Pria itu mengangkat wajahnya dari meja. Ekspresinya sangat buruk melihat orang-orang masuk ke dalam kamarnya.
“Apakah aku sudah tak punya privasi lagi? Semua orang merasa bisa masuk sembarang waktu ke sini!” serunya kasar.
Dokter dan perawat itu tak peduli. Mereka tetap berjalan mendekat dan meletakkan tas lalu perawat mengeluarkan beberapa alat medis ringan.
“Saya sangat sedih karena Anda terus melupakan saya, Tuan Darius,” ujar sang dokter dengan nada ramah dan wajah penuh senyuman. Dokter itu mengeluarkan stetoskop dan memeriksanya, sambil si perawat memeriksa tekanan darahnya. Tuan Darius akhirnya diam saja menerima perlakuan itu.
“Yah ... sepertinya tekanan darah Anda sedikit tinggi hari ini.” Komentar sang dokter.
“Dia marah-marah terus sejak kemarin!” Pak Hendra seakan mendapatkan kesempatan untuk mengadu.
“Tolong jangan seperti itu. Sikap yang seperti itu, akan makin memperparah keadaan Anda sendiri!” nasehat sang dokter.
“Apakah tadi makannya habis?” tanya sang dokter.
“Habis!” Pak Hendra menyahuti. “Meskipun sebelumnya dia selalu pakai drama marah-marah lebih dulu.” Pria itu tampak seperti sedang mengejek tuannya.
Dokter itu menggeleng. “Anda masih sangat bersemangat ya!” komentarnya lagi sambil tersenyum.
“Semangat itu penting, tapi jangan sampai jadi terlalu emosi. Itu tidak baik.
Dokter masih menanyakan beberapa hal lagi dan semua dijawab Pak Hendra dengan lancar. Ranti meperhatikan interaksi itu. Sepertinya, di masa depan dialah yang harus mendampingi pemeriksaan oleh Dokter dan Perawat ini. Dia yakin, dia bisa melakukannya.
“Baik, pemeriksaan hari ini sudah selesai. Dua hari lagi saya datang, saya harap kondisi Anda bisa lebih baik lagi!”
Perawat memberikan obat sesuai dengan resep yang dibuat dokter. Sepertinya dia sudah memperkirakan obat apa saja yang perlu dibawa ke rumah itu. Pak Hendra memeriksa obat dan waktu makannya. Dia mengangguk pada Ranti.
Gadis itu mengerti dan keluar mengantar dua tamu itu pergi.
“Sekarang, kau buat makan siang sesuai menu yang ada di daftar!” perintah Pak Hendra saat Ranti kembali.
“Baik, akan kukerjakan dengan baik!” Ranti langsung ke dapur dan mengerjakan tugasnya. Dia gadis yang biasa mengerjakan semua pekerjaan sendiri. Memasak bukanlah hal asing baginya.
Saat Pak Hendra kembali ke sana, semua makan siang sudah ditata dengan baik di atas nampan. Pria tua itu tampak puas. Pekerjaannya sedikit berkurang hari ini.
“Ini obat, sebaiknya kau kantongi lebih dulu. Berikan setelah dia selesai makan!” jelas Pak Hendra.
“Baik, Pak.” Gadis itu bertekad untuk melakukan pekerjaannnya dengan baik siang ini. Dia harus kuat dan menaklukkan sikap keras kepala pasien itu. Diangkatnya nampan dengan hati-hati dan melangkah ke kamar Tuan Darius.
Di depan pintu kamar, gadis itu diam sembari menghela napas panjang, mengumpulkan semangat. “Aku pasti bisa!”
Setelah mengetuk dua kali, dia membuka pintu dan langsung masuk ke dalam. Darius masih duduk di depan meja mengerjakan sesuatu dengan asik.
“Waktunya makan, Tuan!” katanya tepat di depan pria itu. Kali ini Ranti telah mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk mengatakan kalimat itu.
Darius tidak mempedulikan sama sekali. Dia tetap asik di meja yang akan menjadi tempat meletakkan makanan. Ranti sedikit bingung harus apa. Kemudian dia meletakkan nampan makanan di tempat tidur dan duduk di kursi seberang Darius. Ditatapnya pria itu dengan wajah serius. Saat itulah baru dilihatnya dengan jelas ketampanan pasien itu. Meski sudah berumur, sakit, dan pucat, ketampanannya tak bisa dipungkiri.
“Tuan, waktunya makan siang!” ujarnya dengan hati-hati.
“Aku tak lapar!” kata pria itu tak peduli.
Pria itu masih tidak puas dan kembali menambahi kata-kata kasarnya. “Aku juga tak suka melihatmu berada di sekitarku. Kau menjijikkan. Melihatmu membuatku merasa gatal-gatal seperti sedang dirayapi ulat!”
Ranti yang belum terbiasa, kembali terpancing emosi. Cepat-cepat dia menarik napas panjang dan mengembuskannya berulang kali. “Sabar ... sabar ...,” katanya dalam hati. Lalu kembali menghadapi pasiennya. Gadis itu sudah melihat bagaimana pengendalian diri Hendra yang seperti orang menebalkan telinga saja, lalu melupakan perkataan kasar apa pun yang terdengar.
“Tuan, obat dokter sudah menunggu. Untuk itu, Anda harus makan sedikit,” bujuk Ranti sabar.
“Tidak!” Darius masih menolak dengan keras kepala. Dia terus sibuk menulis di kotak-kotak yang ada di kertas, seperti sedang mengerjakan sebuah tts.
Tangan Ranti dengan berani memegang buku tipis yang sedang ditulisi pria itu. Darius mencoba menahan bukunya di dada agar tidak diambil orang lain. Ranti tidak menahannya. Tujuannya adalah membersihkan meja dari aktifitas lain, agar Darius bisa mulai makan.
“Jangan lancang memegang segala milikku dikamar ini! Atau aku akan menuduhmu mencurinya!” ancam pria itu dengan kejam.
“Sekarang waktunya Anda makan. Lagi pula, tidak ada seorang pun yang mau mencuri buku seperti itu. Apa lagi saya. Cuma bikin pusing kepala saja membacanya!” jawab Ranti ketus. Nampan makanan sudah diletakkan di atas meja.
“Heh! Orang sepertimu, mana mungkin bisa menjawab pertanyaan yang ada di sini!” Darius mendapat celah untuk mengejek Ranti.
Namun, gadis itu mulai tidak peduli. Dia menjawab dengan cepat. “Sekarang Anda tahu kalau buku itu tak akan ada yang mau mencurinya. Anda berikan pun, belum tentu ada orang yang mau menerima!” Ranti membalas kata-kata pedas pria itu sambil tersenyum manis.
Darius duduk di kursi roda, wajahnya penuh dengan ekspresi ketidakpuasan yang jelas terbaca. Dia menatap tajam Ranti yang dengan berani balik menatapnya. Meskipun wajah gadis muda itu terlihat ramah dengan senyum di wajah. tapi bagi si pria, itu adalah wajah yang penuh kemunafikan dan culas. Disimpannya buku tadi di balik baju agar tidak dilihat Ranti.
Gadis itu tersenyum simpul. “Apakah Anda bisa makan sendiri atau butuh saya suapi?” tanyanya serius. Dia bisa melihat bahwa tangan Darius sedikit gemetar saat menggoreskan pena di atas kertas.
“Apa kau pikir saya orang cacat yang butuh disuapi?!” Emosi Darius kembali naik. Matanya melotot tajam pada gadis muda yang telah membuatnya sangat terhina itu.
“Saya tidak berpikir seperti itu.” Ranti berdiri dari duduk.” Saya hanya menawarkan kebaikan saja. Jika Anda tak ingin, ya bagus! Berarti Anda sangat mandiri!” balasnya. Gadis itu pergi merapikan tempat tidur Darius dan membiarkan pria itu makan dengan sendirinya.
“Anda tahu, adik saya juga sakit. Tapi dia sakit sejak bayi. Anda tahu Cerebral Palsi? Keadaannya buruk. Entah apakah dia bisa sembuh nanti. Tapi kami tidak pernah menyerah untuk mengobatinya! Keluarga Anda pasti juga mengharapkan hal yang sama.” Ranti erceloteh sambil membereskan ruangan.
“Apa kau ingin menjual kesedihanmu padaku untuk dikasihani? Apa karena alasan itu kau diterima bekerja di sini? Beraninya kau membandingkan penyakit adikmu denganku!”
Ranti terdiam dan terpaku di tempatnya. Pria di depannya teramat sulit diatasi. Maksudnya menceritakan sang adik adalah untuk menambah semangat Darius, tapi itu justru membuat dia makin marah.
“Adik saya sudah sakit bertahun-tahun. Namun, dia terus tersenyum, tidak ada kemarahan tampak di wajahnya. Tidak juga teriakan pada kami yang merawatnya!” kata Ranti pedas. “Adik saya jauh lebih pengertian dari pada Anda!”
Darius makin marah dan sengaja menjatuhkan nampan beserta isinya hingga semua piring dan mangkuk pecah berderai di lantai. Wajah Ranti berubah murung.
“Membuang makanan adalah tindakan yang tidak terpuji, Tuan Darius. Anda tidak akan mendapat makan siang lagi hari ini!” ujarnya tegas.
Ranti keluar dari ruangan sambil menahan air matanya yang hampir jatuh. Pak Hendra sudah ada di depan pintu saat dia membuka pintu kamar. Pria itu sudah siap dengan alat untuk membersihkan pecahan piring dan mangkuk. Sepertinya hal itu memang kerap terjadi.
“Ini obatnya,” kata Ranti sembari menyerahkan obat Darius pada Pak Hendra. Dia sangat kagum melihat pria itu mampu mengatasi sikap buruk tuannya selama ini. Gadis itu pergi ke dapur dan membuat makanan untuk mengisi perutnya sendiri.
Tak lama Pak Hendra kembali dan membuang semua sampah pecahan piring serta mangkuk di tempat sampah. “Kukira kau akan bersiap untuk pergi,” ujarnya.
“Saya harus kerja, Pak. Saya tulang punggung keluarga. Jadi, saya tidak akan menyerah dengan mudah. Saya pasti bisa menaklukkan sikap keras kepalanya suatu saat nanti!”
Pelayan tua itu bisa melihat bahwa pekerja baru sangat penuh dengan tekad. Dia hanya mengangguk dan dan kembali pergi untuk membersihkan sisa kotoran di lantai kamar Darius.
Ranti melihat ke kamar Darius. “Aku pasti bisa menaklukkanmu nanti!”
Malam hari, dengan keras kepala Ranti kembali masuk ke kamar Darius dan membawakan makan malam pria itu. “Selamat malam, Tuan,” sapanya ramah dan wajah penuh senyum.Darius sedang duduk di tempat tidurnya tapi belum tidur. Pria itu memperhatikan gadis muda yang masuk ke kamar dengan sorot mata permusuhan.“Kau sangat keras kepala!” katanya ketus.“Itu nama tengah saya, Tuan!” sahut Ranti sambil memasang ekspresi lucu untuk mencairkan kemarahan di dada pria itu.“Huh!” Pria itu menggeram marah. Terutama saat melihat gadis itu tetap berdiri di samping meja, menunggunya untuk turun dan makan.“Panggil Hendra ke sini. Aku mau dia yang melayaniku!” teriaknya lagi dengan suara meninggi.“Tuan, Anda jangan terus marah-marah. Itu buruk untuk kesehatan Anda sendiri,” bujuk Ranti sabar. Hanya saja, pria itu sekarang tak bisa disabarkan. Emosinya sudah memuncak.“Hendraaaa ...!”Ranti bisa melihat bahwa Darius sangat marah hingga tubuhnya gemetar dan wajahnya memerah. Dia menjadi takut jika terj
Pagi di hari ke dua. Setelah pembicaraan yang menenangkan tadi malam, Ranti optimis bahwa langkahnya akan lebih mudah lagi. Setelah Hendra memberi perintah untuk menyiapkan sarapan, gadis itu segera melakukan pekerjaannya dengan hati riang. Hingga sarapan sudah siap untuk diantar. Dengan memasang senyum di wajah, gadis itu melangkah ke kamar Darius untuk mengantar sarapan pagi.Ranti masuk ke dalam setelah mengetuk pintu dua kali. Namun, dia tak menemukan pria itu di sana. Diletakkannya nampan di meja dan melihat ke kamar mandi yang tertutup. Di sana juga tak ada. Kecemasan mulai menghinggapinya. Dengan cepat dia keluar kamar dan mencari Darius di dalam rumah. Bahkan saat semua sudut rumah dia telusuri dan memanggil-manggil, pemilik rumah yang sedang sakit itu tetap tak terlihat. “Ke mana dia?”Ranti lari ke luar rumah. Dilihatnya pintu depan terbuka, pikirannya langsung buruk. “Apakah Tuan Darius keluar rumah?”“Tuan!”Panggilannya tak memperoleh jawaban.“Pak Hendra!” teriaknya men
Pertanyaan Ranti yang begitu cepat dan bertubi-tubi, membuat Hendra mengerutkan dahi. Namun, dia segera mengerti apa yang terjadi. “Maksudmu Tuan tak ada di rumah?”Melihat mata Hendra yang membelalak terkejut disertai pertanyaan seperti itu, Ranti malah makin cemas. Dia mengangguk tak berdaya. Artinya mereka berdua kehilangan Darius. Hendra menghentikan mobil di jalan masuk depan rumah. Dia memastikan bahwa pagar telah tertutup rapat.“Bagaimana bisa kau kehilangan Tuan?” Suara Hendra sangat tajam menusuk. Menuduh gadis itu tak becus tanpa perlu mengatakannya secara langsung.“Saya mengerjakan tugas yang Anda beri, menyiapkan sarapan. Saat saya mengantar makanan ke kamar, Tuan sudah tidak ada,” jelas Ranti sambil mengikuti langkah Hendra yang sangat cepat.“Apa kau sudah memeriksa seluruh rumah?” tanya pria tua itu lagi.“Sudah. Saya sudah memeriksa seluruh rumah dan halaman depan. Namun, saya tidak bisa memeriksa halaman belakang. Saya tidak menemukan kunci pintu menuju halaman bel
Ranti mencari asal suara. Itu berasal dari seorang pria yang rambutnya sudah memutih seluruhnya. Ranti menduga, bahwa itu adalah ayah dari Darius. Dia bergegas berjalan ke sana sambil menunduk. Di samping pria itu, duduk seorang wanita cantik yang penampilan elegannya berhasil menyamarkan garis usia.“Saya, Tuan,” katanya menghadap.“Kenapa Darius bisa hilang dari pengawasanmu? Bukankah kau dipekerjakan untuk mengurusnya!” Wanita cantik itu langsung mencecar Ranti dengan pertanyaan telak.“Saya sedang menyiapkan sarapan untuk Tuan Darius, Nyonya,” jawab Ranti jujur.“Hah! Jangan banyak alasan! Kalau terbukti kau lalai dalam tugas, jangan mengira kami akan melepaskanmu begitu saja!” Pria lain di ruangan memberi ancaman.“Ya! Apa Hendra tidak ada menceritakan padamu bahwa kami telah enuntut salah seorang perawat ke muka hukum akibat melalaikan tugas?” Wanita cantik itu menambahkan informasi yang berrhasil membuat tengkuk Ranti meremang takut.“Maafkan saya, Nyonya. Saya memang mendapat
Ranti mendapat tugas untuk menjaga Darius yang dirawat di rumah sakit malam itu. Semua orang telah keluar dari ruangan dan meninggalkannya sendirian. Pak Hendra juga telah pergi setelah memberikan bekal makanan untuknya.Tak banyak yang dilakukan gadis muda itu malam hari karena Darius sepenuhnya tertidur dan perawat yang datang memeriksa di beberapa waktu, tidak mengatakan apapun.“Bagaimana keadaan Tuan Darius?” tanya Ranti ingin tahu.“Dia sedang tidur. Akan bangun setelah pengaruh obat habis.”Begitulah jawaban yang diterima Ranti. Akhirnya, gadis itu bisa beristirahat dengan tenang di sofa panjang yang ada di ruang perawatan. Gadis itu membayangkan keluarga dengan perasaan gamang. Betapa kini dia seperti didorong pada sesuatu yang sangat berbahaya.Sejak ayahnya yang bekerja sebagai Ojol meninggal sepulang mengojek, Ranti memang mau tak mau mengambil alih tanggung jawab biaya keluarganya. Karena sang ibu hanyalah penjual gado-gado kecil di depan rumah kontrakan mereka. Adiknya y
Mata Ranti terlihat khawatir. Meskipun begitu, dia merasa ragu jika itu adalah tugas para perawat. “Tuan Darius mungkin ingin ke kamar mandi. Dia mencari Pak Hendra. Mungkinkah ada perawat pria yang bisa menolongnya ke kamar mandi?”Dua perawat itu saling pandang sebelum menatap Ranti heran. Gadis itu memahami arti tatapan itu. Kemudian dia menjawab tanpa perlu ditanya. “Tuan tak mau dibantu oleh pekerja wanita seperti saya.” Gadis itu menunduk. Dia merasa tak berguna sama sekali.Sebelum ada siapapun yang bereaksi, kembali terdengar teriakan keras suara Darius yang memanggil Pak Hendra. Kali ini disertai nada marah yang mungkin mengagetkan semua pasien di lantai itu. Seorang perawat buru-buru lari ke sana dan yang lainnya mengangkat gagang telepon. Ranti ikut mengejar ke ruang rawat tuannya.“Di mana Hendra!” bentak Darius kasar. “Apa dia sudah bosan kerja?!”“Pak, ini rumah sakit. Pelayan Anda tidak ada di sini. Katakan apa yang harus kami bantu,” katanya menenangkan.Darius menata
Ranti berdiri kaku di balik daun pintu, mendengar umpatan tak pantas itu. Bagaimana mereka berharap kakaknya segera mati? Seburuk apa pun sikap Darius, dia tetaplah anak tertua keluarga Dharmajie.“Mau apa kau di sana!”Seruan Darius menyadarkan Ranti. Tangannya masih gemetar saat menutup rapat pintu ruangan. Segera dia menghampiri tempat tidur. “Apa Tuan butuh sesuatu?” tanya Ranti sigap.“Buang saja kue itu. Mereka telah meracuninya!” perintah Darius.“Tuan, jangan terus berprasangka buruk. Kue ini dari toko. Saya sendiri yang membuka kemasannya,” bujuk Ranti.“Kalau kau mau, makan saja! Tapi aku tidak bertanggung jawab jika kau tiba-tiba sakit atau mati!” ujarnya masih degan suara ketus.Ranti akhirnya diam. Dia tak mau berdebat lagi. Itu hanya akan membangkitkan kemarahan pria itu. Dia menyingkirkan kue itu dan meletakkannya di atas meja untuk dinikatinya nanti. Kue spesial dari toko kue terkenal. Belum tentu Ranti bisa membelinya. Alangkah sayang untuk dibuang.“Telepon Hendra un
Ranti akhirnya mengeluarkan tantangan untuk dirinya sendiri. Jika dia tak mampu membuat Darius bersikap lebih baik dari ini, maka dia lebih baik mengundurkan diri, sebab tugasnya sudah gagal.Wajah Darius benar-benar tak sedap dipandang, tapi dia menjawab dengan sangat cepat. “Aku terima tantanganmu!”Sekarang, bantu akau ke kursi roda sialan itu!” ujar pria itu kasar.Ranti bergerak cepat membantu Darius ke kursi roda dan membantunya ke kamar mandi. Gadis itu mendorong kursi roda hingga masuk ke kamar mandi, mendudukkan pria itu di toilet, baru keluar dan menutup pintu.“Jika sudah selesai, Tuan bisa berteriak memanggil saya,” ujarnya satar.Darius mendengus dengan wajah memerah. Sekarang, dia harus berusaha keras untuk bisa melepaskan pakaian bagian bawahnya. Ternyata itu tidak semudah yang dia kira. Gerak tangannya yang sedikit gemetar, memperlambat kerjanya.“Hendra! Akan kupotong gajimu sebulan!” umpatnya kesal.Ranti menunggu cukup lama di depan pintu. Dia sebenarnya khawatir de