Pernikahan diselenggarakan keesokan harinya. Tak ada pesta, bunga bahkan senyum yang terpancar dari Callista ataupun Zafran. Hanya akad nikah sederhana yang berlangsung di ruang tamu keluarga Callista, disaksikan kerabat dekat dan notaris. Suasana begitu hening, hanya tangis Kayla digendongan Bi Sari, neneknya yang mencoba untuk menenangkannya.
Callista mengenakan kebaya putih sederhana, bukan gaun pengantin impiannya. Zafran mengenakan setelan abu-abu gelap, berdiri kaku di sampingnya seperti patung marmer yang dingin. Mata pria itu tak sekalipun menatap calon istrinya, hanya terfokus pada dokumen pernikahan yang akan segera ditandatangani, kontrak yang mengikat keduanya.
Ketika ijab kabul selesai dan cincin telah tersemat di jarinya, Zafran akhirnya menoleh. Mata coklat terangnya menatap Callista dengan sorot yang lebih dingin dari es di kutub utara.
"Jangan pernah berharap lebih," Zafran berbisik tajam, mencengkeram pergelangan tangan Callista hingga menyakitkan, memastikan hanya dia yang bisa mendengar. "Ini hanya perjanjian di atas kertas, tidak lebih. Aku tidak percaya pada cinta dan tidak akan pernah membuka hatiku untukmu. Kau bukan siapa-siapa di hidupku selain ibu sambung dari anak yang harus kujaga namanya."
Ucapan itu menghujam seperti belati beracun di hati Callista. Ia merasakan sakit yang menusuk hingga ke tulang sumsum, namun wajahnya tetap tenang. Bukan karena lemah, tapi karena ia memilih pertarungannya dengan bijak. Ia mengangguk kecil, menunduk untuk menyembunyikan kilatan api di matanya yang nyaris memuntahkan kemarahan.
"Aku tidak mengharapkan apapun darimu," balasnya pelan namun tegas. "Yang aku inginkan hanya kebahagiaan Kayla. Bukan cintamu, bukan hartamu, bukan namamu."
Zafran melepaskan genggamannya dengan kasar, seolah terbakar oleh kata-kata Callista. Untuk sepersekian detik, topeng dinginnya sedikit retak, menampakkan kilatan emosi yang tak terbaca. sambungkan
***
Mobil hitam mewah Maybach berhenti tepat di depan mansion bergaya kolonial modern yang megah. Halaman yang terhampar luas dengan air mancur marmer di tengahnya menyambut kedatangan mereka. Callista menelan ludah, merasakan kegugupan yang luar biasa. Ini akan menjadi rumah barunya, sangkar emas tempat ia harus hidup bersama pria yang bahkan tidak sudi menatapnya lebih dari tiga detik.
"Turun," ucap Zafran singkat, nadanya sedingin es Antartika, tanpa sedikitpun emosi yang terselip.
Callista membuka pintu mobil dan melangkah keluar dengan Kayla dalam gendongannya. Bayi mungil itu adalah satu-satunya alasan ia masih bertahan, satu-satunya titik cahaya dalam kegelapan pernikahan tanpa cinta ini.
Zafran berjalan di depan, langkahnya tegap dan cepat, seolah ingin segera meninggalkan Callista di belakang. Tak sekalipun ia menawarkan bantuan untuk menggendong Kayla atau mengambil tas bayi yang tampak berat di bahu Callista.
Di ambang pintu utama yang menjulang tinggi, suara hak stiletto menghantam lantai marmer terdengar mendekat seperti siap untuk memberikan tekanan yang lebih berat kepada Callista. Nyonya Thalia Aryasatya muncul dengan gaun rancangan desainer ternama berwarna merah marun dan perhiasan berlian yang menyilaukan. Kontur wajahnya yang sempurna hasil bedah plastik ternama di Swiss menegang melihat kedatangan Callista.
"Jadi ini dia wanita kampung yang kau bawa sebagai istrimu?" Thalia berkata tajam, matanya menyipit penuh penilaian. "Zafran, aku kira rumah kita tidak lagi dimasuki orang kampung setelah meninggalnya istri pertamamu yang menyedihkan itu. Tapi ini..." ia menunjuk Callista dari atas ke bawah dengan jari berhias cincin berlian besar, "bahkan lebih buruk dari sebelumnya."
Callista menghirup napas dalam-dalam, menenangkan denyut amarah yang mulai berkumpul di dadanya, dia baru menyadari bagaimana perlakuan mereka pada kakaknya dulu. "Selamat siang, Ibu," sapanya, suaranya tenang meski badai mengamuk di batinnya.
"Jangan..." Thalia mengangkat tangannya dengan dramatis, "jangan pernah berani memanggilku 'Ibu'. Aku tidak sudi punya menantu dari kalangan bawah sepertimu. Kau pikir dengan mendapatkan secarik kertas pernikahan, kau sudah menjadi bagian dari keluarga Aryasatya? Jangan bermimpi, nak."
Thalia melangkah maju, parfum Chanel No. 5 yang menyengat menguar di udara saat ia melingkari Callista seperti predator mengintai mangsanya. "Aku tahu persis apa yang kau incar. Harta kami, bukan? Atau mungkin status sosial yang tidak akan pernah bisa kau raih dengan usahamu sendiri?"
"Saya tidak mengincar apapun," jawab Callista tegas, mengangkat dagunya sedikit. Ia bukan wanita lemah yang akan menunduk di hadapan siapapun. "Saya di sini hanya untuk memastikan Kayla mendapatkan kehidupan yang layak."
Thalia tertawa, suaranya dingin dan menusuk. "Oh, jangan berpura-pura suci di hadapanku, sayang. Aku sudah melihat banyak wanita sepertimu, kau tak ubahnya seperti kakakmu. Memanfaatkan perjodohan untuk menjerat pria kaya."
"Ibu," Zafran akhirnya bersuara, meski nadanya lebih terdengar lelah daripada membela. "Bisakah kita membahas hal ini nanti? Aku ada meeting online dengan investor Singapura dalam 30 menit."
"Tentu saja, anakku," Thalia langsung berubah manis pada putranya, mengelus lengan Zafran dengan sayang. Lalu matanya kembali menajam saat menatap Callista. "Dan jangan pikir aku akan membiarkanmu mengambil warisanku melalui bayi itu," ia melirik Kayla dengan tatapan jijik, seolah melihat hama. "Sayangnya, mendiang suamiku membuat wasiat bodoh yang memberikan 50% hartanya kepada anak dari pernikahan Zafran. Jika tidak..." batinnya yang hanya dia dan Zafran yang tau tentnag hal ini, dia tidak ingin keluarga Novita tahu, karena takut mereka akan menuntutnya suatu hari nanti.
Callista memeluk Kayla lebih erat, insting melindunginya bangkit. Api kemarahan berkobar dalam dadanya mendengar Thalia berbicara tentang bayinya dengan nada merendahkan seperti itu. Tapi ia memilih diam, bukan karena takut, melainkan karena ia tahu ada waktunya untuk bertarung, dan sekarang bukanlah saat yang tepat.
Zafran berdiri dengan ekspresi tak terbaca, matanya kosong seolah pikirannya berada di tempat lain. Ia sama sekali tidak berusaha membela Callista atau bahkan menegur ibunya. Sikapnya seperti penonton acuh yang hanya kebetulan berada di lokasi perseteruan.
"Marni," panggil Zafran pada pembantu rumah tangga berseragam rapi yang berdiri tak jauh dari mereka. "Antar dia ke kamar tamu di samping kamar bayi."
Callista terkejut tanpa suara, menatap tajam ke arah Zafran. Zafran seolah mengerti apa yang ada di pikiran istri barunya itu.
"Jangan berpikir kita akan berbagi kamar," potong Zafran dingin, matanya akhirnya bertemu dengan mata Callista, tapi tatapannya begitu dingin hingga membuat Callista bergidik. "Seperti yang kukatakan, ini hanya perjanjian di atas kertas. Kau istriku di mata hukum, tapi tidak lebih dari itu."
Thalia tersenyum puas, kemenangan terukir jelas di wajahnya. "Kau dengar itu, kan? Zafran bahkan tidak sudi tidur sekamar denganmu. Jadi jangan terlalu nyaman di sini."
"Baik, Tuan," sahut Marni, mengangguk patuh pada Zafran.
Dengan rahang mengeras menahan amarah dan harga diri yang terluka, Callista mengikuti Marni menaiki tangga besar ke lantai dua. Di belakangnya, ia bisa mendengar Zafran dan Thalia yang langsung sibuk membahas agenda bisnis, seolah dirinya tak pernah ada.
"Jangan diambil hati, Nyonya," bisik Marni saat mereka sudah cukup jauh. "Nyonya Thalia memang selalu seperti itu."
Callista hanya mengangguk kecil. Ia tidak butuh dikasihani. "Apakah dulu mereka juga memperlakukan Kakakku seperti ini? Apakah Zafran dan Novita berpisah kamar seperti ini?" desak Callista mencari informasi dari Marni, tapi ART tersebut takut berbicara. Dia mengalihkan perhatian Callista.
"Nonya, ini kamar Anda." Marni membuka pintu kamar tamu yang luas, sebuah kamar mewah dengan ranjang king size, perabotan antik, dan pemandangan taman belakang yang indah. Namun semua kemewahan itu terasa dingin dan asing.
"Kamar Tuan Zafran ada di ujung sana," jelas Marni saat menunjukkan fasilitas kamar. "Beliau jarang ada di rumah, sibuk dengan pekerjaan. Mungkin... ini lebih baik untuk Nyonya, tidak perlu sering bertemu dengan Tuan. Nyonya besar juga jarang di rumah, beliau suka liburan ke luar negeri bersama dengan teman-temannya."
Setelah Marni meninggalkannya sendiri, Callista meletakkan Kayla dengan lembut di tengah ranjang besar itu, mengelilinginya dengan bantal agar aman. Ia berjalan ke jendela besar, memandang halaman belakang mansion yang seperti taman kerajaan. Ironisnya, ia merasa seperti tawanan dalam istana ini.
"Kau pikir aku akan menangis?" bisiknya pada diri sendiri, mengusap setitik air mata yang nyaris jatuh. "Tidak, Callista. Kau bukan wanita lemah. Kau sudah memilih jalan ini dan kau akan menjalaninya dengan kepala tegak."
Ia berbalik dan duduk di tepi ranjang, memandangi wajah polos Kayla yang tertidur. Jemarinya yang lentik mengusap pipi bayi itu dengan penuh kasih.
"Kayla sayang," bisiknya lembut. "Aku tidak peduli dengan sikap acuh mereka kepadaku. Aku tidak peduli harus direndahkan atau dibenci. Semua itu tidak ada artinya." Ia mengecup kening Kayla penuh kasih. "Yang aku inginkan hanyalah menciptakan rumah yang penuh kasih sayang untukmu. Dan demi Tuhan, aku akan melakukannya, bahkan jika harus melawan semua pembatas yang ada."
Kayla menggenggam jarinya dan tersenyum dalam tidurnya. Mata Callista berkilat penuh tekad. Ia bukan pion yang bisa dipermainkan begitu saja. Ia hanya memilih pertarungannya dengan bijak.
"Lihat saja nanti, Tuan Zafran, Nyonya Thalia," bisiknya pada udara kosong. "Kalian mungkin menganggapku wanita kampung yang lemah, tapi aku bukanlah kakakku yang hanya diam."
Tiba-tiba saja dada Callista terasa sesak ketika dia membayangkan kehidupan rumah tangga seperti apa yang dijalani oleh kakaknya. "Kak, ternyata seperti ini yang kau alami selama ini."
Zafran meletakkan cangkir kopinya dengan pelan, matanya secara refleks melirik ke arah ruang makan melalui kaca jendela ruang kerjanya di rumah. Callista sedang duduk sendirian di meja makan yang panjang, mengaduk-aduk sereal dalam mangkuknya dengan gerakan yang tampak lesu. Rambutnya yang panjang tergerai menutupi sebagian wajahnya, namun Zafran masih bisa melihat ekspresi kosong di mata gadis itu. Berbeda sekali dengan Novita.Mantan istrinya dulu selalu sempurna di setiap kesempatan duduk dengan postur tegak, makan dengan tata krama yang tak terbantahkan, bahkan saat sarapan sekalipun. Novita tak pernah menunjukkan kemalasan atau ketidakpedulian seperti yang terlihat pada Callista saat ini.Zafran menggelengkan kepala, berusaha mengusir perbandingan itu dari pikirannya. Ia kembali fokus pada laptop di hadapannya, namun matanya kembali melayang. Callista bangkit dari kursinya, bergerak dengan langkah gontai menuju dapur. Gadis itu mengenakan kaos oversize berwarna abu-abu dan celana
Malam telah larut ketika Callista terbangun dari tidur singkatnya karena Kayla yang menangis lapar. Ini sudah ketiga kalinya malam ini ia terbangun. Mata yang bengkak dan punggung yang pegal tidak menghentikannya untuk bangkit dan membuatkan susu untuk Kayla dengan penuh kasih.Saat ia duduk di kursi goyang sambil menggendong Kayla, suara langkah kaki berat terdengar dari koridor yang menuju ke kamar Zafran. Pria itu baru pulang setelah hampir 14 jam menghilang tanpa jejak. Bau alkohol dan parfum wanita lain tercium samar menguar dari arah kamarnya.*BRAK!*Suara pintu yang dibanting keras membuat Callista bergidik dan Kayla hampir terbangun dari tidurnya. Bahkan di minggu kedua pernikahan mereka, Zafran tidak pernah sekalipun menanyakan kabar Callista atau keponakan yang kini menjadi tanggung jawabnya sendiri."Papa tidak pernah mau tahu tentang kita, sayang," bisik Callista pada Kayla yang sudah kenyang namun masih rewel. "Tapi tidak apa-apa. Mama akan memberikan cinta yang berlipat
Pernikahan diselenggarakan keesokan harinya. Tak ada pesta, bunga bahkan senyum yang terpancar dari Callista ataupun Zafran. Hanya akad nikah sederhana yang berlangsung di ruang tamu keluarga Callista, disaksikan kerabat dekat dan notaris. Suasana begitu hening, hanya tangis Kayla digendongan Bi Sari, neneknya yang mencoba untuk menenangkannya. Callista mengenakan kebaya putih sederhana, bukan gaun pengantin impiannya. Zafran mengenakan setelan abu-abu gelap, berdiri kaku di sampingnya seperti patung marmer yang dingin. Mata pria itu tak sekalipun menatap calon istrinya, hanya terfokus pada dokumen pernikahan yang akan segera ditandatangani, kontrak yang mengikat keduanya.Ketika ijab kabul selesai dan cincin telah tersemat di jarinya, Zafran akhirnya menoleh. Mata coklat terangnya menatap Callista dengan sorot yang lebih dingin dari es di kutub utara."Jangan pernah berharap lebih," Zafran berbisik tajam, mencengkeram pergelangan tangan Callista hingga menyakitkan, memastikan hanya
Wajah Zafran tetap dingin seperti es ketika berdiri di hadapan ruang NICU. Sorot matanya tajam mengawasi sosok mungil di balik kaca inkubator, tapi tak sedikitpun kehangatan terpancar dari sepasang mata kelabunya. Baginya, bayi itu hanyalah tanggung jawab dan warisan terakhir dari pernikahan yang gagal.Di sisi lain kota, Callista berlutut di bawah rintik hujan, menggenggam payung hitam yang nyaris tak berguna karena air matanya lebih deras dari hujan yang turun. Ia menangis di depan pusara kakaknya, merasakan kehilangan yang meremukkan jiwanya hingga ke serpihan terkecil."Kenapa harus secepat ini, Kak? Kenapa harus meninggalkanku?" bisiknya parau, jemarinya yang bergetar menelusuri nama Novita yang terukir pada batu nisan. "Bahkan kau belum sempat menimang Kayla." Callista mengusap air mata yang bercampur dengan tetesan hujan di pipinya. Mata sembabnya menatap lekat pusara itu seolah bisa menembus tanah dan melihat wajah kakaknya sekali lagi."Kak, aku berjanji dengan seluruh hidup
Langit Surabaya berubah kelabu sore itu, seakan mengetahui ketakutan mendalam Callista dan ibunya. Di ruang tunggu Rumah Sakit Graha Husada, Callista berjalan mondar-mandir, setiap langkahnya sarat kecemasan. Jantungnya berdegup kencang, tangannya gemetar tak karuan. Sudah hampir tiga jam sejak kakaknya, Novita, dibawa masuk ke ruang operasi. Kontraksi yang datang terlalu cepat telah mengejutkan semua orang."Masih belum ada kabar?" tanya ibunya yang baru kembali dari toilet, wajahnya pucat pasi, mata sembab seolah telah menangis diam-diam.Callista menggeleng lemah. "Belum, Bu. Dokter bilang kondisinya kritis. Bayinya harus segera dikeluarkan."Callista menelan ludah, mencoba menenangkan diri meski tubuhnya serasa dingin. Dalam pikirannya berlarian berbagai kemungkinan buruk yang menghantui seperti bayangan hitam tak berbentuk. Tidak seharusnya kehamilan berakhir seperti ini. Sebulan sudah Novita tinggal di rumah orang tua mereka di Surabaya, sendirian, tanpa ditemani suaminya Zafran