"Ada yang salah, Mbak?" tanyanya menyelidik. Binar matanya memancar indah, dengan lesung pipit yang mengembang.
Aku menggeleng pelan, dan memberikan bukti pembayaran itu.
"Terimakasih kalau begitu, saya duduk dulu," lanjutnya. Ia berjalan, lalu kembali menoleh, melempar senyum, menanggapi kecanggung hatiku yang tidak bisa mengontrol rasa.
Pesanannya telah selesai, aku segera mengambil alih dari Waiters dan memutuskan untuk menghidangkannya sendiri.
"Permisi," ucapku pada keduanya. Mereka berbalik dan memberikan senyum yang begitu manis. Jika tidak salah menebak anak di depanku ini seumuran dengan Bian.
"Ini pesanan anak ganteng," kataku menyodorkan kentang goreng yang ia minta sedari tadi.
Anak lelaki itu meraihnya, matanya berkaca-kaca dan terlihat bahagia.
"Terimakaih tante," jawabnya halus. Aku sedikit membungkuk untuk menyapanya.
"Kalau boleh tahu siapa namanya?"
"Aku?" Tunjukknya pada diri sendiri.
Bibirnya yang dipenuhi kentang goreng bergerak perlahan, menatap wajahku yang masih memperhatikannya.
"Heum, si ganteng ini." Tunjukku tepat pada tangan yang ia tunjukkan pada dadanya.
"Namaku Zain, Tante."
"Nama yang sangat bagus sayang. Tante punya anak laki-laki seumuran denganmu juga, namanya Bian."
"Wah, sungguh?"
"Heum."
"Aku akan senang punya teman di sini," jawabnya
Aku mengerutkan dahi untuk tahu maksud pembicaraannya.
"Iya, kami baru saja pindah ke kota ini, tepatnya kembali," jawab Riana sembari menggenggam tangan anaknya.
Ada kekuatan yang ingin coba ia pindahkan melalui genggaman itu.
"Besok tante ajak Bian kemari, datanglah untuk bermain," ujarku.
"Sungguh?" Zain terpekik riang. Riana sangat senang melihatnya.
Aku meninggalkan mereka untuk menikmati hidangan, dari kejauhan kuperhatikan tingkah keduanya.
Zain adalah anak yang sangat menggemaskan, Riana terlihat sangat anggun dengan balutan pakaian yang sopan dan caranya memperlakukan anak sebesar Zain yang sedang aktif berbicara dan banyak bertanya itu begitu sabar dan telaten.
Saat mereka terlihat akan selesai makan, aku sengaja berdiri di dekat pintu keluar. Keduanya berjalan bergandengan tangan, aku membungkuk mengucapkan terimakasih.
Riana mendekat dan berhenti sesaat.
"Terimakasih telah mengukir senyum di bibir Zain," ucapnya lembut.
Aku membalas senyum, lalu kurasakan tangan kecil menggenggam pakaian.
Saat kutengok Zain mendongak meminta berbicara. Tangannya memberi isyarat agar aku mendekat.
Ia menelukupkan telapak tangannya di telingaku, berbisik lembut, "Katakan pada Bian agar membawa mainan yang paling dia suka, aku pun besok akan membawanya," tuturnya, "ini rahasia." Lanjutnya lagi mengedipkan mata.
Aku membalas kedipan matanya, dan mengangguk setuju. Riana hanya tersenyum melihat tingkah kami. Lalu, mereka pun pergi.
Inilah jalan awal agar aku tahu tentang mereka, mendekati Zain dan Riana. Aku harus tahu apakah Riana ini benar-benar wanita yang tidak bisa Mas Rian lupakan. Apa yang dimilikinya hingga aku tidak bisa mengisi lubang cinta yang kosong itu.
Mas Rian bukan suami yang buruk, ia begitu jarang membuatku menangis, perhatian dan peduli. Heum! ternyata itu bukan bentuk cinta, hanya sebatas memenuhi kewajiban akan janji yang telah ia ucapkan di depan penghulu.
Hari ini aku memutuskan untuk pulang lebih dulu, mencari di mana letak kesalahan yang telah kami perbuat dari pernikahan yang terlihat sempurna ini.
"Rin, aku harus pulang lebih awal hari ini, aku titip cafe, pastikan sudah rapi sebelum kamu pulang ya," ucapku pada Rini. Karyawan paling lama kerja sekaligus sahabatku.
"Lah, tumben. Biasanya aku nawarin kamu pulang lebih dulu pun, selalu bilang, 'aku harus memastikan cafe rapi sebelum di tutup.' Ada apa?" tanyanya sembari menyelidik.
Aku menggeleng, "Hanya lelah," gumamku lesu.
"Kamu sakit, Hal?" Tangannya langsung mengelilingi wajahku.
"Nggak panas, tapi kok malah dingin," ujarnya heran, membandingkan suhu tubuhku dan suhu tubuhnya.
"Aku nggak sakit, hanya lelah bekerja. Ternyata menghasilkan uang dan kemandirian yang kulakukan selama ini tidak bisa membeli hal yang bahkan dibutuhkan oleh seseorang," jawabku pelan.
"Kamu ada masalah dengan Rian?" Rini selalu bisa membaca raut wajah dan ucapanku yang tidak biasa.
Aku menggeleng lagi.
"Semua baik-baik saja. Aku pergi dulu." Kutepuk pundaknya sebelum keluar pintu.
Hari ini aku berencana akan makan malam spesial bersama Mas Rian dan Bian. Jadi, aku sengaja pulang lebih awal agar bisa belanja kebutuhan untuk nanti malam dan lebih leluasa menyiapkan.
"Mamah," seru Bian berlari menghampiri, memeluk tubuhku dengan kedua tangan penuh barang belanjaan.
"Mamah, kok pulang lebih awal? Bian seneng bangeeet," ucapnya riang dan penuh semangat.
"Sungguh?"
"Heum. Sering-sering pulang awal ya Mah," celotehnya lagi. Aku mengusap lembut rambut tipisnya.
Mungkinkah karena terlalu sibuk dengan cafe hingga waktuku untuk keluarga hanya sedikit?
"Iya sayang, mamah akan lebih sering pulang lebih awal. Dan besok kamu boleh ikut mamah ke cafe."
Bian menggeleng, "Bosen, Bian nggak mau main sendiri," keluhnya.
"Nggak sayang, besok ada seseorang yang akan menemani Bian main, anak teman mamah seusia Bian juga. Katanya, Bian harus membawa mainan yang paling Bian suka."
"Benarkah?" jawabnya antusias, "siapa namanya, Mah?"
"Zain."
"Wah, Bian sudah tidak sabar," celotehnya riang.
Aku mengelus rambutnya sebelum pergi ke dapur, menyiapkan hidangan untuk makan malam bersama Bi Asih_IRT kami yang sudah sejak lama membersamai.
Sebaiknya aku memberitahu Mas Rian agar dia pulang lebih awal.
Panggilannya masih belum diangkat, aku kembali memantau e-mailnya dari layar laptop. Setahuku alamat e-mail bisa dibuka di masa saja.
[Hallo Mas.]
[Iya, ada apa?]
Akhirnya ia mengangkat panggilanku.
[Hari ini pulang lebih awal ya, aku akan memasak makan malam spesial.]
[Eum ....] jawabnya ragu.
[Ayolah Mas.]
Aku menunggu jawabannya dengan mata menatap pesan e-mail yang beberapa menit lalu dikirimkan Mas Rian.
To :
Riana_Maharani
Riana, aku mendengar kamu sudah kembali ke kota ini.
Bisakah kita bertemu, nanti malam. Di tempat kita selalu berbagi cerita dan rasa. Sebentar saja.
____
[Mas,] sapaku lagi dengan suara tertahan. Ada rasa sakit yang tidak mampu kuutarakan.
[Baiklah.]
[Jangan telat ya Mas, aku tunggu.]
[Iya,] jawabnya dingin. Selalu seperti itu. Selama ini aku tidak pernah menghiraukan sikapnya. Tapi, sekarang aku bisa merasakannya, bukan hanya sikap Mas Rian yang dingin, tapi aku pun yang memilih membiarkanya dan tidak peduli.
Bersambung ....
Persiapan makan malam sudah terhidang di meja, aku menunggu bersama Bian di meja makan.Ini sudah pukul 19.00 kami hanya berdua karena Bi Asih pulang saat sore dan kembali pagi hari."Mah, Papah masih lama ya?" protes Bian nampak bosan."Bian lapar, Nak?"Anak usia 7 tahun itu mengangguk, aku kembali menoleh jam. Sudah pukul 19.30 deru suara mobil Mas Rian masih belum terdengar.Aku menatap Bian yang menahan rasa laparnya, lalu mengambil piring dan menyiduk makanan."Makanlah sayang," ucapku sembari menyodorkan piring.Bian menatapku iba, "Mamah, nggak makan?""Hm ... Mamah belum lapar. Jadi, mau menunggu Papah pulang," jawabku dengan senyum yang mengembang, tepatnya dipaksakan.Aku melihat bagaimana anak itu makan dengan lahap, menghabiskan makanannya dan mencium pipiku sebelum beranjak per
Bola mata lelaki itu bergerak perlahan, mencoba memahami perasaan yang aku sembunyikan, lalu tatapannya meneduh, mengambil tanganku dan menggenggamnya."Tidak semua hal yang kita inginkan bisa dimiliki, kamu sudah mendapatkan banyak hal yang tak sebanding dengan apa yang kamu inginkan.""Tidurlah, ini sudah malam," ucapnya sebelum pergi, mengelus rambut Bian, dan berjalan keluar."Mah," panggil Bian membuyarkan lamunan. Aku baru saja mencoba memahami perkataan yang Mas Rian utarakan.Anak lelaki itu menyelusup dalam pangkuan, menempatkan dirinya agar bisa berbaring."Aku punya Papah dan Mamah, itu jauh lebih berarti dari segalanya," ucapnya sembari memandang wajahku yang masih memikirkan perkataan Mas Rian.Tak bisa disangkal Bian anak yang cerdas, ia pandai membaca situasi, memahami perasaan orang tuanya."Tidurlah sayang." Aku mengelus
Mendengar ucapan Bian, Riana terlihat kaget sama sepertiku, namun ia segera menyunggingkan senyum indahnya."Kamu anak yang manis dan baik sayang," jawab Riana menanggapi, "kalian akan jadi teman yang saling menguatkan." Lanjutnya.Aku melihat kebaikan dan kasih sayang yang dipancarkan Riana. Ia sosok wanita yang baik, seandainya ia bukan wanita yang menempati hati suamiku. Kami pasti akan sangat dekat.Aku menitipkan Bian pada Riana dan meninggalkan mereka sebentar karena ada hal yang harus diselesaikan di cafe.Riana setuju dan berkata agar aku tidak khawatir, di cafe ada seorang wanita yang membuat keributan, menumpahkan makanan pada wanita lain yang lebih awal datang dengan seorang pria."Kamu sudah gila, hah!" sentak sang pria."Kamu yang gila Mas, bermain wanita di belakangku. Kamu lupa aku baru saja melahirkan anakmu!" teriaknya, meraih rambut wanita i
"Mas," gumamku lagi tak percaya. Kedua bulu alisnya yang terbal menyatu seperti ulat bulu. Tubuhnya yang tinggi berdiri tepat di hadapanku."Apa yang terjadi?""Tidak." Gelengku cepat."Ini sungguh kamu kan, Mas?" Kali ini bukan hanya bulu alisnya yang menyatu, dahinya pun ikut berkerut."Dari mana kamu, Mas?""Aku?""Iya, Mas, dari mana?""Dari gedung sebelah, ada rapat.""Oh, ya," jawabku menggaruk kepala yang tidak gatal."Kamu mau makan?" tanyanya, setelah ia menyadari kami berdiri di depan resto saat ini."Nggak." Aku kembali menggeleng. Memegangi wajahnya yang akan melihat ke dalam restoran."Mas bisa menemani sebentar jika kamu ingin makan," ucapnya lagi hendak berbalik badan. Sigap aku segera mengalungkan tangan ke lehernya. Melirik ke arah r
Mendengar kebohongan Mas Rian aku enggan menanggapi, membiarkannya berbicara sendiri."Bu, kerusakannya cukup parah, mobil harus kami bawa ke bengkel," seorang petugas derek tiba-tiba memberitahu."Oh begitu.""Terus ke rumah Kakeknya gimana Mah? Papah juga nggak datang," ucap Bian terdengar sedih.Aku memeluk Bian, mengikuti petugas derek untuk melihat kerusakan ban mobil."Mamah juga bingung sayang," jawabku pelan. Sungguh Mas Rian benar-benar tega membiarkan kami terlantar di jalanan seperti ini dan dia lebih mementingkan bertemu dengan wanita yang sangat ingin ditemuinya itu."Halwa."Seseorang memanggil dari arah samping. Aku segera menoleh."Radit, kok bisa di sini?""Kebetulan lewat, perasaan kenal, jadi aku memutuskan untuk turun," jelasnya sembari melihat mobilku yang sedang berusaha di angkat petugas derek."Kenapa mobilnya?" tanyanya lagi."Aku hilang fokus, mobil oleng masuk gorong-g
Sampai di rumah ayah dan ibu mertua, kami disambut dengan bahagia oleh mereka.Kebahagiaan itu terpancar jelas dari wajah ayah menyambut kedatangan Bian. Sedangkan aku mengobrol bersama ibu dan Sindi."Ibu sangat senang kamu datang," ucap ibu berkali-kali, matanya hampir berkaca-kaca saat melihat Bian tumbuh sehat dan ceria."Meski ...." Ucapannya terjeda. Aku tahu, ibu pasti mengharapkan Mas Rian datang."Besok, Mas Rian akan datang untuk menjemput Bu," jawabku membesarkan hatinya."Untuk apa? kalau dia datang hanya untuk sekedar menjemput dan langsung pergi," ucap Ibu lagi. Nampak terlihat kekecewaan dari raut wajahnya."Ini sudah malam Bu, biarkan Mbak Halwa beristirahat." Sindi menimpali, mengelus lengan ibunya."Ya sudah, kamu istirahat ya." Ibu akhirnya keluar dari kamar. Aku tidur di kamar Mas Rian saat ia masih di rumah ini, masih nampak rapi dan terurus."Mbak kasian sama Ibu, ia pasti sangat merindukan anaknya.
"Ini hanya masa lalu," ucapnya pelan. Mengumpulkan lembaran foto itu dan menyimpannya di atas nakas.Ia berjalan mendekat, duduk di ujung tempat tidur.Aku masih diam, menyembunyikan tangisku dalam sunyi."Hei, sudahlah, itu hanya foto lama yang lupa aku buang," lanjutnya lagi, beringsut mendekat."Lepaskan!" Aku menepis tangannya yang mencoba menyentuh lengan."Bukankah sudah kubilang jangan ke rumah ini," ujarnya lantang tak ingin menerima penolakan.Aku terbangun dan menatapnya, "Kenapa? agar aku tidak tahu kelakuanmu?""Kelakuan apa? sudah kukatakan foto itu hanya masa lalu.""Masa lalu yang sengaja Mas simpan dengan baik di hati dan kamar ini?" jawabku memalingkan wajah."Aku hanya lupa membuangnya Halwa, itu saja," belanya lagi."Heum! lupa." Aku berdecak.
Deru suara mobil terdengar di halaman, aku segera membawa Bian keluar."Hentikan Halwa!" Tanganya mencoba meraih."Ayo sayang kita pulang," ajakku pada Bian."Kamu mau pulang? mari pulang sama Mas, bukan sama orang lain." Tangan Mas Rian menarik lengan Bian."Mamah," rengek Bian mencoba menolak."Lepaskan Bian Mas, dia kesakitan!""Aku tidak akan melepaskan kalian."Aku kembali menghampiri, menatap bola matanya."Kalau begitu lupakan Riana, dan cintai aku!" ucapku menekan."Aku tidak bisa.""Heum. Egois kamu Mas!" Kutarik Bian dan melangkah lebar menuju mobil Radit."Halwa, kamu mash istriku!" cegatnya lagi."Tinggalkan dia! jangan ikut campur urusan keluargaku," sentak mas Rian pada Radit agar ia kembali.Radit ya