"Makan dulu." Radit menyodorkan sepiring makanan yang baru saja ia angkat dari wajan."Aku sudah tak selera," gumamku enggan, hanya menatapnya begitu saja.Radit menarik kursi, duduk di sebelah dan menungguku untuk mulai makan, tapi sungguh aku sudah tidak berselera."Heum ...." Terdengar suaranya menghembus berat, mengambil tanganku dan memberikannya sendok."Aku nggak mau makan Radit," ucapku lagi mengkerucutkan bibir."Aku tidak memintamu makan, tapi bayi di dalam perut itu kelaparan. Makan makanan ini atau aku pindahkan bayi itu ke dalam perutku," kelakarnya. Aku menatap wajahnya, ekspresi serius dengan kata-katanya yang seperti itu membuatku geli."Emang di dalam perutmu ada rahim?" tanyaku datar."Aku akan menelan balon sebagai gantinya," jawabnya lagi dingin.Aku kembali menatap wajahnya, dia pun terlihat sudah tak mampu menahan tawa."Haruskah kupinjamkan bersama rahimnya?" timpalku lagi."Haruskah tanganku pun melambai seperti ini?" ucapnya sembari memperagakan."Hiiiii! amit
Apa kamu sudah meminumnya?" tanyanya pelan."Aku hanya tidak ingin calon kekasihku menjadi gendut. Tenanglah, aku hanya berniat membersihkan perutmu," ucap Bastian santai."Hal-wa?" Suara Radit terdengar gamang.Aku menatap Radit, wajahnya yang putih berubah merah padam. Lalu, berbalik menatap Bastian, lelaki itu hanya tersenyum cilik.Saat kulihat tangan Radit siap melayang untuk memukulnya, aku beranjak dari duduk dan menahannya.Kucondongkan tubuh tepat di hadapan lelaki itu, ia masih terlihat santai bersandar di kursi.Bruuuuusss! kopi yang baru saja kusesap, keluar seperti air shower tepat di wajah angkuhnya."Sebelum kamu membersihkan perutku, bersihkan dulu wajahmu itu!" pekikku lantang.Wajahnya terbengong sesaat, lalu ia meneggakan tubuh, mengusap kasar wajahnya."Beraninya kamu?" sentaknya tak terima, lalu ia tertawa licik, "aku suka wanita yang berani seperti ini," ucapnya kemudian, hendak menyentuh wajahku."Jangan sentuh dia!" ancam Radit, menarik tubuhku dan menghadapi l
"Hal ... Halwa ... bangun.""Halwaaa ...."Aku mengerjap, "Astagfirullah, Dit ...."Aku terdiam sejenak, mengumpulkan nyawa yang masih tertinggal di alam mimpi."Kenapa semua gelap?" gumamku ketakutan. Berkali-kali mengucek mata, tapi tidak bisa kulihat sedikit pun cahaya."Radit ... Bian, kalian dimana?"Aku meraba sekitarku, ini adalah kursi tempatku tadi tidur, tapi kenapa sekarang semua jadi gelap."Bian ...." Aku berjalan merayap, hati terasa gundah, bagaimana mungkin saat ini aku tidak bisa melihat apapun?"Diamlah Halwa, kamu bisa jatuh." Suara Radit terdengar menggema di kegelapan."Kamu di mana Dit?""Aku di sini," jawab Radit sembari membawa lilin dari arah pintu."Alhamdulillah," ucapku lega. Aku kira mataku yang bermasalah."Ada pemadaman listrik untuk sementara, aku sengaja datang membawa lilin, pintu masih belum terkunci dan di rumahmu gelap gulita. Aku balik lagi karena koreknya ketinggalan," paparnya sembari mencari tempat untuk menyimpan beberapa lilin."Ini jam berap
"Hei ...." Radit membuyarkan lamunanku."Uang itu tidak seberapa, kamu bisa mendapatkan lebih," terang Radit."Bukan masalah uangnya Dit, tapi masalah hati. Selama 8 tahun aku yang menemani, melayani, mengurus segala keperluarnya, ikut menanggung kerugian di saat ia gagal. Tapi apa yang kudapat Dit, Mas Rian mengkhianatiku, diam-diam dia menyimpan uang buat Riana dan Zain. Apa menurutmu itu adil?" keluhku geram."Ok, aku paham masalah itu, tapi jangan sampai merusak pikiran dan kesehatanmu," saran Radit lagi."Mungkin itu sebagai bentuk tanggung jawab Rian pada Zain selama 8 tahun ini Hal," tambahnya.Aku berbalik dan menatap wajahnya, "Sebenarnya kamu bela siapa sih? apa begitu pikiran semua laki-laki? sok mau ngasih nafkah banyak orang, merasa uangnya dihasilkan sediri jadi seenaknya. Dalam hukum pernikahan uang suami itu uang istri Dit, sepeser apapun uang itu dibelanjakan harusnya sepengetahun istri, bukan ngumpet-ngumpet sok biayain orang, apalagi itu milyaran," pungkasku semakin
"Aku harus pamit, Mas. Bian ada jadwal home schooling," ucapku memotong percakapannya dengan Bian."Belajar yang rajin ya sayang," pesannya, menatap bola mata Bian yang terlihat masih canggung dengan sikap Papahnya yang tiba-tiba berubah."Nanti Papah sering berkunjung buat nemenin Bian bermain," tambahnya, lalu mengecup tangan mungil itu.Bian hanya diam dan mengulas senyum sebelum pergi. Bi asih mendorong kursi rodanya keluar."Aku pun pamit, Mas," ucapku lagi hendak pergi."Hati-hati di jalan Hal, jaga anak-anak kita," pesannya lagi. Aku hanya tersenyum tipis sebelum berbalik, melirik Riana yang masih berdiri kokoh di sana meskipun seperti tak dianggap.Aku menutup pintu perlahan, sedikit ragu untuk melangkah. Aku sungguh penasaran ada apa dengan Mas Rian, apa ini hanya sebuah sandiwara?"Ada apa denganmu, Mas?" Samar kudengar suara Riana mulai berbicara.Tapi, sayangnya tidak kudengar jawaban dari Mas Rian. Apa mungkin terlalu jauh? dinding ruangan Mas Rian dibatasi oleh setengah
"Mau kemana?" tanya Radit nongol di jendela mobil."Mau ke cafe," jawabku jutek, memutar kunci kemudi."Nggak mau balik lagi ke kantor Bu Wida, sekalian aku kenalin?" ujarnya.Aku melirik dengan mata malas. Radit malah tersenyum mengejek dengan mata berkedip menggoda. Menyebalkan."Titip salam aja. Bilangan sama Bu Wida kalau gantiin baju bujang lapuk kaya gini jangan ditempat umum, bikin senewen yang lihat," balasku."Ah, kamu aja yang otaknya mesum," tukasnya tak mau kalah."Apa?" Aku melirik sinis, menaikkan kaca jendela."Aw ... aw ... aw ... Halwa nanti aku kejepit," pekiknya setengah berteriak."Rasain," ujarku sembari menginjak gas."Jangan lupa makan siang," teriaknya melambaikan tangan.Mataku menyipit, mengintip melalui kaya spion. Bibir bergerak perlahan menyunggikan senyum.Ada-ada saja ulahnya itu.Sampai di depan cafe terlihat banyak orang berkerumun, aku segera turun untuk melihat situasi.Rini berlari tergesa mencari bantuan."Rini ada apa?" Aku mencegatnya."Gas kompo
"Selamat malam Bu Halwa," sapa seorang suster mendorong troli makanan."Malam, Sus.""Gimana keadaannya sekarang?""Sudah lebih baik, Suster," jawabku lesu."Makan yang banyak ya," ucapnya sembari memeriksa layar detak jantung janinku."Detak jantungnya sudah mulai normal lagi," ujarnya."Alhamdulillah kalau begitu Sus." Aku merasa lega, bayiku sudah baik-baik saja."Kamu akan jadi anak yang kuat kaya kakak Bian ya sayang." Elusku pada perut yang mulai terasa bergetar."Ih, perutmu bergetar, Hal," pekik Radit antusias.Aku hanya tersenyum, lalu kembali mengelusnya. Radit mendekat, terlihat binar matanya bergerak beraturan, memperhatikan getaran perutku."Kamu nanti akan merasakan bahagianya punya anak sendiri, Dit," ucapku pelan.Dia diam, matanya terangkat menatapku lekat."Kamu tidak mau aku jadi ayah dari anak itu dan Bian?" Perkataannya membuat jantungku berlonjakan.Segera kutepis rasa itu, lalu menggeleng."Kamu bisa dapat perempuan yang lebih baik segalanya, Dit. Bukan wanita
"Yeay ... hari ini Mamah pulang," Bian bersorak gembira di depan pintu. Di dorong masuk oleh Radit.Sebenarnya tubuhku sudah pulih sejak hari ke dua di Rumah Sakit, tapi untuk tetap bisa mengontrol kesehatan janin yang ada di dalam kandungan. Radit bersikukuh memintaku untuk berdiam di ruangan pasien ini."Bagaimana kalau sebelum pulang kita mampir dulu ke Mall, bahan makanan di rumah sudah menipis. Kamu kuat kan, Hal?" tanya Radit."Aku bilang dari tiga hari yang lalu, aku udah sehat Radit. Kamunya aja yang bersikukuh aku harus tinggal di kamar ini," ujarku sembari memasukkan barang terakhir."Nggak ada salahnya jaga-jaga, di sini kamu lebih terperhatikan suster dari pada di rumah," tukasnya. Selalu ada saja argumennya yang membuatku hanya bisa diam."Yeay! Bian bisa beli sesuatu di sana Pah?" tanya anak kecil itu.Apa? Apa aku tidak salah dengar."Sayang, kamu manggil Om Radit apa?" tanyaku memastikan."Papah Mah, Om Radit bilang, sekarang Bian bisa memanggilnya dengan sebutan Papah