“Aku tak mau ada orang asing di sini! Usir dia!”
Tuan Darius, calon pasien yang akan dirawat oleh Ranti menatapnya nyalang. Mendapatkan penolakan di hari pertamanya bekerja, gadis muda langsung pucat dan tubuhnya gemetar. Bahkan nampan yang disedang dipegang, ikut bergetar di tangannya.
Ranti menundukkan pandangan, juga bersembunyi di balik punggung Hendra--pelayan Tuan Darius yang mengajarkannya. Terlihat jelas bahwa gadis itu ketakutan.
“Tuan Besar sudah menyetujui untuk mempekerjakan dia, agar Anda tidak perlu lagi berteriak lama-lama saat membutuhkan sesuatu, Tuan,” jelas pelayan itu dengan suara tenang namun penuh ketegasan.
“Suruh saja dia kerja di sana!” Darius masih terlihat tak peduli.
“Semua pelayan telah Anda pecat. Sementara saya mungkin tidak bisa selalu ada di dekat Anda,” jelas pelayan tua itu sabar.
Dari balik punggung Hendra, Ranti bersikap waspada. Kendati dia merengket ketakutan, gadis itu tetap mendengarkan perdebatan yang terjadi di antara dua pria dewasa di hadapannya.
Tak berselang lama, tubuh Ranti berjengit kaget. Nyaris saja sebuah teriakan keluar dari mulutnya saat sebuah benda melayang ke arahnya. Sebuah gelas, pecah berhamburan di lantai tak jauh dari kakinya. Ranti tak mengira pria itu begitu ringan tangan.
“Heh! Apa kau takut?" Darius terdengar begitu sinis saat mengucapkan kalimat tersebut. "Itu belum seberapa. Aku bahkan bisa lebih kejam dari ini! Aku akan membuatmu tidak betah dan langsung angkat kaki dari sini!”
Ranti menguatkan hati mendengar makian yang tak henti keluar dari pasien yang akan dirawatnya. Dia tidak berani membuka mulut, sekadar untuk menyangkal penilaian sang tuan yang begitu buruk padanya.
“Kalian orang-orang miskin seperti kumpulan semut yang merubungi gula! Kalian akan selalu ingin menempel agar bisa mendapatkan keuntungan dari kami! Kau tak pantas ada di sini!”
Tubuh Ranti bergetar hebat karena merasa emosinya sudah nyaris meledak. Rasa ketakutan sebelumnya kini berubah jadi marah. Menurutnya, penghinaan Darius kali ini benar-benar sudah merendahkan harga dirinya.
Tak tahan, akhirnya Ranti menyerahkan dulu nampan berisi makanan dan obat untuk Darius kepada Hendra. Dia melangkah dan menatap tajam ke arah Darius dengan berani.
“Entah Bapak bertemu di mana orang yang barusan Bapak katakan. Saya memang miskin, Pak." Dada gadis itu turun naik, wajahnya memerah seiring dengan kepalan tangan yang semakin menguat. "Namun, saya bukanlah pengemis. Saya tidak pernah mengemis untuk menghidupi keluarga saya!”
Setelahnya gadis itu lari dari ruangan itu menuju kamar karyawan yang akan jadi tempat istirahatnya selama bekerja di rumah itu. Melihat bagaimana hari ini tidak berjalan baik, Ranti sendiri sangsi .... Bisakah dia bertahan lebih lama dari yang dia bayangkan?
Di kamar, Ranti menangis sedih. Hatinya sangat sakit mendengar penghinaan yang dilontarkan Darius. Seumur hidupnya, Ranti adalah pekerja keras yang selalu membantu kedua orang tuanya. Dia memang dari keluarga miskin. Namun, tidak pernah sekalipun dia mengemis dan berusaha dekat dengan para orang kaya hanya demi keuntungan semata. Dia hanya pekerja rendahan yang bertujuan dapat uang dari pekerjaannya untuk menghidupi keluarga.
Bayangan ibu dan adiknya muncul di ruang mata. Sang adik sangat membutuhkan gajinya agar bisa melanjutkan perawatan dan mengikuti terapi yang dibutuhkannya. Ranti, gadis tamat SMA itu mendadak jadi tulang punggung keluarga setelah sang ayah berpulang saat pulang mengojek. Dia harus membantu ibunya yang hanya seorang penjual gado-gado.
“Aku harus menguatkan hati. Ini baru hari pertama. Masa aku sudah kalah mental? Lagipula, apa yang dituduhkannya tidak benar. Aku pasti bisa!” Gadis itu menguatkan tekad demi sang adik.
Tak lama, Ranti kembali ke kamar Darius seolah tak pernah terjadi apa-apa. Sosok Hendra masih ada di sana, sedang menata makanan di meja kecil.
“Maaf, saya tadi dari kamar mandi. Biar saya gantikan Anda untuk melayani makan Tuan Darius, Pak.”
Pak Hendra dan Tuan Darius langsung menoleh saat mendengar suara gadis itu. Emosi Darius kembali terpancing. Wajahnya langsung memerah dan dia berteriak lantang dan menggelegar.
“Keluar ...!”
Ranti yang baru menata hati, benar-benar tak siap mendengar teriakan sekencang itu. Tubuhnya langsung mundur dan terhenti setelah menabrak tembok. Wajahnya yang memutih itu, menunjukkan bagaimana dia shock dengan teriakan pemilik rumah.
Pak Hendra menggelengkan kepala pada pria itu. “Dia bukan orang yang pantas untuk diteriaki. Sifat Anda makin lama makin buruk!” Pria tua itu langsung meninggalkan Tuan Darius dan mendekati Ranti.
“Kurasa, sebaiknya kau istirahat sejenak, Nona. Nanti akan saya panggil lagi,” ujarnya dengan suara lebih lembut.
Ranti menatap pria tua itu dengan mata berkaca-kaca tapi tak mampu beranjak dari sana. Kakinya terasa lumpuh tak bertenaga saat ini. Sepertinya Pelayan tua itu menyadari apa yang terjadi pada perawat baru itu. Tangannya dengan sigap menuntun tangan Ranti menuju kamarnya sendiri. Membiarkan gadis itu beristirahat sejenak dan memikirkan ulang, apakah masih ingin melanjutkan pekerjaannya di kediaman itu atau tidak.
Pria tua itu pergi ke dapur dan menyiapkan secangkir teh hangat untuk mengembalikan semangat gadis yang sedang shock di dalam kamar itu. Saat sedang membawa minuman untuk Ranti, dilihatnya Tuan Darius menggerakkan kursi roda dengan sulit ke arah ruang makan.
“Anda mau ke mana?” tanyanya khawatir.
“Aku mau mencari istriku?” katanya dengan wajah cemas.
Pak Hendra menghela napas lelah. Dia meneruskan langkah menuju kamar Ranti, untuk menyerahkan teh yang baru dibuat itu. “Teh hangat mungkin bisa menenangkanmu,” sarannya sebelum keluar dan kembali menutup pintu.
***
Di kamarnya, setelah meneguk teh hangat pemberian Pak Hendra, hati Ranti kembali tenang. Dia memutuskan untuk mempelajari lebih banyak tentang penyakit Darius. DIa belum pernah mendengar tentang enyakit Huntington yang dikatakan Pelayan Hendra telah diidap Darius.
Satu jam dilalui Ranti dengan membaca informasi internet tentang penyakit Huntington. Dia menjadi sedikit lebih simpati dan kemarahannya mereda. Sikap Darius dianggapnya ada hubungannya dengan penyakit degeneratif yang diderita pria itu.
Hingga Pak Hendra mengetuk pintu, barulah gadis itu meletakkan ponselnya dan berdiri membuka pintu kamar. “Apa pekerjaan saya yang lain?” tanyanya dengan antusias.
Pak Hendra membelalakkan kelopak matanya yang sudah kendur. Pria tua itu tak yakin dengan apa yang barusan didengarnya. “Kau sungguh ingin melanjutkan kerja di sini?” tanyanya ragu.
“Ya!” Gadis itu mengangguk dengan yakin.
“Saya sudah coba cari tahu informasi penyakit Tuan Darius. Saya rasa, apa yang dikatakannya, bukanlah apa yang dia maksudkan. Dia hanya tidak dapat mengendalikan dorongan emosional dirinya sendiri!”
Pak Hendra terpana mendengar gadis itu mengatakan apa yang telah dibacanya. “Oh ... baiklah kalau begitu.” Pria itu mengangguk dan diam sejenak.
“Saya mau bilang kalau Dokter dan Perawat rumah sakit sebentar lagi datang. Kau bisa ikut dan mendengarkan petunjuk yang diberikan dokter,” tambahnya lagi.
“Baik. Saya akan tunggu kedatangan mereka di luar.”
“Kau bisa tunggu di ruang tamu dan sambut mereka saat datang nanti!” kata Pak Hendra.
“Baik!”
Ranti berjalan ke bagian depan rumah. Saat melewati taman dalam, dia melirik ke kaca jendela besar di mana kamar Tuan Darius berada. Pria itu tengah duduk dan menghadapi meja kecil di kamarnya. Ranti tidak tahu pria itu sedang melakukan apa.
Tak lama, terdengar ketukan di pintu depan. Dengan cepat gadis itu membuka dan mempersilakan dua tamu berpakaian medis itu masuk. Dia tak mungkin salah orang, karena hanya Pak Hendra yang bisa membuka pintu pagar depan rumah. Keduanya pastilah Dokter dan Perawat yang dimaksud.
Dirinya mengikuti dua tamu itu masuk ke dalam. Pak Hendra sudah menunggu dekat taman dalam. Pria tua itu memperkenalkan Ranti pada kedua orang yang baru datang. “Ini Ranti, pembantu perawat yang baru.”
Dokter dan perawat pria itu hanya menoleh sekilas dan mengangguk kecil tanpa mengomentari apa pun. Mereka berempat lalu menuju kamar Tuan Darius.
“Halo Tuan Darius!”
Pria itu mengangkat wajahnya dari meja. Ekspresinya sangat buruk melihat orang-orang masuk ke dalam kamarnya.“Apakah aku sudah tak punya privasi lagi? Semua orang merasa bisa masuk sembarang waktu ke sini!” serunya kasar.Dokter dan perawat itu tak peduli. Mereka tetap berjalan mendekat dan meletakkan tas lalu perawat mengeluarkan beberapa alat medis ringan.“Saya sangat sedih karena Anda terus melupakan saya, Tuan Darius,” ujar sang dokter dengan nada ramah dan wajah penuh senyuman. Dokter itu mengeluarkan stetoskop dan memeriksanya, sambil si perawat memeriksa tekanan darahnya. Tuan Darius akhirnya diam saja menerima perlakuan itu.“Yah ... sepertinya tekanan darah Anda sedikit tinggi hari ini.” Komentar sang dokter.“Dia marah-marah terus sejak kemarin!” Pak Hendra seakan mendapatkan kesempatan untuk mengadu.“Tolong jangan seperti itu. Sikap yang seperti itu, akan makin memperparah keadaan Anda sendiri!” nasehat sang dokter.“Apakah tadi makannya habis?” tanya sang dokter.“Habi
Malam hari, dengan keras kepala Ranti kembali masuk ke kamar Darius dan membawakan makan malam pria itu. “Selamat malam, Tuan,” sapanya ramah dan wajah penuh senyum.Darius sedang duduk di tempat tidurnya tapi belum tidur. Pria itu memperhatikan gadis muda yang masuk ke kamar dengan sorot mata permusuhan.“Kau sangat keras kepala!” katanya ketus.“Itu nama tengah saya, Tuan!” sahut Ranti sambil memasang ekspresi lucu untuk mencairkan kemarahan di dada pria itu.“Huh!” Pria itu menggeram marah. Terutama saat melihat gadis itu tetap berdiri di samping meja, menunggunya untuk turun dan makan.“Panggil Hendra ke sini. Aku mau dia yang melayaniku!” teriaknya lagi dengan suara meninggi.“Tuan, Anda jangan terus marah-marah. Itu buruk untuk kesehatan Anda sendiri,” bujuk Ranti sabar. Hanya saja, pria itu sekarang tak bisa disabarkan. Emosinya sudah memuncak.“Hendraaaa ...!”Ranti bisa melihat bahwa Darius sangat marah hingga tubuhnya gemetar dan wajahnya memerah. Dia menjadi takut jika terj
Pagi di hari ke dua. Setelah pembicaraan yang menenangkan tadi malam, Ranti optimis bahwa langkahnya akan lebih mudah lagi. Setelah Hendra memberi perintah untuk menyiapkan sarapan, gadis itu segera melakukan pekerjaannya dengan hati riang. Hingga sarapan sudah siap untuk diantar. Dengan memasang senyum di wajah, gadis itu melangkah ke kamar Darius untuk mengantar sarapan pagi.Ranti masuk ke dalam setelah mengetuk pintu dua kali. Namun, dia tak menemukan pria itu di sana. Diletakkannya nampan di meja dan melihat ke kamar mandi yang tertutup. Di sana juga tak ada. Kecemasan mulai menghinggapinya. Dengan cepat dia keluar kamar dan mencari Darius di dalam rumah. Bahkan saat semua sudut rumah dia telusuri dan memanggil-manggil, pemilik rumah yang sedang sakit itu tetap tak terlihat. “Ke mana dia?”Ranti lari ke luar rumah. Dilihatnya pintu depan terbuka, pikirannya langsung buruk. “Apakah Tuan Darius keluar rumah?”“Tuan!”Panggilannya tak memperoleh jawaban.“Pak Hendra!” teriaknya men
Pertanyaan Ranti yang begitu cepat dan bertubi-tubi, membuat Hendra mengerutkan dahi. Namun, dia segera mengerti apa yang terjadi. “Maksudmu Tuan tak ada di rumah?”Melihat mata Hendra yang membelalak terkejut disertai pertanyaan seperti itu, Ranti malah makin cemas. Dia mengangguk tak berdaya. Artinya mereka berdua kehilangan Darius. Hendra menghentikan mobil di jalan masuk depan rumah. Dia memastikan bahwa pagar telah tertutup rapat.“Bagaimana bisa kau kehilangan Tuan?” Suara Hendra sangat tajam menusuk. Menuduh gadis itu tak becus tanpa perlu mengatakannya secara langsung.“Saya mengerjakan tugas yang Anda beri, menyiapkan sarapan. Saat saya mengantar makanan ke kamar, Tuan sudah tidak ada,” jelas Ranti sambil mengikuti langkah Hendra yang sangat cepat.“Apa kau sudah memeriksa seluruh rumah?” tanya pria tua itu lagi.“Sudah. Saya sudah memeriksa seluruh rumah dan halaman depan. Namun, saya tidak bisa memeriksa halaman belakang. Saya tidak menemukan kunci pintu menuju halaman bel
Ranti mencari asal suara. Itu berasal dari seorang pria yang rambutnya sudah memutih seluruhnya. Ranti menduga, bahwa itu adalah ayah dari Darius. Dia bergegas berjalan ke sana sambil menunduk. Di samping pria itu, duduk seorang wanita cantik yang penampilan elegannya berhasil menyamarkan garis usia.“Saya, Tuan,” katanya menghadap.“Kenapa Darius bisa hilang dari pengawasanmu? Bukankah kau dipekerjakan untuk mengurusnya!” Wanita cantik itu langsung mencecar Ranti dengan pertanyaan telak.“Saya sedang menyiapkan sarapan untuk Tuan Darius, Nyonya,” jawab Ranti jujur.“Hah! Jangan banyak alasan! Kalau terbukti kau lalai dalam tugas, jangan mengira kami akan melepaskanmu begitu saja!” Pria lain di ruangan memberi ancaman.“Ya! Apa Hendra tidak ada menceritakan padamu bahwa kami telah enuntut salah seorang perawat ke muka hukum akibat melalaikan tugas?” Wanita cantik itu menambahkan informasi yang berrhasil membuat tengkuk Ranti meremang takut.“Maafkan saya, Nyonya. Saya memang mendapat
Ranti mendapat tugas untuk menjaga Darius yang dirawat di rumah sakit malam itu. Semua orang telah keluar dari ruangan dan meninggalkannya sendirian. Pak Hendra juga telah pergi setelah memberikan bekal makanan untuknya.Tak banyak yang dilakukan gadis muda itu malam hari karena Darius sepenuhnya tertidur dan perawat yang datang memeriksa di beberapa waktu, tidak mengatakan apapun.“Bagaimana keadaan Tuan Darius?” tanya Ranti ingin tahu.“Dia sedang tidur. Akan bangun setelah pengaruh obat habis.”Begitulah jawaban yang diterima Ranti. Akhirnya, gadis itu bisa beristirahat dengan tenang di sofa panjang yang ada di ruang perawatan. Gadis itu membayangkan keluarga dengan perasaan gamang. Betapa kini dia seperti didorong pada sesuatu yang sangat berbahaya.Sejak ayahnya yang bekerja sebagai Ojol meninggal sepulang mengojek, Ranti memang mau tak mau mengambil alih tanggung jawab biaya keluarganya. Karena sang ibu hanyalah penjual gado-gado kecil di depan rumah kontrakan mereka. Adiknya y
Mata Ranti terlihat khawatir. Meskipun begitu, dia merasa ragu jika itu adalah tugas para perawat. “Tuan Darius mungkin ingin ke kamar mandi. Dia mencari Pak Hendra. Mungkinkah ada perawat pria yang bisa menolongnya ke kamar mandi?”Dua perawat itu saling pandang sebelum menatap Ranti heran. Gadis itu memahami arti tatapan itu. Kemudian dia menjawab tanpa perlu ditanya. “Tuan tak mau dibantu oleh pekerja wanita seperti saya.” Gadis itu menunduk. Dia merasa tak berguna sama sekali.Sebelum ada siapapun yang bereaksi, kembali terdengar teriakan keras suara Darius yang memanggil Pak Hendra. Kali ini disertai nada marah yang mungkin mengagetkan semua pasien di lantai itu. Seorang perawat buru-buru lari ke sana dan yang lainnya mengangkat gagang telepon. Ranti ikut mengejar ke ruang rawat tuannya.“Di mana Hendra!” bentak Darius kasar. “Apa dia sudah bosan kerja?!”“Pak, ini rumah sakit. Pelayan Anda tidak ada di sini. Katakan apa yang harus kami bantu,” katanya menenangkan.Darius menata
Ranti berdiri kaku di balik daun pintu, mendengar umpatan tak pantas itu. Bagaimana mereka berharap kakaknya segera mati? Seburuk apa pun sikap Darius, dia tetaplah anak tertua keluarga Dharmajie.“Mau apa kau di sana!”Seruan Darius menyadarkan Ranti. Tangannya masih gemetar saat menutup rapat pintu ruangan. Segera dia menghampiri tempat tidur. “Apa Tuan butuh sesuatu?” tanya Ranti sigap.“Buang saja kue itu. Mereka telah meracuninya!” perintah Darius.“Tuan, jangan terus berprasangka buruk. Kue ini dari toko. Saya sendiri yang membuka kemasannya,” bujuk Ranti.“Kalau kau mau, makan saja! Tapi aku tidak bertanggung jawab jika kau tiba-tiba sakit atau mati!” ujarnya masih degan suara ketus.Ranti akhirnya diam. Dia tak mau berdebat lagi. Itu hanya akan membangkitkan kemarahan pria itu. Dia menyingkirkan kue itu dan meletakkannya di atas meja untuk dinikatinya nanti. Kue spesial dari toko kue terkenal. Belum tentu Ranti bisa membelinya. Alangkah sayang untuk dibuang.“Telepon Hendra un