"Gue bakal nikahin dia.”
Setelah Sean dan Ian tiba di Basecamp malam itu, obrolan yang tadinya menggantung berubah jadi rapat tak resmi. Mereka duduk melingkar, masing-masing dengan rokok atau botol di tangan, tapi tak satu pun dari mereka benar-benar menikmati suasana. Topik pembahasan mereka hanya satu. Yaitu, niat Evan menikahi Navriena. Bagaimana tidak? Semua orang di ruangan itu tahu dengan pasti bahwa Evan membenci Navriena. Kebenciannya dalam dan penuh dendam. Mereka juga tahu, Na bukan gadis yang pantas jadi target dari dendam Evan. Bagaimanapun latar belakang ibu Na, gadis itu dikenal sebagai sosok yang baik. Na bukan tipikal gadis yang bermain-main. Dia jujur, sederhana, bahkan terlalu polos untuk berada di dunia Evan dan rencananya yang kejam. "Lo serius, Pan?" Kael bersuara pelan. Evan tidak menoleh. Matanya terpaku pada layar ponsel yang menampilkan foto Na sedang tertidur di bangku taman kampus. foto itu diambil oleh orang suruhan Evan, tanpa sepengetahuan gadis itu. Dalam foto itu, matanya jelas menangkap ada sosok pria yang sedang menatap gadisnya yang sedang terlelap itu, yang tak lain tak bukan adalah Tommy. "Gue harus singkirin orang-orang yang berpotensi buat ngerusak rencana gue nantinya. Dan cara tercepatnya, gue nikahin dia biar dia seutuhnya dalam genggaman gue." “Buat apaan?” Sean akhirnya bersuara. “Biar dia lebih gampang lo hancurin?” Evan tertawa tipis, lalu mengangguk. "Biar dia nggak bisa lari." "Selama ini kita ikut lo, Van," ujar Ian pelan. "Kita tutup mata dan nganggap ini cuma luapan emosi lo yang bakal reda suatu saat." laku-laki berambut coklat tua itu menatap Evan tajam, tapi suaranya lirih. "Tapi kalau lo beneran nikahin dia cuma buat nyiksa... itu bukan cuma lo yang jahat. Itu artinya kita juga iblis, karena diem aja dan biarin lo jalan terus." Mendengar itu, Evan berdiri, membenarkan jaketnya, lalu mematikan rokok dengan ujung jarinya. “Besok gue ketemu nyokapnya. Bilang mau hubungan ini lebih serius. Biar mereka percaya gue tipe cowok yang bisa diajak ke altar.” Tak menanggapi ucapan Ian, Evan berdiri ditengah tatapan tak percaya teman-temannya itu. Riki mendongak, "Lo... mau ketemu nyokap Na? Itu perempuan yang..." "Yang ngancurin keluarga gue, iya." Evan menatap kosong. “Lucu, kan? Gue bakal makan malam sama perempuan yang dulu bikin nyokap gue bunuh diri. Duduk manis, senyum, bilang gue cinta anaknya.” Senyum Evan mengembang. "Setelah itu, tinggal pelan-pelan bikin Na jauh dari siapa pun. Bahkan temen kampus, keluarganya sendiri. Dia bener-bener bakal ngerasa kalo dia cuma punya gue di hidupnya." Evan menatap lekat temannya satu-persatu. "Gue pengen pas dia bilang 'iya' di altar nanti... itu jadi jawaban yang akan dia sesali seumur hidup dia." "Gue gak minta kalian setuju. Gue cuma minta satu hal. Jangan halangin gue." lanjutnya. Tak ada yang bicara. Final, Mereka saling menatap pasrah. Sampai akhirnya Kael hanya bergumam, "Gue gak tahu lo seiblis ini." ----- Navrine berdiri di depan cermin, jarinya bergerak memilih pakaian di lemarinya dengan tangan sedikit gemetar, tak dapat menutupi kegugupannya. Evan bilang ingin bertemu ibunya. “Aku pengen hubungan ini beneran. Gak main-main, sayang.” “Biar Mama kamu tahu, aku serius.” Kalimat itu masih terngiang di telinganya. tentu saja ia senang. Ia masih tak percaya, gadis dari keluarga sederhana sepertinya bisa memiliki Evan, pria tampan, dambaan banyak wanita, yang datang dari keluarga terpandang. Na menoleh ke jendela, saat suara ibunya terdengar menyambut Evan yang baru saja datang. Dan saat itu juga, ia melihat Evan berdiri di ambang pintu rumahnya dengan stelan rapih yang membuat pria itu terlihat sangat tampan. tak lupa dengan senyum sopan dan tatapan mata pria itu yang tampak... kosong. Di ruang tamu, Evan duduk di hadapan ibunya. Obrolan mengalir ringan. Tapi saat perempuan paruh baya berusia 50 tahun itu meninggalkan ruangan untuk menyiapkan makan malam, Evan menyentuh bingkai foto keluarga yang terletak di rak dekat sofa. Tidak ada yang istimewa dari foto yang warnanya sudah mulai pudar itu. Namun mata Evan terpaku pada gadis kecil berambut kuncir dua yang tersenyum polos ke arah kamera. Navriena. Siapa sangka anak sekecil itu, yang dulu mungkin belum mengerti apa-apa, kini berdiri di garis depan rencana balas dendamnya. Tangannya menyapu perlahan debu di permukaan kaca, sudut bibirnya terangkat. "Sayang, ayo kita makan malam." Ucapan Na seperti menyadarkan pria itu. Evan tersenyum dan mengikuti langkah Na menuju meja makan. Ruang makan itu sederhana, tapi Evan akui terasa hangat. Meera, Ibu gadis itu tak berhenti bolak-balik ke dapur, memastikan semuanya tersaji sempurna. Tangannya sibuk, tapi matanya terus melirik Evan dengan senyum yang tulus. Evan duduk tenang di kursi, memandangi semuanya. Senyumnya ramah, berusaha menutupi rasa muak yang nyaris tak bisa ia sembunyikan. “Maaf ya, Evan. Masakannya nggak sehebat restoran. Tapi tante harap kamu suka.” Evan tersenyum tipis. “Saya suka masakan rumahan, Tante. Apalagi Na sering cerita kalo masakan tante enak.” Meera tertawa kecil, lalu duduk di seberangnya. “Tante cuma mau satu hal,” suara wanita merendah. “Selama kamu bener-bener sayang, tolong kamu jaga dia. Dia udah banyak menderita dari kecil, semua ini karena salah tante.” Evan diam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Saya bakal jaga Na, sampai akhir.” Tapi bukan akhir yang bahagia Ibu Na tersenyum lega. Matanya sedikit berkaca-kaca. “Terima kasih, Evan. Tante nggak punya apa-apa buat dibanggakan, selain Na. Terkadang dia memang keras kepala, mungkin gak sempurna. tapi dia selalu berusaha jadi anak yang baik." Evan tersenyum tipis. Seolah penuh empati dan menyerap setiap kata. Ia mengangguk pelan, pura-pura terharu. Tanpa ada yang tahu, di balik matanya yang teduh itu, rasa muak yang menjalar membuatnya hampir mual. Muak dengan suara lembut wanita paruh baya murahan itu. Muak dengan cara Navriena dibesarkan seperti gadis rapuh yang harus dilindungi. Muak dengan keluarga ini yang terus merasa menjadi korban. Padahal di masa lalu, mereka menghancurkan hidup Evan tanpa ampun. Evan menoleh kesamping, tepatnya kearah Na yang baru saja kembali dari dapur. senyum tipis terukir di bibir Evan, jemarinya ia arahkan untuk menggenggam erat tangan gadis yang duduk disebelahnya itu. Sedikit lagi. Tinggal satu langkah lagi, nama mereka akan disatukan dalam ikatan yang tidak bisa dicabut. Saat hari itu tiba, Navriena tak akan bisa lari. Tak akan bisa menghindar, dan tak punya tempat untuk sembunyi. Ketika cincin sudah terpasang di jari manisnya, kehidupan bak Neraka yang sudah Evan siapkan akan benar-benar menantinya.Na masih terduduk di lantai, air matanya mengalir deras. Tangannya berusaha meraih pecahan kalung yang sudah tak berbentuk dan menyebar, meski jari-jarinya tergores serpihan tajam.Evan menatapnya beberapa detik lebih lama, seolah menikmati tapi sekaligus makin terbakar emosi. Dadanya bergemuruh melihat Na yang menangis karena liontin itu hancur.Tak lama, Evan keluar dengan membanting pintu kamar keras-keras.____Evan duduk di dalam mobil, kepalanya menempel di sandaran kursi, napasnya masih berat.Tangannya meraih ponsel, menekan nomor seseorang. Begitu tersambung, suara Evan langsung terdengar dingin dan ketus.“Cariin gue orang. Namanya Raka.” Evan mengatupkan rahangnya, “Gue nggak peduli pake cara apa. Gue harus tau siapa dia dan semua tentang dia."Evan memutus panggilan, lalu mengusap wajahnya kasar. Ada sensasi aneh di dadanya, seperti terbakar, tapi dia menolak mengakuinya.“Liat aja.." gumamnya pelan, “gue bakal cari sampe ke akar soal selingkuhan lo itu.”_____Kamar itu
Pintu rumah terbuka keras. Aroma alkohol samar ikut masuk bersama Evan yang melangkah masuk, kemejanya sedikit kusut, langkahnya tak seimbang namun masih cukup sadar untuk menguasai diri.Na yang duduk di ruang tamu sontak menoleh. Wajahnya pucat, tubuhnya masih terasa panas karena sakit yang belum reda. Namun melihat suaminya pulang larut malam dengan kondisi seperti itu, hatinya makin teriris.“Kamu.. dari mana?” suaranya pelan, hampir tenggelam.Evan menoleh sekilas, tatapannya tajam. “Ngapain nanya? Emang penting?” ucapnya ketus, menendang sepatunya sembarangan hingga berserakan di lantai.Na terdiam sejenak. Ia menunduk, meremas jarinya. “Aku cuma khawatir… Jam segini kamu baru pulang. Kamu...habis minum-minum, ya?”Evan tertawa hambar,“Terus kalo iya? Lo mau apa? Ceramahin gue?” Na menggelengkan wajahnya, “Aku.. aku nungguin kamu dari tadi. Aku cuma pengen pastiin kamu baik-baik aja.”Tatapan Evan berubah gelap. Suara Na menyebut nama lelaki lain dalam tidurnya kembali terngia
Keheningan kembali merayap di kamar saat bi Nani keluar dari kamar. Hanya terdengar detak jam dinding yang berjalan lambat, seolah menertawakan betapa kosongnya ruangan itu. Na menunduk, sendok di tangannya tak kunjung bergerak, membiarkan bubur di meja yang mulai dingin.Na menarik nafas berat. Yang tersisa hanyalah dirinya sekarang. Ingatannya seketika beralih pada laki-laki yang berstatus sebagai suaminya itu. Saat ini sudah menunjukan pukul 11 malam, namun Evan belum pulang. Dan Ia tahu betul bagaimana sikap Evan. Setiap kali ia pulang, yang Evan inginkan hanyalah tubuhnya. Selalu ada tuntutan, seakan keberadaannya hanya sebatas untuk melayani hasrat Evan.Tidak peduli Na sedang lelah, sakit, atau bahkan menangis—Evan akan tetap menuntut, dan menekan dirinya seolah itu memang merupakan kewajiban seorang istri.Dan Na tetap menurut, meski hatinya hancur setiap kali Evan paksa untuk meneguk sebuah pil penghalang kehamilan, karena jika menolak, ia tahu amarah Evan bisa lebih menyaki
Malam itu, Evan pulang lebih larut dari perkiraannya. Rumah gelap, hanya lampu ruang tamu yang menyala temaram. Di tangannya, tanpa alasan yang jelas, ada sebungkus kecil es krim yang ia beli di minimarket dekat basecamp. Bahkan dirinya sendiri heran saat kasir menyerahkan kembalian. Ia tidak ingat benar kenapa bisa tiba-tiba mengambil es krim dari freezer saat mengingat Na sangat menyukai makanan dingin itu.Langkah Evan pelan saat menaiki tangga. Begitu membuka pintu kamar, ia menemukan Na meringkuk di ranjang.Evan mengernyitkan dahinya. Tidak biasanya Na tertidur jam segini. Biasanya ia akan menunggu Evan pulang. Ia meletakkan kantong es krim di meja kecil di samping ranjang, lalu menyalakan lampu tidur agar kamar tidak terlalu gelap. Sekilas, wajah Na terlihat pucat di bawah cahaya kuning redup itu.Dengan ragu, Evan duduk di tepi ranjang. Tangannya terulur, menyentuh dahi Na sekadar memastikan. Seketika, alisnya berkerut lebih dalam. Tubuh Na panas.Evan mendiamkan jemarinya di
Awalnya Evan berencana pergi ke kantor, ada beberapa urusan yang harus ia cek meski tubuhnya belum pulih sepenuhnya. Namun telepon dari Riki mengubah arah langkahnya. Katanya ini bersangkutan dengan Juan dan pacarnya yang dicurigai selingkuh.Di antara mereka, hal-hal semacam ini memang tidak pernah dianggap remeh. Urusan pribadi pun sering kali dibawa ke meja rundingan, seakan-akan nasib satu orang adalah urusan semuanya. Kadang merepotkan, tapi begitulah cara mereka menjaga lingkaran ini tetap utuh. Mobilnya berbelok, bukan menuju kantor, melainkan ke basecamp. Untungnya, posisinya yang punya jabatan cukup tinggi memberinya kelonggaran untuk mengatur waktunya sesuka hati.Mobil Evan berhenti di depan basecamp. Begitu masuk, ia mendapati mereka semua sedang berbincang, membahas hal yang saat ini menjadi hot topic.“Nah dateng juga,” sapa Riki.Evan menjatuhkan diri ke sofa. “Ceritain detailnya.”Ian menghela napas, lalu mulai berbicara, memulai pembahasan, “Tadi pagi gue sama Kael n
Na langsung terlonjak, ia mendorong bahu Evan menjauh, wajahnya merah padam. Di sana, Bi Nani berdiri kaku dengan nampan buah di tangan, jelas tak sengaja menyaksikan momen yang tidak seharusnya.Na nyaris menahan nafas karena malu. Tapi Evan tidak memberi kesempatan. Ia hanya terdiam sejenak sebelum menyambar tubuh Na ke dalam gendongannya.“E-Evan!” Na memprotes panik, tangannya memukul pelan dada Evan.Namun seakan tuli, dengan santai langkah kaki Evan mantap menuju kamar, Meninggalkan ruang tamu dan Bi Nani yang pura-pura sibuk setelah menyaksikan hal itu.Pintu kamar terbanting rapat, Evan mencengkram pinggang Na, mengangkat tubuhnya lebih ke tengah ranjang. Gadis itu menggeliat panik, kedua tangannya menahan dada Evan.“Evan… kamu lagi sakit,” suaranya bergetar.Tapi pria itu hanya menelusuri wajah panik istrinya sejenak, lalu menunduk lagi, mencium leher Na, membuat gadis itu meremang dengan perlakuan Evan. Setiap sentuhan bibirnya meninggalkan bekas kontras pada kulit Na.Tanp