Share

Riana_Maharani

"Ada yang salah, Mbak?" tanyanya menyelidik. Binar matanya memancar indah, dengan lesung pipit yang mengembang.

Aku menggeleng pelan, dan memberikan bukti pembayaran itu.

"Terimakasih kalau begitu, saya duduk dulu," lanjutnya. Ia berjalan, lalu kembali menoleh, melempar senyum, menanggapi kecanggung hatiku yang tidak bisa mengontrol rasa.

Pesanannya telah selesai, aku segera mengambil alih dari Waiters dan memutuskan untuk menghidangkannya sendiri.

"Permisi," ucapku pada keduanya. Mereka berbalik dan memberikan senyum yang begitu manis. Jika tidak salah menebak anak di depanku ini seumuran dengan Bian.

"Ini pesanan anak ganteng," kataku menyodorkan kentang goreng yang ia minta sedari tadi.

Anak lelaki itu meraihnya, matanya berkaca-kaca dan terlihat bahagia.

"Terimakaih tante," jawabnya halus. Aku sedikit membungkuk untuk menyapanya.

"Kalau boleh tahu siapa namanya?"

"Aku?" Tunjukknya pada diri sendiri.

Bibirnya yang dipenuhi kentang goreng bergerak perlahan, menatap wajahku yang masih memperhatikannya.

"Heum, si ganteng ini." Tunjukku tepat pada tangan yang ia tunjukkan pada dadanya.

"Namaku Zain, Tante."

"Nama yang sangat bagus sayang. Tante punya anak laki-laki seumuran denganmu juga, namanya Bian."

"Wah, sungguh?"

"Heum."

"Aku akan senang punya teman di sini," jawabnya

Aku mengerutkan dahi untuk tahu maksud pembicaraannya.

"Iya, kami baru saja pindah ke kota ini, tepatnya kembali," jawab Riana sembari menggenggam tangan anaknya.

Ada kekuatan yang ingin coba ia pindahkan melalui genggaman itu.

"Besok tante ajak Bian kemari, datanglah untuk bermain," ujarku.

"Sungguh?" Zain terpekik riang. Riana sangat senang melihatnya.

Aku meninggalkan mereka untuk menikmati hidangan, dari kejauhan kuperhatikan tingkah keduanya.

Zain adalah anak yang sangat menggemaskan, Riana terlihat sangat anggun dengan balutan pakaian yang sopan dan caranya memperlakukan anak sebesar Zain yang sedang aktif berbicara dan banyak bertanya itu begitu sabar dan telaten.

Saat mereka terlihat akan selesai makan, aku sengaja berdiri di dekat pintu keluar. Keduanya berjalan bergandengan tangan, aku membungkuk mengucapkan terimakasih.

Riana mendekat dan berhenti sesaat.

"Terimakasih telah mengukir senyum di bibir Zain," ucapnya lembut.

Aku membalas senyum, lalu kurasakan tangan kecil menggenggam pakaian.

Saat kutengok Zain mendongak meminta berbicara. Tangannya memberi isyarat agar aku mendekat.

Ia menelukupkan telapak tangannya di telingaku, berbisik lembut, "Katakan pada Bian agar membawa mainan yang paling dia suka, aku pun besok akan membawanya," tuturnya, "ini rahasia." Lanjutnya lagi mengedipkan mata.

Aku membalas kedipan matanya, dan mengangguk setuju. Riana hanya tersenyum melihat tingkah kami. Lalu, mereka pun pergi.

Inilah jalan awal agar aku tahu tentang mereka, mendekati Zain dan Riana. Aku harus tahu apakah Riana ini benar-benar wanita yang tidak bisa Mas Rian lupakan. Apa yang dimilikinya hingga aku tidak bisa mengisi lubang cinta yang kosong itu.

Mas Rian bukan suami yang buruk, ia begitu jarang membuatku menangis, perhatian dan peduli. Heum! ternyata itu bukan bentuk cinta, hanya sebatas memenuhi kewajiban akan janji yang telah ia ucapkan di depan penghulu.

Hari ini aku memutuskan untuk pulang lebih dulu, mencari di mana letak kesalahan yang telah kami perbuat dari pernikahan yang terlihat sempurna ini.

"Rin, aku harus pulang lebih awal hari ini, aku titip cafe, pastikan sudah rapi sebelum kamu pulang ya," ucapku pada Rini. Karyawan paling lama kerja sekaligus sahabatku.

"Lah, tumben. Biasanya aku nawarin kamu pulang lebih dulu pun, selalu bilang, 'aku harus memastikan cafe rapi sebelum di tutup.' Ada apa?" tanyanya sembari menyelidik.

Aku menggeleng, "Hanya lelah," gumamku lesu.

"Kamu sakit, Hal?" Tangannya langsung mengelilingi wajahku.

"Nggak panas, tapi kok malah dingin," ujarnya heran, membandingkan suhu tubuhku dan suhu tubuhnya.

"Aku nggak sakit, hanya lelah bekerja. Ternyata menghasilkan uang dan kemandirian yang kulakukan selama ini tidak bisa membeli hal yang bahkan dibutuhkan oleh seseorang," jawabku pelan.

"Kamu ada masalah dengan Rian?" Rini selalu bisa membaca raut wajah dan ucapanku yang tidak biasa.

Aku menggeleng lagi.

"Semua baik-baik saja. Aku pergi dulu." Kutepuk pundaknya sebelum keluar pintu.

Hari ini aku berencana akan makan malam spesial bersama Mas Rian dan Bian. Jadi, aku sengaja pulang lebih awal agar bisa belanja kebutuhan untuk nanti malam dan lebih leluasa menyiapkan.

"Mamah," seru Bian berlari menghampiri, memeluk tubuhku dengan kedua tangan penuh barang belanjaan.

"Mamah, kok pulang lebih awal? Bian seneng bangeeet," ucapnya riang dan penuh semangat.

"Sungguh?"

"Heum. Sering-sering pulang awal ya Mah," celotehnya lagi. Aku mengusap lembut rambut tipisnya.

Mungkinkah karena terlalu sibuk dengan cafe hingga waktuku untuk keluarga hanya sedikit?

"Iya sayang, mamah akan lebih sering pulang lebih awal. Dan besok kamu boleh ikut mamah ke cafe."

Bian menggeleng, "Bosen, Bian nggak mau main sendiri," keluhnya.

"Nggak sayang, besok ada seseorang yang akan menemani Bian main, anak teman mamah seusia Bian juga. Katanya, Bian harus membawa mainan yang paling Bian suka."

"Benarkah?" jawabnya antusias, "siapa namanya, Mah?" 

"Zain."

"Wah, Bian sudah tidak sabar," celotehnya riang. 

Aku mengelus rambutnya sebelum pergi ke dapur, menyiapkan hidangan untuk makan malam bersama Bi Asih_IRT kami yang sudah sejak lama membersamai.

Sebaiknya aku memberitahu Mas Rian agar dia pulang lebih awal.

Panggilannya masih belum diangkat, aku kembali memantau e-mailnya dari layar laptop. Setahuku alamat e-mail bisa dibuka di masa saja.

[Hallo Mas.]

[Iya, ada apa?]

Akhirnya ia mengangkat panggilanku.

[Hari ini pulang lebih awal ya, aku akan memasak makan malam spesial.]

[Eum ....] jawabnya ragu.

[Ayolah Mas.]

Aku menunggu jawabannya dengan mata menatap pesan e-mail yang beberapa menit lalu dikirimkan Mas Rian.

To :

Riana_Maharani

Riana, aku mendengar kamu sudah kembali ke kota ini.

Bisakah kita bertemu, nanti malam. Di tempat kita selalu berbagi cerita dan rasa. Sebentar saja.

____

[Mas,] sapaku lagi dengan suara tertahan. Ada rasa sakit yang tidak mampu kuutarakan.

[Baiklah.]

[Jangan telat ya Mas, aku tunggu.]

[Iya,] jawabnya dingin. Selalu seperti itu. Selama ini aku tidak pernah menghiraukan sikapnya. Tapi, sekarang aku bisa merasakannya, bukan hanya sikap Mas Rian yang dingin, tapi aku pun yang memilih membiarkanya dan tidak peduli.

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status