Share

Chapter 3

Bel masuk sudah berbunyi sejak beberapa menit yang lalu tapi belum juga ada guru yang masuk ke dalam kelas. Aku sebagai ketua kelas hendak melapor ke ruang guru tapi seperti biasa selalu mendapat respons tidak baik dari teman-teman sekelasku

“Mau ke mana kamu, Cupu?” tanya seorang teman sekelas laki-laki yang bernama Andre, dia satu geng dengan Alex. Sama-sama suka membully diriku

“Sejak tadi bel sudah berbunyi tapi Bu Agnes belum masuk juga. Aku harus melapor ke ruang guru. Mungkin ada tugas untuk kita.” Kataku menjelaskan.

“Seperti biasa, mau cari muka dia. Kita lempar pakai kertas saja wajah polos itu.” Imbuh Roy, juga masuk kelompok Alex.

Satu kelas kompak menyobek kertas dan membentuknya bulat lalu melempariku yang masih berdiri di depan kelas.

“Dasar kampungan, jadi seperti ini perilaku anak-anak di sekolah ini? Benar-benar kekanak-kanakan. Seharusnya kalian kembali saja ke taman kanak-kanak.” Ucap Vanda dengan suaranya yang garang dan tegas. Bahkan dia tidak perlu berdiri untuk membuat semua orang berhenti melempariku degan kertas. “Dan kalian berdua, Divya dan Rachel. Saya tidak menyangka kalian ternyata juga seperti itu. Apa semenjak ketua geng kalian adalah Citra? Hem, kampungan sekali.” Lanjut Vanda sambil tersenyum sinis ke arah Citra yang terlihat mengepalkan tangannya.

Semua anak di kelas diam. Tidak ada lagi yang berani melempariku.

“Silakan pergi ke ruang guru, Ardan. Jangan hiraukan manusia-manusia kampungan ini.” Kata Vanda padaku.

Anak-anak yang lain terdengar menggerutu, kurang suka dengan sikap Vanda yang membelaku. Aku segera menuju ke ruang guru, dan benar saja. Bu Agnes berhalangan untuk hadir dan meninggalkan tugas untuk kelas kami. Aku segera membawa tugas itu ke kelas.

Sesampainya di kelas aku segera menyampaikan tugas itu pada semua anak-anak di kelas.

“Bu Agnes berhalangan untuk hadir hari ini. Ada tugas untuk kita dan harus dikumpulkan hari ini juga. Tugasnya adalah membuat drama dalam bahasa inggris. Tugas ini berkelompok, satu kelompok terdiri dari tiga orang. Bisa pilih sendiri mau satu kelompok dengan siapa. Bisa ditulis di kertas yang akan saya bagikan ini. Jika sudah selesai, bisa membuat salinannya karena yang ini akan dikumpulkan. Sedangkan salinan yang kita buat nantinya harus kita pelajari karena minggu depan drama itu akan dipraktikkan.” Jelasku kemudian membagikan kertas dari Bu Agnes.

Mereka semua terdengar menggerutu lagi tapi tak berani mengutarakannya karena takut dengan keberadaan Vanda. Vanda duduk sendirian di bangku yang berada tepat di belakangku dengan Indi. Ya, Indi adalah teman sebangkuku.

“Vanda, mau jadi kelompok kami?” tanya Indi antusias.

“Boleh.” Jawab Vanda singkat sambil memperlihatkan senyum manisnya.

Aku merutuki Indi dalam hatiku. Bagaimana tidak? Bisa-bisa aku tidak fokus mengerjakan tugas ini karena satu kelompok dengan Vanda. Apalagi dengan Vanda yang selalu menunjukkan senyum manisnya. Aduh Indi, bagaimana ini?

“Mengapa diam, Ardan? Kamu tidak setuju aku bergabung dalam kelompokmu?” Tanya Vanda padaku tiba-tiba membuatku semakin gugup.

“Bu-bukan begitu, Vanda. Justru aku akan merasa senang jika kamu bersedia bergabung dengan kelompokku.” Jawabku terlihat sekali sangat gugup. Bahkan keringat dingin mulai keluar dari tubuhku.

Semoga Vanda tidak menyadari bahwa aku gugup sekali dekat dengannya, doaku dalam hati.

“Vanda, sebelum ini sepertinya kamu sudah mengenal Citra, Rachel dan juga Divya. Kapan kamu bertemu mereka?” tanya Indi tiba-tiba.

“Ya, mereka dulu adalah sahabatku. Aku sangat dekat dengan mereka sampai pengkhianatan itu terjadi.” Jawab Vanda. Aku sama sekali tidak mengerti maksud ucapan Vanda. Namun menurut perkataannya, aku dapat menangkap bahwa ada sesuatu yang terjadi di antara mereka yang membuat Vanda sakit hati. Sesuatu yang tadi ia sebut pengkhianatan.

“Pengkhianatan? Siapa yang mengkhianatimu?” tanya Indi lagi, aku merasa Indi kali ini sudah terlalu jauh ingin tahu mengenai Vanda.

“Sudahlah, Indi. Tidak baik terlalu mencampuri urusan orang lain. Kita fokus saja mengerjakan tugas ini.” Kataku menyahut. Aku melihat Vanda juga tidak begitu suka ditanyai mengenai hal pribadi seperti itu.

“Santai saja, Ardan. Aku tidak keberatan menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh Indi. Kamu tidak perlu kaku seperti ini. Apa memang kamu orangnya kaku? Iya Indi?” tanya Vanda yang justru menertawakanku. Indi juga ikut menertawakanku. Sial, pipiku pasti memerah karena menahan malu.

“Ada satu di antara mereka yang menjadi pengkhianat. Bagaimana kalau kamu ada di posisiku? Pergi tidak sampai dua tahun, namun kekasihku tiba-tiba sudah mempunyai hubungan dengan sahabatku sendiri. Atau mungkin mereka memang sudah berhubungan di belakangku. Tapi aku tidak terlalu memusingkan hal itu. Sampah memang harus dibuang di tempat yang tepat.” Tiba-tiba Vanda berkata seperti itu dengan suara yang seperti sengaja dikeraskan agar didengar oleh banyak orang.

Semua anak-anak di kelas saling berbisik, saling menanyakan siapa yang dimaksud oleh Vanda. Sementara Vanda terlihat melemparkan tatapan tajam pada Citra dan dua temannya.

Entah mengapa Citra mendadak berdiri dari tempat duduknya dan menggebrak meja, membuat kami semua sangat terkejut. Wajah Citra terlihat merah padam, sepertinya ia menahan amarah.

“Apa maksud kamu bicara seperti itu? Aku tahu kalau kamu sangat membenci hubunganku dengan Alex. Tapi yang perku kamu ingat, kisah kamu dengan Alex sudah lama berakhir. Seharusnya kamu menyadari hal itu dan tidak mengatakan hal buruk seperti tadi.” Kata Citra, Rachel dan Divya berusaha menenangkannya namun justru Citra semakin marah. Bahkan sedetik kemudian dia menghampiri Vanda yang masih duduk santai tanpa sedikit pun menghiraukan ucapan Citra tadi.

“Kamu pura-pura tuli atau bagaimana, hah?” tanya Citra, napasnya tak beraturan.

Vanda masih meladeninya dengan santai, bahkan ia terlihat memainkan pena miliknya. Aku dan Indi bahkan sudah berdiri sejak tadi.

“Jangan mentang-mentang kamu anak pemilik yayasan sekolah ini lalu kamu bisa bertingkah semaumu.” Lanjut Citra lagi.

Tidak ada yang berani melerai, karena kami semua tidak ada yang tahu duduk permasalahannya. Teman-teman yang lain hanya saling berbisik menanyakan tentang hal yang mereka saksikan sekarang. Apalagi setelah mendengar tentang perkataan Citra bahwa Vanda adalah anak pemilik yayasan, mereka menjadi heboh.

Mendengar Citra yang menyebut tentang ayahnya, rupanya itu berhasil memancing Vanda. Vanda berdiri, mendekat ke arah Citra, “ Jangan pernah menyamakan aku dengan kalian semua. Aku tidak pernah membanggakan kekuasaan orang tuaku, beda dengan kalian yang selalu membanggakan kuasa kedua orang tua kalian. Kamu pikir aku takut melihatmu marah seperti ini? Lagi pula, coba pikir baik-baik, apa aku tadi menyebut nama? Aku sama sekali tidak menyebutkan nama, Citra sayang. Jadi kamu merasa bahwa yang aku maksud adalah kamu? Sudah sadar kamu wanita penggoda?” balas Vanda.

Mendengar Vanda berkata demikian, Citra terlihat hanya diam dan menelan ludah. Lagi pula benar yang dikatakan oleh Vanda, ia bahkan tak menyebutkan nama sama sekali tadi. Citra seperti kebingungan ingin menjawab apa, sekarang dia benar-benar terdesak. Hingga akhirnya dia memilih untuk pergi keluar dari kelas dengan langkah yang cepat namun terlihat gemetar. Melihat itu, Rachel dan Divya segera mengikuti Citra. Aku bingung harus berbuat apa. Bahkan aku sendiri hanya bisa ikut menyaksikan kejadian tadi.

“Kembali ke tempat masing-masing. Lanjutkan pekerjaannya, 15 menit lagi dikumpulkan.” Kataku mendapat sorakan dari teman-teman sekelas.

Rupanya kejadian itu benar-benar membuat fokus kami teralihkan. Bahkan aku sendiri pun hampir kehilangan fokus.

“Kamu dan Vanda tolong selesaikan ini, ya. Aku harus memeriksa keadaan Citra serta mengingatkan mereka bahwa pekerjaan ini harus segera dikumpulkan.” Ucapku berpamitan pada Indi dan Vanda berpamitan.

“Iya, Ardan. Aku dan Vanda bisa menyelesaikannya. Kamu pergi saja.” Jawab Indi, sedangkan Vanda hanya diam saja. Entah mengapa Vanda terlihat sangat santai, seerti tak pernah terjadi apa-apa padanya.

Aku bergegas menelusuri sekolah, bahkan aku pun tidak tahu harus mencari Citra ke mana. Tapi kemudian aku mendengar suara, saat kulihat rupanya itu suara Rachel dan Divya. Lalu di mana Citra? Aku mencoba mencari di tempat parkir sekolah, sangat mengejutkan. Siapa pun tidak akan percaya dengan yang aku lihat bahkan aku sendiri pun hampir tidak percaya. Aku melihat Citra tengah bermesraan dengan Alex, bahkan kemudian kulihat mereka kemudian saling berpelukan dan saling memberikan kecupan bibir satu sama lain. Aku bertambah bingung, aku memilih untuk menutup mata dan buru-buru kembali ke kelas.

“Sial, seharusnya aku tidak mencarinya sampai ke sana. Seharusnya aku ingat cerita anak-anak tentang tempat parkir yang menjadi tempat pacaran itu. Sial sekali.” Umpatku buru-buru kembali ke kelas.

Di tengah jalan aku bertemu dengan Rachel dan Divya, mereka sepertinya curiga padaku. Tapi aku tidak memedulikan mereka. Aku hanya mengingatkan mereka agar segera mengumpulkan tugas, bahkan aku mengingatkan mereka sambil lalu.

“Sial, aku tidak akan pernah menginjakkan kaki di tempat itu lagi.” Umpatku lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status