JumlahKata1119
Bab 1
'Rumah dijual.'
Tulisan itu terpampang membuat mata ini melotot. Tak bisa mengalihkan pandangan ke arah lain. Bodoh sekali orang yang mau menjual rumah itu. Bukan hanya karena rumah itu besar, tapi indah, pekarangan luas, strategis, dan antik.
Andai saja uang tabunganku cukup dengan merogoh kantong, pasti sudah dibeli. Apalagi rumah itu cocok untuk bersantai di rerumputan dekat pohon yang rindang. Tentunya akan lebih nikmat bersantai dengan orang yang disayang. Khayalan pun melambung tinggi ketika mata ini tidak bisa berpaling.
Lama berdiri di sana hanya untuk membaca plang sambil mengawasi sekitarnya. Menakjubkan sekali, pokoknya indah. Belum pernah sebelumnya melihat rumah yang seperti ini. Entah mengapa hatiku tenang bila melihatnya.
"Hei! Bengong aja kamu. Ngapain, Zeyn?" kejut Pak Maman, penjaga kebun rumah itu.
"Ehh, Bapak. Enggak, kok. Cuma mau lihat aja. Pekarangannya bagus, ya," ucapku, sembari tersenyum mengembang.
"Ooh, iya, bener. Sayang 'kan dijual? Padahal siapa yang tinggal di situ rezekinya bagus, lho," ucapnya, seraya memegang gunting bunga.
"Oh, ya? Gak percaya aku. Masa rumah pake bertuah begitu. Serem malah, Pak," sahutku.
"Benerlah, Zeyn. Ngapain juga saya bohong. Sudah dua puluh tahun, lho, saya berada di sini untuk membersihkan pekarangan ini," ujarnya, agar aku mempercayainya.
Aku masih tetap tak percaya dan menganggap semua ucapan beliau hanya kiasan belaka, agar laku terjual. Mana ada rumah bertuah. Bagiku rumah, ya, tetap rumah. Tak ada yang bisa menjadikan kita hebat atau apalah namanya.
"Ya, udah, deh, Pak. Aku pulang dulu. Nanti kalau ada rezeki pasti kebeli." Perkataanku menjadi kalimat perpisahan.
"Jangan lama-lama, ya, Zeyn. Keburu laku, lho," tandasnya.
Tanpa menjawab. Aku berlalu dengan alat transportasi, yaitu; Vespa tua berwarna hijau peninggalan ayah. Masih terbayang dengan aura rumah itu. Indah dan nyaman. Sedikit pun tak bisa hilang dari benak gambaran rumah tersebut. Ada panggilan hati untuk menarik hatiku agar masuk ke sana.
Hari sangat panas. Semua orang terlihat sedikit memejamkan matanya, sambil mengerutkan kening. Terutama aku yang takut kulit wajah ini menghitam akibat teriknya matahari. Sayang sekali jika bedak pemutih bisa kalah dibuatnya. Memang cahaya matahari sangat hebat.
Jalanan macet. Vespa tua milik ayah kubawa dengan penuh hati-hati. Takut kalau penyakit mogoknya kambuh, bisa menginap lagi di bengkel selama seminggu. Bukan hanya itu saja, sudah pasti merogoh kantong yang lumayan banyak.
Jaman sekarang mana ada lagi yang menggunakan Vespa. Mungkin cuma akulah satu-satunya yang masih cinta dengan benda tua dan langka itu. Ayah selalu menyuruh untuk terus mengendarainya agar mesinnya tidak terlalu dingin.
Di persimpangan jalan, saat hiruk pikuk jalanan yang begitu ramai, ada seorang wanita sudah tua sekali. Tergopoh-gopoh dengan tongkatnya. Satu pun tidak ada yang mau menolong. Terpaksa aku turun dari Vespa dan menghampiri demi menyelamatkannya.
Susah sekali hidup di jaman sekarang. Hati nurani hampir punah ditelan kecuekan. Padahal dengan memberikan pertolongan adalah pahala. Namun sayang, pahala tak lagi mereka pikirkan, asalkan bisa menyelamatkan dan memikirkan diri sendiri.
"Nenek mau ke mana?" tanyaku pada si nenek sembari memegang tangan kanannya untuk menyeberang.
"Saya mau pulang, Nak," ucapnya lirih dengan suara parau.
Aku masih tetap memeganginya sebelum benar-benar sampai di tempat khusus pejalan kaki. Bagaimana bisa wanita setua itu berjalan sendirian di tengah kota yang sangat hiruk pikuk seperti ini? Tidak sepantasnya lagi bila dibiarkan tanpa ada yang membopong. Kasihan sekali melihatnya.
Hati ini paling tidak kuat dengan pandangan terbilang aneh menyayat perasaan. Seandainya masa tuaku seperti itu nantinya, alangkah sedihnya. Lebih baik mati saja dari pada hidup menderita karena tiada yang peduli.
Kata menderita bukan karena tak punya materi, tetapi pendamping hidup selain suami atau istri. Bisa saja anak-cucu dengan perhatian penuh. Usia yang tergolong tua sudah pasti susah untuk berjalan dan mungkin mata sedikit rabun.
"Rumah Nenek di mana?" tanyaku kembali untuk mengetahui posisi rumah beliau, sembari kupersilakan duduk di bangku halte.
"Gak jauh, kok, Nak," jawabnya.
Tongkat yang dipegang dia letakkan di atas bangku. Napasnya terengah-engah. Mungkin terlalu capek menyebrang jalan raya. Untungnya lampu merah masih menyala ketika sampai di pinggir jalan. Sedih melihat keadaan wanita yang terkesan dibiarkan oleh keluarga.
"Aku antar pulang, yuk, Nek. Kali aja sekalian silaturahmi dengan keluarga Nenek," ujarku, dengan niat ingin menyampaikan uneg-uneg pada salah satu anaknya yang tinggal bersamanya.
"Tapi, Nak. Rumah Nenek gak jauh lagi, kok. Paling tinggal beberapa meter saja." Suara itu terdengar jelas meski gemetar.
Ada sedikit keanehan terlihat dari gerak-gerik tangan beliau. Mata ini tak henti-hentinya menoleh ke arah jemarinya yang sedang bermain dengan cincin. Sebuah benda yang melingkar di jari manis. Selalu dielus, sesekali didaratkan di bibir tua yang mengkerut.
Cincin itu sepertinya sudah terlalu lama. Terlihat dari bentuk dan warna, tapi cantik dan unik. Dia memiliki benda tua yang sangat disayangi. Beda dengan aku, paling malas memakai benda seperti itu. Risih karena serasa dijepit. Kadang banyak orang merasa lucu dengan karakterku. Mereka bilang wanita aneh, kendaraan juga Vespa, warna hijau pula, bukannya warna yang disukai cewek pada umumnya.l, merah muda misalnya.
Pria mana yang mau dekat dengan seorang Zeyn? Berperawakan seperti laki-laki, suka nongkrong dengan para pemakai Vespa. Rata-rata penggunanya adalah lelaki. Cuma aku sendiri perempuan. Meskipun begitu, masih sering mengenakan rok di bawah lutut. Itu juga atas perintah ayah.
Tak lama, wanita tua itu berpamitan untuk segera pulang menuju rumahnya. Ingin menawarkan jasa, tapi beliau menolaknya. Dia tidak mau terlalu ketergantungan oleh siapa pun. Sudah hampir setahun hidup sendiri tanpa keluarga. Begitulah cerita yang disampaikan ketika kami duduk berdua.
Mata ini hanya bisa menahan panas mentari. Melihat ke arah jalan yang begitu cerahnya membuat mata ini menyipit dan tidak tahan dengan pantulan sinar kaca dari ruko yang berbaris rapi.
Sakit sekali rasanya mata ini, merah, ditambah lagi dengan debu jalanan yang berterbangan. Sungguh salut dengan para pengamen dan pengemis yang masih saja bertahan di jalanan sekadar untuk menyumbangkan lagunya untuk mendapatkan duit.
Terlihat juga di sana seorang tukang parkir duduk di samping sepeda motor yang sedang dia jaga. Merasa kelelahan sambil melap keringat di kening dengan anduk kecil yang dia selempangkan di leher.
Ada rasa iba menghampiri hati ketika melihat mereka sedang mencari uang dekat jalanan dan di bawah terik panas matahari.
Ekonomi memang harus terus dikejar demi menghidupi diri sendiri dan keluarga. Mencari sesuap nasi itu bukanlah gampang sebenarnya. Dari beberapa yang dipantau, bagi mereka yang bukan di dalam ruangan pekerjaannya, penghasilan mereka lumayan banyak. Itu juga aku dapatkan dari seorang pengemis yang pernah bercerita saat menanyakan tentang pekerjaan mereka.
Vespa yang sudah tua itu aku bawa kembali pulang. Segera untuk beristirahat di rumah. Semakin lama panasnya tidak bisa kutahan. Perut mulai terasa lapar. Tadi pagi hanya memakan dua buah goreng pisang dan secangkir kopi sebagai pengganjal. Setiap pagi begitulah sarapan yang kulakukan. Beda dengan ayah, sarapan menggunakan nasi.
Sekitar sepuluh menit sampai di rumah. Kaki ini dilangkahkan ke arah dapur dan menghampiri meja makan. Sudah saatnya mengisi perut, cacing pun sudah tak nyaman berada di tempatnya. Tiba-tiba terdengar suara ketukan dari pintu dapur. Suara itu sangat keras. Bahkan terdengar buru-buru.
--bersambung--
Bab 2Tak henti gedoran itu terus dilakukan. Perut yang tadinya begitu lapar, kini hilang seketika. Cacing dalam perut pun mendadak aman karena mendengar ketukan itu.Sebelum membuka pintu, aku mengintipnya terlebih dahulu dari sebuah lubang dinding yang sedikit berlubang. Rasa penasaran semakin memuncak ketika pintu juga ditendang dengan kaki."Tunggu, Ayah," ucapku seraya membuka pintu.Begitu terbuka, pintu itu langsung ditendang sekuatnya. Aku bingung kenapa Ayah terburu-buru seperti ketakutan. Tidak pernah terjadi sebelumnya, biasanya Ayah adalah tipe pria pemberani. Bingung dengan keadaan yang dialami olehnya. Diri ini jadi ikut takut dengan melihat gelagat pria pertama yang aku cintai itu melakukan hal aneh.Beliau langsung masuk ke kamar. Setelah itu tak tahu lagi apa yang dilakukannya di dalam sana. Aku hanya menunggu kabar darinya. Ada apa sebenarnya yang baru terjadi?
Bab 3Kakiku terasa lemas karena terus mengikutinya. Semakin dikejar sosok itu semakin jauh dan susah untuk diraih. Menyerah, kalah, dan mengalah sepertinya. Hanya untuk mengelabui saja. Selepas dari pandanganku ada sesuatu yang tersirat. Hanya saja belum mengetahui apa itu.Aku merasa ini sangat aneh. Ada antara nyata atau tidak. Sedikit pun tidak disadari."Zeyn, tunggu! Kamu mau kemana, Nak?" tanya Ayah, sembari mengejarku.Aku tetap saja tidak peduli dengan panggilan Ayah. Menurutku panggilan itu tak perlu aku dengarkan. Saat ini yang terpenting adalah bagaimana caranya agar bisa bertemu dengan sosok wanita tua.Kaki yang masih lelah dan lemas tetap dipaksa untuk melangkah mencari keberadaannya. Keinginan yang kuat itu sangat beralasan karena rasa penasaran yang tak kunjung padam. Ketika hendak berlalu lagi, tiba-tiba tanganku ditarik oleh Ayah. Aku melepaskan pegangan itu.
Bab 4Entah kenapa, ketika melihat cincin itu ada keanehan yang kurasa. Mulai dari jantung berdebar hingga darah di dada berdesir. Entah apa yang terjadi padaku. Sungguh semua ini murni tanpa kuduga.Andai saja cincin ini punya nilai yang tinggi mungkin aku bisa menjualnya untuk membeli keperluan. Namun, merasa tidak berhak melakukannya karena bukan milikku.Lama kupandangi benda yang bisa disematkan di jari. Memerhatikan bentuknya, di jaman begini masih ada saja cincin aneh seperti itu terlihat.'Pasti ini bukan cincin sembarangan,' gumamku, sembari memakaikannya di jari manisku.Indah sekali, tepat di jari manis yang begitu terlihat elegan. Tak ingin melepasnya, tetapi itu tak mungkin kulakukan. Ayah dan Mak berpesan, "Jangan pernah menikmati benda yang bukan milikmu, Nak. Tidak baik." Itulah sebabnya mengapa aku tidak mengambilnya. Hanya saja disimpan, mana tahu ada yang menca
Bab 5Bab 5Setelah kurir itu pergi, kotak kecil dibuka dengan tak sabar. Penasaran dengan isi dan siapa orang yang berbaik hati memberikan sesuatu padaku. Ada rasa takut bercampur senang. Kedua rasa itu bercampur aduk menjadi satu.Berlahan melepaskan perekat dari benda tersebut. Hati berdebar saat isi kotak kecil itu terlihat. Ternyata sebuah arloji mewah dan buku diary yang telah berisi catatan kecil.Sungguh aku terkejut dengan buku diary bertuliskan tentang kisah percintaan sama persis denganku dan seseorang. Di sana terpampang namaku dan beberapa sifat dan sikap yang aku miliki. Bukan hal yang aneh sebenarnya, akan tetapi heran siapa gerangan yang mengirimkan bingkisan ini.Sepertinya dia sudah mengenal dekat dan bahkan mengetahui semua karakter yang aku punya. Dari halaman depan hingga di lembar kelima sepertinya aku mulai mengetahui siapa kira-kira yang menulis diare itu.
Bab 6Akhirnya sampai juga di rumah Tulang. Tulang adalah sapaan untuk saudara laki-laki dari Mak. Abang atau adiknya, maka dipanggil Tulang. Ya, namanya orang Sumatera Utara, sudah pasti memiliki sapaan khas karena juga memiliki marga dalam suku.Sepupu perempuan yang sebaya denganku, mengajak untuk pergi ke rumah temannya. Masih capek sebenarnya, tetapi demi dia aku menerima ajakan itu. Bosan juga dengan berbincang pada penghuni rumah.Kendaraan sepeda motor matic berwarna merah dilaju dengan kencang. Dina seorang gadis yang berprofesi sebagai dokter sangat ramah dan rendah hati. Tak pernah merasa kaya dan sok hebat karena telah menjadi seorang dokter muda cantik. Gadis sepertiku sangat dia hormati. Terlihat dari gerak-gerik bila bersamanya.Rumah mewah telah di depan mata. Mobil juga banyak yang terparkir di halaman. Sudah pasti bukan mobil biasa. Ada Fortuner, Pajero sport, dan lainnya yang tidak
Bab 7Ponsel berdering dan kuabaikan saja. Panggilan itu datang bertubi-tubi sampai akhirnya dia menyerah dan berhenti menghubungi lagi.Sebuah pesan singkat WhatsApp masuk. Sungguh terkejut dengan isi pesan itu. Hati gundah tidak karuan. Semudah itu Naya bisa mencerna suara orang lain."Papa ... siang ini aku dan Zeyn ke Aek Siraisan, ya? Udah lama gak ke sana. Boleh, Pa?" tanya Naya, dengan suara manja."Kalian berdua?" jawab Tulangku, tanpa melihat ke arah putrinya."Ya, iya lah. Sama siapa lagi? Papa ...," rengek Naya.Sedikit pun pria bertubuh kekar itu tak bergeming dengan rengekan Dina. Sebab masih asyik bercerita dengan ayahku. Begitu pun, dia tetap merengek dan berharap permintaannya diiyakan."Pa, Papa ...," rengek Dina pada papanya."Apa, Din? Ya, udah. Pergilah sama Zeyn, tapi ingat! Jangan macem-macem, ya
Bab 8"Kalau kamu suka, ya, ungkapkan. Toh, mereka masih calon tunangan kan? Masih ada kesempatan, tuh," pungkasku.Dina diam sambil tersenyum sendiri dengan apa yang dia pikirkan. Mungkin sudah terlalu cinta. Bodo amat menurutku, tidak ingin terlibat dengan ini.Setelah banyak bercerita tentang perasaan Dina ke Nunu, akhirnya mata ini mulai tak bisa dikondisikan. Lelah sekali, tidur salah satu solusinya karena sudah larut malam."Nak, ikut Nenek, yuk."Suara itu seperti tak asing lagi. Mata diliarkan mencari arah ucapan. Namun, belum tertangkap netra ini. Sungguh aneh."Nenek di mana? Nek ... Nenek!" teriakku."Nenek di sini, Nak. Ke marilah."Tiba-tiba dia sudah ada di hadapanku. Heran, siapa sebenarnya wanita tua itu? Selalu saja datang menemuiku dalam keheningan malam. Apa yang dia inginkan dariku?
Bab 9[P.][P.][P.]Tidak juga berubah, tetap centang satu. Ponsel diletakkan di atas meja makan. Rumah yang sudah lebih seminggu kutinggalkan, akan segera dibersihkan karena debu sudah berkuasa menyelimuti beberapa benda yang ada. Terutama si Vespa kesayangan. Sudah tak sabar mengajaknya raun berkeliling sekedar menghilangkan rasa jenuh.Ponsel berbunyi, kuraih benda pipih berwarna hitam itu dan melihat panggilan dari siapa. Ternyata Naya."Zeyn, maaf, ya. Tadi lagi nelepon Nunu. Maklumlah, calon tunangan yang terganteng sedunia. Hahaha," ucapnya, sembari tertawa kecil."Owh, ya, udah. Eh, emangnya kapan, sih, tunangannya? Lama amat, deh," tanyaku, sebab Nunu mulai tak serius menanggapi hubungannya dengan gadis yang sangat mencintainya itu."Tau, tuh. Ya, menunggu keputusan dari Nunu. Toh, semua dia yang memutuskan, bukan aku atau siapa pun, Z