Share

Antara Simon, Riska, pak Hugo dan Niki.

Jam menunjukkan pukul 10 malam. Simon masih juga di apartemen Riska. Mereka berdua menonton televisi sambil menikmati snack dari pak Hugo. Riska nampak lebih baikan saat itu. Matanya sudah tidak kelihatan bengkak lagi dan tadi dia juga sudah mandi.

“Kamu enggak balik keapartemen kamu, Mon?” tanya Riska.

“Hah, kamu ngusir aku, Ris?” tanya Simon dengan terkejut.

“Ih, apaan sih kamu, Mon. Pura-pura terkejut lagi.” Riska menimpuk Simon dengan boneka kecil miliknya yang sedari tadi dipeluk.

“Ya, aku kirain kamu udah bosan lihat aku di sini, jadi kamu ngusir aku secara halus gitu.” kata Simon sambil tertawa.

“Pikiran kamu tuh yang negatif. Dasar!” jawab Riska.

Riska kembali fokus menonton televisi sambil memakan snack miliknya. Simon memandangi Riska. Riska yang merasa diperhatikan, kini menoleh kearah Simon. Dia merasa risih.

“Apa? Kenapa lihat aku begitu?” tanya Riska bingung.

“Ini kan malam Minggu, Ris.” kata Simon.

“Iya, terus?” tanya Riska bingung.

“Kamu kan enggak kerja, pasti biasanya Roy datang ke sini. Bahkan kalau kamu kerja aja, pasti dia datang buat sekedar lihat kamu. Hari ini kok dia enggak datang?” tanya Simon sambil memandang Riska dengan raut wajah yang menyelidik.

Riska langsung kaget. Dia berusaha secepat mungkin menguasai dirinya. Dia tidak mau sampai Simon tahu bahwa sebenarnya dia sudah selesai dengan Roy.

“Iya, Roy lagi lembur, jadi enggak bisa ketemu aku.” jawab Riska.

“Oh, gitu. Terus aku boleh enggak nanya sesuatu sama kamu?” kata Simon.

Riska mengangguk.

“Kamu nangis, ya?” tanya Simon.

Riska tahu kemana arah pembicaraan Simon. Dia pura-pura tidak tahu.

“Maksud kamu?” tanya Riska.

“Semalam kamu nangis, ya? Kamu ada masalah? Apa sekarang kamu udah bisa cerita? Aku sengaja tadi enggak bertanya banyak, biar kamu baikan dulu. Aku Cuma mau bilang, kalau kamu ada masalah, kamu bisa cerita sama aku. Jangan di simpan sendiri. Selama ini aku selalu berbagi cerita apapun sama kamu. Dan kamu selalu ada. Aku juga mau, kamu jangan ada yang ditutup-tutupi dariku. Aku bakalan selalu ada buat kamu, kok.” kata Simon dengan serius.

Riska membeku. Dia bingung harus bagaimana. Dia memandang Simon. Dilihatnya Simon menunggu jawaban darinya. Tatapan Simon seakan memojokkannya untuk berterus terang.

“Aku ... aku cuma terharu sama film yang aku tonton tadi malam, Mon. Filmnya sedih banget. Sampai-sampai aku malu buat ngasih tahu kamu tadi pagi. Dan aku juga malu kalau berangkat bekerja dengan keadaan begitu. Pasti kamu enggak percaya kan sama aku.” ucap Riska dengan wajah yang dibuat serius agar Simon percaya padanya.

“Riska, kamu itu enggak jago akting. Akting kamu jelek banget, sumpah. Mendingan kamu jujur aja deh.” desak Simon.

Setelah diam sejenak dan menghindar kontak mata dengan Simon, akhirnya Riska buka suara.

“Aku putus sama Roy, Mon.” ucap Riska dengan lirih.

“Apa? Kok bisa?” tanya Simon dengan terkejut.

“Ehm ... Roy cemburu sama kedekatan kita. Dia merasa kalau kita sebenarnya ada sesuatu. Maaf ya, bukan maksud aku buat kamu jadi enggak enak, tapi emang itu kenyataannya.” ucap Riska dengan kepala menunduk.

Simon terdiam sejenak. Dia berpikir, ternyata semalam Riska menangis karena putus dengan Roy. Dan itu karena dirinya. Dia benar-benar merasa tidak enak.

“Aku minta maaf ya, Ris. Apa aku bisa ketemu Roy? Biar aku jelasin kalau kita enggak ad hubungan apa-apa. Kamu enggak perlu enggak enak sama aku. Seharusnya aku yang enggak enak.” kata Simon.

“Enggak usah, Mon. Semua udah terjadi. Aku juga enggak nyalahin kamu, kok. Roy aja yang terlalu cemburu. Yah, mungkin memang harus begini takdirnya. Tadi aku udah coba buat ngomong lagi sama Roy, tapi dia tetap tidak mau lagi.” ucap Riska.

Tanpa sadar mata Riska berkaca-kaca. Dia menundukkan kepala. Suara isakan mulai terdengar. Simon merasa tidak enak dibuatnya.

“Kamu yang sabar, ya. Mungkin memang kita harus sedikit menjaga jarak, siapa tahu dengan begitu nanti Roy bisa balik lagi. Dan aku juga sedang berusaha mendekati Niki. Aku takut juga kalau nanti kedekatan kita membuat Niki salah paham. Kamu tenang aja, kita tetap berteman dan jangan sungkan untuk minta bantuan. Kamu yang kuat ya, Ris.” kata Simon sambil mengusap punggung Riska untuk menenangkan.

Riska hanya mengangguk. Kini dia kembali bersedih. Dia tidak dapat berkata-kata lagi. Simon akhirnya berpamitan untuk balik ke apartemennya. Dia mengingatkan Riska agar tidur lebih awal dan tidak perlu terlalu memikirkan hal itu lagi. Simon takut jika Riska sampai sakit. Setelah itu dia pergi dari apartemen Riska.

Sepeninggal Simon, Riska masuk ke dalam kamarnya. Dia menangis lagia sambil membuka galeri foto yang ada di ponselnya. Dia melihat foto-foto kebersamaannya dengan Roy. Dia semakin bersedih. Akhirnya setelah puas menangis, Riska memutuskan untuk segera tidur. Sebab, esok pagi dia harus bekerja. Sebelum tidur ia mengompres matanya agar keesokan paginya tidak membengkak.

Pagi harinya, Riska terbangun tepat pukul 7 pagi. Dia langsung beranjak kearah cermin untuk melihat matanya. Tidak terlalu bengkak. Dia lega. Riska bergegas ke dapur untuk membuat teh hangat dan menyiapkan roti selai. Setelah itu dia kembali ke dalam kamarnya untuk mengambil handuk, lalu masuk ke dalam kamar mandi untuk mandi. Setelah selesai Riska kembali ke meja dapur untuk memakan roti selai yang dibuatnya tadi dan juga minum teh hangat agar perutnya tidak kosong. Riska sudah biasanya sarapan hanya seperti itu. Siang harinya baru dia akan makan nasi. Hari itu dia menggerai rambutnya. Riska terlihat lebih cantik saat membiarkan rambutnya terurai.

Dia keluar ruang apartemennya. Dilihatnya kamar apartemen Simon. Dia hendak pergi bersama Simon tapi dia mengurungkan niatnya. Akhirnya dia pergi berangkat kerja sendirian. Hari Minggu pagi itu sangat sejuk. Orang-orang banyak yang berolahraga. Bersepeda. Lari pagi. Ada juga yang sedang bersiap-siap untuk berekreasi. Riska agak sedikit iri melihat orang-orang itu. Mereka bisa menikmati hari weekend, sementara dirinya harus tetap bekerja.

Saat sampai ditempat kerjanya, Riska langsung kekuar dan membayar taksi yang ia naiki. Riska langsung masuk ke dalam cafe itu. Saat dia hendak memakai celemek yang biasa ia gunakan, tiba-tiba Pak Hugo menghampirinya. Dilihatnya juga Simon ternyata sudah ada di cafe itu.

“Selama pagi, Riska.” kata Pak Hugo sambil tersenyum.

“Eh, pagi, Pak.” jawab Riska.

“Bagaimana keadaan kamu? Sudah baikan?” tanyanya.

“Sudah kok Pak. Oh iya, makasih buat bingkisannya, ya.” kata Riska dengan tulus.

“Sama-sama. Kalau gitu syukurlah. Kamu boleh bekerja dan tidak perlu terlalu dipaksakan, kalau capek, kamu boleh istirahat sebentar.” kata Pak Hugo.

“Baik Pak. Sekali lagi terima kasih.” Ucap Riska dengan senyuman.

Seharian bekerja Riska dan Simon tidak saling bicara. Selain karena memang hari itu cafe sangat ramai pengunjung, dikarenakan juga Simon seperti menjaga jarak kepada Riska. Riska tidak ambil pusing akan hal itu. Dia cuek.

Saat sore hari tepat pukul lima sore, orang yang dinantikan Simon tak kunjung datang. Simon selalu menantikan kedatangan Niki. Meski dihari Minggu pun, Niki akan tetap datang untuk nongkrong sebentar saja di cafe itu dan biasanya memesan coklat panas, sebab itu adalah weekend. Namun yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang sampai jam setengah enak sore. Riska memperhatikan kegelisahan di raut wajah Simon. Riska akhirnya memutuskan untuk menghampiri Simon saat dia sedang longgar melayani tamu.

“Kamu nungguin Niki, ya?” tanya Riska.

Simon mengangguk.

“Kamu kok jadi diamin aku sih, Mon? Mungkin Roy memang salah paham sama kamu dan kedekatan kita, tapi kamu enggak perlu jadi diamin aku gini juga, dong. Kamu jahat banget, sih.”

“Enggak kok, aku Cuma jadi enggak enak aja, Ris. Gara-gara aku hubungan kamu sama Roy jadi kandas. Kita tetap berteman kok, cuma ya kita ngobrol kalau emang ada yang mau ataupun penting untuk diobrolkan aja.” jawab Simon.

“Kok, kamu gitu sih, Mon?” tanya Riska dengan wajah mendung.

Simon bukannya menjawab, dia pura-pura sibuk menyiapkan minuman pesanan tamu. Bersamaan dengan itu, pintu cafe terbuka dan ada tamu yang datang lagi. Pengunjung Semakin ramai. Itu Niki, dia datang lebih lama rupanya. Dia bertabrakan dengan Pak Hugo saat didepan pintu. Kertas-kertas yang dibawa oleh Pak Hugo akhirnya berhamburan. Niki dengan cepat meminta maaf dan membantu memunguti kertas-kertas itu.

“Aduh, maaf. Saya tidak sengaja.” kata Niki sambil berjongkok mengambil kertas yang ada didekat kakinya.

“Tidak apa-apa, kok.” jawab Pak Hugo yang juga memunguti kertas miliknya yang berjatuhan.

Niki kemudian memberikan kertas yang diambilnya kepada Pak Hugo. Dia memandang lelaki itu. Dia terpukau dengan ketampanan Pak Hugo. Rahang wajahnya yang tegas dan dadanya yang bidang serta penampilannya yang rapi membuat Niki terkesima. Setelah mereka saling tersenyum, Pak Hugo pergi dari cafe itu. Niki berjalan mencari meja yang kosong. Lagi-lagi meja kosong ada didekat bar. Akhirnya dia melewati bar duduk dimeja pilihannya. Simon melemparkan senyum kepada Niki. Niki tersenyum seadanya dan memanggil pelayan. Datanglah Riska. Seperti biasa, pesanannya adalah coklat panas ditambah seporsi cake untuk cemilan. Saat Riska hendak pergi, Niki menahannya.

“Maaf, saya ingin bertanya. Kamu tahu tidak siapa yang tadi bertabrakan dengan saya di pintu masuk tadi? Sudah sering saya lihat dia ada di sini. Aap dia juga pelanggan tetap cafe ini? Kamu lihat kan yang tadi itu?” tanya Niki.

Riska yang memang melihat kejadian itu langsung mengerti dan menjawab.

“Oh, itu pak Hugo. Dia owner di cafe ini. Apa ada masalah, Mbak?” tanya Riska.

“Ah, tidak. Saya pikir dia pelanggan tetap cafe ini. Jadi, dia pemilik cafe ini, ya. Apaka dia datang setiap hari ke cafe ini?” tanya Niki.

“Iya, setidaknya dalam seminggu pak Hugo pasti datang 4 kali kunjungan.” jawab Niki.

“Oh, baiklah. Makasih kalau gitu, pesanan saya boleh disiapkan.” kata Niki sambil mempersilahkan Riska untuk melanjutkan pekerjaannya.

Riska pergi membawa daftar pesanan Niki pada kasir. Kasir mencatat untuk keperluan pembayarannya nanti, lalu print pesanan keluar kearah mesin yang ada di bar. Simon mengambilnya dan menyiapkannya. Saat Simon sedang membuat pesanan Niki dia menambahkan sebuah kertas yang bertuliskan 'selamat menikmati' disamping pesanan itu dengan kertas note yang sudah ditulisnya. Riska melihat itu dan tersenyum melihat Simon. Dia pergi membawa nampan berisi pesanan Niki dan diantarkannya ke meja Niki. Saat meletakkan pesanan itu, Niki langsung melihat kertas itu dan melihat Riska. Riska tersenyum dan dia berkata kepada Niki.

“Itu dari teman saya. Dia baristanya, yang itu. Dia hanya berusaha ramah dan menyenangkan tamu dengan servis seperti ini.” kata Riska sambil menunjuk Simon.

Simon yang melihat Riska dan Niki melihat kearah dirinya, melontarkan senyuman. Tepatnya untuk Niki. Niki meresponnya dengan baik.

“Oh, jadi dia. Apa dia laki-laki yang baik?” tanya Niki sebelum Riska pergi.

“Ya, tentu saja dia orang baik.” jawab Riska dengan tegas.

Lalu Riska pergi melanjutkan pekerjaannya. Saat Riska melewati Simon, Simon bertanya.

“Dia bilang apa, Ris?” tanya Simon.

“Cari tahu aja sendiri.” ucap Riska dengan senyum mengejek.

Riska sengaja tidak memberitahu Simon agar dia penasaran.

Sepanjang Niki masih ada di cafe itu, Simon tak henti-hentinya memandang Niki ditengah-tengah kesibukan ia bekerja. Niki benar-benar cantik. Dia anggun. Sampai-sampai Simon tak mau memalingkan pandangannya barang sebentar saja. Sungguh Niki adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status