Share

Chapter 5

Hari ini, aku pulang sekolah seperti biasa. Mungkin mulai besok, aku akan pulang telat karena sudah mulai menjadi guru les privat Vanda. Vanda, mengingat nama itu lagi-lagi membuat jantungku berdetak berkali lipat lebih kencang. Baru hari pertama bertemu saja dia sudah meluluh lantahkan hatiku, apa yang akan terjadi jika aku hampir setiap hati bertemu dengannya? Ah, aku harus bisa menetralkan perasaanku. Lagi pula, berharap terlalu berlebihan hanya akan membuatku sakit. Toh kami juga berasal dari kasta yang berbeda. Ibarat pungguk merindukan rembulan jika aku terlalu menaruh harapan padanya.

“Heh, Ardan.” Panggil seseorang dari arah belakangku yang tak lain adalah Indi. Dia berlari tergopoh-gopoh menghampiriku.

“Ada apa? Mengapa lari-lari?” tanyaku santai saat dia sudah berdiri di sebelahku.

“Sejak kapan kamu tuli, hah? Tanya Indi lagi, “aku memanggilmu sejak tadi, sejak kamu keluar dari gerbang sekolah. Dan lihat, kamu baru menoleh saat jarak kita sudah sekian jauh dari sekolah. Pasti kamu sedang memikirkan sesuatu, ya?” goda Indi padaku sambil menggerak-gerakkan jari telunjuknya di depan wajahku.

Aku menepis jarinya, bisa dipastikan wajahku seperti tomat busuk sekarang. Sial, kalau Indi sampai tahu aku menaruh hati pada Vanda pasti dia akan terus menggodaku.

“Kenapa diam saja? Bicara lah, Ardan.” Kata Indi lagi.

“Sebenarnya kamu ada perlu apa sampai mengejarku?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.

“Hanya ingin pulang bersama seperti biasanya. Eh, bagaimana rasanya dicium sama cewek cantik seperti Vanda? Pasti bibirnya manis sekali ya?” benar kataku, lagi-lagi Indi menggodaku di saat aku berusaha melupakan kejadian sialan itu.

“Mana aku tahu, aku tidak begitu menanggapinya. Lagi pula, itu dilakukan Vanda pasti karena dia spontan ingin melindungiku dari ucapan Alex yang menghinaku tadi.” Jawabku terdengar sangat cuek mungkin, tapi sebenarnya hatiku bergetar hebat.

“Halah, pasti kamu senang sekali. Kamu suka kan sama Vanda? Sejak pertama kali melihatnya di ruangan ayahnya? Iya, kan?” Sial, entah mengapa aku merasa Indi bisa membaca pikiranku. Sepertinya aku harus berhati-hati pada Indi.

Aku hanya menanggapi ucapan Indi dengan berdecak, sedangkan dia terlihat sangat gembira bisa menggoda dan membuat wajahku seperti kepiting rebus. Setelah itu, kami berjalan dalam diam. Rumahku dan Indi searah, tapi rumah dia berada di pinggir jalan raya sedangkan rumahku berada di pelosok. Indi sebenarnya anak orang kaya, namun anak-anak lain di sekolah tidak ada yang mengetahui hal itu selain diriku. Kebanyakan dari mereka hanya memandang fisik dan harta. Hanya anak yang memiliki paras rupawan dan harta berlimpah lah yang dihargai di sekolah itu. Entah, aku selalu berharap semoga hanya di sekolahku ini hal itu terjadi. Karena jika tidak, itu hanya akan membuat anak yang sebenarnya mempunyai otak yang pintar namun berasal dari keluarga yang kurang mampu dan juga memiliki paras yang seperti diriku menjadi minder dan tidak percaya diri. Hal itu nantinya juga membuat sang anak malas belajar karena tidak kuat mental. Kalau aku? Aku sudah sangat menguatkan mentalku, meskipun terkadang aku merasa perlakuan mereka terlalu berlebihan.

Tin tin

Suara klakson mobil terdengar sangat keras dari belakang, sedetik kemudian mobil itu sudah meluncur melewati kami yang kebetulan berada di dekat kubangan air. Alhasil, kami kena cipratan air dari kubangan itu.

“Sial, jangan mentang-mentang punya mobil bisa seenaknya seperti itu.” Umpat Indi sambil mengusap roknya yang basah dan kotor.

Aku melihat ke arah mobil yang mulai berjalan pelan dan kemudian berhenti, setelah itu keluarlah beberapa anak dari mobil itu. Alex, Citra, Rachel dan juga Divya. Sudah pasti si biang kerok itu. Entah apa mau mereka sekarang. Selalu saja berbuat ulah.

“Duh, kasihan. Kotor ya bajunya” tanya Citra kemudian mereka semua tertawa terbahak-bahak.

Aku dan Indi hanya diam, enggan menanggapi.

“Kenapa diam? Kalian berdua sekarang bisu?” tanya Alex dengan nada bicaranya yang tajam dan menusuk.

Aku dan Indi masih memilih untuk tetap diam dan tidak menanggapi, percuma menanggapi mereka. Hanya akan buang tenaga saja.

“Eh, lebih baik kita jangan macam-macam deh sama Ardan. Kan sekarang dia punya malaikat pelindung bernama Vanda.” Ucap Divya mulai menggodaku.

“Huuu, takut.” Sahut Citra dan Rachel secara bersamaan.

Sial, aku rasanya ingin marah setiap berhadapan dengan mereka. Tapi semua itu percuma, bukan menyelesaikan masalah namun hanya akan memperpanjang masalah.

Kulihat Alex berjalan mendekat ke arahku, Indi terlihat menunduk. Aku tahu dia pasti sangat ketakutan. Alex berjalan dengan cool ke arah kami. Ingin sekali rasanya aku melempar tubuh kekar itu ke tengah jalan, tapi itu hanya akan menjadi angan karena dari postur tubuh saja aku sudah kalah jauh dengan Alex.

“Kamu pikir dengan kamu mendekati Vanda, itu akan menyelamatkanmu dari kami? Jangan mimpi. Vanda tidak ada apa-apanya. Dia hanya beruntung menjadi anak dari seorang kepala yayasan. Tapi jika aku mau, aku bisa meminta kedua orang tuaku untuk mengambil alih sekolah itu.” Kata Alex sangat meyakinkan.

Aku rasanya ingin sekali tertawa, karena aku tahu yang sebenarnya dari pembantu Alex yang sering belanja di pasar tempat aku menjadi kuli panggul. Aku pernah mendengar pembantu itu bercerita tentang majikannya yang selalu bertengkar hebat. Tuannya hampir setiap malam membawa gadis ke rumahnya, membuat nyonyanya hampir gila dan harus selalu rutin minum obat dari dokter kejiwaan. Sedangkan anak majikannya yang tak lain adalah Alex, sering uring-uringan tidak jelas. Aku dapat menyimpulkan, mungkin sifat Alex yang seperti ini terbentuk dari suasana di rumahnya yang tidak pernah tenteram. Jadi dia melampiaskan segala kekesalannya pada orang sepertiku. Aku tahu semuanya tapi memilih untuk diam. Jika ada anak lain dari sekolahku yang mengetahui hal itu, mungkin Alex akan bernasib sama sepertiku. Mungkin dia juga akan menjadi bahan bullying, bedanya dia pasti bisa melawan dengan keberaniannya.

“Woy, malah melamun. Apa yang kamu lamunkan? Sedang membayangkan bisa bersanding dengan Vanda dan hidup sebagai keluarga yang bahagia? Ck, itu hanya ada dalam mimpimu. Vanda itu perempuan yang sulit didapatkan. Hanya aku satu-satunya laki-laki yang bisa menaklukkan namun kemudian membuangnya begitu saja.” Ucap Alex dengan sombongnya.

Aku yakin jika Vanda mendengar hal ini, dia pasti akan sangat marah.

“Lebih baik kamu jangan banyak bermimpi, mimpi terlalu tinggi hanya akan membuatmu terjatuh dan kesakitan. Kamu itu pantasnya tidur di kubangan air itu, paham?” kata Alex kemudian mendorongku ke kubangan air itu. Sial, bahkan di saat aku belum siap untuk melawan. Alhasil aku jatuh terduduk di kubangan air kotor. Benar-benar sial.

Indi menolongku berdiri, sedangkan Alex, Citra dan dua anak buahnya sudah kembali ke dalam mobil dan menjalankan mobilnya dengan sangat kencang.

“Mereka memang suka sekali cari masalah sama kita, ayo berdiri.” Gumam Indi.

Ya, begitulah Indi. Baru berani berbicara saat mereka semua sudah pergi.

“Sepertinya si Alex itu masih menyimpan rasa pada Vanda. Bisa dilihat dari ekspresi dia saat melihat Vanda menciummu tadi. Mungkin dia kesal karena kamu mendapat ciuman dari Vanda. Apa mungkin mereka belum pernah berciuman ya sewaktu berpacaran?” entah mengapa aku rasa Indi semakin melantur. Aku tidak menanggapi, aku melihat diriku yang sudah sangat kotor karena hampir semua bajuku terkena air di kubangan itu.

Aku dan Indi kembali melanjutkan perjalanan untuk pulang. Mengingat perkataan Indi, aku jadi memikirkan hal itu. Aku baru saja melihat Alex dan Citra saling memberikan kecupan mesra, rasanya tidak mungkin Alex tidak pernah melakukannya dengan Vanda. Ah, entah lah. Membayangkannya saja sudah membuatku mual.

“Aku sudah sampai, kamu mau mampir?” kata Indi saat kami sudah sampai di depan rumahnya.

“Tidak mungkin dengan keadaanku saat ini.” Kataku sambil menunjuk diriku sendiri.

Indi hanya tertawa kemudian melambaikan tangan dan masuk ke dalam rumah.

Sebenarnya ayah Indi melarangnya untuk bergaul denganku. Tidak lain karena dia tahu siapa ayah dan kakakku. Namun Indi masih bersikeras untuk berteman denganku dan selalu meyakinkan ayahnya kalau aku berbeda dengan ayah dan juga kakakku. Hal itu membuat ayahnya sedikit membiarkan kami berteman, meskipun aku dapat melihat tatapan matanya yang penuh kebencian setiap kali melihatku. Entah lah, kita memang tidak bisa memaksa orang lain untuk menyukai kita. Mau sebaik apa pun kita berusaha memperbaiki diri, kalau seseorang itu sudah benci dengan kita maka dia akan tetap membenci dengan berbagai alasannya. Tapi semua itu tidak akan merubahku, aku akan tetap berusaha menjadi orang baik setidaknya untuk diriku sendiri. Tidak peduli mau bagaimana orang lain menilai diriku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status