Share

Mimpi

Bab 2

Tak henti gedoran itu terus dilakukan. Perut yang tadinya begitu lapar, kini hilang seketika. Cacing dalam perut pun mendadak aman karena mendengar ketukan itu.

Sebelum membuka pintu, aku mengintipnya terlebih dahulu dari sebuah lubang dinding yang sedikit berlubang. Rasa penasaran semakin memuncak ketika pintu juga ditendang dengan kaki.

"Tunggu, Ayah," ucapku seraya membuka pintu.

Begitu terbuka, pintu itu langsung ditendang sekuatnya. Aku bingung kenapa Ayah terburu-buru seperti ketakutan. Tidak pernah terjadi sebelumnya, biasanya Ayah adalah tipe pria pemberani. Bingung dengan keadaan yang dialami olehnya. Diri ini jadi ikut takut dengan melihat gelagat pria pertama yang aku cintai itu melakukan hal aneh.

Beliau langsung masuk ke kamar. Setelah itu tak tahu lagi apa yang dilakukannya di dalam sana. Aku hanya menunggu kabar darinya. Ada apa sebenarnya yang baru terjadi?

Sebelum menutup daun pintu berwarna biru, aku ke halaman belakang untuk mengintai siapa kira-kira yang telah membuat Ayah ketakutan. Pelan-pelan sambil memicingkan mata sedikit. Namun, tak satu pun terlihat. Baik manusia atau hewan di pekarangan belakang.

Satu jam Ayah berada di kamar belum juga keluar. Sejak tadi aku menunggunya. Tak sabar rasanya hati ini ingin mengetahui kebenaran.

"Ayah .... Ada apa, sih? Ayah tidur?" tanyaku, sembari mengetuk pintu dengan pelan.

Tak ada sahutan dan jawaban diberikan ayah. Pintu masih tetap kuketuk, agar kiranya beliau keluar memberi penjelasan. Berulang-ulang kulakukan, tetapi tetap membisu. Bingung sekali, entah kenapa bulu kuduk merinding seketika.

Sudah berulang kali nama Ayah dipanggil, pun hasilnya tetap sama. Pikiran yang sedari tadi menghantui kini dibuang jauh-jauh. Berharap agar kiranya semua itu hanya ketakutanku semata tanpa beralasan.

Senja pun tiba menghampiri kota kecil, yaitu;  Rantau Prapat kota idaman. Keramaian lalu lalang semakin memicu keributan dalam berkendara karena hari hampir Maghrib. Semakin malam semakin banyak yang menggunakan sepeda motor dengan kecepatan tinggi di jalanan.

Burung-burung berterbangan, ada juga yang berbaris di kabel listrik sebagai hiburan mata pada malam hari. Lampu berwarna ikut menghiasi untuk memperindah kota kian maju. Sejak usiaku dua tahun menginjak kota ini, sudah menjadi sebuah lokasi yang sangat strategis menjadi kota besar dengan memiliki gedung-gedung sesuai perkembangan.

Hingga kini, kota itu menjadi pusat pemerintahan kabupaten setempat. Kota dengan memiliki sungai yang menghubungkan antara kecamatan. Namanya Sungai Bilah.

Terdengar suara azan dari masjid yang tak jauh dari rumah. Pertanda bahwa salat Maghrib telah tiba. Tanpa menunda waktu, langsung menuju kamar mandi dan membuka keran air untuk segera berwudhu sebelum melaksanakan salat.

Cuaca yang panas dan gerah kini berubah menjadi sejuk saat air masuk ke mulut untuk berkumur-kumur dan disiram ke wajah. Mengikuti rukun wudu secara berurutan. Jiwa dan pikiran tenang, tak ada lagi yang mengganggu pikiran. Semua harus menerima dengan ikhlas atas apa yang diberikan Tuhan.

Nikmatilah apa yang telah dia berikan padamu. Bersabarlah jika kebutuhanmu masih kurang. Jangan pernah mengeluh, sebab Tuhan masih merahasiakan yang terbaik untuk kehidupanmu.

Hindari perbuatan menjadikan diri penuh dosa. Lakukan hal-hal ke arah yang lebih baik. Cintai, hormati, serta hargai semua yang engkau miliki. Niscaya dirimu termasuk insan dengan derajat tinggi.

Kuangkat takbir di depan sajadah berwarna hijau. Mengkhusyu'kan pikiran pada ibadah yang dilakukan, sampai ke tahiyat akhir. Tenang rasanya jiwa ini setelah melakukan salat. Beban pikiran hilang seketika. Itulah hebatnya perintah Tuhan jika dilakukan secara ikhlas meski jauh dari kata sempurna.

Setelah melakukan salat, Ayah memanggilku.

"Zeyn ... kamu sudah selesai salat?" tanya Ayah, sembari mengetuk daun pintu kamar.

"Ya, Ayah. Baru saja," jawabku, seraya keluar kamar.

"Masih ada kerjaan, Nak?"

"Ada apa, Ayah? Mau aku hidangkan makan malam?" tanyaku, dengan senyuman mengembang.

Ayah duduk di kursi tua peninggalan nenek. Sudah tampak lapuk, tetapi tetap kuat jika diduduki. Mak pernah bercerita kalau kursi itu lebih tua darinya. Bayangkan saja, jika Mak masih hidup, usianya sudah hampir empat puluh tahun.

Sudah setahun aku dan ayah ditinggal Mak. Benda itu masih awet bersama kami. Terlihat dari kayunya yang cukup kuat. Jati tempo dulu memang lumayan bagus. Hanya saja modelnya tidak sesuai jaman.

"Mmmm, anu--. Udahlah, gak usah. Yuk, kita makan. Ayah sudah laper," sahut Ayah.

Sepertinya bukan makan yang ingin Ayah sampaikan. Ada sesuatu telah beliau simpan, tetapi masih ragu untuk mengatakannya. Apa cerita siang tadi? Kutarik napas panjang, tak ingin kembali lagi mengingatnya. Terpaksa diabaikan.

Meja makan sudah terhidang nasi serta lauk. Ikan sambal goreng dicampur tempe dan tahu. Tak lupa dengan sayur gulai daun singkong ditumbuk sebagai penyelera makan. Jika lauknya seperti itu, nafsu makan Ayah meningkat. Makanya sering sekali memasaknya, agar kondisi tubuh pria tangguh itu sehat. Masakan ala kampung bergizi tinggi.

"Zeyn, sudah setahun Mak kamu pergi. Apa kamu nggak merasa kesepian?" tanya Ayah, di sela-sela nasi masih dalam mulut sedang dikunyah.

"Emang kenapa, Ayah? Ada niat menggantikan posisi Mak?" tanyaku balik pada Ayah.

"Enggaaak. Kok, kamu langsung ngomong begitu, sih? Kamu ingin Ayah melupakan Mak kamu? Jangan bercanda, deh, Zeyn." Ucapannya membuat hatiku lega.

"Ayah, sih. Ngomongnya aneh. Kek, gak ada bahasan lain aja. Udah, ah. Makan dulu, ntar keselek lagi," sahutku, sambil menuangkan air hangat dari ceret ke dalam cangkir besar miliknya.

Setelah makan malam, Ayah pergi ke warung kopi bersama tetangga. Biasa kalau malam mereka berkumpul sekedar berbagi cerita dan menonton bola di televisi. Sudah tradisi seperti itu.

Paling juga pulang sekitar jam sebelas. Kebetulan jam segitu aku belum tidur, masih berkutat dengan buku diary dan melap Vespa tua yang kini menjadi kesayanganku, agar bersih dan kinclong. Besok pagi tidak perlu lagi membersihkannya. Tinggal berangkat ke mana pun pergi.

Mata ini sudah tidak bisa lagi dikondisikan, sangat mengantuk. Semua sudah rapi dan bersih. Aku menghempaskan tubuh ke atas kasur. Si Mumus--kucing jantan berwarna hitam putih--telah mendahului. Kucing itu dipelihara sebelum Mak meninggal. Almarhumah senang memelihara kucing sejak masih kecil. Beliau bilang hidup akan diberi keberkahan bila menyayangi hewan itu. Sampai saat ini aku mengikuti jejak Mak.

Setiap pesan orang terdekat sangat penting bagiku. Apalagi tentang ajaran dalam hidup. Satu-satunya nasihat terbaik adalah dari keluarga. Tidak ada orang tua yang ingin keturunannya terjerumus atau masuk ke lembah tak berguna.

Sudah saatnya menyelamatkannya karena jaman sudah berubah. Banyak sekali tingkah laku manusia yang tidak lagi sesuai aturan.

Terakhir jam dinding kulihat pada pukul setengah dua belas malam. Lalu aku tertidur dan lupa segalanya.

"Nek! Nenek! Tunggu, Nek!" teriakku, sembari berlari mengejar wanita tua yang persis kutemui di pinggir jalan waktu itu.

Nenek itu terus berjalan meninggalkanku tanpa menoleh ke belakang. Langkahnya semakin kencang seperti berlari kecil. Jelas saja aku merasa kesusahan mengejarnya karena menggunakan rok sempit.

"Nenek! Tunggu aku!" teriakku lagi.

Si Nenek tetap tak menghiraukan. Tubuhnya menjauh lalu hilang dari pandangan. Bola mata ini membulat sempurna ketika melihat sosoknya kembali ditemukan. Memastikan kalau dia mendengarkan panggilanku.

"Nek! Nenek!" Semakin kukencangkan langkahku, dia pun beranjak pergi lagi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status