Share

COMEBACK
COMEBACK
Penulis: May Rafani

Chapter 1

Suara ayam berkokok bersahut-sahutan berhasil mengusik tidurku, terpaksa aku membuka mata yang sebenarnya masih sangat mengantuk ini. Ternyata hari sudah pagi. Entah mengapa aku merasa malamku sangat singkat. Bagaimana tidak? Aku sama sekali tidak bisa tidur dengan nyenyak karena ulah ayah dan kakakku yang suka mengajak teman-temannya datang ke rumah untuk berjudi dan mabuk-mabukan. Aku sangat benci kebiasaan yang mereka lakukan itu. Tapi apa yang bisa kuperbuat? Aku hanya bisa diam dan menyaksikan semua itu. Rumahku memang berada di pelosok desa dan melewati gang sempit, sangat aman digunakan untuk segala sesuatu yang melanggar hukum. Itulah mengapa rumahku menjadi tempat favorit untuk judi dan mabuk-mabukan. Aku sempat berpikir untuk pergi dari sini, tapi itu tidak akan mengubah apa pun. Hanya akan membuat ayah dan kakakku semakin leluasa dan terjerumus dalam hal yang tidak baik. Setidaknya, keberadaanku di sini untuk menasihati mereka. Meskipun nasihat itu sama sekali tak pernah didengarkan oleh mereka.

Aku melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 06.00 WIB. Aku segera keluar dari kamar untuk mandi dan bersiap berangkat ke sekolah. Hari ini, aku libur kerja. Ya, biasanya setiap habis subuh aku selalu pergi ke pasar untuk bekerja sebagai kuli panggul. Dari sana aku bisa mendapatkan uang untuk makan sehari-hari. Sejak duduk di kelas 5 SD, aku sudah dibiarkan oleh ayah dan kakakku. Mereka bilang aku harus mandiri dan tidak boleh terlalu bergantung pada siapa pun. Itulah yang membuatku terbiasa mencari uang sendiri. Banyak pekerjaan yang pernah aku jalani, menjadi tukang kebun di rumah tetangga yang kaya raya, membantu mencuci piring di warung makan, sampai akhirnya menjadi kuli panggul di pasar. Sedangkan ayah dan kakakku setiap hari hanya sibuk berjudi dan mabuk-mabukan.

Namaku Ardan Rakha Wisesa, dilahirkan oleh wanita cantik yang bernama Hana Pradipta. Perempuan yang bahkan tidak pernah kulihat sama sekali dalam hidupku. Ya, dia meninggal tepat setelah aku lahir ke dunia ini. Itulah yang menyebabkan ayah dan kakakku tidak begitu peduli padaku. Mereka bilang, hidupnya berubah 180° semenjak aku lahir dan menjadi bagian dari keluarga mereka. Ayahku, Dedi Sanjaya dulu adalah seorang petani yang sangat sukses. Hampir semua tanah persawahan di kampung itu adalah miliknya. Hidup dalam keadaan yang mewah dan bergelimang harta. Kakakku, Edwin Abraham masih bisa menikmati semua kekayaan itu. Hingga ia menjadi anak yang manja. Namun semua itu hanya bertahan sampai ia berusia sembilan tahun, tepat ketika aku lahir ke dunia. Ibuku meninggal dan ayahku menjadi frustasi sehingga tidak mampu menangani semua usahanya dan diserahkan kepada seseorang yang sudah dipercaya menjadi tangan kanannya. Namun justru ia ditipu oleh orang tersebut dan kehilangan semua kekayaan yang dimilikinya. Ayah bilang semua itu adalah kesalahanku, aku dilahirkan ke dunia ini hanya untuk memberikan kesialan yang bertubi-tubi bagi keluarga ini. Aku hanya bisa diam dan menerima semua ucapan buruk yang ditujukan padaku itu.

“Kalah lagi. Kapan kita akan beruntung lagi, Ayah?” tanya Edwin pada Ayah. Pasti mereka sedang membahas tentang judi.

Aku yang baru keluar dari kamar mandi dan hendak kembali ke kamar tidak begitu memedulikan mereka. Namun lagi-lagi aku mendengar kata-kata yang sangat menyakitkan hati.

“Kita hanya akan beruntung jika anak pembawa sial itu enyah dari muka bumi ini.” Jawab Ayah terdengar sangat santai. Seperti ia mengatakan hal yang biasa dan tidak menyakiti hati orang lain.

Edwin yang mengerti maksud perkataan Ayah, memandangku dengan tatapan penuh kebencian. Aku sempat melirik sekilas, namun kembali memilih untuk mengabaikan mereka. Aku segera menuju ke kamar dan bergegas berangkat ke sekolah.

Ketika hendak berangkat pun, kembali kudengar mereka menyinggungku.

“Sekolah tinggi-tinggi buat apa? Anak orang susah ya sudah pasti hidupnya akan susah juga. Tidak usah bermimpi terlalu tinggi.” Kata Edwin yang memang memilih untuk putus sekolah, bahkan ijazah SMP pun dia tidak punya. Sedangkan aku? Aku masih terus bersekolah karena otakku yang pintar sehingga mendapat beasiswa dan bahkan bisa bersekolah di sekolah yang elite.

Membahas tentang sekolah, juga bukan tempat yang nyaman bagiku. Di sana, aku hanya dijadikan sebagai sumber contekan dan juga target bullying. Namun tak apa, setidaknya aku bisa lepas dari bau alkohol di rumah yang selalu membuatku pusing.

“Dia sama sekali tidak mendengarkan kita, biarkan saja dia. Biar dia cari hidupnya sendiri.” Kata Ayah.

Aku memilih untuk diam dan bergegas pergi ke sekolah. Jarak sekolah dari rumahku cukup jauh. Aku menempuhnya dengan naik angkot atau menumpang teman yang searah. Aku berjalan santai menuju angkot yang memang biasa mangkal di depan gang. Aku segera masuk ke dalam angkot yang sudah hampir penuh itu. Tak kudapati satu pun dari mereka yang mengenakan seragam sekolah sepertiku. Kebanyakan dari mereka adalah ibu-ibu yang hendak berangkat ke pasar.

“Ardan.” Panggil seseorang berhasil mengagetkanku.

Ternyata itu adalah Darwin. Teman sekolahku semasa SMP. Dia juga hendak berangkat sekolah, namun sekolahnya berbeda denganku. Dia bersekolah di sekolah swasta yang berjarak tak jauh dari sekolahku.

“Darwin, tumben naik angkot. Di mana motormu?” tanyaku pada Darwin.

“Sebenarnya aku juga malas sekali berdesak-desakan seperti ini. Tapi apa boleh buat, motorku rusak parah akibat balapan malam tadi. Masih untung aku tidak apa-apa.” Jawabnya.

Tak perlu kaget, selain judi dan mabuk-mabukan, anak-anak muda di kampungku juga suka sekali balapan liar di jalanan dekat hutan. Tentu saja dengan taruhan yang besar.

“Masih rame balapan liar itu? Bukannya pernah ketahuan pihak kepolisian?” tanyaku karena aku pernah mendengar tentang balapan liar yang didatangi banyak aparat kepolisian.

“Tak akan ada yang peduli dengan polisi. Lagi pula juga tidak setiap hari mereka beroperasi di daerah ini.” Kata Darwin terdengar sangat santai seperti tak takut akan hal apa pun.

Aku tidak menanggapi ucapannya. Aku tahu hal itu. Warga kampungnya memang terkenal sangat suka membuat kerusuhan. Beberapa menit kemudian angkot itu berangkat, karena memang penumpangnya pun sudah penuh. Butuh waktu sekitar 20 menit untuk sampai di sekolah. Aku mengisi kejenuhan duduk di angkot dengan membaca buku pelajaran yang terjadwal di hari ini. Ya, aku memang terkenal sebagai Kutu Buku.

Angkot berhenti tepat di depan sekolahku. Aku menepuk bahu Darwin. Dia mengangguk. Seperti biasa, setiap turun dari angkot aku selalu menjadi pusat perhatian. Bagaimana tidak? Aku yang naik angkot sangat berbeda dengan mereka yang bawa mobil pribadi atau antar jemput kendaraan mewah, bahkan yang naik motor pun jarang. Maklum, orang-orang kaya.

“Ih, bau apa nih?” tanya salah satu perempuan yang memang terkenal paling suka membully, namanya Citra Devana. Ia dan kedua pengawalnya satu kelas denganku. Kelas XI IPA 3.

“Bau angkot lah, Cit.” Jawab dua pengawal setianya, Rachel Graciela dan Divya Helena.

Seperti biasa, setelah itu mereka tertawa terbahak-bahak dan lalu pergi. Aku tak pernah begitu memedulikan mereka. Bisa sekolah saja aku sudah sangat beruntung.

Baru saja aku hendak melangkahkan kaki menuju kelas, sudah ada seseorang yang memanggilku. Indira Jovanka, dia adalah satu-satunya sahabat yang kumiliki. Dia sama sepertiku, berkacamata dan Kutu Buku. Dia juga target bullying.

“Ardan, kamu dipanggil pemilik yayasan. Sudah sejak tadi, tapi aku baru melihatmu sekarang.” Kata Indi terlihat panik. Entah apa yang terjadi sehingga aku dipanggil oleh pemilik yayasan sekolah ini. Dipanggil oleh orang yang memberiku beasiswa.

“Ada apa, Indi? Mengapa aku dipanggil.” Tanyaku penasaran.

Bukannya menjawab, Indi justru menarik tanganku menuju ke ruangan pemilik yayasan. Ada beberapa orang di sana. Termasuk salah satunya adalah anak perempuan yang memakai seragam sama denganku, anak perempuan yang tak pernah kulihat sebelumnya.

“Kamu Ardan?” Tanya Pak Adam Ivander, pemilik yayasan dari sekolah ini.

Aku hanya mengangguk. Pikiranku kacau, aku takut beasiswaku dicabut dan aku harus berhenti sekolah. Namun ternyata aku terlalu berpikir secara berlebihan. Justru hal baik yang terjadi padaku, hal yang tidak pernah aku bayangkan.

“Perkenalkan, dia anakku. Namanya Vanda Valeria Ivander. Aku ingin kamu membimbingnya, menjadi guru les privat untuknya. Aku dengar kamu adalah siswa paling pintar di sekolah ini.

Aku hanya mengangguk, hampir pingsan mendengarnya. Itu artinya aku akan sering bertemu dengan perempuan cantik itu. Jujur saja, aku merasakan detak jantungku berdetak berkali lipat lebih cepat saat menatapnya dan saat tatapan kami bertemu. Apa ini yang namanya cinta pada pandangan pertama?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status