Malam hari, dengan keras kepala Ranti kembali masuk ke kamar Darius dan membawakan makan malam pria itu. “Selamat malam, Tuan,” sapanya ramah dan wajah penuh senyum.
Darius sedang duduk di tempat tidurnya tapi belum tidur. Pria itu memperhatikan gadis muda yang masuk ke kamar dengan sorot mata permusuhan.
“Kau sangat keras kepala!” katanya ketus.
“Itu nama tengah saya, Tuan!” sahut Ranti sambil memasang ekspresi lucu untuk mencairkan kemarahan di dada pria itu.
“Huh!” Pria itu menggeram marah. Terutama saat melihat gadis itu tetap berdiri di samping meja, menunggunya untuk turun dan makan.
“Panggil Hendra ke sini. Aku mau dia yang melayaniku!” teriaknya lagi dengan suara meninggi.
“Tuan, Anda jangan terus marah-marah. Itu buruk untuk kesehatan Anda sendiri,” bujuk Ranti sabar. Hanya saja, pria itu sekarang tak bisa disabarkan. Emosinya sudah memuncak.
“Hendraaaa ...!”
Ranti bisa melihat bahwa Darius sangat marah hingga tubuhnya gemetar dan wajahnya memerah. Dia menjadi takut jika terjadi seuatu padanya. Gadis itu berlari ke luar kamar untuk memanggil Pelayan tua itu.
“Pak, Tuan Darius memanggil Anda terus. Saya khawatir dia---“
Hendra berjalan tenang ke kamar majikannya. Ranti mengikuti dari belakang, ingin tahu apa yang membuat Darius marah. Hendra sepertinya mengerti apa yang terjadi. Dia berjalan mendekati Darius. “Waktunya makan, Tuan,” katanya tenang.
Darius dapat melihat bayangan Ranti di balik punggung pelayannya. “Keluarkan dia dari sini!” perintahnya tegas.
Hendra melihat ke belakangnya dan menemukan Ranti bersembunyi dengan takut di belakang punggungnya. “Tuan tidak apa-apa. Kau bisa tunggu sebentar di luar atau perhatikan dari jendela kaca!” kata Hendra pelan, untuk menenangkan gadis itu.
Ranti menatap mata pelayan itu dan mengangguk. Dia langsung keluar, kemudian menutup pintu. Dengan cepat dia pergi ke dekat taman dalam dan mengintip apa yang sebenarnya terjadi di kamar Darius.
Hendra sedang membantu membopong tubuh pemilik rumah untuk pindah duduk ke kursi roda. Lalu mendorongnya ke depan meja. Ranti akhirnya mengerti. Darius tidak ingin menunjukkan sisi lemahnya pada Ranti yang hanya perawat baru.
“Apakah itu sebabnya dia terus galak dan mengusirku? Dia hanya tak ingin terihat lemah dan sakit!” batin gadis itu. Pandangannya jadi penuh rasa iba. Dia bisa mengerti bagaimana rasanya mencoba terlihat tetap kuat dan baik-baik saja di hadapan orang lain, meskipun diri sedang tidak baik-baik saja.
Tidak berapa lama, Hendra keluar dari kamar. Darius makan dengan lahap sendirian di dalam sana. Tentu saja ... dia sangat lapar setelah makan siangnya tumpah di lantai. Dia lapar, namun Hendra tak segera membantunya turun dari tempat tidur.
Setengah jam kemudian Ranti masuk ke dalam dengan ekspresi biasa. Tak ada jejak kemarahan ataupun takut di sana. Senyumnya terpasang saat kembali menyapa Darius. “Sekarang saatnya Anda minum obat, Tuan.”
Ranti meletakkan piring kecil berisi obat di atas meja. Setelah itu dia membereskan piring dan mangkuk bekas makan, menyusunnya di nampan dan menunggu obat diminum agar piring kecil itu juga bisa dia bawa ke luar.
Wajah Darius menunjukkan permusuhan yang nyata. Dia sungguh merasa terusik dengan kehadiran Ranti. Tanpa menahan diri, pria itu berteriak dengan emosi meluap pada perawat baru keras kepala itu. “Apa kau tidak mengerti arti diusir? Aku tidak membutuhkanmu! Pergi! Aku memecatmu!”
Ranti menghembuskan napas berat. Matanya menatap pemilik rumah dengan serius. “Tuan, selama saya bekerja untuk Anda, saya akan pastikan Anda makan dan minum obat tepat waktu!”
Mendengar suara tegas wanita muda di depannya yang tanpa rasa takut, suara Darius sedikit melunak, tapi masih dengan sikap keras kepala yang sama, dia menolak untuk melakukan keinginan gadis itu. “Aku belum akan minum obatnya sekarang!”
Ranti tahu pria itu sedang mengujinya. Dia melihat jam di dinding yang masih menunjukkan jam delapan malam. Akhirnya gadis itu tidak lagi terlalu mendesak.
“Setengah jam lagi saya kembali dan mengambil ini.” Meski mengalah, suara Ranti tetap tegas. Lalu gadis itu mengangkat nampan untuk dibawa ke luar. Dia ingin belajar berkompromi dengan sikap keras kepala Darius.
"Kamu benar-benar tidak tahu apa yang kamu lakukan, ya?" Darius berkata dengan nada tajam.
"Saya akan mencoba yang terbaik, Tuan Darius.”
Ranti menjawab dengan hati-hati, mencoba menutupi keraguannya. Gadis itu tahu, tidak akan mudah menaklukkan pasien kaya dan keras kepala seperti pria di depannya. Mungkin akan butuh tarik ulur perasaan. Sebagai rang yang membutuhkan pekerjaan itu, maka dialah yang dituntut untuk lebih banyak mengalah dan mengendalikan diri.
Darius hanya menggelengkan kepala dengan nada sinis. "Terbaik? Kau sangat percaya diri bisa merawatku?”
"Ya, Tuan Darius," jawab Ranti sambil mengangguk yakin. “saya akan merawat Anda dengan baik!”
Dengan ekspresi yang semakin kesal, Darius menjelaskan, "Saya menderita penyakit Neurodegeneratif. Ini bukan hanya masalah kecil. Dokter bahkan hanya memberi saya waktu beberapa bulan lagi untuk hidup."
Ranti terkejut mendengar berita itu. Dia tidak tahu bahwa penyakit Darius sudah sampai tahap itu. Dia berbalik menatap pria di depannya dan menunjukkan wajah prihatin dan penuh empati.
"Kau tidak bisa membantuku. Tak seorang pun!" kata Darius dengan kasar.
Ranti mencoba menenangkan, "Saya sangat menyesal mendengarnya, Tuan Darius."
Darius mengabaikannya. "Penyesalanmu tidak akan mengubah apa-apa. Satu hal lagi! Aku benci wajah kasihan yang ditunjukkan semua orang padaku seperti yang kau tunjukkan saat ini!"
Gadis itu sedikit terkejut mendengar kata-kata lugas itu. Dia memperbaiki sikap dan berusaha untuk menunjukkan sikap profesional di depan pasien yang sangat sensitif itu. Dia tidak mau menyerah begitu saja.
"Sebagai perawat pribadi, saya hanya ingin membantu Anda. Menyiapkan makanan, obat dan kebutuhan Anda tepat waktu. Tugas saya adalah memastikan Anda terlayani dengan baik dan meringankan pekerjaan Pak Hendra!”
Darius memandang Ranti dengan skeptis. Dia memicingkan matanya yang gelap dan tajam. "Kau bilang, adikmu sakit. Apa kau pikir pengalaman pribadimu bisa membantu?"
Ranti menjawab dengan tegas, "Ya! Saya yakin kita bisa saling mendukung, Tuan. Saya akan merawat Anda dengan sebaik-baiknya, seperti yang selama ini saya lakukan pada adik saya."
Darius tetap berkeras. "Kau tidak tahu apa-apa tentang penyakitku."
Ranti tersenyum tulus. "Saya baru belajar tentang itu, Tuan. Saya siap untuk tantangan ini, selama Anda juga mendukung pekerjaan saya. Hanya dengan cara itu kita bisa menghindari pertengkaran.”
Ranti mencondongkan tubuhnya lebih dekat pada pria itu dan berkata lirih. “Apa pun yang Anda lakukan, apa pun siasat yang Anda buat, saya tidak akan berhenti dari pekerjaan ini. Karena saya adalah tulang punggung keluarga yang harus bertanggung jawab membiayai ibu dan adik saya!”
Darius memandangnya dengan ekspresi mengejek. “Mari lihat apa kau bisa bertahan. Aku yakin kau sendiri yang akan minta berhenti kurang dari seminggu!”
Dengan sedikit lega, Ranti kembali menegakkan tubuhnya dan mengangkat kepala. Senyumnya dikulum rapat untuk menyembunyikan kemenangan pertamanya. Matanya menatap Darius dengan percaya diri.
"Saya terima tantangan Anda dan akan bekerja sebaik mungkin, hingga Anda tidak punya lagi alasan menyuruh saya pergi!"
Pagi di hari ke dua. Setelah pembicaraan yang menenangkan tadi malam, Ranti optimis bahwa langkahnya akan lebih mudah lagi. Setelah Hendra memberi perintah untuk menyiapkan sarapan, gadis itu segera melakukan pekerjaannya dengan hati riang. Hingga sarapan sudah siap untuk diantar. Dengan memasang senyum di wajah, gadis itu melangkah ke kamar Darius untuk mengantar sarapan pagi.Ranti masuk ke dalam setelah mengetuk pintu dua kali. Namun, dia tak menemukan pria itu di sana. Diletakkannya nampan di meja dan melihat ke kamar mandi yang tertutup. Di sana juga tak ada. Kecemasan mulai menghinggapinya. Dengan cepat dia keluar kamar dan mencari Darius di dalam rumah. Bahkan saat semua sudut rumah dia telusuri dan memanggil-manggil, pemilik rumah yang sedang sakit itu tetap tak terlihat. “Ke mana dia?”Ranti lari ke luar rumah. Dilihatnya pintu depan terbuka, pikirannya langsung buruk. “Apakah Tuan Darius keluar rumah?”“Tuan!”Panggilannya tak memperoleh jawaban.“Pak Hendra!” teriaknya men
Pertanyaan Ranti yang begitu cepat dan bertubi-tubi, membuat Hendra mengerutkan dahi. Namun, dia segera mengerti apa yang terjadi. “Maksudmu Tuan tak ada di rumah?”Melihat mata Hendra yang membelalak terkejut disertai pertanyaan seperti itu, Ranti malah makin cemas. Dia mengangguk tak berdaya. Artinya mereka berdua kehilangan Darius. Hendra menghentikan mobil di jalan masuk depan rumah. Dia memastikan bahwa pagar telah tertutup rapat.“Bagaimana bisa kau kehilangan Tuan?” Suara Hendra sangat tajam menusuk. Menuduh gadis itu tak becus tanpa perlu mengatakannya secara langsung.“Saya mengerjakan tugas yang Anda beri, menyiapkan sarapan. Saat saya mengantar makanan ke kamar, Tuan sudah tidak ada,” jelas Ranti sambil mengikuti langkah Hendra yang sangat cepat.“Apa kau sudah memeriksa seluruh rumah?” tanya pria tua itu lagi.“Sudah. Saya sudah memeriksa seluruh rumah dan halaman depan. Namun, saya tidak bisa memeriksa halaman belakang. Saya tidak menemukan kunci pintu menuju halaman bel
Ranti mencari asal suara. Itu berasal dari seorang pria yang rambutnya sudah memutih seluruhnya. Ranti menduga, bahwa itu adalah ayah dari Darius. Dia bergegas berjalan ke sana sambil menunduk. Di samping pria itu, duduk seorang wanita cantik yang penampilan elegannya berhasil menyamarkan garis usia.“Saya, Tuan,” katanya menghadap.“Kenapa Darius bisa hilang dari pengawasanmu? Bukankah kau dipekerjakan untuk mengurusnya!” Wanita cantik itu langsung mencecar Ranti dengan pertanyaan telak.“Saya sedang menyiapkan sarapan untuk Tuan Darius, Nyonya,” jawab Ranti jujur.“Hah! Jangan banyak alasan! Kalau terbukti kau lalai dalam tugas, jangan mengira kami akan melepaskanmu begitu saja!” Pria lain di ruangan memberi ancaman.“Ya! Apa Hendra tidak ada menceritakan padamu bahwa kami telah enuntut salah seorang perawat ke muka hukum akibat melalaikan tugas?” Wanita cantik itu menambahkan informasi yang berrhasil membuat tengkuk Ranti meremang takut.“Maafkan saya, Nyonya. Saya memang mendapat
Ranti mendapat tugas untuk menjaga Darius yang dirawat di rumah sakit malam itu. Semua orang telah keluar dari ruangan dan meninggalkannya sendirian. Pak Hendra juga telah pergi setelah memberikan bekal makanan untuknya.Tak banyak yang dilakukan gadis muda itu malam hari karena Darius sepenuhnya tertidur dan perawat yang datang memeriksa di beberapa waktu, tidak mengatakan apapun.“Bagaimana keadaan Tuan Darius?” tanya Ranti ingin tahu.“Dia sedang tidur. Akan bangun setelah pengaruh obat habis.”Begitulah jawaban yang diterima Ranti. Akhirnya, gadis itu bisa beristirahat dengan tenang di sofa panjang yang ada di ruang perawatan. Gadis itu membayangkan keluarga dengan perasaan gamang. Betapa kini dia seperti didorong pada sesuatu yang sangat berbahaya.Sejak ayahnya yang bekerja sebagai Ojol meninggal sepulang mengojek, Ranti memang mau tak mau mengambil alih tanggung jawab biaya keluarganya. Karena sang ibu hanyalah penjual gado-gado kecil di depan rumah kontrakan mereka. Adiknya y
Mata Ranti terlihat khawatir. Meskipun begitu, dia merasa ragu jika itu adalah tugas para perawat. “Tuan Darius mungkin ingin ke kamar mandi. Dia mencari Pak Hendra. Mungkinkah ada perawat pria yang bisa menolongnya ke kamar mandi?”Dua perawat itu saling pandang sebelum menatap Ranti heran. Gadis itu memahami arti tatapan itu. Kemudian dia menjawab tanpa perlu ditanya. “Tuan tak mau dibantu oleh pekerja wanita seperti saya.” Gadis itu menunduk. Dia merasa tak berguna sama sekali.Sebelum ada siapapun yang bereaksi, kembali terdengar teriakan keras suara Darius yang memanggil Pak Hendra. Kali ini disertai nada marah yang mungkin mengagetkan semua pasien di lantai itu. Seorang perawat buru-buru lari ke sana dan yang lainnya mengangkat gagang telepon. Ranti ikut mengejar ke ruang rawat tuannya.“Di mana Hendra!” bentak Darius kasar. “Apa dia sudah bosan kerja?!”“Pak, ini rumah sakit. Pelayan Anda tidak ada di sini. Katakan apa yang harus kami bantu,” katanya menenangkan.Darius menata
Ranti berdiri kaku di balik daun pintu, mendengar umpatan tak pantas itu. Bagaimana mereka berharap kakaknya segera mati? Seburuk apa pun sikap Darius, dia tetaplah anak tertua keluarga Dharmajie.“Mau apa kau di sana!”Seruan Darius menyadarkan Ranti. Tangannya masih gemetar saat menutup rapat pintu ruangan. Segera dia menghampiri tempat tidur. “Apa Tuan butuh sesuatu?” tanya Ranti sigap.“Buang saja kue itu. Mereka telah meracuninya!” perintah Darius.“Tuan, jangan terus berprasangka buruk. Kue ini dari toko. Saya sendiri yang membuka kemasannya,” bujuk Ranti.“Kalau kau mau, makan saja! Tapi aku tidak bertanggung jawab jika kau tiba-tiba sakit atau mati!” ujarnya masih degan suara ketus.Ranti akhirnya diam. Dia tak mau berdebat lagi. Itu hanya akan membangkitkan kemarahan pria itu. Dia menyingkirkan kue itu dan meletakkannya di atas meja untuk dinikatinya nanti. Kue spesial dari toko kue terkenal. Belum tentu Ranti bisa membelinya. Alangkah sayang untuk dibuang.“Telepon Hendra un
Ranti akhirnya mengeluarkan tantangan untuk dirinya sendiri. Jika dia tak mampu membuat Darius bersikap lebih baik dari ini, maka dia lebih baik mengundurkan diri, sebab tugasnya sudah gagal.Wajah Darius benar-benar tak sedap dipandang, tapi dia menjawab dengan sangat cepat. “Aku terima tantanganmu!”Sekarang, bantu akau ke kursi roda sialan itu!” ujar pria itu kasar.Ranti bergerak cepat membantu Darius ke kursi roda dan membantunya ke kamar mandi. Gadis itu mendorong kursi roda hingga masuk ke kamar mandi, mendudukkan pria itu di toilet, baru keluar dan menutup pintu.“Jika sudah selesai, Tuan bisa berteriak memanggil saya,” ujarnya satar.Darius mendengus dengan wajah memerah. Sekarang, dia harus berusaha keras untuk bisa melepaskan pakaian bagian bawahnya. Ternyata itu tidak semudah yang dia kira. Gerak tangannya yang sedikit gemetar, memperlambat kerjanya.“Hendra! Akan kupotong gajimu sebulan!” umpatnya kesal.Ranti menunggu cukup lama di depan pintu. Dia sebenarnya khawatir de
Wajah Hendra terkejut, senang, dan berseri-seri. Bahkan meskipun sudah bertahun-tahun berlalu, dia tak akan melupakan suara itu.“Tuan Muda! Saya Hendra, pelayan di rumah Anda!”“Pak Hendra? Ah ... ada apakah meneleponku? Biasanya hanya Kakek yang menanyakan kabarku. Bagaimana keadaan Papa?” terdengar suara khawatir dari seberang telepon.“Tuan yang meminta saya menghubungi Anda, Tuan Muda. Sebentar ....”Pak Hendra mengubah tampilan ponselnya agar menjadi panggilan video, lalu mengarahkan pada Darius. “Ini Tuan Muda, jika Anda ingin bicara, Tuan.”Darius bisa melihat seorang pria muda tampil di layar ponsel. “Kau siapa? Di mana putraku, Oscar? Minta dia segera pulang sebelum mamanya marah!” perintah Darius dengan ekspresi serius.Lama tak ada jawaban dari telepon. Ranti mencoba memasang telinga untuk mendengar jawaban Oscar mendengar kata-kata Darius. Gadis itu dapat membayangkan reaksi putra sang majikan menghadapi kenyataan bahwa ayahnya sendiri tidak lagi mengenalinya.“Apa kau ta