Tak bisa Na bayangkan jika malam ini, Evan, laki-laki yang telah berstatus menjadi suaminya itu akan menyentuhnya.
Bukan karena takut, tapi karena selama hampir 3 bulan mereka pacaran, Evan tak pernah benar-benar menyentuhnya. Hanya kecupan ringan di pipi. Itu pun terasa hati-hati. Pelukan pun nyaris tak pernah. Bahkan saat ia bersandar, Evan selalu menjaga jarak. Na berpikir, mungkin itu tanda bahwa Evan menghargainya. Bahwa ia bukan tipe lelaki yang terburu-buru. Bahwa Evan ingin menyentuhnya hanya saat mereka sudah resmi menjadi sepasang suami istri yang sah. Pikirannya melayang ke banyak hal. Apakah Evan gugup? Apakah dia juga menantikan malam ini seperti dirinya? Na menarik napas, mencoba menenangkan degup yang terlalu cepat di dadanya. Ia bahkan sempat menepuk pipinya pelan, malu pada bayangan dirinya di cermin. Saat ini, ia tengah duduk di pinggir ranjang, mengenakan gaun tidur putih tipis yang dibelinya sendiri minggu lalu. Rambutnya dilepas, dibiarkan jatuh alami. Pintu terbuka. Evan masuk dengan langkah tenang, jasnya sudah dilepas, hanya kemeja putih dengan lengan tergulung dan dasi yang sudah agak kusut. Membuat Na lagi-lagi terkesiap dengan ketampanan pria itu yang memang sulit dibantah. Berusaha menyembunyikan kegugupannya,ia bangkit dari tempat tidur. Berjalan pelan mendekati suaminya itu, "Aku bantuin lepasin dasinya," Jemari gadis itu mengarah untuk membongkar dasi Evan, namun pria itu reflek menghindar. "Gak perlu." Jawabnya dingin. Ia berjalan melewati gadis yang sudah sah menjadi istrinya ini menuju lemari. Memilih baju santai yang akan dikenakannya malam ini, membuat Na mengernyitkan dahinya, bingung dengan sikap suaminya itu. “Tidur duluan, sana.” Menyadari Na memandanginya dengan raut kebingungan, Evan besuara lagi, namun datar dan dingin. Jelas tak seperti Evan yang biasanya. Na mengerjapkan matanya. mencoba mencerna sikap Evan yang saat ini tampak sangat dingin. "Aku tunggu kamu selesai mandi ya, biar kita bisa tidur bareng…” Navriena berkata pelan, ia berusaha mencoba lagi, dengan penuh harap. pikirnya Evan pasti lelah, atau mungkin ia gugup juga. Gadis itu mencoba tersenyum pada Evan. Ia hanya ingin jadi istri yang baik malam ini. Menemani, dan memulai sesuatu yang baru bersama dengan Suaminya. Tapi Evan hanya diam, tak ada balasan. Sekilas, Na dapat melihat Evan meneliti dirinya dari atas sampai bawah. Pandangan laki-laki itu berhenti pada gaun tipisnya yang memperlihatkan sedikit belahan dada. Warna pucat gaun itu terlihat cocok dengan kulit Na. Menciptakan kontras yang di mata Evan, tak lebih dari sebuah umpan murahan. Matanya menelusuri gadis itu dari atas sampai bawah, dan yang muncul di benaknya bukanlah kekaguman, bukan juga hasrat. Tapi jijik. Mirip, Na terlalu mirip dengan perempuan jalang yang dulu telah menghancurkan keluarganya. Evan memalingkan tubuhnya dan masuk ke kamar mandi, menutup pintu pelan. Tapi justru keheningan itu, lebih menghantam Na dengan pikirannya yang mulai gelisah. Na menggigit bibirnya, hatinya mulai merasa aneh. Evan jelas-jelas mengabaikannya, dan ia tak tahu harus merasa apa. Bingung, atau menenangkan diri? Ia membenahi posisi duduk, menatap ke arah pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Ia memutuskan untuk tetap menunggu Evan dengan harapan bahwa selesai mandi, sikap dingin itu juga akan ikut hilang. Sementara di dalam sana, Evan menatap cermin dengan tatapan kosong, lalu menyeringai saat mengingat Na berusaha terlihat menarik didepan dirinya. Namun sayangnya, hal itu malah membuat Evan semakin jijik. Jika Gadis itu berfikir Evan akan menyentuhnya malam ini, maka ia salah besar. Mungkin dia pikir tubuhnya cukup untuk membuat Evan luluh. Tapi Evan hanya melihat kulit yang terlalu mudah dibuka, kesucian yang terlalu cepat diberikan. Ia memandang Na seperti memandang barang yang sudah tak steril. Terlalu kotor untuk disentuh. Terlalu mudah untuk dimiliki. "Mulai malam ini, lo bakal ngerasain gimana rasanya dibenci dan gak dianggap sama suami lo sendiri, persis kayak yang nyokap gue rasain dulu..." --- Hangat cahaya pagi menyusup dari sela tirai jendela. Na perlahan membuka matanya, ia mengerang pelan rasa dingin menerpa kulitnya yang masih mengenakan gaun tidur tipis tadi malam. Ingatannya berputar pada tadi malam disaat ia menunggu Evan selesai mandi. Ah, dia ketiduran. Tangannya terulur ke sisi tempat tidur yang lain, terasa kosong dan dingin. Ia mengerjap beberapa kali, mencoba mencerna. “Evan…?” Tapi hanya suara jam dinding yang menjawab. Detiknya terdengar terlalu keras di kamar yang sepi. Ia pun duduk perlahan, menatap bantal di sebelahnya yang masih rapi, tidak tersentuh. Suaminya tidak tidur di ranjang itu. Na menggigit bibirnya, mencoba menelan rasa pahit yang mulai naik ke tenggorokannya. Ia tak ingin berpikiran buruk. Mungkin Evan kelelahan. Mungkin ia masih belum terbiasa. Menahan semua tanda tanya yang berputar di kepalanya, Na beranjak dari tempat tidur dan merapikannya. Langkahnya pelan menuruni tangga. Tak ada suara, tak ada musik yang lembut. Hanya aroma ruang makan yang familiar. Dan... sosok Evan. Pria itu duduk di meja makan dengan kemeja putih kusut dengan rambutnya yang basah seperti habis mandi. “Pagi, Sayang,” sapa Na dengan suara yang ia buat seceria mungkin. Namun tak ada balasan. Evan meliriknya, dan hanya mengangguk sekilas. "Kamu udah makan? Aku bikinin sarapan ya?” Karena tak mendengar jawaban dari Evan, Na berinisiatif langsung menuju dapur, mencoba menyingkirkan rasa sakit yang mulai mencuat. Ia memilih membuat omelet dan roti panggang. Hal-hal sederhana yang mereka bicarakan saat masih pacaran. Katanya, itu makanan pagi favorit Evan. Tidak memakan waktu lama sampai Na menyajikannya di meja, lalu duduk diseberang Evan. Menanti respon pria itu. Tapi Evan tak menyentuhnya, tangannya malah sibuk memainkan ponsel. Na memecah keheningan dengan suara kecil, “Ini.. nggak cocok sama selera kamu, ya?” Evan mengangkat pandangan, akhirnya menatapnya. “Gue gak laper.” Jantung Na terasa mencelos. Ia berusaha tetap tenang, lalu berkata pelan, “Aku bisa masak yang lain kalau kamu mau…” Tapi Evan sudah bangkit berdiri. “Gak usah. Mending lo mulai bersih-bersih rumah aja.” Na membeku di tempat duduknya. “Bersih-bersih?” Evan berjalan ke arah tangga, berhenti sejenak dan melirik Na dengan tajam. “Semua maid gue pecat. Sekarang lo yang urus rumah ini." “Van… tunggu.” Langkah Evan terhenti di anak tangga ketiga. Ia menoleh, menunggu apa yang akan dikatakan gadis itu katakan dengan suara gemetar. Na menelan ludah, lalu bertanya pelan, seperti seseorang yang takut akan jawabannya sendiri. “Kamu kenapa? Kamu… beda dari tadi malem. Aku salah apa?” Matanya tampak memohon dan menyiratkan kebingungan. Sedangkan Evan, sudut bibirnya terangkat. Puas hanya dengan pernyataan frustasi dari gadis itu. “Kenapa? Lo pikir, cuma karena udah nikah, semua bakal kayak drama yang lo tonton? Ini bukan cerita dongeng. Kehidupan pernikahan yang sebenernya emang gini, kurang-kurangin ekspetasi lo." Kemudian ia melanjutkan langkah ke atas. Tak memberi ruang untuk pertanyaan lanjutan, dan tak perduli dengan Na yang masih terperajat ditempatnya, berusaha mencerna apa yang Evan lontarkan barusan. "Lo..." Kata itu seperti menggema di kepalanya, jauh lebih keras daripada semua suara yang ada. Bukan hanya sikapnya yang berubah. Tetapi gaya bicara, dimana kata 'sayang' dan penuturan lembut yang selalu Evan ucapkan padanya? Ini tak seperti Evan yang ia kenal. Atau... mungkin dari awal, ia tidak pernah benar-benar mengenalnya.Di halaman belakang, aroma sisa barbeque masih tercium. Beberapa masih duduk santai. Jay dan Ara di pojokan dengan selimut, Riki tertawa keras bersama Kael dan Ian, Diendra dan Agnes mengobrol kecil di meja panjang.Dan di antara mereka semua, ada Evan yang duduk di ujung dengan hoodie terpasang sempurna. Wajahnya tampak datar, tak ikut berbaur ataupun mengobrol dengan mereka. Ia hanya sibuk memandangi api kecil di grill.Na mendekat pelan, langkahnya ragu-ragu.“Evan…” bisiknya pelan.Beberapa orang menoleh, tapi cepat mengalihkan perhatian. Seolah tahu ada sesuatu di antara pasangan itu, tapi memilih tak mencampuri. Meskipun Kael dan Riki tetap diam-diam memperhatikan gerak-gerik pasangan itu.Evan menoleh sebentar, lalu melengos, menyadari istrinya menyusulnya. Wajahnya tampak murung dan tidak dalam mood yang bagus. Tangannya sibuk membuka bungkus marshmallow dengan gerakan cepat. Plastik itu ia robek dengan kasar, menghasilkan suara ‘krek’ yang cukup mencolok, meski ia tak terliha
Udara Lembang masih menyisakan embun ketika Na terbangun lebih dulu. Sinar matahari yang menyelinap dari balik tirai jendela villa tak cukup mengusir dingin yang menggigit kulitnya.Ia menggeser selimut perlahan, menahan nafas saat tubuh Evan yang masih tertidur menggeliat di sebelahnya. Wajah Evan saat tidur begitu tenang, namun Na masih menyimpan bekas bayang amarah semalam. Kata-kata Evan yang menusuk terus terngiang di kepalanya."Pinter dikit. Gak semuanya harus lo jawab."Na menghela napas pelan. Ia bangun, berjalan menuju kamar mandi, berusaha menenangkan pikirannya dengan membasuh wajah. Matanya sembab, sedikit memerah, tapi ia sudah terlalu terbiasa menelan tangis dalam diam, menjaga agar emosinya tidak memancing emosi lelaki yang kini terbangun.Saat ia kembali ke kamar, Evan sudah duduk di tepi ranjang, menatapnya dalam diam. Evan lalu berdiri, berjalan menuju jendela, membuka tirainya lebar-lebar. Cahaya langsung menerangi ruangan. “Mandi sana. Kita bakal keluar bentar.
Tawa terdengar dari ruang tengah villa. Lampu temaram dan suara musik pelan dari speaker mengiringi suasana malam itu. Uno Stacko, camilan, dan kopi panas berseliweran di atas meja. Semua terlihat santai dan tertawa, termasuk Evan. Tawa dan teriakan memenuhi ruang tengah villa malam itu.Na, perempuan itu duduk di antara Evan dan Kael. Wajahnya tampak lebih hidup dari biasanya, senyumnya mengembang tipis setiap kali Riki atau Sean melontarkan lelucon bodoh, atau saat Kael pura-pura curang saat mengambil balok uno.Seolah ia melupakan semua hal menyesakkan didada. Malam itu, Na hanya ingin merasa... normal.“Gue ulang ya peraturannya. Satu orang harus jawab cepat dalam tiga detik. Kalau enggak bisa jawab, hukumannya… minum sirup bawang putih ini!” Ara menunjuk gelas kecil berisi cairan aneh yang disiapkan Jayden.“Woy, apa-apaan hukumannya!” keluh Sean, membuat yang lain ketawa.“Makanya, cepet mikir!” timpal Agnes yang duduk bersila di samping Kael.“Gue duluan ya,” kata Riki sambil d
Juan:Ajak pasangan masing-masing ya? Ga seru kalo ga rame.Jayden:Bebas. Villa nya di Lembang. Udaranya dingin, tapi kolamnya anget. Bawa baju tipis, Van😏Evan membalas singkat,'Gak usah pake baju sekalian.'Jayden:Gue pegang bookingan. Jangan lupa stok kopi ya.Sean:Dan cemilan. Jangan kayak liburan kemaren, ngandelin gorengan depan villa sampe rebutan tahu isi 😤Riki:Gue bawa Uno Stacko. Yang kalah harus bikin mie buat semua orang 😏Juan:Boleh, asal jangan nyetel lagu galau jam 2 pagi lagi. Gue pengen tidur damai kali ini 🙄Ian:Wkwkwk yang nyetel tuh si Kael kemarin. Tau-tau volume maksimal, isinya Fiersa Besari.Kael:Biar kalian merenung, bro. Hidup gak cuma tawa dan tahu isi.Ian:Nyetel lagu galau gak masalah. Asal jangan ngajak berenang jam 3 pagi lagi, please. Gue pengen hidup panjang🙂↕️Evan:Wkwkwk itu siapa sih yang pertama nyemplung? Tau-tau semua nyusul.Kael:Gue cuma bilang airnya anget. Gak maksa kalian ikut juga.Sean:Kael lagi Kael lagi.Jayden:Anget
Sudah tiga hari sejak Evan berubah. Bukan berubah menjadi lebih lembut—bukan itu. Tapi berubah menjadi lebih melekat, lebih menuntut. Lebih sering muncul di segala sisi hidup Na. Hari-hari Na berubah sejak malam itu. Karena Evan yang kini menempel di setiap langkahnya.Dulu, pria itu bahkan tak peduli kalau Na menghabiskan waktu seharian di kamar. Sekarang, bahkan saat Na berdiri sedikit lebih lama di dapur dengan Bi Nani, suara Evan bisa terdengar dari ruang tengah."Lo masak sampe lupa waktu? atau sengaja bikin gue kelaperan?" Nada bicaranya bukan marah. Tapi menuntut. Persis seperti anak kecil yang merasa diabaikan.Na menghela nafas. “Sabar ya, nanti aku bawa ke meja kalau udah mateng."Evan tak menjawab, ia duduk diruang tengah sambil memengang remot TV. dari sana, ia bisa melihat punggung gadis itu yang tampak sibuk menata makanan dimeja, sesekali Na mengobrol dengan Bi Nani. Evan bisa melihat tawa kecil istrinya saat ada pembahasan yang lucu. Kalau dingat-ingat, sudah lama Eva
Cahaya lampu kamar meredup perlahan, digantikan dengan cahaya matahari yang masuk melalui sela tirai jendela. Udara dingin menempel di kulit. Na membuka mata pelan, tubuhnya terasa remuk. Lengan Evan melingkari pinggangnya dari belakang. Nafas pria itu tenang, tidur nyenyak, seolah malam tadi tak terjadi apa pun. Seolah semuanya biasa saja.Semalam, saat ia mengucapkan kata cerai, ia mengira segalanya akan berakhir. Ia pikir, Evan akan menyambutnya dengan senyuman sinis dan ejekan dingin—seperti biasa. Atau mungkin pria itu akan berterimakasih padanya karena membebaskannya dari pernikahan yang tidak bahagia. Namun yang terjadi justru sebaliknya.Evan marah. Bukan marah seperti biasanya. Bukan sekadar kata-kata tajam atau sikap dingin yang menjatuhkan harga dirinya. Tapi kemarahan yang meledak-ledak dan berhasrat.Hasrat yang menyentuh tubuh Na, meninggalkan jejak-jejak yang tak hanya terasa di permukaan—tapi jauh di dalam.Gadis itu menahan napas. Sejak pernikahannya, baru kali ini