Share

Chapter 6

Aku sudah sampai di halaman rumah sekarang, bahkan bisa kucium bau alkohol dari jarak beberapa meter. Tuhan, sampai kapan aku harus terus hidup dalam keadaan yang sebenarnya sangat aku benci? Siapa lagi yang bisa mengubah nasibku selain diriku sendiri dengan bantuan dari Tuhan. Aku berjalan memasuki ruang tamu, ada banyak orang di sana. Sedang duduk melingkar main domino sambil menikmati minuman beralkohol. Ck, pemandangan yang sangat membosankan. Saat aku masuk, semua mata tertuju padaku. Beberapa orang dari mereka sudah mengenalku, namun rupanya ada beberapa orang baru yang turut bergabung. Bukannya semakin habis justru anggotanya semakin banyak. Jadi memang benar bahwa mencari teman dalam dosa itu lebih mudah daripada mencari teman untuk diajak dalam kebaikan.

“Wih, calon presiden sudah pulang rupanya. Ck, kenapa wujudmu mengerikan sekali? Katanya anak sekolah, pulang bukannya bersih namun justru banyak kotoran di seragammu. Kamu habis berenang di got atau bagaimana, hah?” tanya Edwin, kakakku. Semua orang yang ada di sana tertawa, termasuk ayahku.

Aku tidak berminat untuk menanggapi ucapan Edwin. Lagi pula tidak ada untungnya juga untukku. Aku memilih untuk bergegas ke dalam kamar, meninggalkan mereka yang masih menertawakanku. Aku memasukkan bajuku ke dalam ember di kamar mandi setelah berganti pakaian. Memang benar, pakaian itu terlihat sangat kotor. Bahkan terlihat hampir seperti pakaian orang-orang yang baru pulang dari sawah. Ini semua gara-gara Alex. Entah mengapa rasanya darahku mendidih ketika mengingat Alex. Tentang semua yang dia lakukan padaku, juga tentang perilakunya pada perempuan. Aku meninggalkan baju yang sudah kurendam dengan detergen itu. Kemudian aku keluar sebentar untuk membeli nasi di warung depan, tapi sepertinya kali ini aku akan makan di warung saja. Malas rasanya kalau harus makan di rumah dan mencium bau alkohol itu. Entah mengapa, kalimat yang menyatakan bahwa rumahku adalah surgaku tidak pernah ada dalam rumahku. Mungkin karena tidak adanya seorang ibu. Ibu, mengingatnya membuatku sangat rindu. Rindu pada wanita cantik yang bahkan aku tidak pernah melihatnya secara langsung. Aku hanya bisa melihatnya dari selembar foto keluarga yang terlihat sangat bahagia tanpa keberadaanku. Ya, foto yang selalu aku simpan. Foto yang menggambarkan ayah, ibu dan kakak yang terlihat sangat bahagia. Saat itu mungkin aku masih berada di dalam kandungan Ibu, mungkin juga bahkan belum direncanakan untuk hadir ke dunia.

“Hey, jangan berjalan sambil melamun.” Kata seseorang berhasil membuyarkan lamunanku.

Aku tersenyum, dia juga tersenyum. Dia adalah Bang Hendra, kakaknya Indi. Dia juga yang membuat ayah Indi sampai sekarang tidak begitu memarahiku. Dia mendukung Indi untuk bergaul dengan siapa saja asal bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.

“Mau ke mana, Bang?” tanyaku basa-basi.

“Mau makan di warung, hari ini Ibu tidak masak karena tidak enak badan. Temanmu itu juga tidak bisa masak. Jadi daripada terus-terusan makan mie instan lebih baik aku cari makan di warung saja.” Jawab Bang Hendra, “kamu sendiri mau ke mana?” tanya Bang Hendra padaku.

“Sama, Bang. Mau makan juga.” Jawabku.

“Ya sudah, ayo. Kita makan bareng.” Kata Bang Hendra. Kami berjalan menuju ke warung makan yang sudah terlihat keramaiannya dari kejauhan. Warung makan ini memang selalu ramai setiap hari. Penjualnya adalah Nek Siti, dulu dia berjualan keliling sambil menggendong dagangannya. Namun sekarang dia sudah bisa mendirikan rumah makan dan mempunyai banyak pegawai, bahkan kabarnya rumah makan Nek Siti ini sudah membuka cabang di daerah lain. Nek Siti jarang sekali berada di warung makan. Kata anaknya yang menjaga warung ini, Nek Siti sudah tua jadi harus banyak istirahat. Nek Siti hanya bertugas menyiapkan bumbu-bumbu untuk memasak saja. Sedangkan untuk menghaluskan bumbu dan memasak sudah jadi tugas orang lain. Namun tetap harus dicicipi oleh Nek Siti terlebih dahulu agar rasanya tetap masakan Nek Siti meskipun sebenarnya bukan.

“Mau pesan apa, Mas?” tanya Mbak Lida, dia tetangganya Indi. Indi pernah bercerita padaku kalau Mbak Lida pernah ada rasa sama Bang Hendra, bahkan pernah terang-terangan menyatakan perasaannya namun ditolak oleh Bang Hendra dengan alasan ingin fokus kuliah. Pantas saja saat ini pipinya seperti kepiting rebus, pasti dia sangat malu bertemu dengan Bang Hendra.

“Nasi pakai sayur lodeh sama daging ya buat di sini. Nanti bungkus 3 nasi sama ayam bakar dan sambal juga lalap seperti biasanya. Kamu mau pesan apa, Ardan?” tanya Bang Hendra padaku.

“Aku pesan nasi pakai telur ceplok sama sambal saja, mbak.” Jawabku. Ya, aku pesan sesuai dengan isi dompetku yang sudah menipis. Besok aku harus ke pasar lagi untuk cari uang, uangku tinggal untuk makan siang ini saja. Nanti malam makan mie instan saja.

“Tambahkan daging dan sayur di nasi milik Ardan, Mbak. Dia harus makan makanan yang sehat. Bungkus juga 1 buat Ardan.” Kata Bang Hendra. Mbak Lida mencatat semua pesanan kemudian pergi untuk menyiapkan pesanan kami.

“Bang, tapi aku sudah tidak ada uang. Hanya tinggal ini saja, aku tidak bisa membayar daging dan sayur juga nasi yang dibungkus. Rencananya aku mau buat mie instan saja untuk makan nanti malam.” Kataku pada Bang Hendra sambil menunjukkan uang recehku.

Bang Hendra justru tertawa sambil menepuk-nepuk bahuku. Sementara aku masih bingung bagaimana cara untuk membayar pesananku.

“Kamu jangan khawatir seperti itu. Aku yang memesankannya untukmu, tentu saja aku yang bayar.” Kata Bang Hendra.

Pesanan kami pun datang, Bang Hendra minta tambah dua gelas es teh untuk kami berdua. Mas Hendra memang orang yang sangat baik. Dia adalah seorang dokter bedah plastik yang cukup terkenal, bahkan pernah dikabarkan bahwa dia lebih baik dari pada dokter bedah plastik senior. Hingga berkali-kali ada yang berusaha untuk mencelakainya. Namun, dengan kemampuan bela dirinya yang luar biasa, dia bisa melindungi dirinya sendiri. Bang Hendra sejak kelas 5 SD sudah belajar bela diri pencak silat. Bahkan selalu ikut perlombaan dan selalu mendapat juara. Indi diam-diam juga sama, ilmu bela dirinya sangat baik bahkan lebih baik dariku. Indi lebih memilih karate. Awalnya aku tidak tahu, hingga saat preman yang biasa mangkal di pasar menghampiriku dan meminta uang hasil aku menjadi kuli panggul. Kebetulan saat itu, Indi dan ibunya pergi ke pasar dan melihat kejadian itu, saat itulah aku untuk pertama kalinya menyaksikan ilmu bela diri yang dimiliki Indi. Sejak saat itu, para preman tidak ada yang berani menggangguku karena tahu aku punya teman yang hebat. Indi memang hebat, aku beruntung punya teman seperti dia.

“Kata Indi, kamu ditawari jadi guru les privat anak pemilik yayasan tempat kamu bersekolah ya?” tanya Bang Hendra.

Aku diam, belum menjawab. Aku justru memikirkan, bagaimana Bang Hendra bisa tahu? Apakah Indi sudah sempat menceritakannya pada Bang Hendra?

“Ditanya kok malah diam saja. Abang tahu dari Indi, dia selalu senang dengan segala pencapaianmu. Dia selalu menceritakannya di rumah, membuat ayah suka marah-marah sendiri.” Kata Bang Hendra.

Aku tersenyum mendengarnya. Indi memang seperti itu. Dia gadis yang selalu ceria. Gadis baik yang akan selalu menjadi sahabatku. Aku bersyukur bisa bertemu dan bersahabat dengannya.

“Iya, Bang. Baru tadi pagi aku ditawari. Besok baru mulai mengajar.” Jawabku sambil meminum es teh yang terasa sangat segar di tengah hari yang terik.

“Kata Indi anak itu cantik, ya?” tanya Bang Hendra lagi berhasil membuatku tersedak. “Kenapa? Hati-hati kalau minum.” Kata Bang Hendra yang justru menertawakanku.

“Biasa saja lah, Bang. Sama seperti Indi dan gadis lainnya. Semuanya sama.” Jawabku bohong, padahal aku sangat mengagumi kecantikan Vanda.

Bang Hendra hanya tertawa mendengar penuturanku. Dia sudah selesai makan, dia memanggil Mbak Lida untuk membayar.

“Aduh, bagaimana ini? Dompetku tertinggal. Kamu bayar dulu ya, Ardan, nanti aku ganti.” Kata Bang Hendra membuatku terkejut. Bagaimana tidak? Uangku hanya tinggal beberapa lembar recehan yang bahkan tidak cukup untuk membayar pesananku sendiri.

“Saya hanya bercanda, Ardan.” Kata Bang Hendra kemudian mengeluarkan dompet dari saku celananya. Isi dompetnya sangat berbeda dengan isi dompetku. Isi dompet Bang Hendra dipenuhi dengan warna merah dan biru. “aku pergi dulu, Ardan. Kamu lanjutkan saja makannya.” Kata Bang Ardan kemudian pergi meninggalkanku.

Aku hanya mengangguk. Dia juga laki-laki yang baik. Aku melanjutkan makanku yang tinggal beberapa sendok. Setelah selesai, aku segera pulang sambil membawa nasi bungkus yang juga sudah dibayar oleh Bang Hendra. Beruntung sekali aku hari ini, sejak pagi mendapat tawaran dari pemilik yayasan untuk menjadi guru les privat, kemudian bertemu dengan gadis cantik bernama Vanda dan mendapat kecupan di hari pertama kami bertemu. Meski bagaimana pun, tidak dapat aku pungkiri bahwa itu juga hal yang patut disyukuri. Keberuntungan selanjutnya adalah mendapat makan siang gratis bahkan dibungkuskan untuk makan malam. Kenal dengan orang-orang baik itu juga rezeki. Tentang kesialanku yang disebabkan oleh Alex, itu sudah terhapus dengan keberuntungan-keberuntunganku hari ini. Aku hanya bisa berharap semoga hidupku selalu diberikan keberuntungan dan nasib baik.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status