Share

Sepi yang Baru Kusadari

Persiapan makan malam sudah terhidang di meja, aku menunggu bersama Bian di meja makan. 

Ini sudah pukul 19.00 kami hanya berdua karena Bi Asih pulang saat sore dan kembali pagi hari.

"Mah, Papah masih lama ya?" protes Bian nampak bosan.

"Bian lapar, Nak?"

Anak usia 7 tahun itu mengangguk, aku kembali menoleh jam. Sudah pukul 19.30 deru suara mobil Mas Rian masih belum terdengar.

Aku menatap Bian yang menahan rasa laparnya, lalu mengambil piring dan menyiduk makanan.

"Makanlah sayang," ucapku sembari menyodorkan piring.

Bian menatapku iba, "Mamah, nggak makan?"

"Hm ... Mamah belum lapar. Jadi, mau menunggu Papah pulang," jawabku dengan senyum yang mengembang, tepatnya dipaksakan.

Aku melihat bagaimana anak itu makan dengan lahap, menghabiskan makanannya dan mencium pipiku sebelum beranjak pergi dari meja makan.

"Terimakasih makanannya Mah, itu sangat enak dan Bian sangaaaat suka," pujinya.

Aku hanya menatapnya, merasakan apakah itu cinta atau hanya sebagai ucapan basa-basi saja. 

"Sama-sama sayang," jawabku mengelus rambutnya.

Tepat pukul 20.15 menit aku mendengar seseorang mengetuk pintu. Bergegas aku berjalan ke pintu depan dan melihat laki-laki yang telah berjanji untuk datang tidak telat itu sudah ada di depan mata.

"Maaf ya, tadi ada klien yang harus mas temui dulu," ucapnya seolah merasa dirinya bersalah karena mengingkari janji.

"Bersihkan tubuhmu, Mas," titahku tanpa mempermasalahkan kedatangannya yang terlambat.

Ia masuk ke kamar mandi, sedangkan aku hendak menutup layar laptop yang dibuka saat menunggunya.

Pesan di layarnya masih terlihat jelas.

To :

Riana_Maharani

Aku sudah menunggumu di tempat biasa Riana, datanglah sebentar saja.

______

"Kamu belum makan kan, Mas?" tanyaku sembari memberikannya handuk wajah.

Dia menggeleng.

"Kalau begitu, mari makan," ajakku.

Mas Rian mengikuti, tertegun sebentar sebelum kulihat dahinya berkerut. Ia pasti heran dengan makanan yang terhidang begitu banyak dan istimewa.

"Mungkin makanannya sudah dingin, dan rasanya tidak seperti saat pertama di hidangkan. Tapi, akan tetap sama jika Mas menyukai makanannya. Betul kan Mas?"

"Heum ...." Ia nampak kaget dengan pertanyaanku yang terlontar secara tiba-tiba. Tersenyum tipis, lalu duduk di kursi biasa ia menikmati hidangan.

Aku menyiduk nasi dan lauk yang Mas Rian suka. Tanpa menolak atau pun meminta ia hanya menerima dan mulai menyuap. Tidak ada candaan, guyonan, apalagi pembahasan panjang, kami hanya sama-sama diam, membisu dan menghabiskan makanan. Dingin, sepi, baru kurasakan saat ini. Biasanya aku tidak merasakan apa-apa selain memaklumi, 'kami sedang makan jadi tidak perlu berbicara, apalagi hal yang tidak penting.' Tapi, entah kenapa kini aku menginginkannya.

Mas Rian menyeka mulutnya setelah merasa cukup, ia tersenyum dan berkata, "Makanannya sangat enak," lalu pergi lebih dulu meninggalkanku yang masih menatap piring-piring lauk yang masih penuh.

Aku berjalan gontai memperhatikan penampakan keluargaku yang sebenarnya, kutengok Bian sedang sibuk dengan mainannya di kamar, Mas Rian berada di ruang tengah di depan layar laptopnya, biasanya aku bersantai di sofa dan berselancar di medsos. Tertawa, bersedih melihat dan membaca kabar yang mereka bagikan. Sedangkan keluargaku yang begitu dekat, aku biarkan mereka sibuk dengan dunianya.

Selama delapan tahun aku tidak menyadari adanya lubang itu dalam keluarga kami, tidak adanya kehangatan, cinta dan rasa saling memiliki.

Aku mendekati Mas Rian, memeluknya dari belakang. Dia merasa kaget dan segera menutup laptopnya.

"Mas, masih sibuk ya?" tanyaku yang sudah jelas melihat apa yang sedang dilakukannya.

"Enggak, ada apa?" tanyanya terbata. Padahal aku melihat jelas ia sedang menunggu balasan e-mail dari Riana.

"Nggak apa-apa, hanya ingin memelukmu seperti ini saja," jawabku pelan.

Mas Rian terlihat kaku, hal ini memang sangat langka aku lakukan. Ia mengelusik tanda kurang nyaman. Itulah sebabnya aku tidak melakukannya, ia tidak senang saat aku bermanja dan lebih suka menyendiri.

Ternyata alasannya bukan karena ia lebih suka menyendiri, tapi ah ... sungguh sangat sakit.

"Mas."

"Heum."

"Nggak," jawabku lagi. Melepaskan pelukan.

Mas Rian masih diam tanpa merespon lebih. Aku berjalan menuju kamar Bian, memeluknya dengan erat. Lalu, ia berbalik, menatap sesaat dan menghujaniku dengan ciuman.

"Apakah Mamah kangen aku?" Matanya bergerak-gerak menelaah sikapku.

"Ya. Mamah sangat rindu, bukankah sangat jarang Mamah melakukan ini padamu?" tanyaku dengan tangis yang hampir pecah.

"Aku mengerti Mamah bekerja dan lelah. Tapi, aku tahu Mamah sangat mencintaiku," tuturnya.

"Apakah kamu mencintai Mamah?" tanyaku lagi dengan suara yang semakin berat.

"Tentu saja. Aku sangat mencintai Mamah."

Kupeluk Bian lebih erat, hati yang kupertahankan untuk kuat akhirnya luluh juga. Ia menumpahkan lava kesedihan yang sedari tadi berjejal ingin keluar.

"Papah, kemarilah," ajak Bian, mengulurkan tangan pada Mas Rian yang tidak kusadari dia sudah berdiri di depan pintu.

Aku segera menyeka air mata dan membuang pandangan.

Mas Rian duduk tepat di sampingku, sedangkan wajahnya berhadapan dengan Bian.

"Pah, Mamah sedang sedih. Aku sudah mengatakan kalau aku sangat mencintainya, tapi rasa sedihnya belum hilang. Katakanlah kalau Papah sangat mencintainya juga agar Mamah merasa senang dan bahagia," tutur Bian.

Mas Rian terdiam mendengar ocehan Bian dan menatapku, "Ada apa?" tanyanya. Mungkin dia merasakan ada hal yang tidak biasa dari diriku.

"Apa kamu lelah, dan ingin pergi liburan lebih awal," tanyanya. Tanpa memenuhi permintaan Bian yang sebenarnya lebih sederhana, tapi tidak pernah bisa Mas Rian berikan, ia malah menawari sesuatu yang lain sebagai penggantinya.

"Tidak, aku tidak ingin itu."

"Lalu?"

Kutatap bola mata itu, mencoba menyelami apa yang tersirat di dalamnya.

"Aku ingin sesuatu yang tidak bisa Mas berikan untukku, tapi bisa Mas berikan untuk orang lain."

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status