Wajah Zafran tetap dingin seperti es ketika berdiri di hadapan ruang NICU. Sorot matanya tajam mengawasi sosok mungil di balik kaca inkubator, tapi tak sedikitpun kehangatan terpancar dari sepasang mata kelabunya. Baginya, bayi itu hanyalah tanggung jawab dan warisan terakhir dari pernikahan yang gagal.
Di sisi lain kota, Callista berlutut di bawah rintik hujan, menggenggam payung hitam yang nyaris tak berguna karena air matanya lebih deras dari hujan yang turun. Ia menangis di depan pusara kakaknya, merasakan kehilangan yang meremukkan jiwanya hingga ke serpihan terkecil.
"Kenapa harus secepat ini, Kak? Kenapa harus meninggalkanku?" bisiknya parau, jemarinya yang bergetar menelusuri nama Novita yang terukir pada batu nisan. "Bahkan kau belum sempat menimang Kayla."
Callista mengusap air mata yang bercampur dengan tetesan hujan di pipinya. Mata sembabnya menatap lekat pusara itu seolah bisa menembus tanah dan melihat wajah kakaknya sekali lagi.
"Kak, aku berjanji dengan seluruh hidupku..." suaranya tercekat, tapi ia melanjutkan dengan tekad yang membara, "Aku akan menjaga Kayla seperti darah dagingku sendiri. Dia tidak akan pernah merasa kehilangan sosok ibu. Aku akan melakukan apapun demi Kayla, sekalipun itu berarti mengorbankan seluruh mimpi dan masa depanku."
Callista mencium nisan itu lembut sebelum bangkit dengan lutut gemetar. Tekadnya sudah bulat. Ia harus kembali ke rumah sakit sekarang juga. Kayla membutuhkannya.
***
"Surabaya tidak memiliki fasilitas yang memadai! Kayla harus mendapatkan perawatan yang lebih canggih di Jakarta!" Zafran menggebrak meja ruang dokter, wajahnya keras seperti batu. Tidak ada emosi di sana kecuali kemarahan dingin yang menakutkan. "Saya sudah menyiapkan ambulans udara. Kami berangkat besok pagi."
Dokter spesialis anak itu tampak tidak nyaman. "Tapi Tuan Zafran, kondisi Kayla masih terlalu lemah untuk..."
"Saya tahu apa yang terbaik untuk anak saya," potong Zafran tanpa kompromi, matanya menyipit berbahaya.
Callista yang baru tiba langsung memahami situasi. Tanpa ragu, ia melangkah masuk dan berdiri tegak di hadapan Zafran.
"Aku ikut," ucapnya tegas, dagunya terangkat menantang. "Aku tidak akan membiarkan Kayla pergi dengan ayah sepertimu seorang diri."
Rahang Zafran mengeras hingga terlihat urat di pelipisnya. Matanya menatap Callista dengan kebencian yang tak disembunyikan. "Kau pikir kau lebih tahu daripada aku? Kau bukan siapa-siapa dalam keluarga ini, Callista. Hanya adik ipar yang tidak punya hak hukum atas Kayla."
Kata-kata itu bagaikan tamparan, tapi Callista tidak gentar. Ia melangkah mendekati inkubator dan memandang Kayla dengan kasih sayang yang meluap-luap. "Aku memang bukan siapa-siapa secara hukum," ucapnya lirih namun penuh keteguhan. "Tapi aku adalah orang terakhir yang kakakku percayai untuk menjaga putrinya. Dan demi Tuhan, aku tidak akan mengkhianati janji itu bahkan jika harus melawanmu."
Suasana di ruangan itu terasa tegang. Zafran menggertakkan giginya, amarah dingin terpancar dari setiap gerak tubuhnya yang kaku.
"Bawa saja pengacara terbaikmu," tantang Zafran. "Tapi secara hukum, akulah satu-satunya wali sah Kayla."
Pertengkaran mereka terhenti ketika pengacara keluarga Callista, Pak Joko, dan pengacara Zafran, masuk ke ruangan. Setelah perdebatan panjang yang menegangkan, Pak Joko akhirnya mengemukakan solusi yang mengejutkan.
"Ada satu cara agar kedua kepentingan terpenuhi," ucapnya hati-hati. "Kayla membutuhkan ayah biologisnya, tapi juga membutuhkan kasih sayang seorang ibu yang tulus. Dia harus dibesarkan oleh orang tuanya, bukan oleh bibi atau pengasuh." Ia menatap keduanya bergantian. "Jika Nona Callista ingin tetap merawat Kayla, maka... dia harus menikah dengan Tuan Zafran."
"Apa?!" Callista dan Zafran berseru bersamaan, mata mereka membelalak tidak percaya.
Wajah Zafran berubah pucat, seolah usulan itu adalah hal paling absurd yang pernah ia dengar. "Tidak mungkin. Aku tidak akan pernah..."
"Pikirkan putrimu, Tuan Zafran," sela Pak Joko. "Apakah Anda benar-benar yakin pengasuh bayaran akan memberikan kasih sayang tulus seperti yang bisa diberikan Nona Callista? Bukankah lebih baik putri Anda dibesarkan oleh seseorang yang memiliki hubungan darah dengannya?"
Callista menatap nanar pada Kayla yang tertidur damai dalam inkubator. Hatinya berkecamuk. Menikah dengan Zafran? Pria dingin yang jelas-jelas sangat menyebalkan? Mengorbankan seluruh masa depan dan mimpinya menjadi konsultan bisnis? Tapi bayangan Kayla tumbuh tanpa kasih sayang tulus seorang ibu membuat dadanya sesak.
"Aku butuh waktu," ucap Callista akhirnya, suaranya hampir tak terdengar. Ia menatap Zafran dengan sorot memohon. "Aku mohon, jangan bawa Kayla pergi sekarang. Tubuhnya masih terlalu lemah. Resiko perjalanan terlalu besar baginya."
Untuk pertama kalinya, Zafran terlihat ragu. Ia melirik putrinya yang begitu mungil dan rapuh, lalu menghela napas berat.
"Baiklah, aku akan me unggu sampai Kayla siap melakukan perjalanan jauh," ucapnya dingin. "Kau punya waktu sampai hari itu untuk memutuskan. Setelah itu, aku akan membawa Kayla ke Jakarta, dengan atau tanpa persetujuanmu."
***
Selama Kayla dalam perawatan intensif di NICU, Callista nyaris tidak pernah meninggalkan Kayla. Ia menghabiskan waktunya untuk terus mengawasi bayi mungil itu.
Kondisi Kayla membaik pesat. Tubuh mungilnya bertambah berat hingga hampir mencapai tiga kilogram, dan dokter mengatakan ia sudah boleh pulang dalam beberapa hari.
Saat pertama kali Callista diizinkan menggendong Kayla, sesuatu yang aneh terjadi. Begitu mata hijau cemerlang bayi itu warisan dari Novita, bertemu dengan matanya, Callista merasakan ikatan yang jauh melampaui hubungan tante dan keponakan. Ia merasakan gelombang kasih sayang yang begitu kuat hingga membuatnya sulit bernapas.
"Halo, sayang," bisiknya dengan suara bergetar. "Tante di sini. Tante akan selalu berada di sampingmu."
Kayla menggenggam jarinya dengan kepalan tangan mungilnya, dan Callista merasa dunianya berubah seketika.
Malam itu, di rumah orang tuanya, Callista duduk termenung di tepi ranjang. Ibunya masuk perlahan dan duduk di sampingnya.
"Lis," ucap ibunya lembut, "pikirkan baik-baik. Kita tidak bisa melawan Zafran untuk hak asuhnya. Dia ayah biologis Kayla."
"Tapi Ma, dia bahkan tidak pernah tersenyum pada anaknya sendiri! Bagaimana bisa aku membiarkan Kayla tumbuh dengan ayah seperti itu?" Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.
"Sayang, Kayla membutuhkan sosok ibu yang benar-benar tulus merawat dan membesarkannya. Jika hanya pengasuh, tidak akan ada yang setulus seorang ibu. Dan kelak," ibunya menggenggam tangannya erat, "jika Zafran menikah lagi, belum tentu istrinya akan menyayangi Kayla seperti anaknya sendiri."
Callista terisak. "Tapi menikah dengan Zafran berarti aku harus melupakan semua impianku, Ma. Aku bahkan belum sempat memulai karirku sebagai konsultan bisnis."
"Kadang hidup memaksa kita membuat pilihan sulit, Lis," ibunya menghapus air mata di pipi Callista. "Ambillah keputusan dengan mendengarkan kata hatimu. Bukan ambisimu, bukan ketakutanmu, tapi nuranimu yang paling dalam."
***
Malam itu, Zafran datang dengan pengacara dan seorang pengasuh profesional. Wajahnya tak menunjukkan emosi sedikitpun ketika ia memberitahu Callista bahwa mereka akan membawa Kayla malam itu juga.
"Waktumu sudah habis," ucapnya datar. "Aku sudah menyiapkan semua yang dibutuhkan Kayla di Jakarta."
Callista menatap nanar ketika pengasuh itu mengambil Kayla dari boksnya. Seketika, tangisan Kayla pecah, memenuhi ruangan dengan jeritan pilu yang menusuk hati. Bayi mungil itu meronta-ronta, wajahnya memerah, tangannya seolah mencari-cari keberadaan Callista.
"Cup cup cup..."
Pengasuh itu terlihat bingung, berusaha menenangkan Kayla yang tangisannya semakin kencang.
Hati Callista hancur melihat pemandangan itu. Tanpa pikir panjang, ia menghampiri pengasuh dan meminta izin untuk menggendong Kayla. Ajaibnya, segera setelah berada dalam pelukan Callista, Kayla berhenti menangis. Matanya yang sembab menatap Callista dengan sorot yang seolah mengatakan: jangan tinggalkan aku.
Saat itulah Callista tahu, ia tidak bisa melepaskan Kayla. Tidak bisa membiarkannya pergi tanpa dirinya.
"Aku... setuju menikah dengannya," ucap Callista akhirnya, suaranya gemetar namun penuh keteguhan. Semua orang di ruangan itu terdiam, tak menyangka keputusannya. "Demi Kayla. Hanya demi Kayla."
Zafran menoleh padanya, untuk pertama kalinya tatapannya tidak dingin melainkan terkejut. "Apa kau yakin?" tanyanya dengan nada tak percaya.
"Aku tidak yakin tentang apa-apa," sahut Callista pelan, mendekap Kayla lebih erat. "Tapi aku yakin satu hal: aku akan tetap berada di sisi Kayla apapun yang terjadi. Bahkan jika itu berarti menikah dengan pria sepertimu."
Zafran mendekati Callista dan berbisik tajam di telinganya, “Aku tidak butuh istri. Aku hanya butuh ibu untuk anakku.”
Zafran meletakkan cangkir kopinya dengan pelan, matanya secara refleks melirik ke arah ruang makan melalui kaca jendela ruang kerjanya di rumah. Callista sedang duduk sendirian di meja makan yang panjang, mengaduk-aduk sereal dalam mangkuknya dengan gerakan yang tampak lesu. Rambutnya yang panjang tergerai menutupi sebagian wajahnya, namun Zafran masih bisa melihat ekspresi kosong di mata gadis itu. Berbeda sekali dengan Novita.Mantan istrinya dulu selalu sempurna di setiap kesempatan duduk dengan postur tegak, makan dengan tata krama yang tak terbantahkan, bahkan saat sarapan sekalipun. Novita tak pernah menunjukkan kemalasan atau ketidakpedulian seperti yang terlihat pada Callista saat ini.Zafran menggelengkan kepala, berusaha mengusir perbandingan itu dari pikirannya. Ia kembali fokus pada laptop di hadapannya, namun matanya kembali melayang. Callista bangkit dari kursinya, bergerak dengan langkah gontai menuju dapur. Gadis itu mengenakan kaos oversize berwarna abu-abu dan celana
Malam telah larut ketika Callista terbangun dari tidur singkatnya karena Kayla yang menangis lapar. Ini sudah ketiga kalinya malam ini ia terbangun. Mata yang bengkak dan punggung yang pegal tidak menghentikannya untuk bangkit dan membuatkan susu untuk Kayla dengan penuh kasih.Saat ia duduk di kursi goyang sambil menggendong Kayla, suara langkah kaki berat terdengar dari koridor yang menuju ke kamar Zafran. Pria itu baru pulang setelah hampir 14 jam menghilang tanpa jejak. Bau alkohol dan parfum wanita lain tercium samar menguar dari arah kamarnya.*BRAK!*Suara pintu yang dibanting keras membuat Callista bergidik dan Kayla hampir terbangun dari tidurnya. Bahkan di minggu kedua pernikahan mereka, Zafran tidak pernah sekalipun menanyakan kabar Callista atau keponakan yang kini menjadi tanggung jawabnya sendiri."Papa tidak pernah mau tahu tentang kita, sayang," bisik Callista pada Kayla yang sudah kenyang namun masih rewel. "Tapi tidak apa-apa. Mama akan memberikan cinta yang berlipat
Pernikahan diselenggarakan keesokan harinya. Tak ada pesta, bunga bahkan senyum yang terpancar dari Callista ataupun Zafran. Hanya akad nikah sederhana yang berlangsung di ruang tamu keluarga Callista, disaksikan kerabat dekat dan notaris. Suasana begitu hening, hanya tangis Kayla digendongan Bi Sari, neneknya yang mencoba untuk menenangkannya. Callista mengenakan kebaya putih sederhana, bukan gaun pengantin impiannya. Zafran mengenakan setelan abu-abu gelap, berdiri kaku di sampingnya seperti patung marmer yang dingin. Mata pria itu tak sekalipun menatap calon istrinya, hanya terfokus pada dokumen pernikahan yang akan segera ditandatangani, kontrak yang mengikat keduanya.Ketika ijab kabul selesai dan cincin telah tersemat di jarinya, Zafran akhirnya menoleh. Mata coklat terangnya menatap Callista dengan sorot yang lebih dingin dari es di kutub utara."Jangan pernah berharap lebih," Zafran berbisik tajam, mencengkeram pergelangan tangan Callista hingga menyakitkan, memastikan hanya
Wajah Zafran tetap dingin seperti es ketika berdiri di hadapan ruang NICU. Sorot matanya tajam mengawasi sosok mungil di balik kaca inkubator, tapi tak sedikitpun kehangatan terpancar dari sepasang mata kelabunya. Baginya, bayi itu hanyalah tanggung jawab dan warisan terakhir dari pernikahan yang gagal.Di sisi lain kota, Callista berlutut di bawah rintik hujan, menggenggam payung hitam yang nyaris tak berguna karena air matanya lebih deras dari hujan yang turun. Ia menangis di depan pusara kakaknya, merasakan kehilangan yang meremukkan jiwanya hingga ke serpihan terkecil."Kenapa harus secepat ini, Kak? Kenapa harus meninggalkanku?" bisiknya parau, jemarinya yang bergetar menelusuri nama Novita yang terukir pada batu nisan. "Bahkan kau belum sempat menimang Kayla." Callista mengusap air mata yang bercampur dengan tetesan hujan di pipinya. Mata sembabnya menatap lekat pusara itu seolah bisa menembus tanah dan melihat wajah kakaknya sekali lagi."Kak, aku berjanji dengan seluruh hidup
Langit Surabaya berubah kelabu sore itu, seakan mengetahui ketakutan mendalam Callista dan ibunya. Di ruang tunggu Rumah Sakit Graha Husada, Callista berjalan mondar-mandir, setiap langkahnya sarat kecemasan. Jantungnya berdegup kencang, tangannya gemetar tak karuan. Sudah hampir tiga jam sejak kakaknya, Novita, dibawa masuk ke ruang operasi. Kontraksi yang datang terlalu cepat telah mengejutkan semua orang."Masih belum ada kabar?" tanya ibunya yang baru kembali dari toilet, wajahnya pucat pasi, mata sembab seolah telah menangis diam-diam.Callista menggeleng lemah. "Belum, Bu. Dokter bilang kondisinya kritis. Bayinya harus segera dikeluarkan."Callista menelan ludah, mencoba menenangkan diri meski tubuhnya serasa dingin. Dalam pikirannya berlarian berbagai kemungkinan buruk yang menghantui seperti bayangan hitam tak berbentuk. Tidak seharusnya kehamilan berakhir seperti ini. Sebulan sudah Novita tinggal di rumah orang tua mereka di Surabaya, sendirian, tanpa ditemani suaminya Zafran