“Ardan, Ardan.” Panggil Indi.
Aku mendengar panggilan itu, namun aku masih saja terpaku pada gadis pemilik nama Vanda itu. Entah mengapa aku sangat tertarik padanya. Bahkan dia pun tidak memandangku sebagaimana gadis-gadis sombong di sekolah ini memandangku. Vanda menatapku dengan tatapan menghargai, bahkan dengan sekilas senyum yang menambah elok parasnya.
“Kamu keberatan, Ardan?” tanya Pak Adam padaku.
Kali ini aku mencoba kembali fokus. Dan satu-satunya jalan adalah dengan berhenti memandangi Vanda.
“Ti-tidak, Pak. Saya bersedia.” Jawabku gugup.
“Baiklah, kamu bisa mulai mengajarinya mulai besok setiap pulang dari sekolah selama 2 jam. Masalah gaji bisa kita bicarakan nanti. Sekarang, ajak Vanda masuk kelas. Saya sengaja menempatkan Vanda untuk satu kelas dengan kamu dan juga Indi. Semoga dia tidak salah pergaulan.” Kata Pak Adam membuat hatiku semakin berbunga-bunga. Aku menganggap hari ini adalah hari keberuntunganku.
“Baiklah, Pah. Sekarang aku bisa ke kelas bersama mereka, kan?” tanya Vanda pada Ayahnya.
“Silakan.” Jawab Pak Adam.
Vanda keluar dari ruangan itu, dia juga menarik tangan Indi agar berjalan mengikutinya. Aku yang menyadari itu berpamitan pada Pak Adam dan segera keluar mengikuti mereka.
Kami bertiga berjalan beriringan menuju ke kelas yang berada di lantai dua. Banyak orang yang memerhatikan kami, lebih tepatnya memerhatikan Vanda. Bisa tertangkap jelas oleh telingaku kalau mereka sedang memuji kecantikan Vanda.
“Wah, cantik banget. Si Citra kalah ini pasti.” Kata seorang siswi dengan sedikit berbisik namun terdengar jelas di telingaku.
“Cantik banget, sudah pasti jadi incaran siswa-siswa sini nih.” Kata seorang siswa yang sedang bergerombol. Rasanya ingin sekali aku menutup mata mereka yang menatap Vanda dengan matanya yang dilebarkan itu.
Setelah berjalan cukup lama, akhirnya kami sampai di depan kelas XI IPA 3. Saat kami hendak masuk, tiba-tiba terdengar suara seseorang meneriakkan nama Vanda.
“Vanda.” Panggil seseorang itu sambil berlari. Dia adalah Rachel, diikuti oleh Divya di belakangnya.
Vanda terlihat tersenyum senang melihat kedatangan mereka. Bahkan ia melebarkan tangannya, bersiap memeluk kedua orang itu. Mereka pun berpelukan.
“Akhirnya kita bertemu lagi. Kangen banget.” Kata Divya.
“Iya, kenapa lama banget sih perginya. Sudah berapa tahun kita tidak bertemu?” tanya Rachel berusaha mengingat.
“Kurang lebih 5 tahun. Sejak lulus SD.” Jawab Vanda namun kemudian terkekeh.
“Bercanda terus deh.” Kata Divya.
“Kalian terlalu berlebihan. Kita berpisah bahkan belum genap 2 tahun. Sejak lulus SMP, kan?” tanya Vanda.
Aku dan Indi hanya diam mendengarkan percakapan mereka. Menurut pembicaraan mereka, aku dapat mengambil kesimpulan bahwa mereka dulunya adalah sahabat. Jadi Vanda, Rachel dan Divya adalah sahabat? Bagaimana dengan Citra?
“Di mana Citra?” tanya Vanda, raut wajahnya berubah seperti terlintas kebencian di sana.
“Biasa lah, pacaran sama si Alex. The most wanted di sekolah ini.” Ceplos Rachel yang kemudian dipelototi oleh Divya.
“Jangan dengarkan dia, Vanda. Dia kalau ngomong suka asal.” Kata Divya mencoba kembali mencairkan suasana yang mendadak terasa menegangkan.
Vanda tidak menjawab apa-apa, ia terlihat tersenyum sinis. Dia memandang jauh, melihat ke arah Citra yang sedang berjalan sambil bergandengan mesra dengan Alex. Dapat kulihat tatapan kebencian terpancar jelas pada mata Vanda. Apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka?
Citra dan Alex sepertinya sama sekali tidak menyadari kalau ada yang menatap mereka berdua dengan penuh kebencian. Sampai akhirnya mereka sampai di depan kelas dan sangat terkejut ketika melihat keberadaan Vanda. Alex bahkan melepaskan gandengan tangannya pada Citra begitu saja. Alex adalah anak kelas XII yang memang sangat diinginkan oleh semua siswa di sekolah ini. Tinggi, tampan, jago basket, jago menyanyi, berasal dari keluarga kaya raya, dan masih banyak lagi kelebihan yang dia miliki. Sangat berbanding terbalik denganku. Bahkan mungkin semua siswa di sekolah ini juga merasa iri dengannya. Namun sudah bukan rahasia umum lagi kalau Alex adalah anak yang angkuh dan sangat suka membully. Aku adalah salah satu korbannya.
“Hai, kenapa gandengannya dilepas? Jangan kaget begitu. Lanjut saja. Kalian adalah pasangan yang sangat serasi.” Ucap Vanda dengan nada menyindir dan tersenyum sinis.
Baik Alex maupun Citra sama sekali tidak memberikan jawaban. Mereka justru menunduk, seperti baru saja mencuri mangga dan ketahuan oleh yang punya mangga tersebut. Aku menemukan hal yang janggal di sini. Apa mungkin Vanda juga pernah mengenal Alex sebelumnya? Atau mungkin kah mereka dulu adalah sepasang kekasih? Aduh, mengapa aku bisa berpikir jauh ke sana?
“Vanda, aku bisa jelasin semuanya. Aku butuh waktu untuk bicara sebentar sama kamu.” Akhirnya Alex berani bicara meskipun terdengar sangat gugup. Lain dengan Citra yang masih terlihat menunduk.
“Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi di antara kita. Semua sudah selesai sejak aku melihat kamu memposting foto bersama dengan perempuan ini.” Kata Vanda sambil menunjuk ke arah Citra. “Dan kamu Citra, mengapa tidak menyambut kedatanganku seperti kedua sahabatmu ini? Bukankah sebelumnya kita berempat adalah sahabat? Oh, atau kamu merasa terganggu dengan kedatanganku? Tenanglah, aku kembali bukan untuk mengusik kisah cinta kalian yang begitu romantis. Aku datang memang hanya ingin fokus sekolah.” Jelas Vanda. Kata-katanya terdengar jelas dan setiap ucapannya justru membuat Citra menunduk semakin dalam.
“Kita perlu bicara berdua, Vanda.” Kata Alex masih berusaha mengajak Vanda untuk bicara namun sama sekali tidak dihiraukan oleh Vanda.
“Indi, Ardan. Kita masuk saja. Di sini anginnya kencang sekali. Namun entah mengapa justru membuatku terasa gerah. Ayo masuk.” Kata Vanda kemudian masuk ke dalam kelas.
Aku dan Indi hanya bisa saling tatap kemudian mengikuti Vanda masuk ke dalam kelas. Tak lama bel masuk pun berbunyi. Rachel dan Divya serta anak yang lain juga sudah masuk ke kelas. Sedangkan aku, sengaja memelankan jalanku guna mengetahui apa yang hendak dibicarakan oleh Alex dan Citra.
“Tenang, Sayang. Tidak akan ada yang memisahkan kita. Hanya kamu perempuan yang aku cintai. Vanda hanya bagian dari masa laluku. Tapi aku perlu waktu untuk bicara dengannya dan menjelaskan semuanya secara baik-baik.” Kata Alex, sambil menangkup kedua pipi Citra yang ternyata sudah ada air mata yang mengalir di sana.
“Berjanjilah kalau kamu tidak akan mengkhianati aku seperti kamu mengkhianati Vanda.” Jawab Citra.
“Aku berjanji. Sekarang masuklah, dan usap air matamu.” Kata Alex sambil membantu Citra mengusap air matanya.
Mereka rupanya menyadari keberadaanku. Aku memutuskan untuk segera masuk sebelum mereka membullyku lagi.
Masih tersimpan beberapa pertanyaan di benakku. Ke mana Vanda pergi selama hampir dua tahun ini? Mengapa ia seperti menghilang dan kemudian datang kembali dan justru harus melihat pengkhianatan yang dilakukan oleh kekasihnya? Aku harus mencari tahu semua ini. Begitulah aku, selalu ingin mengetahui segala hal yang mengganggu pikiranku.
Bel masuk sudah berbunyi sejak beberapa menit yang lalu tapi belum juga ada guru yang masuk ke dalam kelas. Aku sebagai ketua kelas hendak melapor ke ruang guru tapi seperti biasa selalu mendapat respons tidak baik dari teman-teman sekelasku“Mau ke mana kamu, Cupu?” tanya seorang teman sekelas laki-laki yang bernama Andre, dia satu geng dengan Alex. Sama-sama suka membully diriku“Sejak tadi bel sudah berbunyi tapi Bu Agnes belum masuk juga. Aku harus melapor ke ruang guru. Mungkin ada tugas untuk kita.” Kataku menjelaskan.“Seperti biasa, mau cari muka dia. Kita lempar pakai kertas saja wajah polos itu.” Imbuh Roy, juga masuk kelompok Alex.Satu kelas kompak menyobek kertas dan membentuknya bulat lalu melempariku yang masih berdiri di depan kelas.“Dasar kampungan, jadi seperti ini perilaku anak-anak di sekolah ini? Benar-benar kekanak-kanakan. Seharusnya kalian kembali saja ke taman kanak-kanak.” U
Aku berjalan terburu-buru menuju kelas, sepanjang jalan aku terus saja mengumpat. Aku menyesal sekali harus melihat adegan seperti tadi. Sesampainya di kelas, Vanda dan Indi memandangiku dengan tatapan yang aneh. Mungkin mereka menangkap ada yang aneh dari diriku. Tentu saja, napasku terengah-engah. Bagaimana tidak? Aku belum pernah menyaksikan adegan seperti itu sebelumnya bahkan di video seperti yang anak-anak lain bicarakan. Dan hari ini aku harus menyaksikannya secara langsung.“Ada apa, Ardan?” tanya Indi padaku. Aku masih diam saja, belum sanggup menjawab. Masih berusaha menetralkan napasku. Bahkan jika aku mampu menjawab pun, aku tidak mungkin menceritakan apa yang tadi aku lihat. Apa lagi dengan kenyataan bahwa Vanda pernah menjalin kasih dengan Alex, pasti hal yang baru saja aku lihat akan menyakiti hatinya.Indi masih penasaran ingin mendengar jawaban dariku, sedangkan Vanda terlihat acuh dan sibuk dengan ponselnya. Pekerjaan kelompok kami kulihat
Hari ini, aku pulang sekolah seperti biasa. Mungkin mulai besok, aku akan pulang telat karena sudah mulai menjadi guru les privat Vanda. Vanda, mengingat nama itu lagi-lagi membuat jantungku berdetak berkali lipat lebih kencang. Baru hari pertama bertemu saja dia sudah meluluh lantahkan hatiku, apa yang akan terjadi jika aku hampir setiap hati bertemu dengannya? Ah, aku harus bisa menetralkan perasaanku. Lagi pula, berharap terlalu berlebihan hanya akan membuatku sakit. Toh kami juga berasal dari kasta yang berbeda. Ibarat pungguk merindukan rembulan jika aku terlalu menaruh harapan padanya.“Heh, Ardan.” Panggil seseorang dari arah belakangku yang tak lain adalah Indi. Dia berlari tergopoh-gopoh menghampiriku.“Ada apa? Mengapa lari-lari?” tanyaku santai saat dia sudah berdiri di sebelahku.“Sejak kapan kamu tuli, hah? Tanya Indi lagi, “aku memanggilmu sejak tadi, sejak kamu keluar dari gerbang sekolah. Dan lihat, kamu baru m
Aku sudah sampai di halaman rumah sekarang, bahkan bisa kucium bau alkohol dari jarak beberapa meter. Tuhan, sampai kapan aku harus terus hidup dalam keadaan yang sebenarnya sangat aku benci? Siapa lagi yang bisa mengubah nasibku selain diriku sendiri dengan bantuan dari Tuhan. Aku berjalan memasuki ruang tamu, ada banyak orang di sana. Sedang duduk melingkar main domino sambil menikmati minuman beralkohol. Ck, pemandangan yang sangat membosankan. Saat aku masuk, semua mata tertuju padaku. Beberapa orang dari mereka sudah mengenalku, namun rupanya ada beberapa orang baru yang turut bergabung. Bukannya semakin habis justru anggotanya semakin banyak. Jadi memang benar bahwa mencari teman dalam dosa itu lebih mudah daripada mencari teman untuk diajak dalam kebaikan.“Wih, calon presiden sudah pulang rupanya. Ck, kenapa wujudmu mengerikan sekali? Katanya anak sekolah, pulang bukannya bersih namun justru banyak kotoran di seragammu. Kamu habis berenang di got atau bagaimana,
Suara ayam berkokok bersahut-sahutan berhasil mengusik tidurku, terpaksa aku membuka mata yang sebenarnya masih sangat mengantuk ini. Ternyata hari sudah pagi. Entah mengapa aku merasa malamku sangat singkat. Bagaimana tidak? Aku sama sekali tidak bisa tidur dengan nyenyak karena ulah ayah dan kakakku yang suka mengajak teman-temannya datang ke rumah untuk berjudi dan mabuk-mabukan. Aku sangat benci kebiasaan yang mereka lakukan itu. Tapi apa yang bisa kuperbuat? Aku hanya bisa diam dan menyaksikan semua itu. Rumahku memang berada di pelosok desa dan melewati gang sempit, sangat aman digunakan untuk segala sesuatu yang melanggar hukum. Itulah mengapa rumahku menjadi tempat favorit untuk judi dan mabuk-mabukan. Aku sempat berpikir untuk pergi dari sini, tapi itu tidak akan mengubah apa pun. Hanya akan membuat ayah dan kakakku semakin leluasa dan terjerumus dalam hal yang tidak baik. Setidaknya, keberadaanku di sini untuk menasihati mereka. Meskipun nasihat itu sama sekali tak pernah