Zafran meletakkan cangkir kopinya dengan pelan, matanya secara refleks melirik ke arah ruang makan melalui kaca jendela ruang kerjanya di rumah. Callista sedang duduk sendirian di meja makan yang panjang, mengaduk-aduk sereal dalam mangkuknya dengan gerakan yang tampak lesu. Rambutnya yang panjang tergerai menutupi sebagian wajahnya, namun Zafran masih bisa melihat ekspresi kosong di mata gadis itu. Berbeda sekali dengan Novita.
Mantan istrinya dulu selalu sempurna di setiap kesempatan duduk dengan postur tegak, makan dengan tata krama yang tak terbantahkan, bahkan saat sarapan sekalipun. Novita tak pernah menunjukkan kemalasan atau ketidakpedulian seperti yang terlihat pada Callista saat ini.
Zafran menggelengkan kepala, berusaha mengusir perbandingan itu dari pikirannya. Ia kembali fokus pada laptop di hadapannya, namun matanya kembali melayang. Callista bangkit dari kursinya, bergerak dengan langkah gontai menuju dapur. Gadis itu mengenakan kaos oversize berwarna abu-abu dan celana pendek, penampilannya sangat kontras dengan gaun-gaun mahal yang biasa dikenakan Novita.
Zafran memperhatikan cara Callista mengikat rambutnya dengan gerakan yang tidak sabaran, beberapa helai masih terlepas dan membingkai wajahnya. Ia melihat gadis itu membuka kulkas, berdiri di sana cukup lama sambil menghela napas panjang, seolah sedang memikirkan sesuatu yang berat.
"Pak Zafran?"
Suara Arman, asisten pribadinya, membuat Zafran tersentak. Pria paruh baya itu berdiri di ambang pintu dengan folder di tangannya, tatapannya penuh tanya.
"Ada apa?" Zafran berusaha terlihat sibuk dengan laptopnya.
"Laporan keuangan bulan ini sudah siap. Tapi..." Arman ragu-ragu. "Maaf jika saya lancang, tapi akhir-akhir ini Bapak sering terlihat... berbeda."
Zafran menaikkan alis. "Berbeda bagaimana?"
"Lebih... perhatian. Terutama pada Nyonya Callista."
Kalimat itu membuat Zafran menegakkan tubuhnya. "Apa maksudmu?"
Arman meletakkan folder di atas meja dengan hati-hati. "Bapak sering memperhatikan Nyonya dari jendela ini. Kemarin Bapak bahkan menanyakan apakah ia sudah makan siang. Dan minggu lalu, Bapak menyuruh saya membeli bunga untuk diletakkan di ruang tamu, padahal sebelumnya Bapak tidak pernah peduli dengan dekorasi rumah."
Zafran terdiam sejenak, merasa terpojok oleh pernyataan tajam asistennya. Ia menutup laptop dengan agak keras.
"Itu hanya... kepedulian sebagai suami. Tidak lebih," katanya datar. "Aku tidak ingin tetangga atau relasi bisnis menganggap aku tidak mampu mengurus istri."
"Tentu saja, Pak." Arman mengangguk, namun nada suaranya tidak sepenuhnya meyakinkan.
"Dan jangan salah paham, Arman." Zafran berdiri, berjalan menuju jendela dengan punggung menghadap asistennya. "Tidak akan ada cinta di hatiku. Apalagi untuk gadis kasar seperti Callista."
Melalui kaca jendela, Zafran melihat Callista sedang menyiram tanaman di taman belakang dan sesekali dia mengajak komunikasi dengan Kayla di kursi bayinya. Gadis itu bersenandung pelan suara yang samar-samar terdengar hingga ke ruang kerjanya. Ada sesuatu dalam melodi sederhana itu yang membuat dadanya terasa aneh.
"Gadis itu tidak tahu sopan santun, tidak punya kelas, dan sama sekali tidak cocok dengan lingkungan ini," lanjut Zafran, suaranya semakin keras seolah berusaha meyakinkan dirinya sendiri. "Ia hanya... kebetulan tinggal di sini karena Kayla."
Arman tidak menjawab. Pria itu hanya berdiri diam, mengamati perubahan pada sosok majikannya. Ia melihat bagaimana bahu Zafran menegang saat Callista tertawa kecil karena percikan air menyentuh wajahnya. Ia juga memperhatikan bagaimana mata Zafran mengikuti setiap gerakan gadis itu dengan intensitas yang tidak pernah ia tunjukkan pada Novita.
"Bapak benar," kata Arman akhirnya, suaranya datar dan penuh diplomasi. "Tidak ada yang berubah."
Namun dalam hati, Arman tahu bahwa majikannya sedang berbohong pada dirinya sendiri.
Di sisi lain rumah megah itu, Callista duduk di tepi ranjang dengan pandangan kosong. Hari ini sama seperti hari-hari sebelumnya. Ia bangun sebelum subuh, merawat Kayla, sarapan di pantry, kemudian menghabiskan waktu di taman belakang yang jarang dikunjungi penghuni rumah lainnya. Rutinitas yang sangat membosankan.
Ia mengambil ponselnya dan melihat pesan dari ibunya.
*"Lis, gimana kabarmu, Nak? Apakah Kayla sehat?"*
Callista mengetik balasan, lalu menghapusnya. Mengetik lagi, menghapus lagi. Bagaimana ia bisa menjelaskan bahwa ia merasa seperti hantu di rumah itu. Bahwa suaminya memperlakukannya seperti furniture, ada tapi tidak pernah diperhatikan belum lagi ibun mertuanya yang selalu saja memperlakukannya dengan buruk ketika dia datang ke rumah itu.
Ia bangkit dan berjalan ke jendela kamarnya. Dari sana, ia bisa melihat ruang kerja Zafran di lantai bawah. Pria itu sedang berbicara dengan Arman, sesekali tangannya bergerak-gerak seperti sedang menjelaskan sesuatu dengan emosi.
"Apa yang pernah aku harapkan dari pernikahan ini? Hanya Kayla-lah yang menjadi sumber kekuatanku." gumam Callista pada dirinya sendiri.
Ia melihat Zafran berjalan ke jendela ruang kerjanya. Untuk sesaat, mata mereka bertemu melalui kaca. Callista tersenyum tipis. Zafran hanya menatapnya sejenak, lalu menutup tirai.
Callista merasakan dadanya sesak. Ia sudah lelah menjadi bayangan di rumah ini, lelah hidup seperti penghuni kos yang tidak diinginkan oleh pemilik rumah.
"Mungkin sudah waktunya aku bicara dengannya," bisiknya pada diri sendiri. "Atau mungkin... sudah waktunya aku pergi."
Malam itu, Zafran tidak bisa tidur. Ia bolak-balik di ranjang king size-nya, pikirannya terus melayang pada percakapan dengan Arman tadi siang. Kata-kata asistennya terus bergema: *"Bapak sering memperhatikan Nyonya dari jendela ini."*
Zafran bangkit dan berjalan ke jendela kamarnya. Rumah sudah sepi, hanya lampu taman yang masih menyala. Ia melihat ke arah kamar Callista di sebelah kiri rumah lampu masih menyala. Gadis itu masih terjaga walau jam dinding sudah menunjukkan pukul 01.00 dini hari.
Tanpa sadar, Zafran bertanya-tanya apa yang sedang dilakukan Callista. Pikiran terakhir itu membuat dadanya terasa tidak nyaman.
Sementara itu di dalam kamar, Callista masih terjaga. Matanya sembab, tubuhnya lelah, tapi ia terus menggendong Kayla yang tak henti menangis. Tubuh kecil itu panas, napasnya cepat, dan ia menolak minum susu.
Callista mondar-mandir, panik dan cemas.
“Ssst… Kayla, sayang… Mama di sini, ya. Jangan nangis,” bisiknya sambil mengusap pelan kening Kayla yang basah oleh keringat.
Ia mencoba menelepon dokter keluarga Aryasatya, tapi nomornya tidak ada. Dicari berkali-kali, tetap tak ketemu. Callista mulai gemetar.
“Ya Tuhan, aku harus gimana…” gumamnya lirih.
Di kamar sebelah, Zafran mendengar tangisan itu. Tapi ia hanya menarik selimut, membalikkan badan, dan menutup mata. Ia memilih tidur, seolah tak terjadi apa-apa.
Callista menahan air matanya. Ia tahu ini bukan pertama kalinya Zafran bersikap dingin, tapi malam ini, rasanya lebih menyakitkan. Bukan untuk dirinya. Tapi untuk Kayla. Anak kecil yang tak tahu apa-apa, tapi harus merasakan dinginnya dunia bahkan dari ayahnya sendiri.
Ia menatap wajah Kayla yang memerah karena terus menangis. Dengan cepat, ia mengambil jaket, tas kecil, menyelimuti tubuh Kayla, lalu turun ke garasi.
“Mama nggak bisa diam aja. Kita pergi, ya,” ucapnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Ia menyalakan mobil dengan tangan yang sedikit gemetar. Matanya mulai basah. Tapi ia tahu, ia harus kuat malam ini.
Mobil itu keluar perlahan dari rumah yang kini terasa asing.
Jalanan sunyi. Lampu-lampu jalan redup. Angin malam meniup pelan rambutnya yang terurai.
Zafran meletakkan cangkir kopinya dengan pelan, matanya secara refleks melirik ke arah ruang makan melalui kaca jendela ruang kerjanya di rumah. Callista sedang duduk sendirian di meja makan yang panjang, mengaduk-aduk sereal dalam mangkuknya dengan gerakan yang tampak lesu. Rambutnya yang panjang tergerai menutupi sebagian wajahnya, namun Zafran masih bisa melihat ekspresi kosong di mata gadis itu. Berbeda sekali dengan Novita.Mantan istrinya dulu selalu sempurna di setiap kesempatan duduk dengan postur tegak, makan dengan tata krama yang tak terbantahkan, bahkan saat sarapan sekalipun. Novita tak pernah menunjukkan kemalasan atau ketidakpedulian seperti yang terlihat pada Callista saat ini.Zafran menggelengkan kepala, berusaha mengusir perbandingan itu dari pikirannya. Ia kembali fokus pada laptop di hadapannya, namun matanya kembali melayang. Callista bangkit dari kursinya, bergerak dengan langkah gontai menuju dapur. Gadis itu mengenakan kaos oversize berwarna abu-abu dan celana
Malam telah larut ketika Callista terbangun dari tidur singkatnya karena Kayla yang menangis lapar. Ini sudah ketiga kalinya malam ini ia terbangun. Mata yang bengkak dan punggung yang pegal tidak menghentikannya untuk bangkit dan membuatkan susu untuk Kayla dengan penuh kasih.Saat ia duduk di kursi goyang sambil menggendong Kayla, suara langkah kaki berat terdengar dari koridor yang menuju ke kamar Zafran. Pria itu baru pulang setelah hampir 14 jam menghilang tanpa jejak. Bau alkohol dan parfum wanita lain tercium samar menguar dari arah kamarnya.*BRAK!*Suara pintu yang dibanting keras membuat Callista bergidik dan Kayla hampir terbangun dari tidurnya. Bahkan di minggu kedua pernikahan mereka, Zafran tidak pernah sekalipun menanyakan kabar Callista atau keponakan yang kini menjadi tanggung jawabnya sendiri."Papa tidak pernah mau tahu tentang kita, sayang," bisik Callista pada Kayla yang sudah kenyang namun masih rewel. "Tapi tidak apa-apa. Mama akan memberikan cinta yang berlipat
Pernikahan diselenggarakan keesokan harinya. Tak ada pesta, bunga bahkan senyum yang terpancar dari Callista ataupun Zafran. Hanya akad nikah sederhana yang berlangsung di ruang tamu keluarga Callista, disaksikan kerabat dekat dan notaris. Suasana begitu hening, hanya tangis Kayla digendongan Bi Sari, neneknya yang mencoba untuk menenangkannya. Callista mengenakan kebaya putih sederhana, bukan gaun pengantin impiannya. Zafran mengenakan setelan abu-abu gelap, berdiri kaku di sampingnya seperti patung marmer yang dingin. Mata pria itu tak sekalipun menatap calon istrinya, hanya terfokus pada dokumen pernikahan yang akan segera ditandatangani, kontrak yang mengikat keduanya.Ketika ijab kabul selesai dan cincin telah tersemat di jarinya, Zafran akhirnya menoleh. Mata coklat terangnya menatap Callista dengan sorot yang lebih dingin dari es di kutub utara."Jangan pernah berharap lebih," Zafran berbisik tajam, mencengkeram pergelangan tangan Callista hingga menyakitkan, memastikan hanya
Wajah Zafran tetap dingin seperti es ketika berdiri di hadapan ruang NICU. Sorot matanya tajam mengawasi sosok mungil di balik kaca inkubator, tapi tak sedikitpun kehangatan terpancar dari sepasang mata kelabunya. Baginya, bayi itu hanyalah tanggung jawab dan warisan terakhir dari pernikahan yang gagal.Di sisi lain kota, Callista berlutut di bawah rintik hujan, menggenggam payung hitam yang nyaris tak berguna karena air matanya lebih deras dari hujan yang turun. Ia menangis di depan pusara kakaknya, merasakan kehilangan yang meremukkan jiwanya hingga ke serpihan terkecil."Kenapa harus secepat ini, Kak? Kenapa harus meninggalkanku?" bisiknya parau, jemarinya yang bergetar menelusuri nama Novita yang terukir pada batu nisan. "Bahkan kau belum sempat menimang Kayla." Callista mengusap air mata yang bercampur dengan tetesan hujan di pipinya. Mata sembabnya menatap lekat pusara itu seolah bisa menembus tanah dan melihat wajah kakaknya sekali lagi."Kak, aku berjanji dengan seluruh hidup
Langit Surabaya berubah kelabu sore itu, seakan mengetahui ketakutan mendalam Callista dan ibunya. Di ruang tunggu Rumah Sakit Graha Husada, Callista berjalan mondar-mandir, setiap langkahnya sarat kecemasan. Jantungnya berdegup kencang, tangannya gemetar tak karuan. Sudah hampir tiga jam sejak kakaknya, Novita, dibawa masuk ke ruang operasi. Kontraksi yang datang terlalu cepat telah mengejutkan semua orang."Masih belum ada kabar?" tanya ibunya yang baru kembali dari toilet, wajahnya pucat pasi, mata sembab seolah telah menangis diam-diam.Callista menggeleng lemah. "Belum, Bu. Dokter bilang kondisinya kritis. Bayinya harus segera dikeluarkan."Callista menelan ludah, mencoba menenangkan diri meski tubuhnya serasa dingin. Dalam pikirannya berlarian berbagai kemungkinan buruk yang menghantui seperti bayangan hitam tak berbentuk. Tidak seharusnya kehamilan berakhir seperti ini. Sebulan sudah Novita tinggal di rumah orang tua mereka di Surabaya, sendirian, tanpa ditemani suaminya Zafran