Share

KIRANA UDAH GILA! SISEN 2

Pohon jambu air sedang berbuah lebat di halaman depan sebuah rumah tua berpagar rendah. Halaman yang cukup luas dikotori daun-daun dan jambu-jambu air yang jatuh dan telah membusuk, jauh dari kata rapi apalagi bersih. Rumah bercat putih pudar itu mengingatkan Kirana pada rumah-rumah yang dia lihat di film-film Warkop DKI, rumah era 80'an. Dengan pintu besi berukuran besar, jendela pun besarnya hampir menyamai sebagian tembok, berada di muka dan sisi samping rumah, serta berlantai teraso. Kalau saja diberi sedikit polesan dan dirawat benar-benar, tentu rumah lawas itu akan terlihat indah dan menawan. Sayangnya ini malah terlihat suram seperti rumah hantu, Kirana jadi ragu untuk masuk. Ada apa gerangan Panji menempati rumah seseram ini? pikir Kirana heran.

"Nji ...! Panji ... !" Kirana memutuskan berseru memanggil dari luar pagar yang juga telah berkarat di sana-sini.

Belum ada tanda-tanda yang menunjukkan rumah itu berpenghuni, masa iya Panji memberi alamat palsu? Emangnya dia Ayu Ting-Ting apa? Lima menit menunggu, akhirnya pintu kayu terbuka, dari sela-sela pintu besi Kirana bisa melihat yang membuka adalah Panji. Hatinya langsung lega. Selanjutnya Panji buru-buru membuka pintu besi setelah yakin yang datang adalah Kirana. Tunggu dulu, mata Kirana gagal fokus. Baju lengan buntung yang dipakai Panji bukan main kotornya, rambutnya juga hanya diikat sembarangan sampai helai-helainya mencuat tak karuan, kaki dan tangannya juga berlumur tanah kotor seperti lumpur. Ya Tuhan, Kirana mengucap dalam hati, apa sih yang sudah terjadi pada Panji? Kenapa dia jadi mirip orang-orangan sawah?

"Masuk aja, pagarnya gak dikunci!" panggil Panji dari ujung teras.

Agak ragu-ragu, Kirana memutuskan masuk menemui Panji. Aroma keringat menguar dari tubuh atletis Panji, sedang ada sesuatu yang dia kerjakan sepertinya. "Aku gak nyangka akhirnya kamu datang, aku pikir kamu gak akan datang, Kirana." Mata Panji menatapnya sayu.

"Iya, penasaran doang sih kamu tinggal di mana sekarang, gak taunya tinggal di rumah hantu kaya gini." Kirana mencibir sinis.

"Sifat sinis dan jutek kamu belum berubah juga, ya," tawa Panji, "masih sama kaya dulu. Ini bukan rumah hantu, ini rumah budheku yang udah lama gak ditempati, sayang daripada kosong, ya aku tempati aja. Ayo masuk dulu, Ran." Panji mempersilakan Kirana masuk ke dalam rumah.

Lagi-lagi Kirana terperanjat. Ruang tamu berukuran luas itu tempak begitu lengang dan hampa. Hanya terdapat sebuah sofa tua di sana sepaket dengan sebuah meja kayu. Ruang tamu langsung menyatu dengan ruang tengah karena itu ukurannya terlihat sangat lapang, di sisi kiri terdapat sebuah kamar, Kirana menduga itu adalah kamar Panji. Ruang tengah juga tembus sampai ke dapur, dan dari ruang tamu, halaman belakang bisa terlihat jelas.

Di halaman belakang terdapat banyak peralatan mematung termasuk gunungan tanah liat. Di dinding bagian belakang dekat dapur, tersusun topeng-topeng yang terbuat dari tanah liat. Selain topeng-topeng, ada juga miniatur objek seperti sepeda motor maupun hewan yang terbuat dari tanah lempung. Kirana batal duduk, perhatiannya tersedot pada topeng-topeng yang sudah diberi cat pewarna itu, barangkali ini lah yang dikerjakan Panji sampai dia tak punya waktu untuk mengurus hal lain, termasuk dirinya sendiri.

"Kamu yang bikin ini?" Tangan kiri Kirana mencomot satu topeng berwajah seperti monster dari cerita Jawa, topeng itu bagian belakangnya datar sebab memang digunakan sebagai hiasan dinding. Ekspresi kekagumannya tidak bisa dia sembunyikan. Omongannya soal Panji adalah gelandangan detik itu juga dia tarik kembali.

"Iya. Ya begini lah kerjaku sekarang. Aku bikin hiasan rumah atau kantor, ada juga yang dipake untuk pertunjukan tari, tergantung pesanan," jawab Panji.

Oke, level ke-kerenan Panji meningkat satu level. Bohong, ding. Di mata Kirana naiknya seratus level. "Aku gak tau kalo kamu punya bakat terpendam." Kirana memuji malu-malu, ujung jemarinya menyentuh permukaan topeng yang agak kasar, seakan ingin mengambil sisa-sisa sentuhan Panji.

"Gak lah, bukan bakat. Aku berlatih, selama lima tahun aku tinggal sama pakdheku di Malang. Aku diajari memahat, melukis, sampe bikin patung. Ini yang menurutku paling pas buat aku, makanya aku fokus di bidang ini aja."

"Oh ... " Kirana mengangguk-angguk seadanya.

"Mau minum apa?" tanya Panji sambil masuk ke dalam kamar mandi di samping dapur.

"Air putih aja, deh. Udah sering banget ngopi," jawab Kirana sembari berjalan menuju sofa.

"Karna pacarmu punya kafe, ya?" ledek Panji sambil membilas tangan dan kakinya di kamar mandi yang tidak ditutup pintunya.

"Bukan karna dia, kok!" Kirana menepis tudingan jahil Panji.

"Dia keliatan pencemburu. Waktu aku tanya soal kamu, mukanya keliatan banget betenya, mungkin kalo aku ngedesak terus, bisa-bisa aku dibogem." Panji tertawa lagi sambil keluar dari kamar mandi. Dia mengambil gelas dari lemari gantung dan mengisinya dengan air putih hangat dari dispenser.

"Jangan bahas dia, deh! Gak penting banget, lagian kami juga baru pacaran, kok. Kamu sendiri? Sejak kapan balik?"

"Baru sebulan, makanya rumah ini masih kosong." Panji meletakkan gelas di atas meja kayu, dia mengambil tempat di samping Kirana.

"Apa yang bikin kamu akhirnya balik?" tanya Kirana pelan, diam-diam berharap Panji akan menjawab bahwa dirinya lah alasan kepulangannya. Kalau benar begitu, maka cinta mereka akan bertabuh kembali. Kirana, kapan sih sembuh dari penyakit halunya?

Panji membuang muka ke halaman depan, menarik nafas berat, ada beban yang dia coba lepaskan. "Aku mau melupakan sesuatu dari Malang."

Semaksimal mungkin Kirana berusaha mencerna maksud Panji. Sinyal buruk ditangkap Kirana kemudian. Pasti di Malang ada seorang perempuan yang baru saja ditinggalkan Panji. Tumben otak Kirana cair, memang dugaannya benar, ada hati yang baru saja dipatahkan oleh Panji. "Kamu juga masih sama kaya dulu, suka pergi dan melarikan diri. Hati-hati nanti kamu kena karma loh suka menyakiti hati orang lain." tukas Kirana.

"Gak, kok. Kami pisah baik-baik."

"Baik-baik menurut kamu! Entah kalo menurut dia!" Kirana tengah menumpahkan curahan hatinya sendiri.

"Aku serius, Na. Dia kembali ke suaminya."

"HAH?!!!!" Kirana tersentak layaknya tokoh dalam sinetron favorit emak-emak, tinggal dibumbuhi suara jreng-jreng saja maka akan sangat akurat dia sebagai lakon. "Kamu jadi pelakor?! Eh, pebinor?!"

Alis Panji mengerut. "Pebinor? Apa tuh?" tanyanya bingung. Pria yang hidup di Gua seperti Panji mana mungkin tahu bahasa gaul atau istilah kekinian.

"Perebut bini orang!" tuduh Kirana.

"Ya, gak gitu juga, kan aku gak merebut. Tapi sekarang masa-masa itu udah berlalu, kok." Panji mengembangkan senyum simpul.

Cerita hubungan terlarang Panji terlalu nanggung, Kirana mau mengorek sampai ke akar. "Kok bisa sih kamu berhubungan sama istri orang? Apa gak ada cewek lajang di Malang?"

"Aku memang lebih suka perempuan lebih tua sih, Ran. Apalagi dia salah satu temen budheku, kami sama-sama muridnya pakdhe, dia juga belajar memahat trus dia juga guru tari. Awalnya dari curhat tapi lama-lama kami berteman sekadar buat senang-senang aja, tapi jadinya rumit waktu dia melibatkan perasaan," beber Panji panjang lebar. Melihat dari perubahan sikap dan gaya hidup Panji, memang dia sekarang tampak jauh lebih tenang, malah sudah cocok disamakan dengan om-om di pasar seni.

Kirana mulai jijay setelah mendengar pengakuan Panji. Walau dia tidak punya pengalaman pacaran yang banyak, tapi soal FWB (friend with benefit alias nggak pacaran tapi cuma temen plus-plus), Kirana sih banyak tahu. Teman-teman di kantornya juga banyak yang memilih menjalin hubungan seperti itu ketimbang terikat dengan satu orang. Alasannya karena pacaran bikin repot dan mengekang kebebasan, pergi ke sana dilarang, jalan sama teman harus ikut, ribet dan cenderung posesif. Beda dengan FWB. Selain bisa memiliki lebih dari 1 FWB dalam satu waktu, perasaan juga tidak dilibatkan dalam hubungan ini, pokoknya pure berteman tapi ada keuntungannya. Kirana mencoba berpikir positif, mungkin suaminya si mantan FWBnya Panji sudah loyo (ini dari mana positifnya sih? Positif loyo?!).

Untuk mengurangi kegugupan dan suasana yang kian tak enak, Kirana menegak habis air putihnya. "Jadi, cuma untuk melupakan tante itu makanya kamu ke sini? Gila! keren, pasti cantik banget dia walau udah berumur."

"Bukan, dia malah yang terus meneror aku, Ran."

"Ya kamu juga, sih! Ngapain coba berani-beraninya main api, sekarang kebakar baru tau rasa!"

"Cerita juga dong tentang kamu. Selama delapan tahun ini, kamu ngapain aja? Apa yang bikin kamu akhirnya datang nyariin aku? Bukannya kamu bilang kita gak perlu ketemu lagi?" Diungkitnya lagi soal itu. Panji menatap lekat Kirana. Mata keduanya saling menyala-nyala, menerangkan ada kerinduan.

Hidup gue gak tenang, setan! Semua gara-gara lu! Kirana mendamprat dalam hati. Tapi egonya terlalu tinggi untuk jujur mengatakan yang sebenarnya. "Biasa aja. Aku kuliah, kerja, kaya yang sekarang kamu liat, " jawab Kirana datar.

"Kalo boleh jujur, kamu cantik banget sekarang, pasti kamu rajin merawat diri. Kamu udah gak bau matahari lagi ... Kemarin, waktu pertama kita ketemu, aku sempat pangling, loh. Kupikir itu bukan kamu."

Kok ... rasa-rasanya pujian Panji barusan bernada seduktif? Lantaran cerita jujur Panji soal pengalamannya sebagai affair, pikiran Kirana jadi diisi hal-hal seronok. Pastinya Panji telah berpengalaman, badannya juga bagus, jangan-jangan pujian barusan dimaksudkannya untuk ... merayu Kirana? Kirana memekik dalam hati, dia mendadak panik. Dia memang mencintai Panji sekonyong-konyong koder, tapi bukan berarti dia mau menggantikan mantan FWBnya Panji. Belum lagi, sekarang mereka berada di rumahnya Panji, di daerah kekuasaan Panji, hanya berdua! Kemungkinan-kemungkinan edan nan absurd mulai menggentayangi pikiran Kirana. Bagaimana kalau tiba-tiba Panji berlagak seolah Christian Grey dan menganggap Kirana sebagai Anastasia Steele? Semua pertanyaan konyol terbang secara acak di dalam otak Kirana.

"GUE MAU PULANG!!" Tiba-tiba Kirana berteriak parno sambil berdiri. Panji melongo tak mengerti. "Bye!!!" Secepat kancil berlari menghindar dari harimau, Kirana keluar dari rumah Panji dan buru-buru menyetop bajaj yang kebetulan melintas.

"Rana! Besok kita ketemu di toko buku, ya!" Panji berseru dari dalam gerbang rumahnya sebelum Kirana menghilang dibawa bajaj.

"O-ok!" Meski ragu, Kirana mengiyakan.

Hanya Tuhan dan Kirana yang tahu apa yang ada di kepalanya. Panji terus memandangi bokong bajaj yang ditumpangi Kirana sampai menghilang di persimpangan jalan besar. Mukanya cemberut bingung terheran-heran, kenapa Kirana pulang tiba-tiba seperti orang ketakutan? Kirana memang sudah gila!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status