Share

PER-ZODIAK-AN DALAM BERCINTA

Bibir Kirana maju lima senti, tangan kirinya yang selama hampir tiga puluh menit menopang dagunya juga mulai kesemutan karena pegal, berkali-kali matanya melawan rasa kantuk yang menyerang. Keterlaluan sekali Panji, dia asyik memilih buku sampai mengabaikan Kirana. Ngapain ngajak kalo gini, anjrit! semprot Kirana dalam hati. Mereka tadinya memang ketemuan di toko buku bekas di depan kafenya Akbar, tapi karena Kirana tidak ingin Akbar tahu, dia mengajak Panji ke toko buku bekas lain dengan iming-iming dia tahu toko buku yang menyediakan lebih banyak pilihan buku tua.

Sial, iming-iming asal bunyi itu malah jadi kenyataan. Panji sungguh berjumpa banyak buku-buku yang sudah lama dia cari. Kurang tega apa lagi si Panji, sudah membiarkan Kirana menunggu sekian tahun, seakan tidak cukup, sekarang dia membuat Kirana harus menunggu lagi.

Puk!

Buku setebal tiga ruas jari telunjuk orang dewasa tepat mendarat pelan di atas kepala Kirana. Rupanya Panji. "Kamu ngantuk? Maaf, ya, udah bikin kamu nunggu."

Kirana masih menggerutu dalam hati, berharap kata "maaf" dihapuskan saja dari dunia, mendengar kata itu terus berulang-ulang keluar dari mulut dua pria membuatnya jadi makin muak. "Udah selesai? Boleh kita pergi sekarang?"

"Udah, nih! Kamu gak ikut nyari buku?" tanya Panji sambil memamerkan buku hasil buruannya.

"Boro-boro, baca w*****n aja kadang suka kadang enggak, apalagi buku kaya gitu, mumet aku!"

Panji hanya bisa mengekeh, tidak bisa juga memaksa cewek seperti Kirana. Baca komik saja kepalanya sudah cukup pusing. "Kita mau langsung pulang?" Panji bertanya lagi.

"Jangan, dong! Masa aku ke sini cuma buat nemenin kamu beli buku?" protes Kirana, "sekarang giliran aku. Kamu harus ikut aku, kita makan malam! Bentar lagi jam tujuh nih, pasar malam udah buka."

"Aku benci tempat rame kaya gitu, padat banget."

"Jam tujuh belum rame, Nji! Ayolah~" Kirana melancarkan aksi bergelayut manja yang berhasil membuat Panji luluh dan mengangguk setuju. "Yes!! Asyik~" Kirana bersorak layaknya cewek baru pubertas. Mulai lupa usia nih, Kirana.

Mari mengintip sedikit ke masa lalu Kirana. Sejak SMA dia ingin sekali mengajak Panji ke pasar malam. Kirana memang bukan tipe orang yang lebih memilih restoran mewah atau tempat-tempat mahal untuk berkencan, dia selalu suka kesederhanaan. Waktu dia kecil dulu, bersama papa dan mama, dia sering dibawa ke pasar malam tiap akhir pekan. Kebiasaan itu berhenti setelah papa dan mama bercerai karena satu hal, papa Kirana menikah lagi dan pindah ke Malaysia.

Setelah dia duduk di bangku SMP, mamanya juga menikah lagi, tapi Kirana membenci keluarga baru mama, Kirana merasa kasih sayang mama terpecah belah. Sedari kecil pun, Kirana dijaga ketat layaknya perhiasan, hal itu salah satu penyebab kenapa Kirana susah dapat pacar. Meski di penghujung sekolah akhirnya dia punya pacar yaitu Panji, tapi mereka hampir tak pernah menghabiskan waktu di luar. Mama selalu mengawasi Kirana. Untunglah setelah Kirana lulus kuliah, dia diperbolehkan hidup sendiri. Justru setelah hidup sendiri, hubungan Kirana dengan mama-papanya membaik. Kembali ke? Lap-Kirana, dong!

Betul kata Kirana, pukul 7 pasar malam memang belum ramai, masih ada sebagian lapak yang bahkan sedang bersiap-siap untuk buka. Baru semenit sampai, masalah baru muncul. Panji ingin makan sate ayam, Kirana ingin makan bakso. Ini mungkin sepele untuk manusia pada umumnya, dan biasa bisa diselesaikan secara damai. Tapi, ini Kirana dan Panji!

“Kamu tau gak kalo bakso itu gak bagus buat kesehatan? Itu memicu kanker.” Satu poin dari Panji.

“Hah? Nji, let me tell you, yeah ...” Ok siap, Kirana versi jaksel, “kanker itu dipicu sama daging yang dibakar2, artinya, no sate-satean!” Poin balasan dari Kirana.

“Oke oke, tapi kamu tau gak micin di bakso itu seberapa banyak?”

“Kamu kira bumbu sate gak ada micinnya?”

“Tapi lebih banyak di bakso! Bakso juga menjalani proses perebusan berkali-kali, itu bikin lebih banyak buruknya ketimbang bagusnya!”

“Oh ya?! Jadi daging yang mau dibakar itu gak melewati proses yang lain dulu?!”

“Prosesnya gak direbus!”

Blablabla.

Jangankan soal memilih makanan, soal sesepele minum air hangat atau dingin saja bisa memicu perdebatan tujuh hari tujuh malam. Begitu lah Kirana dan Panji. Akhirnya, seperti dulu, Kirana keluar sebagai pemenang. Panji ikut makan bakso. Kalau tahu endingnya selalu sama, semestinya mereka tak perlu gontok-gontokan lebih dulu.

Habis perkara soal bakso, lanjut ke perkara berikutnya. Kirana ingin coba wahana A, Panji ingin coba wahana B. Kurang lebih perdebatan mereka sama, hanya konteksnya yang berganti. 

“Ya udah kita misah aja! Kamu coba itu, aku main yang aku mau!” Kali ini Panji tidak mengalah.

“Terus apa gunanya kita datang berdua kalo pisah-pisah mainnya? Barengan, dong!” kekeuh Kirana.

“Mau barengan? Ya udah gantian aja, kita coba yang kamu mau, baru yang aku mau. Gimana?” Panji bernegosiasi.

“Gak, ah! Wahana yang kamu mau serem-serem, Nji. Itu besinya keliatan berkarat, gak aman!” 

Panji menarik nafas panjang dan dalam, lalu meledak. “JADI GIMANA?! AKU BILANG MAU SENDIRI AJA KAMU GAK MAU!”

Duar!!! 

Sifat lama Panji akhirnya sukses keluar tanpa hambatan, malah dijembatani Kirana. Sebentar lagi pasti Kirana playing victim dan berurai air mata karena habis disenggak. Untuk kasus ini, wajar sih Panji meledak. Tapi rupanya tidak, kali ini Kirana hanya bengong. Mereka canggung sekian menit.

“Kenapa ya, Nji? Kok kayanya kita gak akan bisa jalan bareng,” ucap Kirana pelan. “Aku benar-benar gak ngerti apa yang salah sama kita.” Kirana sedih betulan, tak rela kalau jalan-jalan malam mereka hanya akan berakhir jadi pertengkaran tanpa ujung.

“Maksud kamu? Kita sebagai ....”

“Apapun, sebatas teman pun kita ribut.”

Alam barangkali memang bisa mendengar keresahan Kirana, saat itu sebuah lapak peramal baru dibuka. Sewaktu Kirana dan Panji mencoba bicara baik-baik, ketika itu juga lah ekor mata Kirana melihat tenda yang baru dibuka itu. Tenda peramal! Kirana memekik dalam hati. Tenda itu kecil, serba hitam seperti yang biasa dilihat di acara-acara TV penuh gimik. Ada bola lampu dengan warna-warni kilat petir menyambar ala-ala, kartu tarot juga berjejer di atas meja. Tante dukun dengan gaya nyentrik menggerak-gerakkan tangan di atas bola lampu. Mulutnya komat-kamit beraksi untuk mencuri perhatian orang sekitar. 

Kirana menatap lapak dukun cukup lama, berganti menatap Panji. Maksud Kirana bisa ditangkap Panji melalui matanya, langsung cowok itu menggeleng keras. “Aku gak mau ikutan yang ini, jangan ngaco.” Panji bisa membaca niat hati Kirana.

“Ayo lah, please~ Kita harus cari tau apa yang salah sama kita.”

“Buat apa, sih? Emangnya ada apa sama kita?”

“Jadi kamu gak mau jadi temen aku? Kamu gak pingin memperbaiki hubungan kita?”

“Ya, mau sih. Tapi-,”

Belum sampai habis kalimat Panji, Kirana langsung mendorong tubuh besarnya ke depan meja Tante dukun. Panji dan Kirana terdiam membisu, takut mengganggu ritual Tante dukun yang masih bergaya membaca mantra-mantra. 

“Hm ...” gumam Tante dukun seperti sedang mencium kehadiran Panji dan Kirana. “... Cinta masa lalu, cinta pertama, romansa anak muda,” sebutnya masih dengan mata terpejam.

Kirana dan Panji saling lempar pandang, sepertinya Tante dukun bisa dipercaya. Belum apa-apa, dia sudah bisa menebar benar hubungan Kirana dan Panji. “Tan, tante, kira-kira apa ya yang membuat kami gak cocok?” tanya Kirana terbata-bata.

Tante dukun menggerak-gerakkan tangannya seolah sedang menghirup aroma angin (ini Tante dukun apa Roy Kiyoshi?) “Cewek Leo dan cowok Sagitarius.” Akhirnya mata Tante dukun terbuka, dia menunjuk Kirana dan Panji bergantian.

Kirana bersorak lagi, benar sekali bahwa zodiaknya adalah Leo, sedang Panji adalah Sagitarius. Mereka berada di bawah naungan elemen yang sama, yaitu api. “Kamu terlalu mengekang, terlalu bossy, terlalu mau enak sendiri!” Tante dukun menunjuk Kirana, alhasil cewek itu menelan ludah berat. Betul sih yang dikatakan Tante dukun. Kirana membatin. “Kamu Sagitarius, mau kebebasan, freedom! Kamu gak akan bisa berkomitmen sama satu perempuan, ha ...” Tante dukun menghela nafas.

Mendengar penilaian si Tante, darah Kirana mendidih lagi. Kampret betul nih Panji, jangan-jangan waktu SMA dulu, dia juga selingkuh? pikir Kirana. Panji hanya bisa garuk-garuk pelipis, serasa dia sedang diadili di meja hijau. “Jadi gimana, Tante? Apa kami bisa untuk bali- maksud saya, jadi temen? Atau kami bakal berantem dan berselisih terus?”

“Ada beberapa hal yang harus kalian lakukan,” ujar Tante dukun serius. Kirana memajukan kepalanya, ingin mendengar saksama. Panji juga sebenarnya kepo, tapi dia berlagak stay cool. “Kalian harus balikan,” tutupnya.

Sekujur tubuh Kirana berdesir. Kalau saja dia punya segepok uang sepuluh juta, dia akan langsung memberikannya pada Tante dukun. Lu denger itu, Nji?! Kita mesti balikan! Teriak Kirana dalam hati. Sekuat mungkin dia menahan diri supaya tidak cengengesan.

“Kenapa harus balikan, Mbah? Eh, Tante?” Didorong rasa kepo lebih besar, Panji ikut bertanya. Seumur hidup, baru sekali ini dia bertanya pada peramal.

“Kalian harus mencoba lagi dari awal. Kalian hanya butuh sedikit waktu untuk memulai kembali. Saya liat, keberuntungan kalian sangat baik kalo kalian bersama, tapi ego kalian sama-sama besar, lebih besar dari keinginan untuk bersama. Yang satu ingin mengikat, yang satu gak suka diikat. Biar waktu dan alam nanti yang memutuskan gimana akhirnya.” Tante dukun menguraikan lebih lanjut.

Panji mencuil lengan Kirana, mengajaknya bergegas pergi. Ocehan Tante dukun bisa menjalar ke mana-mana kalau mereka tidak menyudahi. Dia tidak lupa membayar upah jasa Tante dukun lebih dulu. Sial, rutuknya dalam hati, untuk sesi dukun sekian menit begitu saja dia merogoh kocek hampir cepek.

Sepanjang jalan pulang di atas motor, Panji dan Kirana sibuk melamun, memikirkan apa yang tadi dikatakan Tante dukun. Apa yang dia katakan ada benarnya, sepertinya dia bukan kaleng-kaleng alias bukan dukun gadungan. Tapi masa iya mereka mesti balikan?

“Soal tante tadi ...” Kirana membuka suara lagi setelah sepeda motor tua Panji sampai di depan indekos Kirana.

“Jangan dipikirin, Ran. Ngaco banget tuh orang, hari gini masa percaya apa kata dukun?” potong Panji.

“Jadi kamu gak percaya apa yang dibilang tante dukun tadi?”

“Ngapain juga percaya, sih? Itu kan cara mereka biar meraup untung aja dari orang-orang awam kaya kita.” 

“Tapi tadi kita belum ngomong apa-apa loh, si Tante bisa bener nebaknya kalo aku Leo, kamu Sagitarius.” 

“Halah, itu bisa aja kebetulan, Ran.”

“Kebetulan kok seakurat itu? Yang dibilangnya juga benar, kok. Aku terlalu mau menang sendiri, kamunya gak suka dikekang.” Kirana mengulum bibirnya, gugup untuk melanjutkan. “Kamu yakin gak mau nyoba yang tadi dibilang tante itu?” Bola matanya melirik Panji yang masih duduk di atas jok motor.

 “Buat apa sih?”

“Ya buat jadi temen!” sambar Kirana gengsi kalau harus jujur dia kepingin berat balikan dengan Panji. “Bukannya kamu juga heran kenapa kita melulu berantem? Berdebat? Mungkin udah waktunya kita evaluasi diri, supaya kita bisa jadi pribadi yang lebih baik.” Omong kosong, Kirana. Dia murni hanya kepingin balikan sama Panji! Titik.

Panji mengangguk-angguk. “Kita coba pelan-pelan, ya? Aku juga gak mau nantinya malah bikin masalah buat kamu sama pacar baru kamu.” Lalu dia elus lembut puncak kepala Kirana. Mata keduanya lekat saling pandang, Kirana makin yakin kalau sebetulnya Panji juga menyimpan rasa kangen padanya. Cewek Leo selalu begitu, selalu merasa dirinya dicintai dan diinginkan. Padahal belum tentu.

Kencan kw 3 malam itu memang tidak berjalan mulus, tapi juga tidak terlalu buruk. Setidaknya ada secercah harapan yang membuat Kirana makin kesengsem pada Panji. Balikan sepertinya tidak mustahil. Kirana hanya butuh sedikit waktu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status