"Aw!" aku memekik. Menahan sakit di bagian perut bawah.Tubuhku semakin membungkuk menahannya."Apakah kamu kontraksi, Hal?" tanya Rini."Apa?"Wajah Radit langsung pucat pasi."Apakah Halwa mau melahirkan?" tanya Radit cepat."Sepertinya begitu, Dit.""Apa yang harus kulakukan? apa yang harus kulakukan?" tanya Radit berulang-ulang hingga tangannya bergetar dan dingin.Aku menumpukan tangan pada lehernya, pelipisnya bahkan sudah dipenuhi keringat."Apa yang harus kulakukan, Hal?" tanyanya lagi dengan suara bergetar.Aku hanya terseyum kecil, "Tenanglah, aku masih bisa menahannya. Aw!" Tanganku semakin kuat menekan saat kontraksi itu datang."Bagaimana aku bisa tenang kalau kamu kesakitan begini," keluhnya."Bawa ke Rumah Sakit, Dit." Kudengar suara Rini memberi solusi."Bagaimana dengan acaranya?" tanyaku pelan, masih mencoba memberi senyuman pada tamu yang datang."Biar aku dan teman-teman yang mengatasi ini, pergilah cepat," jawab Rini lagi.Radit segera memapahku ke dalam mobil, "
"Apa yang harus saya lakukan, dok?"Lelaki itu kelimpungan untuk pergi, ia memutuskan kembali berlari menghampiri. Menanyakan apakah ia masih berguna saat ini."Berdoalah Pak. Hanya itu yang pasien butuhkan saat ini." Ucapan dokter terasa seperti sambaran kilat yang melesat menyabar hatinya.Kakinya tak kuasa pergi, ia sangat ingin menemani perempuan yang terbaring lemah di sana dan mengingatkan kalau ia ada di sini menunggunya dan tak pernah beranjak pergi.Namun, kata-kata dokter itu membuatnya tersadar, Halwa bukan hanya ingin ditemani ia membutuhkan doa untuk tetap bisa berjuang melawan maut.Sekali lagi sebelum benar-benar pergi ia kembali melihatnya.Wanita yang selama ini dicintainya terbaring lemah dan pucat, bibirnya sudah nampak kebiruan, ia seperti kedinginan dan hanya bisa merintih pelan. Orang-orang yang sibuk mengerumuninya seperti burung bangkai yang menunggu kematian datang pada mangsanya."Tidak!"Radit berlari sempoyongan mencari tempat di mana ia bisa menemukan Tuha
"Selamat malam Bu Halwa."Seorang suster mendorong boks bayi masuk ke dalam ruangan. Mataku berbinar saat melihatnya, begitu pun Radit, Bian dan Bi Asih yang baru saja datang."Bagaimana keadaannya, Sus?" tanyaku."Sangat sehat Bu.""Alhamdulillah."Suster itu memangku bayiku dan menyimpannya di bawah lengan, pipinya yang lembut dengan bibir tipis yang merah membuat seperti putri salju."Dia sangat cantik, Hal," ucap Radit."Bian ingin lihat," celoteh Bian berjingjit. Radit yang melihat langsung mengangkat Bian dan memeluknya."Dedek bayinya lembut banget, Mah," celotehnya lagi, "Bian gemesssss banget." Gigi Bian menggeretak."Sudah ada namanya, Neng?" Bi Asih tak kalah ikut nimbrung.Aku menggeleng."Kenapa?" tanya Radit. "Aku ingin kamu yang memberinya nama," jawabku menarik garis senyuman."Sungguh?""Ya."Radit nampak berpikir, "Anak perempuan yang cantik dan seorang pejuang seperti dia, sangat pantas Papah kasih nama Khawla.""Khawla?" Alisku mengernyit."Ya, beliau adalah satu-
Aku masih tertegun saat Bian berlari ke pelukan Bu Wida. Sejak kapan?"Nenek ...," teriaknya. Tubuh Bian menyelusup dalam pelukan. "Apakah sekarang Bian akan tinggal di sini?" tanya Bu Wida antusias.Bian mengangguk cepat, "Papah dan Bian sudah berhasil membuat Mamah untuk tinggal di sini," jawabnya bangga. Aku menyipitkan mata, anak itu sudah mulai bisa mengelabui, lalu begerak perlahan pada sekongkolannya. Radit yang melihat mataku mengintainya pura-pura sibuk menurunkan barang bawaan kami."Ini dimasukkan semua ke kamar Khawla ya, Bi," ujar Radit mencoba menghindariku."Dit." Aku meliriknya.Lelaki itu hanya tersenyum mesem dan mendekat ragu."Ada apa?""Aku malu sama Ibu," lirihku."Halwa, ayo masuk, Nak. Panas," panggilnya."Euh ... iya Bu."Sejak kapan Bu Wida memperlakukanku seperti ini, seingatku saat itu, beliau bahkan memanggilku dengan sebutan ibu atau klien. Apa aku tidak salah mendengar, ia memanggilku 'Nak'?Radit melebarkan senyum saat melihatku semakin bingung, tanga
Aku berjalan perlahan mengelilingi kamar besar yang Radit sediakan untukku dan Khawla, semuanya nampak baru dan tertata rapih. Begitu sempat ia menyiapkan ini semua. Pria itu benar-benar telah memikirkannya dengan matang, menyambut kedatangan kami dengan hangat.Sesekali aku melihat Khawla mengeliat, menangis sebentar kemudian terlelap. Nampaknya ia sangat senang dengan kamarnya, semenjak datang Khawla selalu menyamankan dirinya dan tertidur lelap. Hanya terbangun saat lapar, atau pun saat popoknya basah.Bayi empat hari itu sungguh sudah tahu di mana ia merasa nyaman dengan lingkungannya."Mamah ...."Bian mengucek matanya di depan pintu."Sayang, kok belum tidur sih?"Anak lelaki itu berjalan masuk dan duduk di atas ranjang. Bibirnya mengkerucut nampak kesal."Ada apa sih jagoan Mamah?" Usapku pada rambutnya. Wajahnya semakin dibuat merengut.Tidak biasanya Bian merajuk seperti ini, pasti ada sesuatu."Hei, Mamah kan nggak paham kalau Bian tidak berbicara," pancingku menatap wajahn
Kami sangat bahagia setelah menceritakan semua pada ibu. Beliau sungguh luar biasa. Wanita yang begitu tangguh di luar dan lembut di dalam. Membesarkan anak laki-lakinya sendirian hingga menjadi seorang pria bertanggung jawab dan penyayang. Itu tidak mudah, kebanyakan anak korban perceraian akan menjadi brutal dan haus kasih sayang hingga melampiskannya di jalanan.Aku akan mengikuti jejaknya, bagaimana beliau memperlakukan dan membimbing anaknya hingga seperti Radit sekarang. Bian harus seperti Papahnya meski tidak ada darah yang mengalir ketubuh itu, cinta Radit akan membentuk karakternya menjadi laki-laki yang kuat, bertanggung jawab dan berani, serta memiliki jiwa lembut dan penyayang di dalam hatinya."Sudah siap?"Radit menjegal di pintu, memperhatikan aku yang masih ragu untuk pergi."Hei ... kita harus pergi. Tanpa ayah kita tidak bisa menikah."Lelaki itu berjalan masuk dan menghampiriku yang masih duduk di meja rias. Tangannya menelukungkup di pundak menatap wajahku melalui
Mataku menerawang jauh keluar, melihat pepohonan yang nampak bergerak padahal mobil kami lah yang meluncur di aspal.Semenjak kapan ayah berubah begitu dingin? Sebelumnya, saat ibu masih ada meski jarang berbicara ayah tidak sedingin dan secuek itu padaku, tapi semenjak ibu pergi dan ia memutuskan untuk menikah lagi. Mulailah hubungan kami menjadi renggang, apalagi saat aku menikah, kami seperti orang asing di belahan dunia yang berbeda."Ibu punya tabungan, simpanlah ini," ucapnya sembari menyodorkan sebuah amplop."Hubungi orang yang ada di kartu itu, ia adalah teman Ibu di sana. Kamu bisa belajar usaha dan membiayai hidup sendiri. Mungkin saja setelah ini ayah ....""Kenapa ayah, Bu?"Sesaat ibu diam, lalu menggeleng pelan."Kamu harus jadi wanita mandiri, ibu tidak bisa memberi apapun hanya ini sebagai bekalmu. Jangan sampai kamu menjualnya, sebisa mungkin tetap bisa menghasilkan uang sendiri meski kamu menikah nanti," paparnya.Aku ingat betul kesedihan itu, setelah ibu benar-ben
[Kamu tidak bisa menikah tanpa wali, Halwa,] teriak ayah.[Orang yang mati tidak bisa menjadi wali. Ayahku sudah mati. Raganya yang dirasuki iblis tidak bisa menjadi wali!]Tubuhku bergetar dengan tangan yang terjuntai, Radit bergeming dari depan pintu.Braakk! ponsel yang kupegang jatuh dengan sendirinya.Tubuhku seperti batu yang berjalan, kaku dan dingin. Berjalan perlahan menuju balkon. Sebenarnya aku ingin meraung-raung saat ini, menumpahkan marah yang tak terbendung, tapi mengingat ada orang lain di kamar, aku malu melakukannya."Suster, bisa tolong bawa Khawla ke kamar Bian sebentar," pinta Radit."Iya Pak."Aku mendengar pintu kamar tertutup bersama dengan suara langkah kaki yang mendekat."Masuklah, Hal."Tangan Radit menelukup di pundak, air mataku sudah jatuh dalam diam, hanya pundak yang terasa naik turun. Pegangannya melebar hingga merangkul dari belakang, mengajakku untuk masuk."Banyak orang yang melihatmu di sini," lirihnya.Aku menurut dan mengikutinya masuk, menjatuh