Share

Hatiku Mencelos

Penulis: lasminuryani92
last update Terakhir Diperbarui: 2022-02-14 12:39:26

Bola mata lelaki itu bergerak perlahan, mencoba memahami perasaan yang aku sembunyikan, lalu tatapannya meneduh, mengambil tanganku dan menggenggamnya.

"Tidak semua hal yang kita inginkan bisa dimiliki, kamu sudah mendapatkan banyak hal yang tak sebanding dengan apa yang kamu inginkan."

"Tidurlah, ini sudah malam," ucapnya sebelum pergi, mengelus rambut Bian, dan berjalan keluar.

"Mah," panggil Bian membuyarkan lamunan. Aku baru saja mencoba memahami perkataan yang Mas Rian utarakan.

Anak lelaki itu menyelusup dalam pangkuan, menempatkan dirinya agar bisa berbaring.

"Aku punya Papah dan Mamah, itu jauh lebih berarti dari segalanya," ucapnya sembari memandang wajahku yang masih memikirkan perkataan Mas Rian.

Tak bisa disangkal Bian anak yang cerdas, ia pandai membaca situasi, memahami perasaan orang tuanya.

"Tidurlah sayang." Aku mengelus pundaknya, menyugar rambut tipis yang mirip ayahnya, "benar, kebersamaan kita tidak sebanding dengan apa yang ingin mamah miliki."

_______

Bian bangun lebih awal, ia bersemangat untuk ikut ke cafe, aku senang melihatnya begitu bergairah.

Mas Rian ijin berangkat lebih awal, katanya ada rapat pagi. Aku tidak banyak bertanya, selalu percaya pada apa yang dikatakannya seperti dulu, sebelum Tuhan memperlihatkanku pada kenyataan pahit yang sebenarnya tidak siap aku terima.

Aku dan Bian sampai di cafe, ia menyusun mainan yang di bawanya dari rumah.

"Sebanyak itu kamu membawa mainan?" tanyaku pada Bian. Ternyata ia lebih dulu memasukkan tas mainannya sebelum aku menaiki mobil.

"Teman baruku harus tahu, kalau aku sangat dicintai Papah, Mah," celotehnya. Memang benar semua mainan yang ia bawa saat ini adalah pemberian ayahnya.

Rupanya penilaian Bian hampir sama denganku, aku anggap Mas Rian sangat mencintaiku karena ia adalah suami yang bertanggung jawab. Meski aku bekerja, nafkah ekonomi tidak pernah kurang, nafkah bathin pun ia berikan dengan sopan dan lembut.

Saat ini aku baru sadar, kalau tanggung jawab dan cinta adalah sesuatu yang berbeda.

"Hal, ada yang mencari." Tiba-tiba kepala Rini mendongak di celah pintu.

"Oh ya. Mungkin itu Riana, dan Zain," jawabku memberi isyarat pada Bian.

"Bawa mereka masuk, Rin."

"Ok."

Bian bersembunyi di belakang tubuhku untuk mengindetifikasi teman barunya yang datang.

Zain dan Riana datang, anak lelaki yang terlihat sedikit lebih dewasa dari anakku itu melongok Bian yang masih malu-malu. Lalu, ia berjalan menghampirinya.

"Aku Zain, namamu pasti Bian, kan?" sapanya mengulurkan tangan.

Bian tersenyum menyambut tangan Zain, beradaptasi sebentar sebelum ruangan akhirnya menjadi sangat ramai dengan suara teriakan dan gelak tawa mereka.

"Duduklah." Aku mempersilahkan Riana untuk duduk di sofa, sedangkan kedua anak lelaki itu asyik bermain di karpet.

"Apakah kedatangan kami tidak mengganggumu?" tanyanya tiba-tiba.

Aku tersenyum, lalu menggeleng.

"Selama ini aku terlalu banyak bekerja hingga lupa memperhatikan orang-orang di dekatku."

"Mungkin justru undanganku yang menggangu waktumu?" tanyaku balik. Menuangkan teh pada gelasnya.

"Aku masih baru di sini, setelah hampir 8 tahun tinggal di kota orang. Kota sendiri serasa asing," jawabnya sembari menyeruput teh dan memalingkan wajah ke luar jendela.

Persis sama dengan pesan e-mail yang dikirimkan Mas Rian pada Riana. Delapan tahun silam Riana menghilang dan saat ini ia kembali.

"Apa yang membuatmu akhirnya kembali?"

"Heum ...." Riana mengangkat kedua alisnya, menyimpan cangkir teh dengan pelan. 

Mataku tidak lepas dari memandangnya, dia terlihat terkejut dengan pertanyaan itu, namun tetap terlihat tenang dan bersikap anggun.

"Tak bisakah aku kembali pada masa lalu yang telah lama ditinggal pergi?" tanyanya. Dahiku mengerut disusul gelak tawanya yang ditutupi telapak tangan.

"Sebelumnya aku ikut suami Mbak. Oh ya siapa namanya? sepertinya kita belum berkenalan," lanjutnya, menjulurkan tangan.

Tangan putih dan terlihat lembut dengan jemari yang lancip, mengambang di udara menungguku menyambut.

"Aku Riana," ucapnya.

"Halwa." Tangan kami saling menjabat.

Benar saja, kulit tangannya begitu halus dan lembut. Bibirnya merekah dengan senyum yang indah.

"Aku sangat senang bisa menemukan seseorang di sini," ujarnya.

Riana sedikit bergeser untuk memperbaiki posisi duduknya, menyandarkan punggung ke sandaran sofa dan terlihat lebih santai.

Kami masih berbicara dan menceritakan banyak hal, saling mengenal satu sama lain. Sampai kudengar suara anakku berteriak cukup keras.

"Bagaimana bisa kamu tidak hati-hati!" sentak Bian mengambil mobil-mobilan yang masih dipegang Zain. Seketika menghentikkan percakapan kami dan bersamaan menoleh pada keduanya.

"Ini hanya sedikit," bela Zain.

Zain terlihat kaget saat Bian bereaksi cukup keras, wajahnya merengut dengan tangan yang bergetar.

"Kamu tidak bisa merusak barang berharga orang lain," ucap Bian kecewa, mencoba membetulkan bagian yang patah.

"Aku akan membantumu memperbaikinya." Rayu Zain lagi merasa bersalah.

Pelan, Zain menyodorkan tangannya untuk ikut membantu memperbaiki, tapi Bian menepis kasar.

"Tidak mau! Papah pasti kecewa karena aku tidak bisa menjaganya," jawab Bian hampir menangis.

Zain mundur perlahan, berlari pada pangkuan Riana.

"Aduuh sayang, nggak apa-apa, nanti kan bisa sama-sama dibetulkan sama Papah. Ini bisa diperbaiki kok." Aku mendekati Bian yang terlihat sangat murung.

"Maaf ya, Riana," ucapku menyesal.

Ia menggeleng, "Ini bukan salah Bian. Hanya saja." Ucapan Riana terjeda, mengangkat kepala Zain yang menunduk, "Hei anak jagoan, masih ada ibu di sini," lirihnya menguatkan.

Apa? apa Zain sudah tidak punya ayah?

Aku segera memeluk Bian dan membawanya mendekati Zain.

"Maaf sayang, Bian pasti tidak bermaksud seperti itu, iya kan?" ucapku mencari persetujuan Bian.

Bian menatapku, aku memberi isyarat agar ia meminta maaf.

Perlahan Bian mengulurkan tangannya, menarik pakaian Zain pelan.

"Kamu tidak usah sedih, aku punya Papah yang sangat hebat, kita bisa bersama denganya. Papahku bisa menjadi Ayahmu juga," kata Bian dengan senyum tulus.

Hatiku mencelos dengan apa yang dikatakan Bian.

Bagaimana bisa dia membagi Papahnya untuk orang lain? Sedangkan aku begitu takut kehilangannya.

Bersambung .....

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ati Husni
halwa yg tegar ya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • CINTA SUAMIKU UNTUK WANITA LAIN   Berdamai dengan Masa Lalu

    "Sudah bersih aja nih pengantin baru," goda Ibu saat aku menghampirinya di dapur.Aku hanya tersenyum kecut alias asem. Malam pertama yang gagal maning itu membuatku sedikit kurang mood."Ibu, pagi-pagi udah sibuk di dapur, nggak lelah?" tanyaku, sembari mengambil apel dan memotongnya dadu."Sudah biasa ibu menyiapkan makan sendiri, Hal," jawabnya sembari menyodorkan hasil masakannya pagi ini.Aku melihat banyak makanan yang sudah ibu siapkan, menunya persis sama seperti yang sering dimasak Radit. Buah kelapa jatuh tidak jauh dari pohonnya, keahlian memasak Radit sudah pasti di turunkan dari Ibu."Pagi semua?" sapa Radit bersama anak laki-lakinya.Aku dan ibu saling melirik dan menyipitkan mata. Lihatlah mereka, dari mulai gaya rambut sampai gaya pakaian hampir sama, udah kaya kembar beda usia."Berdoa nggak keramasnya?" tanya ibu tiba-tiba.Aku yang masih memotong buah-buahan hampir saja terpeleset pisau. Lalu, berbalik ke arah ibu.Ibu berdiri di depan Radit sekarang, saat kuperhat

  • CINTA SUAMIKU UNTUK WANITA LAIN   Gagal Maning

    Brugh! Aku menoleh, Bian menjatuhkan tubuhnya di atas kasur, tangan dan kakinya terlentang berusaha memenuhi ranjang."Bian mau bobo di sini," ujarnya.Aku menyipitkan mata, entah apa maksudnya karena dari pertama pindah ke rumah ini, tidak pernah sekali pun Bian meminta tidur di kamar ini.Tanganku yang sedang mengganti popok Khawla segera berhenti, meminta suster untuk meneruskannya."Apakah Bian lelah?" tanyaku.Dia mengangguk. Ini sudah pukul 21.00 namun tamu yang datang ke pernikahan kami masih saja ada. Radit bahkan belum terlihat, ia masih sibuk melayani tamu."Kenapa Bian mau tidur di kamar Mamah?" tanyaku penasaran."Papah, pasti tidur di sini kan Mah? jadi Bian mau tidur sama Papah," jawabnya polos."Ouh ...." Aku mengangguk.Ikut duduk di samping ranjang dan menatap bola mata Bian yang memandangku tanpa berkedip."Jadi, bukan mau tidur sama Mamah ya?" tanyaku lagi.Wajahnya menggeleng cepat."Baiklah," ucapku, hendak beranjak.Brugh! Suara itu membuatku terkejut.Saat meno

  • CINTA SUAMIKU UNTUK WANITA LAIN   Hari Bahagia2

    Ayah menatap kami sesaat, lalu berjalan mendekat.Hatiku sudah tidak karuan, keringat dingin menjalar ke tangan. Radit memegang tanganku yang bergetar."Tenanglah," ucapnya pelan.Ayah berhenti di hadapanku sekarang, berdiri dan menatap. Aku dan Radit ikut berdiri untuk menghormatinya. Mata itu menatap lekat, mencoba menyelami perasaanku saat ini."Nak," sapanya.Hatiku bergemuruh, entah kapan sapaan itu terucap dari bibirnya. Bahkan ketika aku terpukul akan kepergian ibu, ayah tidak pernah menyapaku sehangat ini."Selama kamu ada, entah kapan aku pernah menjadi seorang ayah untukmu.Keterpaksaan ayah menikahi ibumu membuatku terpaksa harus menerimamu juga. Ayah tidak pernah berencana untuk memiliki anak dari ibumu karena pernikahan kami hanya untuk sementata. Namun takdir berkata lain, kamu tiba-tiba lahir dan membuatku terpaksa bertahan dengan pernikahan itu.Kebaikan dan ketulusan Dinda yang diturunkannya padamu, tidak membuatku lantas bisa menerima kalian, hingga aku benar-benar p

  • CINTA SUAMIKU UNTUK WANITA LAIN   Hari Bahagia

    "Dit.""Heum."Radit yang sedang memegang ponsel berbalik melihatku, matanya seolah terpesona dan takjub. Aku berjalan anggun memakai gaun putih mendekatinya."Bagaimana?" tanyaku malu-malu. Pipi terasa panas, bisa kuperkirakan ia memerah saat ini. Aku segera menundukkan wajah saat tatapan Radit membuatnya semakin merona."Eits."Ponsel yang dipegang Radit hampir saja jatuh, ia tersenyum kecut dan segera mengantonginya.Tatapannya begitu beda, ia nampak seperti orang yang baru saja melihatku setelah begitu lama kami tidak bertemu, entah apa yang ada dalam pandangannya saat ini.Wajahku semakin tertunduk malu, kenapa dia memandangku seperti itu?Radit menghela napas bahagia hingga terdengar suara yang tidak bisa disembunyikannya.Ia berdiri kikuk menghampiri. Mengangkat wajahku lembut."Bagaimana kamu bisa secantik ini Halwa?" ucapnya dengan mata berkaca-kaca."Aku serasa menemukan Halwa 8 tahun yang lalu, saat jiwaku remuk karena mimpi menikahimu lenyap tergerus penyesalan.Tidak ada

  • CINTA SUAMIKU UNTUK WANITA LAIN   Pasca Dirumahkan

    "Kenapa kamu sudah pulang, Mas?" Suara Sarah_istri Bagus yang dinikahinya 13 tahun yang lalu terdengar menggema dari ruangan tv.Melihat suaminya yang hanya menundukkan kepala tanpa merespon membuat Sarah geram."Mas, kau jangan coba-coba mulai males ya bekerja!" sentaknya.Ia bangkit dari duduk, meninggalka film kesukaannya dan menghentakkan kaki di lantai. Menghampiri Bagus yang masih berjalan menunduk tanpa merespon."Mas!" Tangannya membalikan tubuh Bagus kasar.Bagus berbalik, wajahnya sayu dan lelah, dasi di kemejanya sudah melonggar dan berantakan."Ada apa Mas?"Mata Sarah mulai menyelidik, melihat wajah suaminya yang tak biasa."Ada apa Mas, katakan!"Sarah menggoncang-goncangkan tubuh suaminya kasar.Mata Bagus mendelik melihat istrinya. "Hentikan Sarah! ini semua salahmu!"Bagus melempar sebuah amplop surat yang sudah dibuka. Sarah yang melihat itu segera memungutnya.'Surat Pemberhentian Kerja?' gumam Sarah."Bagaimana bisa Mas? Kamu melakukam kesalahan apa?" sentak Sara

  • CINTA SUAMIKU UNTUK WANITA LAIN   Sentilan untuk Ayah

    [Kamu tidak bisa menikah tanpa wali, Halwa,] teriak ayah.[Orang yang mati tidak bisa menjadi wali. Ayahku sudah mati. Raganya yang dirasuki iblis tidak bisa menjadi wali!]Tubuhku bergetar dengan tangan yang terjuntai, Radit bergeming dari depan pintu.Braakk! ponsel yang kupegang jatuh dengan sendirinya.Tubuhku seperti batu yang berjalan, kaku dan dingin. Berjalan perlahan menuju balkon. Sebenarnya aku ingin meraung-raung saat ini, menumpahkan marah yang tak terbendung, tapi mengingat ada orang lain di kamar, aku malu melakukannya."Suster, bisa tolong bawa Khawla ke kamar Bian sebentar," pinta Radit."Iya Pak."Aku mendengar pintu kamar tertutup bersama dengan suara langkah kaki yang mendekat."Masuklah, Hal."Tangan Radit menelukup di pundak, air mataku sudah jatuh dalam diam, hanya pundak yang terasa naik turun. Pegangannya melebar hingga merangkul dari belakang, mengajakku untuk masuk."Banyak orang yang melihatmu di sini," lirihnya.Aku menurut dan mengikutinya masuk, menjatuh

  • CINTA SUAMIKU UNTUK WANITA LAIN   Pesan dari Ayah

    Mataku menerawang jauh keluar, melihat pepohonan yang nampak bergerak padahal mobil kami lah yang meluncur di aspal.Semenjak kapan ayah berubah begitu dingin? Sebelumnya, saat ibu masih ada meski jarang berbicara ayah tidak sedingin dan secuek itu padaku, tapi semenjak ibu pergi dan ia memutuskan untuk menikah lagi. Mulailah hubungan kami menjadi renggang, apalagi saat aku menikah, kami seperti orang asing di belahan dunia yang berbeda."Ibu punya tabungan, simpanlah ini," ucapnya sembari menyodorkan sebuah amplop."Hubungi orang yang ada di kartu itu, ia adalah teman Ibu di sana. Kamu bisa belajar usaha dan membiayai hidup sendiri. Mungkin saja setelah ini ayah ....""Kenapa ayah, Bu?"Sesaat ibu diam, lalu menggeleng pelan."Kamu harus jadi wanita mandiri, ibu tidak bisa memberi apapun hanya ini sebagai bekalmu. Jangan sampai kamu menjualnya, sebisa mungkin tetap bisa menghasilkan uang sendiri meski kamu menikah nanti," paparnya.Aku ingat betul kesedihan itu, setelah ibu benar-ben

  • CINTA SUAMIKU UNTUK WANITA LAIN   Bertemu Ayahku

    Kami sangat bahagia setelah menceritakan semua pada ibu. Beliau sungguh luar biasa. Wanita yang begitu tangguh di luar dan lembut di dalam. Membesarkan anak laki-lakinya sendirian hingga menjadi seorang pria bertanggung jawab dan penyayang. Itu tidak mudah, kebanyakan anak korban perceraian akan menjadi brutal dan haus kasih sayang hingga melampiskannya di jalanan.Aku akan mengikuti jejaknya, bagaimana beliau memperlakukan dan membimbing anaknya hingga seperti Radit sekarang. Bian harus seperti Papahnya meski tidak ada darah yang mengalir ketubuh itu, cinta Radit akan membentuk karakternya menjadi laki-laki yang kuat, bertanggung jawab dan berani, serta memiliki jiwa lembut dan penyayang di dalam hatinya."Sudah siap?"Radit menjegal di pintu, memperhatikan aku yang masih ragu untuk pergi."Hei ... kita harus pergi. Tanpa ayah kita tidak bisa menikah."Lelaki itu berjalan masuk dan menghampiriku yang masih duduk di meja rias. Tangannya menelukungkup di pundak menatap wajahku melalui

  • CINTA SUAMIKU UNTUK WANITA LAIN   Restu Ibu

    Aku berjalan perlahan mengelilingi kamar besar yang Radit sediakan untukku dan Khawla, semuanya nampak baru dan tertata rapih. Begitu sempat ia menyiapkan ini semua. Pria itu benar-benar telah memikirkannya dengan matang, menyambut kedatangan kami dengan hangat.Sesekali aku melihat Khawla mengeliat, menangis sebentar kemudian terlelap. Nampaknya ia sangat senang dengan kamarnya, semenjak datang Khawla selalu menyamankan dirinya dan tertidur lelap. Hanya terbangun saat lapar, atau pun saat popoknya basah.Bayi empat hari itu sungguh sudah tahu di mana ia merasa nyaman dengan lingkungannya."Mamah ...."Bian mengucek matanya di depan pintu."Sayang, kok belum tidur sih?"Anak lelaki itu berjalan masuk dan duduk di atas ranjang. Bibirnya mengkerucut nampak kesal."Ada apa sih jagoan Mamah?" Usapku pada rambutnya. Wajahnya semakin dibuat merengut.Tidak biasanya Bian merajuk seperti ini, pasti ada sesuatu."Hei, Mamah kan nggak paham kalau Bian tidak berbicara," pancingku menatap wajahn

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status