah besar itu dengan membawa Kayla, dan suaminya tidak pernah menelepon atau mencari tahu keberadaan mereka.Panggilan pertama terlewatkan karena tangannya gemetar. Ketika ponsel berdering lagi, Callista menarik napas dalam-dalam sebelum mengangkatnya."Halo?" suaranya hampir berbisik."Ada apa?" Zafran langsung to the point, suaranya datar dan dingin seperti biasa.Callista menggenggam ponselnya lebih erat. "Kayla demam tinggi sejak tiga hari lalu." Dia berhenti sejenak, mencoba mengatur napasnya. "Sekarang kami di rumah sakit. Dokter bilang harus dirawat inap karena...""Berapa biayanya?" Zafran memotong dengan nada yang terdengar terburu-buru.Air mata mulai mengumpul di sudut mata Callista. *Kenapa sela
Zafran duduk di kursi kepala direktur dengan postur tubuh yang kaku, jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja dengan ritme yang tidak beraturan. Sudah tiga hari berlalu sejak kepergian Callosta malam itu dia sama sekali tidak mendapatkan kabar darinya. Dia memandangi ponselnya dengan menyipitkan matanya seolah ingin menghububgi seseorang. Tangannya tampak ragu meraihnponsel itu, tapi sebelum dia benar-benar memegang ponselnya, suara ketukan pintu mengurungjan niatnya."Pak Zafran?"Suara Arman, sahabatnya sekaligus asisten pribadi berusia 30 tahun yang sudah bekerja dengannya selama 8 tahun, mengembalikan kesadarannya ke dunia nyata. Pria berperawakan sedang dengan kacamata bulatnya itu menatapnya dengan ekspresi khawatir."Apa?" jawab Zafran ketus, berusaha menyembunyikan kegalauan yang kini menyelimuti batinnya sejak tadi pagi.Arman menaruh berkas kontrak di meja dengan hati-hati. "Kontrak dengan k
Zafran meletakkan cangkir kopinya dengan pelan, matanya secara refleks melirik ke arah ruang makan melalui kaca jendela ruang kerjanya di rumah. Callista sedang duduk sendirian di meja makan yang panjang, mengaduk-aduk sereal dalam mangkuknya dengan gerakan yang tampak lesu. Rambutnya yang panjang tergerai menutupi sebagian wajahnya, namun Zafran masih bisa melihat ekspresi kosong di mata gadis itu. Berbeda sekali dengan Novita.Mantan istrinya dulu selalu sempurna di setiap kesempatan duduk dengan postur tegak, makan dengan tata krama yang tak terbantahkan, bahkan saat sarapan sekalipun. Novita tak pernah menunjukkan kemalasan atau ketidakpedulian seperti yang terlihat pada Callista saat ini.Zafran menggelengkan kepala, berusaha mengusir perbandingan itu dari pikirannya. Ia kembali fokus pada laptop di hadapannya, namun matanya kembali melayang. Callista bangkit dari kursinya, bergerak dengan langkah gontai menuju dapur. Gadis itu mengenakan kaos oversize berwarna abu-abu dan celana
Malam telah larut ketika Callista terbangun dari tidur singkatnya karena Kayla yang menangis lapar. Ini sudah ketiga kalinya malam ini ia terbangun. Mata yang bengkak dan punggung yang pegal tidak menghentikannya untuk bangkit dan membuatkan susu untuk Kayla dengan penuh kasih.Saat ia duduk di kursi goyang sambil menggendong Kayla, suara langkah kaki berat terdengar dari koridor yang menuju ke kamar Zafran. Pria itu baru pulang setelah hampir 14 jam menghilang tanpa jejak. Bau alkohol dan parfum wanita lain tercium samar menguar dari arah kamarnya.*BRAK!*Suara pintu yang dibanting keras membuat Callista bergidik dan Kayla hampir terbangun dari tidurnya. Bahkan di minggu kedua pernikahan mereka, Zafran tidak pernah sekalipun menanyakan kabar Callista atau keponakan yang kini menjadi tanggung jawabnya sendiri."Papa tidak pernah mau tahu tentang kita, sayang," bisik Callista pada Kayla yang sudah kenyang namun masih rewel. "Tapi tidak apa-apa. Mama akan memberikan cinta yang berlipat
Pernikahan diselenggarakan keesokan harinya. Tak ada pesta, bunga bahkan senyum yang terpancar dari Callista ataupun Zafran. Hanya akad nikah sederhana yang berlangsung di ruang tamu keluarga Callista, disaksikan kerabat dekat dan notaris. Suasana begitu hening, hanya tangis Kayla digendongan Bi Sari, neneknya yang mencoba untuk menenangkannya. Callista mengenakan kebaya putih sederhana, bukan gaun pengantin impiannya. Zafran mengenakan setelan abu-abu gelap, berdiri kaku di sampingnya seperti patung marmer yang dingin. Mata pria itu tak sekalipun menatap calon istrinya, hanya terfokus pada dokumen pernikahan yang akan segera ditandatangani, kontrak yang mengikat keduanya.Ketika ijab kabul selesai dan cincin telah tersemat di jarinya, Zafran akhirnya menoleh. Mata coklat terangnya menatap Callista dengan sorot yang lebih dingin dari es di kutub utara."Jangan pernah berharap lebih," Zafran berbisik tajam, mencengkeram pergelangan tangan Callista hingga menyakitkan, memastikan hanya d
Wajah Zafran tetap dingin seperti es ketika berdiri di hadapan ruang NICU. Sorot matanya tajam mengawasi sosok mungil di balik kaca inkubator, tapi tak sedikitpun kehangatan terpancar dari sepasang mata kelabunya. Baginya, bayi itu hanyalah tanggung jawab dan warisan terakhir dari pernikahan yang gagal.Di sisi lain, Callista berlutut di bawah rintik hujan, menggenggam payung hitam yang nyaris tak berguna karena air matanya lebih deras dari hujan yang turun. Ia menangis di depan pusara kakaknya, merasakan kehilangan yang meremukkan jiwanya hingga ke serpihan terkecil."Kenapa harus secepat ini, Kak? Kenapa harus meninggalkanku?" bisiknya parau, jemarinya yang bergetar menelusuri nama Novita yang terukir pada batu nisan. "Bahkan kau belum sempat menimang Kayla." Callista mengusap air mata yang bercampur dengan tetesan hujan di pipinya. Mata sembabnya menatap lekat pusara itu seolah bisa menembus tanah dan melihat wajah kakaknya sekali lagi."Kak, aku berjanji dengan seluruh hidupku..."