Mari selisik sebentar, apa yang istimewa dari Panji? Sampai bikin Kirana cinta mati kewer-kewer padanya. Semua bermula di kelas 12 yang sebelumnya sudah dibahas. Tapi lebih tepatnya di akhir semester pertama. Hari jadwal piket Kirana jatuh di hari selasa. Memang sial, hari selasa diisi orang-orang malas. Bayu dan Raka duo tukang onar, sebelum bel pulang berbunyi, batang hidung keduanya sudah lenyap.
Rasman cuma membersihkan papan tulis, setetes keringat saja tidak keluar dari pori-pori tapi dia sebut itu termasuk piket. Sisanya tinggal Ayudia dan Laksmi, Ayudia beralasan ada les piano yang mendadak, dan teramat sayang kalau dilewatkan. Nah, kalau Laksmi sedang absen. tersisalah Kirana satu-satunya hari itu untuk menyapu sekaligus mengepel seluruh kelas dan teras.
Kirana yang sejatinya memang super lambat selambat keong bisa butuh waktu berjam-jam untuk menyelesaikan semua pekerjaan. Alhasil dia pulang sendirian lewat pukul 3, hanya tersisa beberapa adik kelas yang sedang belajar bersama di lapangan sore sewaktu dia pulang. Kirana menyeret tubuh lelahnya keluar dari pagar. Gedung sekolah tidak berada langsung di dekat jalan besar lantaran mencegah terjadinya kemacetan di jalan saat jam masuk maupun pulang. Untuk sampai ke jalan besar, Kirana mesti melewati sebuah area hijau tempat didirikan sebuah taman dan berisi pohon-pohon besar.
Sepi.
Senyap.
Kirana remaja berjalan sendirian melewati jalan di samping taman yang panjangnya sekitar seratus meter. Karena cahaya matahari dihalangi rimbunnya daun pohon, udara menjadi lebih dingin, juga lebih gelap dan hawa agak-agak mencekam. Ada rumor beredar kalau dulunya taman di depan sekolah ini adalah lahan bekas kuburan, ada banyak hantu populer yang bersemayam di sana, termasuk hantu Nona Kucing, diberi nama seperti itu karena dia dibunuh bersama belasan kucing liar kesayangannya. Mitos itu diperkuat adanya banyak kucing liar yang terus berdatangan ke taman, tak sedikit menjadi penghuni tetap di sana.
Memikirkan soal Nona Kucing, Kirana jadi bergidik ngeri sendiri, dia percepat langkahnya, dan enggan menoleh ke belakang.
"Miauw...." Terdengar suara kucing mengeong. Kirana makin ketakutan. Suara kucing tak kalah tambah banyak, seperti saling sahut menyahut dari balik semak berbunga.
"... Pelan-pelan makannya, sayang!"
Kaki Kirana otomatis berhenti seketika mendengar suara lembut itu mengudara. Dia langsung berbalik badan dan celingak-celinguk, tak ada orang. Keringat mengucur jatuh di belakang punggung sampai ke pinggang. "Keluar lu! Gue gak takut sama lu! Aing macan!!!!" teriak Kirana merasa ditantang hantu. "Jangan lagi-lagi lu coba ganggu gue, ya! Gue rukiah panas-dingin badan lu!"
"WOI BERISIK!!!"
Kepala Kirana langsung menoleh ke sisi kanan, seorang cowok muncul dari balik semak berbunga. Cowok tinggi berkulit gelap itu adalah Panji. Kirana mengucek matanya, memastikan dia tidak salah lihat. "Lu bukan hantu Nona Kucing?" tanyanya polos.
"Emangnya suara gue kedengeran kayak nona-nona?! Ini gue Panji! Temen sekelas lu!" teriak Panji.
Kirana memutuskan mendekat, wajah Panji semakin jelas. "Oh iya, hehe. lu yang duduk di depan meja gue, kan ya?" Kirana mengekeh salah tingkah. Dalam hati dia berharap aksi tololnya tadi belum sempat dilihat Panji. "Kok lu belum pulang? Ada kegiatan apa di sekolah?" Dia b**a-basi supaya yang tadi dia perbuat tidak diungkit.
"Biasa, gue ngasih makan kucing-kucing liar di sini. Makanya sini tengok." Panji mengajak Kirana melompati rumput tinggi.
Kirana menilik sebentar ke seberang rumput sebelum dia memutuskan menaikkan roknya dan melompati rumput tanpa malu. Jelas bisa dia lihat sekarang beberapa ekor kucing kampung tengah menikmati jamuan makan sisa pemberian Panji. Rupanya karena dialah kucing-kucing itu kerap datang. "Jadi ternyata lu nona kucing yang legendaris itu, harusnya tuan kucing, dong!" Kirana mencoba berkelakar.
"Haha," tawa Panji singkat, "gak lah. Ini gara-gara ada sisa nasi bungkus tadi, kok." Panji mengamati Kirana yang terlihat kusut. "Lu sendiri kenapa pulang sore?"
"Oh, gue baru habis piket, sih." Kirana menggaruk pelipisnya yang tidak gatal.
"Mau pulang bareng?"
Pipi Kirana merona tomat, untuk pertama kalinya ada cowok yang mengajak dia pulang bersama. “Lu pake motor atau mobil?” tanya Kirana malu-malu.
“Naik angkot, sih.”
Gubrak!
Yeee, malih, sungut Kirana dalam hati, ngajakin pulang bareng tapi naik angkot, imbuhnya dalam hati. Walaupun konyol, dua remaja itu berakhir pulang bersama menumpang sebuah angkot. Kebetulan juga arah rumah mereka sama. Panji turun duluan, rumahnya berada tepat di pinggir jalan raya, dari sana Kirana bisa tahu rumah Panji.
Sejak hari itu mereka terbiasa pulang bersama naik angkot. Tidak romantis, tapi Kirana tetap suka, dia menyenangi sifat terbuka Panji serta celetukan-celetukan isengnya. Awal-awal semester padahal mereka sangat jarang berkomunikasi, Kirana sempat takut melihat Panji yang ber-imej seram. Tapi sekarang keduanya perlahan menjadi teman, Panji tidak seseram yang dia kira.
Walau tidak seram, tapi Panji kuat, tubuh besarnya berfungsi dengan baik. Pernah satu hari ketika mereka berjalan bersama, seorang kuli proyek yang sedang mengaduk semen menyiul Kirana. Emosi Panji seketika membara, tanpa pikir panjang dia menghadiahi pipi kuli tersebut dengan bogem mentah. Perkelahian hebat terjadi, hampir saja Panji dikeroyok kuli yang lain, untung mandor segera melerai. Panji selamat, namun ujung bibirnya sempat pecah kena pukulan.
“Lu sih! Ngapain coba belagu nantangin kuproy! Lu kagak liat itu badan mereka segede apaan?!” bentak Kirana sambil pelan-pelan menempelkan plester di atas luka Panji.
“Ya gue juga gak terima lu dilecehin begitu! Emangnya lu seneng disiul-siulin mereka?” Panji masih kesal, mukanya cemberut.
“Ya gak lah, tapi kan bahaya buat lu!”
“Gue gak suka ngeliat perempuan direndahin, apalagi lu temen gue. Manusia kayak gitu mesti dikasih pelajaran!”
Kirana diam-diam tersipu mendapat perlakuan istimewa dari Panji. Dia bukan hanya sayang kucing terlantar, dia juga pelindung kaum perempuan, he is a pussy lover bangetlah pokoknya. Lama-lama sosok Panji makin istimewa di mata Kirana. Ibarat ketoprak, dia yang memakai dua karet, jikalau mi rebus, dia yang pakai telur dua. Istimewah!
Lambat laun cinta Kirana mulai berubah jadi cinta buta. Segala hal tentang Panji di matanya jadi lebih indah. Contoh kecilnya, saat teman-teman sekelas pergi berkaraoke bersama merayakan ulang tahun ketua kelas. Singkat kata, suara Panji bisa bikin bayi baru lahir masuk ke rahim ibunya lagi, teman-teman sekelas pada buyar sambil tutup telinga, hanya tinggal Kirana yang mendengarkan sambil senyum-senyum bak seorang afganistan, eh, afganisme mendengarkan Afgan bernyanyi.
Puncaknya, ketika Panji terlibat pertengkaran hebat dengan murid dari kelas lain, semua menyalahkan Panji, dan memang salah Panji sebetulnya. Keributan itu dipicu hal sepele, cuma karena tidak sengaja bersenggolan. Bisa ditebak, Kirana maju mati-matian membela Panji. Dia rela pasang badan menghadapi rombongan rival yang ingin melabrak Panji.
Keanehan sikap Kirana yang terlalu bias akhirnya diprotes oleh Mila (Oya, Mila adalah teman sebangku Kirana waktu itu).
“Sah-sah aja sih lu suka sama dia sampe level hard. Tapi, Na, sikap lu terlalu berlebihan. Kalo emang dia salah, ya salah aja, jangan dibela dong!” Mila yang waktu itu belum tahu dandan, dan masih bergaya seperti cabe-cabean generasi 2010, melancarkan ocehan secepat 60km/jam.
“Menurut lu dia salah?! Dia tuh cuma bela diri, Mil!”
“Please, deh. Dia kasar duluan, Na! Lu ini lagi dimabuk efek jatuh cinta! Gue ngerti, ini semua karna lu ngeliat sosok bokap lu ada di diri dia, kan? Jadi lu merasa dilindungi.”
Ucapan Mila barusan berhasil membuat Kirana teringat ayahnya. Sudah lima tahun mereka tidak bertemu, terakhir hanya terhubung telepon bulan lalu. Perubahan air muka Kirana membuat Mila jadi merasa bersalah.
“Maaf, Na, bukan maksud gue ngebahas soal bokap lu ...” Mila menepuk-nepuk bahu Kirana.
“Lu bener kok, Mil. Mungkin memang gue ngeliat diri ayah gue ada di diri Panji.”
Untuk sesaat Mila bisa menarik napas lega, dia kira akhirnya Kirana sadar. Tapi ujung kalimatnya pahit, “Karena itu, gue jadi makin yakin buat nembak dia!”
Mila menepuk jidat. Bukannya menyadarkan Kirana malah dia membuat jalan asmara buta Kirana makin mulus. Dalih Kirana sih begini: “Kurang beruntung gimana hidup gue? Bisa menemukan sosok pengganti bokap di diri Panji. Dia sempurna banget buat gue yang hina ini!”
Cenderung buru-buru, tapi Kirana dan Panji berakhir jadian. Kirana senang setengah mati cintanya disambut. Dia mulai berkhayal kisah mereka akan berakhir di pelaminan seperti pasangan-pasangan populer di sosial media yang suka membuat iri (hestek kapel gols). Padahal dia bahkan tidak tahu bagaimana perasaan balasan Panji, pokoknya yang penting mereka jadian.
Menurut hukum kimia, reaksi jatuh cinta yang disebabkan oleh dopamin, akan menurun setelah 4 bulan. Dimulailah perselisihan. Kirana bukannya tidak cinta lagi pada Panji, menurut alat ukur cinta miliknya, dia masih cinta bombardirduar pada Panji tapi setelah 4 bulan berlalu, dia mulai waras. Dia tidak lagi membenarkan semua sikap Panji. Kalau menurutnya yang dilakukan Panji adalah salah, dia mulai berani mengambil sikap dan menentang. Dimulai lah cekcok-cekcok kecil berbuntut panjang.
Kalau Panji punya ego setinggi gunung, maka Kirana punya ego setinggi awan. Pertengkaran demi pertengkaran silih berganti terjadi. Panji sulit mengendalikan amarahnya kalau sudah terlanjur menyala, berkali-kali lidahnya menyakiti Kirana. Sempat terbersit di hati Kirana untuk meminta pisah, tapi dia takut tidak bisa mendapat pelindung seperti sosok Panji lagi, dirinya sudah terlanjur membutuhkan Panji. Dia bertekad untuk mengubah Panji menjadi pribadi yang lebih tenang (padahal sendirinya jauh dari kata tenang), demi cinta yang diharapkan bisa berakhir sampai pernikahan seperti di film-film.
Namun sebelum keinginannya terwujud, Panji menghilang. Tanpa jejak. Begitulah bagaimana kisah mereka berakhir. Panji yang datang dengan cara istimewa itu pergi dengan cara istimewa pula. Mungkin karena tak ada kata pisah, Kirana jadi merasa hubungan mereka belum selesai. Gantung dan ketidak-pastian Panji itulah yang membuat Kirana terjebak dalam rasa penasaran berujung penantian.
Gending manten kebo giro mengisi aula tempat berlangsungnya resepsi pernikahan Kirana dan Panji. Acara dilaksanakan secara sederhana dan tertutup hanya untuk keluarga dan sahabat terdekat. Kirana tidak bosan-bosan menoleh pada Panji yang tampak gagah mengenakan Solo Basahan. Senyum simpul terus merekah di bibir mereka berdua. Siapa sangka bahwa akhirnya mereka meraih akhir bahagia? (setidaknya sampai saat ini)."Keren! Jadi kawin juga lu! Emang jodoh gak ke mana, ya!" seru Mila yang baru datang bersama pacarnya, Adam. "Gue yang duluan pacaran, eh elu yang duluan kawin!" tambahnya sambil mencubit pipi Kirana."ish, nanti bedak gue cemong!" Kirana pura-pura ngambek."Tapi kalo lagi galau, ingat ... party dugem in the house, yo!" Adam mengekek. Dia sadar Panji langsung melempar lirikan tajam, dia segera berdalih, " Hehe ... canda ah, bro! Kirana udah gak main dugem lagi sekarang.""Ya gak papa juga sih
Suasana rumah Panji menjadi sangat kelabu dan kelam selama penyembuhan Kirana usai kehilangan calon jabang bayinya. Kirana diam total, sama sekali tak menyahut tiap kali diajak bicara. Rencana pernikahan pun batal, Kirana yang meminta untuk dibatalkan meski Panji bersedia untuk melanjutkan. Belum pernah Kirana merasa sekosong dan semenyesal ini, dia ingin tinggal bersama ibunya, hanya itu permintaan darinya. Setelah seminggu lebih pemulihan, Kirana pamit pulang, dia juga telah mengirim surat pengunduran diri ke tempat magang, dia berniat menyepi untuk waktu yang lama."Kamu pasti balik ke rumah kan, Ran?" tanya Panji sebelum Kirana menyeret kopernya masuk ke Bandara. Kirana diam, Panji mendesak lagi, "jawab aku, Rana! Kita masih bersama, kan?" Panji meminta janji Kirana. Begitulah manusia, kalau sudah tahu akan kehilangan, baru ketakutan sendiri (selama ini ke mana saja, Panji?)."Aku gak bisa janji." Suara Kirana datar.
Tidak semenakutkan bayangan Kirana, pihak keluarganya justru menyambut baik rencana pernikahannya dengan Panji. Ayahnya yang masih berada di Malaysia berjanji akan datang di hari pernikahan. Sikap sinis malah datang dari ibunya Panji. Setelah yakin akan menikah, Panji memboyong Kirana ke Malang untuk bertemu orang tuanya dan membahas persiapan pernikahan. Perempuan kepala 6 itu selayaknya calon mertua menerima kedatangan Kirana ke rumah tapi wajah pahitnya tidak bisa dia sembunyikan. Terlebih lagi Panji adalah anak laki-laki satu-satunya dan tertua, dia punya 2 adik perempuan kembar yang masih duduk di bangku SMA. Seorang ibu akan memasang benteng tertinggi bila ada perempuan lain yang siap menggeser posisinya, itulah yang dilakukan ibu Panji, Kirana menerima masalah baru: mertua."Bukan gitu caranya, begini!""Panji itu anaknya bebas, kebebasannya mutlak, kamu harus mengerti itu.""Kamu juga mesti tau dia itu alergi uda
Kirana turun dari mobil Akbar. Adegan mengantar romantis ini juga bagian dari rencana mereka. Sesuai harapan, Panji yang tengah bekerja di halaman belakang melongok dan melihat kekasihnya diantar Akbar, mereka berdua bahkan menyempatkan diri untuk mengobrol beberapa menit. Sebelum pergi, Akbar sengaja pula mengelus kepala Kirana, Panji diam-diam mengintip cemberut.“Keren, diantar mantan pacar sekarang. Bukannya kamu bete banget sama dia?” singgung Panji setelah Kirana berada di dapur. Gurat cemburu sama sekali tidak bisa dia tutupi.“Aku pikir itu bukan urusan kamu lagi.” Kirana memanfaatkan momen ini untuk menunjukkan taringnya, sekalian saja dia membeberkan niatnya dengan Akbar, niatnya yang palsu itu. “Dia siap untuk menikahi aku supaya anakku punya bapak resmi.”Panji terbelalak, napasnya tercekat. “Yang bener aja kamu!” Panji berdiri, protes tanpa basa-basi. &ld
Aroma obat yang dibenci Panji menyerang dari tiap sudut lorong ruang tunggu rumah sakit. Kalau bukan karena Kirana pingsan, Panji sudah sejak tadi kabur dari sana. Rumah sakit adalah salah satu tempat yang paling dia benci. Dia cemas, berharap Kirana baik-baik saja. Dia sedikit banyak sudah bisa menebak kalau akhir dari touring ini akan buruk. Fisik Kirana memang tidak terlalu fit, di atas motor berjam-jam tentu lumayan berat baginya.“Keluarga ibu Kirana?” Suster melongok dari pintu ruangan Dokter, Panji langsung berdiri dan ikut masuk.Sekilas dia menengok Kirana yang sedang berbaring di atas kasur pasien, dia sudah siuman tapi matanya masih tampak sayu. Panji duduk di hadapan Dokter, keduanya siap mendengar hasil pemeriksaan.“Ibu Kirana hanya kelelahan, efek dari sengatan matahari,” ucap Dokter sesuai dugaan Panji. Baik Panji maupun Kirana sama-sama lega, untuk sesaat mereka bisa menarik napas
“Lusa aku mau pergi touring, Ran,” ujar Panji pada saat mereka sedang menyantap makanan pada suatu malam.“Ke mana? Sama siapa?! Berapa lama?!” Kirana langsung mencecar dengan muka panik akan ditinggal kekasih hati.“Cuma ke Bandung, kok. Paling juga dua hari satu malam, di Bandung nginep dulu semalam trus balik lagi.”“Kalo gitu aku ikut! Kan lusa hari sabtu itu, sore minggu udah balik, aku bisa ikut!” Kirana menggenggam erat punggung tangan Panji, memohon supaya diajak serta.“Jangan ngaco ah, kamu. Itu kan khusus anggota komunitas motoran aja.” Panji menolak.“Jangan kamu kira aku gak tau ya kalo temen-temen komunitas kamu juga suka bawa cewek mereka! Masa aku gak boleh ikut?! Nji~ Please~” Kirana bergelayut manja.“Soalnya kalo kamu ikut, nanti berantakan acaranya, R