“Stop, Pak! Jangan lanjutkan lagi!” Thalita mengangkat telapak tangannya dan menghentikan upaya Baskara melanjutkan hitungan.
Baskara tersenyum penuh kemenangan. “Maka kemari dan duduklah di atas pangkuanku! Jadilah anak yang baik dan penurut!” Thalita menguatkan hati dan pikirannya. Ia meraup udara sebanyak mungkin guna menetralkan pikirannya yang penuh gejolak gara-gara ucapan Baskara. Menoleh ke belakang memperhatikan pintu adalah hal yang pertama kali Thalita lakukan sebelum melangkah mendekat ke arah sang atasan. Ia tak punya pilihan lain. Lebih baik baginya mengalah dan melakukan apa yang diminta Baskara daripada pria itu melakukan apa yang baru saja ia katakan beberapa saat sebelumnya. Jadilah Thalita duduk di pangkuan Baskara dengan rasa sungkan dan keraguan. Harga dirinya telah hancur gara-gara perbuatan pria ini. Lalu apa lagi yang harus ditutupinya? Tubuhnya telah menjadi santapan malam yang panas untuk sang presdir tampan. Ia seperti tak memiliki harga diri dan martabat lagi ketika pria itu ada bersamanya. Terlebih lagi saat ini hanya ada mereka berdua di ruangan tersebut. Baskara memeluk erat tubuh Thalita yang duduk di atas pangkuannya. Wanita itu tampak terkejut dengan ulahnya yang tiba-tiba. “Tubuh kamu wangi. Parfum apa yang kamu pakai?” tanya Baskara berbasa-basi sembari mengendus-endus beberapa bagian tubuh Thalita. Merasa risih, Thalita terlihat menggeser posisi duduknya. Ia mencoba bangkit dan berusaha melepaskan diri dari jeratan Baskara yang memabukkan. “Jangan asal bergerak, kamu nggak takut kalau yang ada di bawah sana meminta jatah sama kamu?!” ancamnya dengan kerlingan nakal dan senyum yang penuh kelicikan. Thalita paham apa yang sedang Baskara katakan padanya. Tentu saja itu bukan sekadar gertak sambal belaka. Ia tahu benar seperti apa pria yang bernama Baskara ini. Baskara adalah pria yang selalu melakukan apa yang sudah ia katakan. Wanita cantik itu memilih diam, mencoba tak bergerak tentu saja. Ia tak mau ada kejadian panas di antara mereka berdua di dalam ruangan tersebut. Ia takut kejadian itu terulang lagi, ditambah lagi saat ini mereka dalam keadaan sadar. Sementara malam itu, Thalita berada dalam keadaan mabuk dan di bawah pengaruh alkohol atau malah obat tertentu yang Baskara berikan hingga pria itu berhasil merebut mahkota yang selama ini ia jaga dengan baik. Melihat kepatuhan Thalita membuat Baskara semakin leluasa untuk melakukan apa yang didiktekan kepalanya. Pria itu menangkup wajah Thalita dan dalam hitungan detik berhasil mengecup bibir merah merekah sang sekretaris cantik. Thalita yang mencoba memundurkan tubuhnya langsung dicegah Baskara. Pria itu memeluknya semakin erat dengan rengkuhan satu tangan besarnya. Sementara tangan yang lain ia gunakan untuk menangkup wajah Thalita agar tak bisa pergi darinya. “Pak Bas–” desah Thalita yang mencoba sekuat tenaga lepas dari rengkuhan atasannya yang kini berubah menjadi posesif padanya. “Jangan bergerak, Thalita! Aku bisa melakukannya di sini jika kamu terus meronta untuk pergi dariku. Cukup nikmati dan balas aku,” hardik Baskara tegas. Rengkuhannya semakin erat. Thalita sedikit tersiksa dengan cara Baskara memperlakukannya. Ia bukan tawanan tapi Baskara membuatnya merasakan seolah dirinya adalah seorang tawanan yang tak boleh lepas sedikit pun. Usai mengatakan kata-kata ancaman nyata tersebut, Baskara kembali mencium Thalita dan mulai bergerak lebih intens. Ia mencoba memasukkan lidahnya dan meminta wanita itu membalas perbuatannya. Entah bagaimana mulanya, Thalita yang tak bisa lari lagi dari Baskara perlahan-lahan membalas apa yang pria itu lakukan. Baskara merasa senang ketika wanita itu tak melakukan perlawanan. Mereka melakukan hal itu selama beberapa menit dan terhenti karena mendengar ketukan pintu. Thalita tampak ketakutan. Ia begitu panik dan berusaha mendorong Baskara. Mengetahui kepanikan Thalita, Baskara tersenyum penuh misteri. “Jangan takut, itu hanya Rico!” Bukannya menenangkan, ucapan Baskara semakin membuat Thalita panik dan kebingungan. Ia tak mau ada orang yang menyaksikan apa yang mereka lakukan di dalam ruangan ini. Ditambah lagi orang itu adalah Rico, yang benar saja?! “Tolong lepaskan saya, Pak Baskara. Tolong, saya mohon,” pinta Thalita dengan wajah memelas yang tak pernah Baskara lihat sebelumnya. Baskara merasa iba. Ini adalah pertama kalinya seorang Thalita memohon padanya dengan cara yang membuat sesuatu di dalam diri Baskara bergejolak. “Kali ini aku melepaskanmu, Thalita. Tapi tidak lain kali,” ucap Baskara mengalah. Ia membiarkan wanita yang meracuni pikirannya saat ini untuk berpindah tempat duduk dan membuatnya mau tak mau menekan tombol pada remote control di atas meja. Pintu terbuka ketika Rico mendorongnya. Ia melihat di dalam ruangan tersebut ada dua manusia yang tampak terlihat aneh. Rico memperhatikan sang bos yang berusaha memperbaiki penampilannya dan Thalita yang tampak gelisah. ‘Apa yang sebenarnya terjadi pada mereka berdua? Kenapa mereka terlihat seperti sedang menyembunyikan sesuatu? Apa ini hanya perasaanku saja atau memang itulah kenyataannya? Apa aku yang berpikir terlalu jauh?’ batin Rico sembari mengawasi bos dan sekretaris di hadapannya. “Rico, ada apa? Kenapa kamu malah melamun di sana? Kemarikan pesananku!” tegas Baskara mengingatkan tugas Rico yang sadar situasi segera berjalan mendekat dan menyerahkan buket bunga pesanan sang bos ke arah pria kaya tersebut. “Ini pesanan anda, Pak Baskara.” “Bagus, terima kasih, Rico,” ucap Baskara dengan senyuman yang membuat pria di hadapannya merasa semakin heran. “Sama-sama, Pak Baskara,” sahut Rico profesional. “Oh ya, aku masih ada tugas untukmu,” ucap Baskara tiba-tiba ketika ia menemukan ide aneh di kepalanya. “Baik, Pak. Apa yang harus saya lakukan sekarang, Pak Baskara?” “Tolong jemput Vivian dan antar dia pulang ke rumah sekarang juga!” “Maksud Bapak bagaimana, ya? Bukankah Nona Vivian sudah memiliki sopir yang biasa mengantar jemput?” tanya Rico keheranan. “Kebetulan tadi sopirnya bilang kalau ada keluarganya yang lagi sakit. Tolong periksa dia dan tanyakan apa yang dia butuhkan sekarang. Aku nggak mau ada apa-apa sama Vivian. Setelah itu baru kembali kemari. Paham?” Walau merasa heran, tak mungkin bagi Rico untuk menolak perintah sang bos. Tanpa berpikir panjang yang seperti biasa ia lakukan, ia pun membungkuk hormat sebelum meninggalkan ruangan itu. “Paham, Pak. Kalau begitu saya pergi dulu. Permisi, Pak.” “Ya. Hati-hati,” balas Baskara yang tidak seperti biasa. Gerak-gerik Baskara tampak begitu mencurigakan dalam pemantauan kedua matanya. Rico memilih mengesampingkan buah dari hasil pemikirannya dan bertindak profesional. “Baik, Pak.” Mendengar bunyi pintu yang telah tertutup rapat, Baskara meraih remote control di atas meja dan menekannya kembali hingga pintu tersebut terkunci. Hanya dirinya yang bisa membukanya. Thalita yang melihat hal itu merasakan debaran jantungnya menggila. Apa yang akan pria itu lakukan padanya sesaat lagi? Baskara bangkit dari posisinya lalu mendekati sekretaris cantiknya sambil tersenyum penuh arti lalu memilin anak rambut Thalita yang terurai liar di samping daun telinga wanita itu. Ia memperbaikinya dengan pelan dan lembut ke atas daun telinga wanita itu hingga menimbulkan sensasi geli di bagian yang disentuhnya. Kedua insan tersebut saling bersitatap. Thalita merasakan kelembutan yang sebelumnya tidak diperlihatkan Baskara padanya. Pria itu tersenyum manis. “Berhubung sekarang sudah tidak ada lagi yang mengganggu kita, kita harus menyelesaikan apa yang sudah kita mulai beberapa saat lalu…” Tatapan Baskara membuat Thalita tanpa sadar membelalakkan matanya. “Apa maksud Bapak? Apa yang mau Bapak lakukan?” Punggung Thalita membentur sisi meja di belakangnya saking kagetnya. “Kamu tanya apa yang akan aku lakukan? Apa perlu aku menjawabnya?” Baskara memiringkan senyumnya dan perlahan membungkuk ke arah Thalita. To be continue… ~~~~“Tentu saja bisa, Bu Jani. Saya mencintai Thalita dengan sepenuh hati. Sejak pertama bertemu dengannya, saya merasa nyaman dan ingin selalu bersama dengan dia. Padahal saya sadar saat ini saya masih terikat pernikahan dengan wanita lain. Tapi saya tidak bisa membohongi diri saya sendiri dan terus bertahan dengan wanita yang tidak saya cintai. Jika bukan Thalita, saya lebih memilih sendiri dan keputusan untuk menceraikan istri saya sudah bulat bukan karena adanya Thalita. Jika hal ini yang membuat Bu Jani merasa khawatir, saya akan menjelaskan segalanya sedari awal. Karena saya tidak mau bersama wanita lain, jika bukan Thalita orangnya.” Baskara menjawab lugas dan tegas. Baskara mengarahkan netra gelapnya ke arah Thalita berada. Wanita itu merasa canggung dengan situasi saat ini. “Oh seperti itu.” Jani menyahut singkat. “Pertanyaan kedua, semua orang pasti akan berpikiran buruk pada Thalita jika suatu hari kamu dan istrimu bercerai. Apa yang akan kamu lakukan jika semua orang mencemo
Semua mata tertuju pada kedua insan manusia yang tercipta begitu serasi. Thalita dan Baskara menghentikan ucapan mereka sejenak sebelum akhirnya sang penguasalah yang mengambil alih perseteruan. “Saya sudah menikah,” kata Baskara secara lantang yang membuat Jani membelalakkan matanya. Namun, belum sempat Tante dari sekretaris cantiknya angkat bicara guna menolak mentah-mentah dirinya, Baskara sudah melanjutkan kata-katanya. “Saya sudah dalam proses perpisahan dengan istri saya jauh sebelum saya mendapatkan hati Thalita. Perpisahan saya dan istri saya ini tidak ada kaitannya dengan Thalita. Thalita bukan perebut suami orang atau istilah jaman sekarang disebut dengan pelakor. Thalita adalah wanita yang baik dan saya cintai selama ini. Saya dan istri saya menikah bukan karena cinta. Dan saya tidak bisa melanjutkan pernikahan tersebut atas dasar keterpaksaan yang ujung-ujungnya hanya akan menyakiti perasaan satu sama lain. Maka dari itu saya memutuskan akan menikahi Thalita setelah saya
“E-eh maaf, Tante. Habisnya….” Thalita tak jadi melanjutkan kata-katanya. Ia melihat pemandangan tak terduga di sekelilingnya. Baskara masih menggenggam erat tangan Namira. Hal itu membuat Thalita bertanya-tanya dengan maksud Baskara melakukannya. ‘Apa yang sebenarnya Pak Baskara lakukan di tempat ini? Kenapa dia menggenggam tangan ibuku?’ Thalita menatap heran sekaligus mencoba mencari tahu dengan tujuan Baskara melakukan hal itu pada ibunya. Mencoba menyelami apa yang diperhatikan Thalita saat ini, Baskara pun melepaskan genggaman tangannya dari Namira. Ia tersenyum pada Namira lalu menatap penuh kerinduan pada Thalita. Senyuman tulus ia berikan pada wanita cantik yang telah ia renggut kehormatannya. Thalita salah tingkah. Wanita itu memalingkan wajahnya karena malu dan belum siap untuk menghadapi sikap Baskara yang tak terprediksi seperti barusan.“Thalita,” panggil Baskara yang membuat pandangan mereka segera bertemu.“Ada apa, Pak?” tanya Thalita refleks seperti di saat dirin
“Kalau kamu ingin tahu, datang saja ke sini!” ucap Baskara dengan santainya lalu mematikan panggilan tanpa menunggu tanggapan dari lawan bicaranya.Baskara tersenyum puas penuh akan hasrat kemenangan. Ia bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Tidak mungkin bagi Thalita untuk duduk diam dan tak melakukan apa pun usai diberitahu olehnya tentang keberadaannya di rumah masa kecil wanita itu.“Mohon maaf, Nak Baskara, sebenarnya ada apa ini, ya? Dalam rangka apa Nak Baskara datang ke sini membawa begitu banyak buah tangan? Dan barusan apa yang dikatakan Thalita? Apa dia akan menyusul ke sini?” cecar tanya Jani sebagai bibi dari wanita cantik yang amat disukai oleh pria matang di hadapannya.Baskara hanya tersenyum lalu menengok ke arah Rico sebelum akhirnya menatap kedua mata Namira, ibu kandung Thalita yang duduk di sebelah Jani. “Tujuan saya ke sini adalah… saya ingin mengungkapkan fakta bahwa saya adalah pacar Thalita. Hubungan kami sudah sangat serius. Jadi lebih tepatnya say
“Tidak dua-duanya, Pak!” ucap Rico mantap. Kegelisahan melanda. Rico benar-benar gelisah tak menentu. Hanya karena menawarkan bantuan, bagaimana ceritanya malah berakhir menjadi dua ancaman mengerikan semacam itu dari mulut sang bos?“Saya salah apa, Pak? Kenapa Bapak malah marah sama saya? Saya kan hanya menawarkan bantuan, Pak,” kejar Rico meminta penjelasan. Pria itu merasa harus menyelesaikan kesalahpahaman sebelum terjadi buru-buru lebih lanjut. “Tadi kamu bilang apa? Bunga tabur? Memangnya siapa yang mau ke kuburan? Hah?!” balas Baskara tak mau kalah dengan bawahannya.“Loh saya kira Bapak mau beli bunga karena mau ke makam. Kalau begitu saya yang salah, Pak. Tolong maafkan saya,” ucap Rico yang merasa bersalah dan tampak salah tingkah.“Ya memang kamu salah. Lagian siapa yang mau ke kuburan jam segini? Aku beli bunga itu mau ke dikasih ke seseorang. Yang pasti bukan untuk Nenek ataupun Yola. Apalagi ke kuburan jam-jam segini. Yang benar saja? Masa iya aku beli buah tangan seb
“Nggak ada maksud apa-apa, kalau kamu ingin tahu lebih jelasnya mendingan tanyakan saja langsung sama Nenekmu. Aku yakin kamu akan menemukan jawaban yang ingin kamu tahu langsung dari sumbernya. Sudah ah, aku mau pergi dulu. Ada banyak hal menyenangkan yang harus aku lakukan di luar. Lebih baik kamu menyingkir dari hadapanku. Sekarang!” usir Baskara pada Yola yang berada di ambang pintu seolah tak memberinya akses untuk segera keluar dari kamar. “Tapi Bas, aku harus ikut ke mana pun kamu pergi. Aku istri kamu, Bas,” ucap Yola terdengar memaksa. “Ikut aku? Ikut saja, tapi jangan kaget kalau besok akan ada pengacaraku yang mengurus perceraian kita. Ayo lakukan saja! Aku sudah nggak sabar untuk bisa bercerai darimu, wanita licik!” tantang Baskara dengan senyumnya yang sulit dijabarkan oleh lawan bicaranya.“Tapi Bas–”Baskara berlalu sembari melambaikan tangan. Pria itu berjalan santai tak peduli dengan ancaman Yola yang kekeuh ingin mengikutinya.Baskara menoleh ke belakang. Wanita it