Cahaya matahari menyeruak masuk kedalam sebuah ruangan putih yang tenang, dikelilingi cermin tinggi di setiap sisinya. Di tengah ruangan itu, Na berdiri di atas podium kecil. Memakai gaun putih dengan potongan sederhana dan memperlihatkan tulang selangkanya yang indah, begitu sempurna melekat di tubuh mungilnya.
Sementara itu, dari sofa panjang di sisi ruangan, Evan mengamati dalam diam. Matanya tidak pernah lepas dari sosok itu. Bukan karena kagum, tapi karena sebentar lagi, ia akan menghapus senyuman di wajah gadis itu, selamanya. “Bagus nggak?” Na menatap Evan, wajahnya tersipu malu saat Evan menatapnya dengan dalam, tanpa tahu arti dibaliknya. Pria itu tersenyum lembut. Seolah tak ada satu pun kejahatan di balik matanya. “Kamu cantik banget, sayang. Sempurna.” Pria jangkung itu bangkit, menghampiri Na, lalu berdiri di belakang gadisnya yang tengah menatap cermin, membuat tinggi badan mereka terlihat kontras. Tangannya menggenggam jemari gadis itu, tatapan mereka bertemu di kaca. "Sebentar lagi, kamu bakal jadi milik aku. Sepenuhnya." ----- Riki melempar bungkus rokok ke meja dengan gusar. "Jadi beneran dia nikah minggu depan?" Kael menyandarkan kepala ke tembok. "Dia udah siapin semua. Venue, undangan, katering. Gak ada celah buat nahan." Juan mengacak rambutnya. "Anjing... kita bener-bener biarin ini kejadian?" Riki menggeleng pelan. "Kita bukan biarin. Kita cuma... gak bisa nyetop dia." Diam sejenak, lalu kael bersuara: "Lo sadar gak sih, kita bakal datang ke pernikahan yang kita tahu bakal jadi neraka buat si cewek itu?" Kael menyulut rokok barunya. “Tapi kayaknya ya.." gumamnya, “kalau emang dia sebenci itu sama Na, dia gak bakal pilih jalan ini.” Ia menatap Riki. “Bisa aja dia beneran jatuh cinta tanpa sadar, kan?” Riki mendengus pelan. “Lo percaya Evan bisa cinta sama cewek yang dia anggap sebagai pembunuh nyokapnya?” Kael terdiam, tampak berfikir. “Gak tau juga bro..Tapi cara dia sekarang, minta nikah buru-buru, ngejagain Na ketat banget, itu bukan cuma dendam, Rik. Itu...kayak ada sesuatu yang lebih dalam.” Juan ikut nimbrung, suaranya datar. “Obsesi.” Tak ada yang menjawab. Suasana tampak hening, mereka larut dalam pikiran masing-masing. ---- The Wedding of Evan Raegar Mahesa & Navriena Carabella 10 Agustus 2024 Private Ceremony | Jakarta Evan berdiri dengan jas hitam yang pas di tubuhnya, senyum tampannya terlihat sangat tulus ke para tamu yang datang. Musik lembut mengalun, meja bundar tertata rapi dengan taplak linen dan dihiasi bunga lily segar yang membuat tatanan terlihat anggun. Alunan musik dari piano mengisi udara, pelan dan klasik. Tamu yang hadir tidak banyak. Hanya pihak keluarga, sahabat dekat, dan kolega pilihan. Tak terlalu ramai, karena tak semua orang diundang. Namun suasana tetap terasa eksklusif dan mewah. Sesuai dengan rencana Evan, semua tampak sempurna. Di barisan belakang, Riki, Kael, Juan, Sean, Ian, dan Jayden berdiri diam.Tak satu pun dari mereka bisa ikut tersenyum. Karena mereka tahu, pernikahan ini bukan awal bahagia. Riki menunduk, menahan napasnya yang terasa berat. Sementara Kael berdiri disamping Riki, matanya terpaku saat musik perlahan mengalun dan Navriena, sang pengantin wanita mulai melangkah masuk, digandeng oleh pamannya. Langkahnya ringan, nyaris tanpa suara, tapi cukup untuk membuat semua orang berdecak kagum hanya dengan menatap gadis dengan gaun putih yang jatuh sempurna mengikuti gerak tubuhnya. Gaunnya tidak berlebihan, tapi setiap detailnya, bordir tipis, lapisan tulle lembut, sentuhan kilau di sekujur gaun. Membuatnya tampak seperti seoang dewi yang disulam jadi nyata. Senyum manis terukir di bibir Na saat menatap pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Senyum yang begitu percaya, begitu bahagia. Satu per satu tamu berdiri, menghormati kehadiran pengantin wanita. Namun dari tempatnya berdiri, Kael, dan kelima lainnya hanya bisa memikirkan satu hal. Gadis polos tak bersalah itu, akan jatuh ke tangan orang yang salah. Dan tepat saat janji suci itu mereka ucapkan di atas altar, sontak para tamu bertepuk tangan meriah. Beberapa tamu tampak tersenyum haru, bahkan ada yang berkaca-kaca. Suasana seolah dipenuhi kebahagiaan tulus dan ikut merayakan dua insan yang mengikat cinta mereka dengan janji suci, dan mengawali hidup baru sebagai suami istri. Tapi tak satu pun dari mereka tahu, bahwa bagi Evan, Ini adalah awal dari penyiksaan yang telah lama ia rancang begitu cincin itu melingkar di jari manis Navriena, Evan tahu, Gadis itu sudah sepenuhnya menjadi miliknya. Tak ada jalan keluar. Tak ada tempat sembunyi. Dan mulai malam ini, Evan tak akan lagi menahan diri. Welcome to the hell, baby.Na masih terduduk di lantai, air matanya mengalir deras. Tangannya berusaha meraih pecahan kalung yang sudah tak berbentuk dan menyebar, meski jari-jarinya tergores serpihan tajam.Evan menatapnya beberapa detik lebih lama, seolah menikmati tapi sekaligus makin terbakar emosi. Dadanya bergemuruh melihat Na yang menangis karena liontin itu hancur.Tak lama, Evan keluar dengan membanting pintu kamar keras-keras.____Evan duduk di dalam mobil, kepalanya menempel di sandaran kursi, napasnya masih berat.Tangannya meraih ponsel, menekan nomor seseorang. Begitu tersambung, suara Evan langsung terdengar dingin dan ketus.“Cariin gue orang. Namanya Raka.” Evan mengatupkan rahangnya, “Gue nggak peduli pake cara apa. Gue harus tau siapa dia dan semua tentang dia."Evan memutus panggilan, lalu mengusap wajahnya kasar. Ada sensasi aneh di dadanya, seperti terbakar, tapi dia menolak mengakuinya.“Liat aja.." gumamnya pelan, “gue bakal cari sampe ke akar soal selingkuhan lo itu.”_____Kamar itu
Pintu rumah terbuka keras. Aroma alkohol samar ikut masuk bersama Evan yang melangkah masuk, kemejanya sedikit kusut, langkahnya tak seimbang namun masih cukup sadar untuk menguasai diri.Na yang duduk di ruang tamu sontak menoleh. Wajahnya pucat, tubuhnya masih terasa panas karena sakit yang belum reda. Namun melihat suaminya pulang larut malam dengan kondisi seperti itu, hatinya makin teriris.“Kamu.. dari mana?” suaranya pelan, hampir tenggelam.Evan menoleh sekilas, tatapannya tajam. “Ngapain nanya? Emang penting?” ucapnya ketus, menendang sepatunya sembarangan hingga berserakan di lantai.Na terdiam sejenak. Ia menunduk, meremas jarinya. “Aku cuma khawatir… Jam segini kamu baru pulang. Kamu...habis minum-minum, ya?”Evan tertawa hambar,“Terus kalo iya? Lo mau apa? Ceramahin gue?” Na menggelengkan wajahnya, “Aku.. aku nungguin kamu dari tadi. Aku cuma pengen pastiin kamu baik-baik aja.”Tatapan Evan berubah gelap. Suara Na menyebut nama lelaki lain dalam tidurnya kembali terngia
Keheningan kembali merayap di kamar saat bi Nani keluar dari kamar. Hanya terdengar detak jam dinding yang berjalan lambat, seolah menertawakan betapa kosongnya ruangan itu. Na menunduk, sendok di tangannya tak kunjung bergerak, membiarkan bubur di meja yang mulai dingin.Na menarik nafas berat. Yang tersisa hanyalah dirinya sekarang. Ingatannya seketika beralih pada laki-laki yang berstatus sebagai suaminya itu. Saat ini sudah menunjukan pukul 11 malam, namun Evan belum pulang. Dan Ia tahu betul bagaimana sikap Evan. Setiap kali ia pulang, yang Evan inginkan hanyalah tubuhnya. Selalu ada tuntutan, seakan keberadaannya hanya sebatas untuk melayani hasrat Evan.Tidak peduli Na sedang lelah, sakit, atau bahkan menangis—Evan akan tetap menuntut, dan menekan dirinya seolah itu memang merupakan kewajiban seorang istri.Dan Na tetap menurut, meski hatinya hancur setiap kali Evan paksa untuk meneguk sebuah pil penghalang kehamilan, karena jika menolak, ia tahu amarah Evan bisa lebih menyaki
Malam itu, Evan pulang lebih larut dari perkiraannya. Rumah gelap, hanya lampu ruang tamu yang menyala temaram. Di tangannya, tanpa alasan yang jelas, ada sebungkus kecil es krim yang ia beli di minimarket dekat basecamp. Bahkan dirinya sendiri heran saat kasir menyerahkan kembalian. Ia tidak ingat benar kenapa bisa tiba-tiba mengambil es krim dari freezer saat mengingat Na sangat menyukai makanan dingin itu.Langkah Evan pelan saat menaiki tangga. Begitu membuka pintu kamar, ia menemukan Na meringkuk di ranjang.Evan mengernyitkan dahinya. Tidak biasanya Na tertidur jam segini. Biasanya ia akan menunggu Evan pulang. Ia meletakkan kantong es krim di meja kecil di samping ranjang, lalu menyalakan lampu tidur agar kamar tidak terlalu gelap. Sekilas, wajah Na terlihat pucat di bawah cahaya kuning redup itu.Dengan ragu, Evan duduk di tepi ranjang. Tangannya terulur, menyentuh dahi Na sekadar memastikan. Seketika, alisnya berkerut lebih dalam. Tubuh Na panas.Evan mendiamkan jemarinya di
Awalnya Evan berencana pergi ke kantor, ada beberapa urusan yang harus ia cek meski tubuhnya belum pulih sepenuhnya. Namun telepon dari Riki mengubah arah langkahnya. Katanya ini bersangkutan dengan Juan dan pacarnya yang dicurigai selingkuh.Di antara mereka, hal-hal semacam ini memang tidak pernah dianggap remeh. Urusan pribadi pun sering kali dibawa ke meja rundingan, seakan-akan nasib satu orang adalah urusan semuanya. Kadang merepotkan, tapi begitulah cara mereka menjaga lingkaran ini tetap utuh. Mobilnya berbelok, bukan menuju kantor, melainkan ke basecamp. Untungnya, posisinya yang punya jabatan cukup tinggi memberinya kelonggaran untuk mengatur waktunya sesuka hati.Mobil Evan berhenti di depan basecamp. Begitu masuk, ia mendapati mereka semua sedang berbincang, membahas hal yang saat ini menjadi hot topic.“Nah dateng juga,” sapa Riki.Evan menjatuhkan diri ke sofa. “Ceritain detailnya.”Ian menghela napas, lalu mulai berbicara, memulai pembahasan, “Tadi pagi gue sama Kael n
Na langsung terlonjak, ia mendorong bahu Evan menjauh, wajahnya merah padam. Di sana, Bi Nani berdiri kaku dengan nampan buah di tangan, jelas tak sengaja menyaksikan momen yang tidak seharusnya.Na nyaris menahan nafas karena malu. Tapi Evan tidak memberi kesempatan. Ia hanya terdiam sejenak sebelum menyambar tubuh Na ke dalam gendongannya.“E-Evan!” Na memprotes panik, tangannya memukul pelan dada Evan.Namun seakan tuli, dengan santai langkah kaki Evan mantap menuju kamar, Meninggalkan ruang tamu dan Bi Nani yang pura-pura sibuk setelah menyaksikan hal itu.Pintu kamar terbanting rapat, Evan mencengkram pinggang Na, mengangkat tubuhnya lebih ke tengah ranjang. Gadis itu menggeliat panik, kedua tangannya menahan dada Evan.“Evan… kamu lagi sakit,” suaranya bergetar.Tapi pria itu hanya menelusuri wajah panik istrinya sejenak, lalu menunduk lagi, mencium leher Na, membuat gadis itu meremang dengan perlakuan Evan. Setiap sentuhan bibirnya meninggalkan bekas kontras pada kulit Na.Tanp